Dulu Pengupas Kerang Kini Pemulung

Cangkangkerang itu masih tampak berserakan disepanjang jalan menuju rumahHabibah do kampong Marunda Kepu, Cilincing, Jakarta Utara. Memang itu bukan kulit kerang barumelainkan kulit kerang beberapa bulan lalu. Kini, kulit kerang itu menjadi saksi bisubahwaaktivitas mengupas kerangsempat pernah menjadi pekerjaanpara ibu-ibu nelayan di kampung itu.

Siang itu, 18 April 2011. Habibah baru bangun dari tidur siangnya. Kini ia punya aktivitas baru. Sudah tigahari ini, enamjaring tancap yang dipasangsuaminya tidak menghasilkan apapun. Udang rebon atau jenis ikan lautapapunsama sekali tidak terjaring. Yang ia dapatjustru tumpukan plastik dan sampahindustri. “Apes,kalau sudah begitu,” kata Habibah lirih.

Ibu limaanak ini biasa kerja lebih dari 15 jam sehari. Aktifitasnya sudah dimulai sejak pagi buta, ketika semua orang masih terlelap. Gobang, sang suami,juga sudah keluar rumah sejak pukul 03.00. Ia tidak melaut. Maklum, sudah beberapa tahun ini Gobang tidak punya perahu lagi. Yang dilakukan saat inihanyalah menyuduh alias mencari udang rebon dengan menggunakan serok menyusuri sepanjang pinggir laut utara Jakarta.

Jika mentari sudah mulai keluar dari ufuk timur, pencarian dihentikan. Jaring tancap mulai diambil,berharap ada ikan yang nyangkut. Selanjutnya, hasil tangkapan dijual ke tempat pelelangan ikan (TPI) Cilincing, sekitar limakilometerdari rumahnya. Kadang tangkapannyadijajajakandengan cara berkeliling. “Kalau benar-benar butuh uang, terpaksa dijual beberapa bagian saja,” kata Habibah.

Sementara, udang rebonhasil tangkapan suami, jika masih tersisa dari pasar, akan dibawa pulang. Udang rebon sisa jualan itu bukan untuk dikonsumsi sendiri, melainkan akan diolah lagi menjadi trasi. Trasi udang buatan Habibah inisempat menjadi rebutan di pasar pada era 1980-an. Dulu, dalam seminggu, puluhan kilogramtrasi bisa ia dihasilkan. Begitu juga dengan kerang hasil tangkapan di laut. Begitu melimpah. Namun ini berlangsung hingga sekitar tahun 2000. Lalu, semua itu kini tinggal kenangan. Selama duatahun terakhir, masa keemasannya tak lagi tersisa.

“Sudah beberapa hari ini, tangkapan tidak bagus,” kata Habibah. Entah kemana larinya ikan, rebon dan yang lainnya. Biasanya, April adalah mulai datang musimAngin Timur,yang menjadimasa panen para nelayan. Tapi, hingga bulan April, Angin Barat masih saja ada. Angin Timur tak kunjung datang.

Musimikan berkumpulsudah hilang. Intensitas hujan yang tidak beraturan turut berpengaruh terhadap suhu air laut. Akibatnya, kehidupan di bawah laut juga ikut terpengaruh. Ikan yang biasanya betah menjadi tidak betah. “Itu mempengaruhi kebiasaan ekosistem laut, dan kebiasaan nelayan,” kata Tiarom, nelayan Marunda yang sudah sebulan terakhir hanya mendapatkan tangkapan ikan taklebih dari 10 kg.

Karena penghasilan merosot, Habibah sangat mengkhawatirkan nasib anak bungsunya yang masih duduk di kelas duasekolah dasar (SD). Jika pagi hari ia tidak mempunyai uang Rp 10 ribu, maka si bungsu tidak bisa berangkat sekolah. Tak ada ongkos. “Hari ini tadi tidak sekolah lagi,”katanya.

Anak keempatnya, Faisal, sempat merasakan hal serupa. Iasempatmengenyam pendidikan hingga kelas 5 SD. Hingga saat ini, Faisal masih belum bisa melanjutkan pendidikan. Jangankan memenuhi biaya pendidikan sang anak, untuk urusan dapur saja belum sepenuhnya tercukupi. Setiap hari, keluarga Habibah hanya mampu menghasilkan rata-rata hanya Rp 30 ribu dari hasil tangkapan di laut. Sementara, total kebutuhan minimal untuk menyuapi tujuh anggota keluarganya adalah Rp 50 ribuper hari.

Ini belum termasuk kebutuhan membeli air bersih.  Kondisi air di teluk Jakartasudah tidak layak dikonsumsi. Keluarga Habibah harusmembeli air PAMseharga Rp 1.500 per jirigen. Dalam sehari, keluarganya dibutuhkan sekitar 8 jirigen. “Saya bilang, kalau mandi harus diirit. Kalau nyuci,lebih baik di kali. Karena, air memamg lagi sulit sekarang,” kata Habibah.

Terpaksa Memulung

Penghasilan nelayan makin merosot sejak pembangunan protek Banjir Kanal Timur (BKT) Dermaga tempat berlabuh nelayan telah digusur proyek BKT. Perahu nelayan yang biasa berlabuh di dermaga itukini kesulitan mencari tempat berlabuh.

Bahkan, BKT mengirimi sampah dari tengah kota ke pantai. Sampah menjadi “tangkapan” baru nelayan Cilincing.“Kalau kali dibuka itu kan sampah pada keluar semua. Dan ibu-ibu pada banyak berhamburan keluar rumah,” kata Habibah.

Para perempuanyang profesinya berjualan ikan keliiling, kinimembawa karungan sampah di atas sepedanya usai jualan. Sampah itu merekapungut dijalan sambil berjualan. Hasil pulungan sampa, dijualRp 1.500 per kilogramnya. Sehari, paling tidak hanya dapat 2 kilogram. “Pernah sehari dapat empatkarung, lupa berapa kilongya. Setelah dijual cuma dihargai Rp 20 ribu,” kata Habibah sambil melirik Gobang, yang duduk disampingnya.

