Para Srikandi di Sudut Negeri
Gelombang industrialisasi dan ekspansi ekonomi yang menyebabkan munculnya banyak protes mengenai kondisi kerja di abad ke-20 rupanya tidak sia-sia.
Kaum perempuan kemudian bangkit, menggagas peringatan Hari Perempuan Internasional setiap tanggal 8 Maret yang sejak 1975 disponsori Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Hari besar bagi perempuan ini mengingatkan dunia bahwa perempuan pun bisa berhasil di bidang ekonomi, politik, sosial, iptek, dan sebagainya. Malah, di Indonesia pun peringatan itu menginspirasi banyak kaum hawa.
Mereka yang sebelumnya dianggap lemah, nyatanya menjadi pengendali kehidupan keluarga. Kesadaran itu kemudian membuat mereka saling memotivasi kemandirian, yang lantas disebut kemandirian perempuan.
Jumiati (32), nelayan perempuan dari Desa Sei Ngalawan, Serdang Bedagai, Sumatera Utara, adalah salah satu di antara mereka. Bersama enam orang lainnya, dia dipilih oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Oxfam sebagai pejuang pangan karena memberdayakan segala sumber daya untuk menghidupkan pangan masyarakat sekitar.
Keenam orang lain yang merupakan petani dan nelayan itu adalah Habibah, nelayan di Marunda Kepu, Jakarta Utara, yang menghasilkan pangan walau terimpit reklamasi pantai dan pencemaran laut; Suparjiyem, petani Gunung Kidul, DI Yogyakarta, yang rajin berbagi pengetahuan tentang pola tanam kepada petani sekitar dan aktif mengadvokasi kebijakan pemerintah.
Selain itu, ada Marlina Rambu Meha, petani dari Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang melestarikan tenun dan 12 jenis pangan lokal demi mendorong kemandirian perempuan di tengah ketatnya budaya; dan Siti Rofiah yang memotivasi kemandirian petani di Manggarai Barat dan Lembata, NTT untuk membudidayakan pangan lokal yang mulai terlupakan.
Ada pula Siti Rahmah, petani sayuran organik yang bercita-cita teknik budi daya tanaman pangan dan tambak menjadi organik. Ada pula Mama Rebecca, petani yang membentuk kelompok beranggotakan 21 janda dan menghibahkan kebunnya untuk dikelola secara bersama-sama.
Ketujuh pejuang pangan itu mendobrak kesulitan pemerintah Indonesia dalam mencukupi kebutuhan pangan. Faktanya, menurut Oxfam, perempuan secara mayoritas bertanggung jawab dalam produksi pangan, khususnya di negara-negara berkembang.
Di sektor perikanan, perempuan nelayan berkontribusi hingga 48 persen untuk ekonomi keluarga. Adapun di sektor pertanian berkontribusi sampai 54 persen untuk perekonomian keluarga.
Jumiati, nelayan dari Desa Sei Ngalawan, Serdang Bedagai, Sumatera Utara, menjelaskan kepada SH, Jumat (8/3) di Jakarta, awal dari perjuangannya karena melihat banyaknya nelayan yang terjerat utang pada rentenir dengan bunga 20-40 persen.
Karena itu ia menggagas pembentukan koperasi simpan pinjam Credit Union (CU) Muara Tanjung yang meminjamkan uang Rp 3-5 juta untuk setiap nelayan dengan bunga 3 persen menurun dan tanpa agunan. Setiap tahun juga ada pembagian keuntungan bagi 22 anggotanya.
Sejak 2005, ibu dua anak yang mengetuai Kelompok Perempuan Nelayan Muara Tanjung ini juga mengajak masyarakat menanam mangrove yang kini sudah seluas 12 hektare dan membentengi pesisir sepanjang pantai Desa Sei Nagalawan.
Berkat hutan bakau itu, kehidupan yang telah hilang menjelma kembali. Sekarang, warga mudah menemukan kepiting batu di sela akar mangrove. Ikan Semilan, kerang lokan, dan ikan lainnya pun bermunculan di sekitar pantai. Uniknya lagi, kelompok perempuan nelayan ini mengolah mangrove menjadi makanan. Buah mangrove pidada direka-reka menjadi sirup, dari mangrove api-api menjadi dodol dan tepung kue.