Jika sampah memang sedikit didapat, Habibah berendam ke laut. Ia akan mencarikontai (kerang kecil). “Nanti pulangnya digotong berduaan sama bapak. Kadang dapat 20 kg, dijual sekitar Rp 30 ribu. Kalau kosong terus, ya cari kontai itu. Berendam sampai segini,” kata Habibah sambil memegang lehernya.

Beban Ganda

Melaut adalah gantungan hidup satu-satunya bagi keluarganelayan. Sementara, ombak di laut makin terus tidak bersahabat. Nekat melaut nyawa taruhannya, tidak melaut berarti keluargatidak makan.

Perahu nelayan rata-rata hanya mampu menempuh jarak maksimal duamilbdari bibir pantai. Sementara, bibir pantai sudah tergerus reklamasi. Nelayan budidaya ikan kehilangan lahan. Air laut makin tercemar sampai radius dua mil dari bibir pantai.

Ikan-ikan semakin ke tengah laut.  Dan jika nelayan memaksakanberlayarke tengah, maka resiko semakin besar. Ombak besarbisa membalikkan perahu mungil mereka. “Kalau sudah begini, ya pasrah saja. Makanya, mulai muncul pekerjaan alternatif para ibu-ibu,” kata Tiarom, ketika ditemui di perahunya.

Menurut hasilpenelitian Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), perempuan di pesisir utara Jakartabekerja  lebih dari15 jam dalam sehari sejak 2 tahun terakhir. Menurutstudi tersebut,48% pendapatan nelayan dihasilkan dari aktifitas ekonomi perempuan nelayan. “Dan beban perempuan nelayan memang lebih besar,” kata Abdul Halim, Koordinator program Kiara dalam orasinya di  depan Istana Negara beberapa pekan lalu.

Apa boleh buat. Bumi makin panas. Sampah makin membanjiri laut. Nelayan yang menjadi korban.

Dulu Pengupas Kerang Kini Pemulung

Cangkangkerang itu masih tampak berserakan disepanjang jalan menuju rumahHabibah do kampong Marunda Kepu, Cilincing, Jakarta Utara. Memang itu bukan kulit kerang barumelainkan kulit kerang beberapa bulan lalu. Kini, kulit kerang itu menjadi saksi bisubahwaaktivitas mengupas kerangsempat pernah menjadi pekerjaanpara ibu-ibu nelayan di kampung itu.

Siang itu, 18 April 2011. Habibah baru bangun dari tidur siangnya. Kini ia punya aktivitas baru. Sudah tigahari ini, enamjaring tancap yang dipasangsuaminya tidak menghasilkan apapun. Udang rebon atau jenis ikan lautapapunsama sekali tidak terjaring. Yang ia dapatjustru tumpukan plastik dan sampahindustri. “Apes,kalau sudah begitu,” kata Habibah lirih.

Ibu limaanak ini biasa kerja lebih dari 15 jam sehari. Aktifitasnya sudah dimulai sejak pagi buta, ketika semua orang masih terlelap. Gobang, sang suami,juga sudah keluar rumah sejak pukul 03.00. Ia tidak melaut. Maklum, sudah beberapa tahun ini Gobang tidak punya perahu lagi. Yang dilakukan saat inihanyalah menyuduh alias mencari udang rebon dengan menggunakan serok menyusuri sepanjang pinggir laut utara Jakarta.

Jika mentari sudah mulai keluar dari ufuk timur, pencarian dihentikan. Jaring tancap mulai diambil,berharap ada ikan yang nyangkut. Selanjutnya, hasil tangkapan dijual ke tempat pelelangan ikan (TPI) Cilincing, sekitar limakilometerdari rumahnya. Kadang tangkapannyadijajajakandengan cara berkeliling. “Kalau benar-benar butuh uang, terpaksa dijual beberapa bagian saja,” kata Habibah.

Sementara, udang rebonhasil tangkapan suami, jika masih tersisa dari pasar, akan dibawa pulang. Udang rebon sisa jualan itu bukan untuk dikonsumsi sendiri, melainkan akan diolah lagi menjadi trasi. Trasi udang buatan Habibah inisempat menjadi rebutan di pasar pada era 1980-an. Dulu, dalam seminggu, puluhan kilogramtrasi bisa ia dihasilkan. Begitu juga dengan kerang hasil tangkapan di laut. Begitu melimpah. Namun ini berlangsung hingga sekitar tahun 2000. Lalu, semua itu kini tinggal kenangan. Selama duatahun terakhir, masa keemasannya tak lagi tersisa.

“Sudah beberapa hari ini, tangkapan tidak bagus,” kata Habibah. Entah kemana larinya ikan, rebon dan yang lainnya. Biasanya, April adalah mulai datang musimAngin Timur,yang menjadimasa panen para nelayan. Tapi, hingga bulan April, Angin Barat masih saja ada. Angin Timur tak kunjung datang.

Musimikan berkumpulsudah hilang. Intensitas hujan yang tidak beraturan turut berpengaruh terhadap suhu air laut. Akibatnya, kehidupan di bawah laut juga ikut terpengaruh. Ikan yang biasanya betah menjadi tidak betah. “Itu mempengaruhi kebiasaan ekosistem laut, dan kebiasaan nelayan,” kata Tiarom, nelayan Marunda yang sudah sebulan terakhir hanya mendapatkan tangkapan ikan taklebih dari 10 kg.

Karena penghasilan merosot, Habibah sangat mengkhawatirkan nasib anak bungsunya yang masih duduk di kelas duasekolah dasar (SD). Jika pagi hari ia tidak mempunyai uang Rp 10 ribu, maka si bungsu tidak bisa berangkat sekolah. Tak ada ongkos. “Hari ini tadi tidak sekolah lagi,”katanya.

Anak keempatnya, Faisal, sempat merasakan hal serupa. Iasempatmengenyam pendidikan hingga kelas 5 SD. Hingga saat ini, Faisal masih belum bisa melanjutkan pendidikan. Jangankan memenuhi biaya pendidikan sang anak, untuk urusan dapur saja belum sepenuhnya tercukupi. Setiap hari, keluarga Habibah hanya mampu menghasilkan rata-rata hanya Rp 30 ribu dari hasil tangkapan di laut. Sementara, total kebutuhan minimal untuk menyuapi tujuh anggota keluarganya adalah Rp 50 ribuper hari.

Ini belum termasuk kebutuhan membeli air bersih.  Kondisi air di teluk Jakartasudah tidak layak dikonsumsi. Keluarga Habibah harusmembeli air PAMseharga Rp 1.500 per jirigen. Dalam sehari, keluarganya dibutuhkan sekitar 8 jirigen. “Saya bilang, kalau mandi harus diirit. Kalau nyuci,lebih baik di kali. Karena, air memamg lagi sulit sekarang,” kata Habibah.

Terpaksa Memulung

Penghasilan nelayan makin merosot sejak pembangunan protek Banjir Kanal Timur (BKT) Dermaga tempat berlabuh nelayan telah digusur proyek BKT. Perahu nelayan yang biasa berlabuh di dermaga itukini kesulitan mencari tempat berlabuh.

Bahkan, BKT mengirimi sampah dari tengah kota ke pantai. Sampah menjadi “tangkapan” baru nelayan Cilincing.“Kalau kali dibuka itu kan sampah pada keluar semua. Dan ibu-ibu pada banyak berhamburan keluar rumah,” kata Habibah.

Para perempuanyang profesinya berjualan ikan keliiling, kinimembawa karungan sampah di atas sepedanya usai jualan. Sampah itu merekapungut dijalan sambil berjualan. Hasil pulungan sampa, dijualRp 1.500 per kilogramnya. Sehari, paling tidak hanya dapat 2 kilogram. “Pernah sehari dapat empatkarung, lupa berapa kilongya. Setelah dijual cuma dihargai Rp 20 ribu,” kata Habibah sambil melirik Gobang, yang duduk disampingnya.

Jika sampah memang sedikit didapat, Habibah berendam ke laut. Ia akan mencarikontai (kerang kecil). “Nanti pulangnya digotong berduaan sama bapak. Kadang dapat 20 kg, dijual sekitar Rp 30 ribu. Kalau kosong terus, ya cari kontai itu. Berendam sampai segini,” kata Habibah sambil memegang lehernya.

Beban Ganda

Melaut adalah gantungan hidup satu-satunya bagi keluarganelayan. Sementara, ombak di laut makin terus tidak bersahabat. Nekat melaut nyawa taruhannya, tidak melaut berarti keluargatidak makan.

Perahu nelayan rata-rata hanya mampu menempuh jarak maksimal duamilbdari bibir pantai. Sementara, bibir pantai sudah tergerus reklamasi. Nelayan budidaya ikan kehilangan lahan. Air laut makin tercemar sampai radius dua mil dari bibir pantai.

Ikan-ikan semakin ke tengah laut.  Dan jika nelayan memaksakanberlayarke tengah, maka resiko semakin besar. Ombak besarbisa membalikkan perahu mungil mereka. “Kalau sudah begini, ya pasrah saja. Makanya, mulai muncul pekerjaan alternatif para ibu-ibu,” kata Tiarom, ketika ditemui di perahunya.

Menurut hasilpenelitian Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), perempuan di pesisir utara Jakartabekerja  lebih dari15 jam dalam sehari sejak 2 tahun terakhir. Menurutstudi tersebut,48% pendapatan nelayan dihasilkan dari aktifitas ekonomi perempuan nelayan. “Dan beban perempuan nelayan memang lebih besar,” kata Abdul Halim, Koordinator program Kiara dalam orasinya di  depan Istana Negara beberapa pekan lalu.

Apa boleh buat. Bumi makin panas. Sampah makin membanjiri laut. Nelayan yang menjadi korban.

Petani dan Nelayan Unjuk Rasa

JAKARTA, KOMPAS.com — Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Perdagangan disambangi pengunjuk rasa, Selasa (16/10/2012). Mereka meminta pemerintah menghentikan monopoli, impor, dan mendorong kedaulatan pangan.

Unjuk rasa berlangsung sejak pukul 10.00, diikuti sekitar 100 orang dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Jakarta, petani dari Kabupaten Buol, Sulawesi Tenggara, serta nelayan dan buruh dari Tangerang.

Selain itu, terdapat juga Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Solidaritas Perempuan, dan Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA).

Koordinator Program KIARA Abdul Halim mengemukakan, ketidakadilan pangan terus berlangsung. Indonesia saat ini sudah menjadi pengimpor pangan bersih, artinya tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk memproduksi pangan.

Dari tahun ke tahun, pemerintah semakin gagal memenuhi kebutuhan beras sebagai bahan pangan pokok rakyatnya. Kebijakan impor beras terus berlangsung meski ditentang kaum tani. Di sektor perikanan, juga berlangsung ketergantungan impor ikan dan impor garam yang memukul kedaulatan nelayan dan petambak.

“Kebijakan impor makin tidak relevan karena berimplikasi negatif terhadap arah kebijakan perdagangan dan penguatan kemandirian ekonomi,” ujarnya.

Habibah, perempuan nelayan di Marunda Kepu, Jakarta Utara, mengemukakan, sudah saatnya pemerintah memberi perhatian terhadap nelayan. Selama ini, nelayan dibiarkan terpinggirkan akibat pengkavlingan laut oleh perusahaan dan pencemaran limbah di pesisir yang terus dibiarkan.

Para Srikandi di Sudut Negeri

Tanpa ingar-bingar perjuangan, mereka telah terbukti menghidupkan masyarakat di sekitar.

Gelombang industrialisasi dan ekspansi ekonomi yang menyebabkan munculnya banyak protes mengenai kondisi kerja di abad ke-20 rupanya tidak sia-sia.

Kaum perempuan kemudian bangkit, menggagas peringatan Hari Perempuan Internasional setiap tanggal 8 Maret yang sejak 1975 disponsori Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Hari besar bagi perempuan ini mengingatkan dunia bahwa perempuan pun bisa berhasil di bidang ekonomi, politik, sosial, iptek, dan sebagainya. Malah, di Indonesia pun peringatan itu menginspirasi banyak kaum hawa.

Mereka yang sebelumnya dianggap lemah, nyatanya menjadi pengendali kehidupan keluarga. Kesadaran itu kemudian membuat mereka saling memotivasi kemandirian, yang lantas disebut kemandirian perempuan.

Jumiati (32), nelayan perempuan dari Desa Sei Ngalawan, Serdang Bedagai, Sumatera Utara, adalah salah satu di antara mereka. Bersama enam orang lainnya, dia dipilih oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Oxfam sebagai pejuang pangan karena memberdayakan segala sumber daya untuk menghidupkan pangan masyarakat sekitar.

Keenam orang lain yang merupakan petani dan nelayan itu adalah Habibah, nelayan di Marunda Kepu, Jakarta Utara, yang menghasilkan pangan walau terimpit reklamasi pantai dan pencemaran laut; Suparjiyem, petani Gunung Kidul, DI Yogyakarta, yang rajin berbagi pengetahuan tentang pola tanam kepada petani sekitar dan aktif mengadvokasi kebijakan pemerintah.

Selain itu, ada Marlina Rambu Meha, petani dari Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang melestarikan tenun dan 12 jenis pangan lokal demi mendorong kemandirian perempuan di tengah ketatnya budaya; dan Siti Rofiah yang memotivasi kemandirian petani di Manggarai Barat dan Lembata, NTT untuk membudidayakan pangan lokal yang mulai terlupakan.

Ada pula Siti Rahmah, petani sayuran organik yang bercita-cita teknik budi daya tanaman pangan dan tambak menjadi organik. Ada pula Mama Rebecca, petani yang membentuk kelompok beranggotakan 21 janda dan menghibahkan kebunnya untuk dikelola secara bersama-sama.

Ketujuh pejuang pangan itu mendobrak kesulitan pemerintah Indonesia dalam mencukupi kebutuhan pangan. Faktanya, menurut Oxfam, perempuan secara mayoritas bertanggung jawab dalam produksi pangan, khususnya di negara-negara berkembang.

Di sektor perikanan, perempuan nelayan berkontribusi hingga 48 persen untuk ekonomi keluarga. Adapun di sektor pertanian berkontribusi sampai 54 persen untuk perekonomian keluarga.

Jumiati, nelayan dari Desa Sei Ngalawan, Serdang Bedagai, Sumatera Utara, menjelaskan kepada SH, Jumat (8/3) di Jakarta, awal dari perjuangannya karena melihat banyaknya nelayan yang terjerat utang pada rentenir dengan bunga 20-40 persen.

Karena itu ia menggagas pembentukan koperasi simpan pinjam Credit Union (CU) Muara Tanjung yang meminjamkan uang Rp 3-5 juta untuk setiap nelayan dengan bunga 3 persen menurun dan tanpa agunan. Setiap tahun juga ada pembagian keuntungan bagi 22 anggotanya.

Sejak 2005, ibu dua anak yang mengetuai Kelompok Perempuan Nelayan Muara Tanjung ini juga mengajak masyarakat menanam mangrove yang kini sudah seluas 12 hektare dan membentengi pesisir sepanjang pantai Desa Sei Nagalawan.

Berkat hutan bakau itu, kehidupan yang telah hilang menjelma kembali. Sekarang, warga mudah menemukan kepiting batu di sela akar mangrove. Ikan Semilan, kerang lokan, dan ikan lainnya pun bermunculan di sekitar pantai. Uniknya lagi, kelompok perempuan nelayan ini mengolah mangrove menjadi makanan. Buah mangrove pidada direka-reka menjadi sirup, dari mangrove api-api menjadi dodol dan tepung kue.

Desa Tandus

“Srikandi” juga dipunyai oleh desa tandus di Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta. Suparjiyem (52) memelopori pendirian Kelompok Wanita Tani (KWT) Menur sejak 1989 di Desa Wareng, Kecamatan Wonosari. Kini, para perempuan di sana berani menyampaikan pendapat dalam forum pertanian dan mempertanyakan kebijakan yang tidak mendukung sektor pangan.

KWT Menur juga memopulerkan kembali umbi-umbian yang mudah ditanam di Wareng. Mereka sudah menghasilkan tepung kasava dari singkong dan tiwul siap saji (dari tepung kasava), tepung ganyong, gembili, gadung, ubi kelapa, dan ubi jalar ungu.

Lain lagi dengan Sitti Rahmah (41). Kelompok Tani Perempuan Pita Aksi (KWT Pita Aksi) yang dibentuknya pada 2010 mengembangkan tanaman sayuran organik seperti sawi, kangkung, seledri, terong hijau, kacang hijau. Hasilnya adalah penghematan. Kalau dulu Rahmah membayar Rp 5.000 tiap hari untuk membeli sayur, sekarang malah menghasilkan hingga Rp 500.000 per bulan dari penjualan sayuran organik dari kebun sendiri.

Komunitas itu menanam padi air asin organik di “lahan tidur” yang sudah sekitar 20 tahun hanya ditanami ubi jalar di musim kemarau. Kini, para perempuan di desanya, Desa Pitu Sunggu, Kecamatan Ma’rang, Kabupaten Pangkajene, dan Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan, diperhitungkan oleh kaum lelaki, bahkan terlibat dalam musyawarah rencana pembangunan (musrembang).

Srikandi lainnya adalah Mama Rebecca di Samabusa, Nabire, Papua. Setelah suaminya meninggal pada 1992 padahal ada tiga anak yang masih bersekolah, Rebecca berkebun dengan menanam singkong, bete, ubi, talas, dan sayur-sayuran.

Melalui kelompok PKK dia memotivasi para ibu tentang pentingnya kemandirian pangan supaya tidak membeli beras yang mahal. Untuk itu dia merelakan sebagian lahannya untuk dijadikan kebun bersama. Ada 21 perempuan yang bergabung, berasal dari suku Wate, Dani, Serui, dan Biak; mayoritas dari mereka adalah janda.

Siti Rofi’ah (46), warga Pulau Lembata, membuat kebun percontohan pangan lokal seluas 2 hektare di Lewoleba, Kabupaten Lembata. Ia menanaminya dengan padi, sorghum, juwawut, jelai, jagung, kacang-kacangan, dan umbi-umbian. “Itu karena pangan lokal hampir hilang. Sekitar 90 persen kebutuhan pangan Lembata datang dari luar,” katanya.

Sebelum pindah ke Lembata mengikuti suaminya, Siti memimpin Aliansi Petani Padi Lembor (Appel) di Manggarai Barat sejak 2008. Appel berhasil meningkatkan kualitas padi, lumbung pangan, dan simpan pinjam, juga memengaruhi keputusan Bupati Manggarai Barat tentang pengembangan pangan lokal dan program beras miskin (raskin).

“Kami mewajibkan pemerintah membeli beras hasil Lembor yang lebih bagus daripada beras dari Jawa dan Makassar, untuk dibagikan sebagai Raskin di kawasan ini,” lanjut Siti. Maka sejak 2010, Pemda Manggarai Barat membeli beras Lembor dari pusat-pusat penggilingan padi Lembor.

Pendidikan dan Kesehatan

Tentang Meilani Siahaan (28) lain lagi ceritanya. Dia adalah sarjana psikologi dari Yayasan Administrasi Indonesia (YAI) Jakarta yang berkiprah di bidang pendidikan untuk kaum miskin kota. Yang dia geluti saat ini playgroup dan TK (taman kanak-kanak) untuk anak umur 3-7 tahun. Ada sekitar 60 bocah yang bergantung di sana, di Sekolah Tunas Merah Putih.

Sekolah itu terletak di Tanjung Lengkong, Kelurahan Bidara Cina, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur. Jadi, pastilah murid-muridnya tinggal di seputar area itu, di daerah rawan banjir karena dekat Kali Ciliwung. Murid cukup bayar Rp 80.000 per tahun untuk membeli map berisi pensil, kerayon, buku gambar, dan alat tulis lain, serta uang pendaftaran. Ongkos Rp 80.000 itu dibayarkan separuh dulu, kemudian sisanya dicicil.

Bisa dibayangkan, Meilani pasti mengajar tanpa honor. Betul sekali! Meilani dan dua guru lainnya, yakni Yuli dan Lili memang tidak menerima bayaran. Padahal mereka bekerja saban hari dari pukul 07.30-11.00, disambung lagi dengan kegiatan bimbingan belajar (bimbel) sampai pukul 15.00.

Sekolah itu didirikan pada tahun 2007 oleh Wanda Warouw, dan Meilani adalah relawannya. Lantas pasti timbul pertanyaan: dari mana modal untuk membiayai pengajaran itu? Wanda, Meilani, Yuli, dan Lili hanya bermodalkan ketulusan. Mereka memberikan hati mereka untuk para murid dari keluarga tak mampu.

Perempuan “perkasa” lainnya adalah Salamah (42), yang sampai dikejar-kejar satpam demi memperjuangkan pasien miskin supaya dirawat di rumah sakit. Meski belum terlalu lama bergabung dalam Dewan Kesehatan Rakyat (DKR), sudah banyak masyarakat miskin di Jakarta Utara yang terbantu olehnya.

Kepada SH, dia menceritakan setahun lalu sekitar pukul 02.00 ada seorang pasien yang sudah berjam-jam berada di Instalasi Gawat Darurat (IGD) sebuah rumah sakit di Jakarta Utara. Meski dokter di IGD menyuruh pasien itu dipindah ke ruang perawatan, ternyata oleh petugas belum juga dipindahkan dengan alasan kamar penuh.

“Akhirnya saya nekat keliling cari kamar yang ada tempat tidur kosongnya. Ada lima kasur kosong, dua di lantai tiga dan tiga di lantai delapan,” katanya. Ia pun membawa bantal yang ada di kasur itu lalu membawanya ke Bagian Admisi untuk diperlihatkan bahwa masih ada kamar kosong. Saat membawa bantal itulah dia dihalang-halangi dan dikejar satpam.

“Sampai di Bagian Admisi, petugasnya berdalih bahwa kelima kasur itu sudah di-booking. Lalu saya tanya, ini rumah sakit atau hotel? Akhirnya mereka mempersilakan pasien saya masuk ke kamar di lantai delapan,” lanjut Salamah.

Ibu tiga anak ini berharap pemerintah memperhatikan nasib warga miskin terutama yang sedang sakit. Namun, menurut warga Koja, Jakarta Utara ini, masih banyak warga Jakarta Utara yang belum memahami hak mereka untuk mendapatkan jaminan kesehatan dari pemerintah karena kurang sosialisasi dari RT dan RW.

Sementara itu Hairiah, SH, MH bisa disebut sebagai pejuang hak asasi perempuan. Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Kalimantan Barat. Perempuan kelahiran 27 Maret 1966 ini selalu berjuang membela kaum perempuan sejak 1990-an. Bermula ketika dia melihat ada perdagangan perempuan untuk dikirim ke luar negeri.

Pada 17 Januari 1997, ibu dua anak ini mendirikan Lembaga Bantuan Hukum Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH PIK) Pontianak untuk mengatasi permasalahan tenaga kerja wanita (TKW). Namun dalam perjuangannya ada kendala, di mana dia sering diancam para calo di perbatasan Malaysia-Indonesia yang hendak mengirimkan TKW. Untuk mengatasinya, Hairiah bekerja sama dengan institusi lain.

Apakah semudah itu Hairiah mewujudkan cita-citanya menyejajarkan kesetaraan gender perempuan dengan lelaki? Jangankan Hairiah, para perempuan yang memperjuangkan kebutuhan pokok, seperti Suparjiyem dari Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, masih mendapat tantangan dari pemerintah.Perangkat desa kurang mendukung pengadaan lahan untuk percontohan. Selain itu, belum ada alat untuk membuat tepung dari umbi-umbian supaya bisa diolah menjadi penganan lain.

Begitu juga Sitti Rahmah, warga Desa Pitu Sunggu, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan masih terkendala oleh terbatasnya ketersediaan pupuk organik yang masih diproses secara manual, faktor cuaca yang membuat tanaman tergenang, dan tantangan sosial berupa pertanyaan kaum lelaki mengapa perempuan beraktivitas. Dukungan dari perangkat desa pun masih terbatas. Itulah perempuan. (Naomi Siagian/Saiful Rizal/CR-35)

Sumber : Sinar Harapan

Kiara: Pemerintah Perlu Perhatikan Perempuan Nelayan

Pekanbaru, (antarariau.com) – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mengisyaratkan untuk perlunya pemerintah memberikan perhatian lebih terhadap perempuan nelayan karena mereka telah berkontribusi lebih dari 48 persen untuk menopang kebutuhan ekonomi keluarga.

“Hal ini ditandai dengan selain berperan penting dalam proses pengolahan dan pemasaran, perempuan nelayan berperan sebagai penyedia dan pelestari pangan, serta pengusaha dalam kegiatan pengolahan ikan,” kata Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA, dalam surat elektroniknya diterima Antara Pekanbaru, Jumat.

Ia mengatakan itu terkait, masyarakat dunia memperingati Hari Perempuan sedunia tiap 8 Maret sejak awal abad XIX dilatari oleh perjuangan hak berpolitik kaum perempuan.

Menurut dia, berbagai prestasi yang ditoreh perempuan nelayan seperti Jumiati, perempuan nelayan asal Serdang Bedagai, Sumatera Utara yang menggerakkan perempuan nelayan di sekitarnya untuk merehabilitasi hutan mangrove seluas 5 hektar.

Selain itu mengelola usaha ekonomi seperti memproduksi kerupuk jeruju, dan mengolah hasil tangkapan ikan nelayan.

“Kegiatan ini mampu menggerakkan ekonomi perempuan dan menambah pendapatan keluarga,” katanya.

Disamping itu, Habibah di Desa Marunda Kepu, Kelurahan Marunda, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, yang menggerakkan perempuan untuk mengupas kerang guna menambah pendapatan ekonomi keluarga di tengah maraknya praktek pengkaplingan wilayah pesisir lewat reklamasi pantai dan rencana tanggul laut raksasa.

Keduanya juga membuka usaha ekonomi produktif seperti koperasi simpan-pinjam bagi anggotanya.

“Ironisnya, pengakuan dan perlindungan dari negara masih belum optimal menyangkut peran perempuan. Bahkan perempuan nelayan justru rentan dikriminalisasi lewat Pasal 89 jo Pasal 141 UU Pangan,” katanya.

Dalam pasal 89 jo pasal 141 Undang-Undang Pangan menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja memperdagangkan pangan yang tidak sesuai dengan keamanan pangan dan mutu pangan yang tercantum dalam lebel kemasan pangan bisa diancam pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp4 miliar.

Bahkan, dalam UU Nomor 45 tahun 2009 tentang Perikanan maupun UU Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan, misalnya, terkesan negara belum maksimal memberikan penghargaan terhadap peran besar perempuan dalam penyediaan dan pelestarian pangan perikanan.

Karena itu, harapnya, momentum Hari Perempuan sedunia 2013 harus dipergunakan oleh negara untuk menghubungkan kebijakan nasional dan daerah agar dapat memenuhi dan melindungi hak-hak dasar perempuan, khususnya perempuan di sektor perikanan.

Disamping itu,  melibatkan kaum perempuan dalam perumusan kebijakan, baik di tingkat lokal maupun nasional dan  meningkatkan kapasitas perempuan dalam aktivitas perikanan tradisional.

Sebab, dalam perikanan tradisional perempuan memegang peran penting dalam pemenuhan hak atas pangan perikanan. Perempuan tidak hanya berperan membantu laki-laki dalam kebutuhan dasarnya, tetapi memberikan kontribusi besar dalam mata rantai pangan perikanan tradisional.

Hiungga dalam setiap tahapan usaha perikanan, baik tangkap maupun budidaya, yang meliputi praproduksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran kaum perempuan berperan.

Berdasarkan data FAO tahun 2008 menunjukkan data dari 86 negara bahwa 5,4 juta perempuan bekerja sebagai nelayan dan pembudidaya. Jumlah ini setara dengan 12 persen dari jumlah pekerja di sektor perikanan dunia.

Di Cina dan India, sebanyak 21 dan 24 persen perempuan bekerja sebagai nelayan dan pembudidaya. Sementara di dalam kegiatan perikanan budidaya, sebanyak 42 persen perempuan Indonesia terlibat aktif dari hulu ke hilir. Di Cina dan Vietnam, masing-masing sebesar 33 dan 80 persen (Kusabe dan Kelker, 2011).

Tujuh Perempuan Pejuang Pangan

Jakarta – Dalam memperingati Hari Perempuan Internasional, yang jatuh pada 8 Maret, Oxfam bekerja sama dengan Aliansi Desa Sejartera (ADS), menghadirkan tujuh perempuan pejuang pangan dari seluruh Indonesia.

“Tujuh ini hanya contoh. Mereka itu tujuh di antara jutaan,” ujar Nazla Mariza, Campaign and Advocacy Coordinator Oxfam.

Ia menambahkan perempuan perempuan punya peran besar berkontribusi dalam pangan. Di sektor perikanan, perempuan nelayan berkontribusi 48 persen untuk ekonomi keluarga setiap bulannya, sedangkan di sektor pertanian mereka berkontribusi 54 persen.

Tejo Wahyu Jatmiko dari ADS menambahkan, Perempuan itu tidak diakui sebagai nelayan di negeri ini. Pengakuan sebagai petani pun hanya sedikit.

“Karena yang mendapatkan pelatihan, akses kredit, kecenderungannya lebih condong ke laki-laki padahal potensinya luar biasa,” imbuhnya.

Tujuh Perempuan Pejuang Pangan ini terdiri dari petani dan nelayan.

“Mereka bisa menyediakan pangan di tingkat keluarga, bahkan desa. Mereka bahkan bisa memengaruhi kebijakan tingkat kabupaten,” tambah Tejo.

Siti Rofi’ah, salah satu dari pejuang pangan ini, contohnya. Ia mempelopori pembuatan kebun percontohan pangan seluas dua hektar di Lewoleba, Kabupaten Lembata. Sebelumnya, ia pernah memimpin Aliansi Petani Padi Lembor (APPEL). Di bawah kepemimpinannya, ia berhasil mengupayakan penguatan ekonomi anggotanya, yang berjumlah 530 di mana separuhnya ialah perempuan, melalui peningkatan kualitas padi, lumbung pangan dan simpan pinjam. APPEL juga berhasil memengaruhi keputusan Bupati Manggarai Barat tentang pengembangan pangan lokal dan program beras miskin (Raskin).

Selain membantu ekonomi, kebersihan lingkungan menjadi terjaga. Salah satu yang melakukan ini ialah, Siti Rahmah, pembudidaya sayuran ramah lingkungan. Perempuan dari Kecamatan Ma’rang, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan ini, baru belajar bertani organik empat tahun. Ia memanfaatkan sampah organik, teutama daun, rumput, dan kotoran kerbau, untuk dijadikan pupuk dan pestisida.

“Lingkungan jadi bersih dan sehat. Pupuk organik kan bisa bikin sehat,” ujarnya.

Selain mereka, empat orang pejuang lainnya ialah Jumiati, Habibah, Suparjiyem, Marlina Rambu Meha, dan Mama Robeka. Jumiati ialah nelayan perempuuan dari Desa Sei Ngalawan, Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Ia mengembangkan tujuh hektar mangrove untuk ekowisata dan mengolah buah serta daunnya menjadi dodol, tepung kue, kerupuk bahkan teh dan sirup.

Habibah, salah satu nelayan yang tersisa di Marunda Kepu, Jakarta Utara. Ia terus menghasilkan pangan walaupun terhimpit reklamasi pantai dan pencemaran laut.

Suparjiyem, petani lulusan Sekolah Menengah Atas asal Gunung Kidul, Yogyakarta. Ia berbagi berbagi pengetahuan tentang pola tanam kepada petani sekitar dan aktif mengadvokasi tanaman pangan pengganti beras.

Marlina Rambu Meha ialah pegiat tani dari Sumba Timur, NTT. Ia melestarikan tenun dan 12 jenis tanaman pangan lokal demi mendorong kemandirian perempuan di tengah ketatnya budaya. Mama Robeka dari Nabire, Papua. Ia membentuk kelompok tani, yang beranggotakan 21 janda dan menghibahkan kebunnya untuk dikelola bersama demi meningkatkan kemandirian petani.

Mereka kemudian membuat petisi. Dua diantaranya, Siti Rofi’ah dan Suparijem, mendatangi komisi empat DPR RI yang membawahi bidang pertanian untuk membacakan petisi yang mereka buat mengenai pertanian dan perempuan.

Kendala Perempuan Nelayan dan Petani
“Pertama kali kami usaha saja, banyak sekali yang harus kami lakukan. Bagaimana saya harus mendekati suami dari ibu-ibu yang lain agar mau membantu, membagi-bagi pengetahuannya, apalagi dalam menenenun dan berkebun,” kata Marlina.

Di daerahnya, para suami lah yang mencari penghasilan. Para perempuan pun sangat tunduk pada perintah suami. Perlu waktu yang tidak sebentar agar bisa mengajak perempuan tersebut bergabung.

Kesulitan pun ditemui oleh Siti Rahmah. Sama seperti di Marlina, harus ada izin dari suami untuk melakukan sesuatu.

“Kalau daerah kami, permpuan dianggap rendah. Perempuan itu tidak bisa apa-apa dan tidak bisa berkegiatan,” tuturnya.

Saya haruh bekerja keras untuk memperlihatkan hasilnya, akhirnya mereka tertarik dan tergerak hatinya,” tambahnya.

 Penulis: Yosie Sesbania Gewap/TK

Tujuh Wanita Pejuang Pangan Berbagi Cerita di Hari Perempuan Sedunia

LENSAINDONESIA.COM: Menyambut hari Perempuan Sedunia yang diperingati tiap tanggal 8 Maret, sebanyak 7 perempuan petani dan nelayan dari 6 propinsi hadir di Jakarta untuk berbagi cerita tentang perjuangan mereka di tengah rutinnya pemberitaan krisis harga pangan, gagal panen dan sulitnya pemerintah mencukupi pangan Indonesia.

Mereka berjuang dan berhasil menghadirkan pangan bagi masyarakat sekitarnya. Bahkan mereka membantu keluar dari ancaman kelaparan.

Baca juga: FOTO: Peringatan Hari Perempuan Se-Dunia di Depan Istana Negara danAryani: “Success is a Mind-Set”

Tujuh Perempuan Pejuang Pangan yang ide, kreativitas dan semangatnya telah menginspirasi banyak orang tersebut adalah Jumati, Habibah, Suparijiyem, Marlina Rambu Meha, Siti Rofiah, Siti Rahmah, dan Mama Robeka.

Jumati, nelayan perempuan dari Desa Sei Ngalawan, Serdang Bedagai, Sumatera Utara yang menghidupkan berbagai kegiatan ekonomi di desanya sehingga ibu-ibu keluar dari kemiskinan dan ancaman kelaparan.

Habibah, adalah salah satu nelayan yang tersisa di Marunda Kepu, Jakarta Utara yang terus menghasilkan pangan walau terhimpit reklamasi pantai dan pencemaran laut.

Suparjiyem, petani kaya pengalaman dari Gunung Kidul, Yogyakarta, yang rajin berbagi pengetahuan tentang pola tanam kepada petani sekitar dan aktif mengadvokasi kebijakan pemerintah.

Lalu Marlina Rambu Meha, merupakan pegiat tani dari Sumba Timur, NTT yang melestarikan tenun dan 12 jenis pangan lokal demi mendorong kemandirian perempuan di tengah “pagar’ budaya yang ketat.

Siti Rofiah, adalah perempuan yang mendorong kemandirian petani di dua wilayah di Manggarai Barat dan Lembata, NTT untuk membudidayakan pangan lokal yang mulai terlupakan.

Sedangkan Siti Rahmah, petani sayuran organik yang bercita-cita mendorong agar teknik budidaya tanaman pangan dan tambak di kabupatennya menjadi organik. Serta Mama Robeka, petani yang membentuk kelompok beranggotakan 21 janda dan menghibahkan kebunnya untuk dikelola oleh mereka secara bersama-sama demi meningkatkan kemandirian kaum perempuan.

Mereka adalah contoh dari jutaan perempuan petani dan nelayan di Indonesia yang memiliki perjuangan yang serupa. Faktanya, perempuan secara mayoritas bertanggung jawab dalam produksi pangan khususnya di negara-negara berkembang. Di sektor perikanan, perempuan nelayan berkontribusi hingga 48 persen untuk ekonomi keluarga setiap bulannya.

Sedangkan di sektor pertanian, perempuan berkontribusi hingga 54 persen untuk menjalankan roda perekonomian keluarga.

Jumiati dalam curhatannya merasa miris melihat masyarakat senang mendapat bantuan beras untuk keluarga miskin (raskin) dari luar padahal banyak potensi lokal yang bisa dikembangkan.

“Kelompok kami mengembangkan mangrove seluas 7 hektar untuk ekowisata dan mengolah buah serta daunnya menjadi dodol, tepung kue, kerupuk bahkan teh dan sirup. Hal ini terbukti meningkatkan perekonomian para ibu disini,” cerita Jumiati,ibu dua anak yang mengetuai Kelompok Perempuan Nelayan Muara Tanjung.

Lain halnya dengan Habibah, yang merasa potensi alam semakin sedikit akibat pembangunan dan industrialisasi yang tidak bersahabat.

“Kami selalu terancam penggusuran dan reklamasi pantai. Saat ini, ikan makin berkurang. Kami hidup dengan menggali qontay (sejenis kerang hijau) di pasir dan mencari kacho (kerang yang ada kakinya) untuk dimakan dan dijual. Jika kami digusur, entah bagaimana kami harus hidup jauh dari laut,” terang Habibah.

“Tolong hentikan reklamasi pantai di Marunda. Karena pesisir yang tersisa inilah satu-satunya sumber mata pencaharian kami,” imbuhnya.

Sementara itu, Dini Widiastuti selaku Economic Justice Lead Oxfam di Indonesia mengatakan perempuan di Indonesia memiliki peran besar dalam produksi pangan. Sayangnya, peran mereka seringkali terlupakan.

“Kami ingin mengajak konsumen untuk menghargai dan mendukung upaya para produsen pangan skala kecil khususnya perempuan. Salah satunya dengan cara mencintai dan mengkonsumsi sumber pangan lokal. Hal itu akan sangat berarti bagi mereka,” kata Dini.

Untuk menghargai perempuan di Indonesia, kata Dini, pihaknya mengajak publik untuk berpartisipasi dalam mengapresiasi ‘Perempuan Pejuang Pangan’ dengan mengikuti kompetisi online bertema Women & Food.

“Setiap orang dapat mengusulkan perempuan pejuang pangan versi mereka dalam bentuk foto. Publik dapat mengirim foto terbaik sebanyak-banyaknya ke emailoxfam7heroes@gmail.com mulai tanggal 8-20 Maret 2013,” ungkap Dini sembari menambahkan untuk keterangan lebih lanjut dapat mengunjungi Facebook Fan Page Grow Indonesia dan twitter @oxfamindonesia.@rudi

Malam Refleksi “Jangan Kriminalisasi dan Ambil Pasir Besi Kami!”

Mispersepsi (miskin, kumuh, dst) yang ditujukan kepada nelayan harus dihentikan. Karena sejatinya masyarakat nelayan telah berproses untuk mengubahnya menjadi: pelestari ekosistem pesisir dan laut, laskar kedaulatan bangsa, dan taat  hukum demi kebaikan bersama. Negara harus hadir melayani hak-hak konstitusi masyarakat nelayan. Dalam rangka memperingati Hari Nelayan Indonesia 2013, Nelayan Jawa Tengah, LBH Semarang dan KIARA menyelenggarakan Malam Refleksi “Jangan Kriminalisasi dan Ambil Pasir Besi Kami!” di Taman KB (dekat Simpang Lima) Semarang, Minggu (7/04) mulai pukul 19.00-22.00 WIB dengan rangkaian acara: Pembacaan Puisi Nelayan untuk Presiden, pemutaran film “Jangan Ambil Pasir Besi Kami!”, dan penggalangan 1.000 dukungan publik, disertai penerangan 1.000 lilin untuk masyarakat nelayan. Selamat Hari Nelayan INDONESIA! Kontak: Andiyono (LBH Semarang