Desa Tandus
“Srikandi” juga dipunyai oleh desa tandus di Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta. Suparjiyem (52) memelopori pendirian Kelompok Wanita Tani (KWT) Menur sejak 1989 di Desa Wareng, Kecamatan Wonosari. Kini, para perempuan di sana berani menyampaikan pendapat dalam forum pertanian dan mempertanyakan kebijakan yang tidak mendukung sektor pangan.
KWT Menur juga memopulerkan kembali umbi-umbian yang mudah ditanam di Wareng. Mereka sudah menghasilkan tepung kasava dari singkong dan tiwul siap saji (dari tepung kasava), tepung ganyong, gembili, gadung, ubi kelapa, dan ubi jalar ungu.
Lain lagi dengan Sitti Rahmah (41). Kelompok Tani Perempuan Pita Aksi (KWT Pita Aksi) yang dibentuknya pada 2010 mengembangkan tanaman sayuran organik seperti sawi, kangkung, seledri, terong hijau, kacang hijau. Hasilnya adalah penghematan. Kalau dulu Rahmah membayar Rp 5.000 tiap hari untuk membeli sayur, sekarang malah menghasilkan hingga Rp 500.000 per bulan dari penjualan sayuran organik dari kebun sendiri.
Komunitas itu menanam padi air asin organik di “lahan tidur” yang sudah sekitar 20 tahun hanya ditanami ubi jalar di musim kemarau. Kini, para perempuan di desanya, Desa Pitu Sunggu, Kecamatan Ma’rang, Kabupaten Pangkajene, dan Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan, diperhitungkan oleh kaum lelaki, bahkan terlibat dalam musyawarah rencana pembangunan (musrembang).
Srikandi lainnya adalah Mama Rebecca di Samabusa, Nabire, Papua. Setelah suaminya meninggal pada 1992 padahal ada tiga anak yang masih bersekolah, Rebecca berkebun dengan menanam singkong, bete, ubi, talas, dan sayur-sayuran.
Melalui kelompok PKK dia memotivasi para ibu tentang pentingnya kemandirian pangan supaya tidak membeli beras yang mahal. Untuk itu dia merelakan sebagian lahannya untuk dijadikan kebun bersama. Ada 21 perempuan yang bergabung, berasal dari suku Wate, Dani, Serui, dan Biak; mayoritas dari mereka adalah janda.
Siti Rofi’ah (46), warga Pulau Lembata, membuat kebun percontohan pangan lokal seluas 2 hektare di Lewoleba, Kabupaten Lembata. Ia menanaminya dengan padi, sorghum, juwawut, jelai, jagung, kacang-kacangan, dan umbi-umbian. “Itu karena pangan lokal hampir hilang. Sekitar 90 persen kebutuhan pangan Lembata datang dari luar,” katanya.
Sebelum pindah ke Lembata mengikuti suaminya, Siti memimpin Aliansi Petani Padi Lembor (Appel) di Manggarai Barat sejak 2008. Appel berhasil meningkatkan kualitas padi, lumbung pangan, dan simpan pinjam, juga memengaruhi keputusan Bupati Manggarai Barat tentang pengembangan pangan lokal dan program beras miskin (raskin).
“Kami mewajibkan pemerintah membeli beras hasil Lembor yang lebih bagus daripada beras dari Jawa dan Makassar, untuk dibagikan sebagai Raskin di kawasan ini,” lanjut Siti. Maka sejak 2010, Pemda Manggarai Barat membeli beras Lembor dari pusat-pusat penggilingan padi Lembor.
Tentang Meilani Siahaan (28) lain lagi ceritanya. Dia adalah sarjana psikologi dari Yayasan Administrasi Indonesia (YAI) Jakarta yang berkiprah di bidang pendidikan untuk kaum miskin kota. Yang dia geluti saat ini playgroup dan TK (taman kanak-kanak) untuk anak umur 3-7 tahun. Ada sekitar 60 bocah yang bergantung di sana, di Sekolah Tunas Merah Putih.
Sekolah itu terletak di Tanjung Lengkong, Kelurahan Bidara Cina, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur. Jadi, pastilah murid-muridnya tinggal di seputar area itu, di daerah rawan banjir karena dekat Kali Ciliwung. Murid cukup bayar Rp 80.000 per tahun untuk membeli map berisi pensil, kerayon, buku gambar, dan alat tulis lain, serta uang pendaftaran. Ongkos Rp 80.000 itu dibayarkan separuh dulu, kemudian sisanya dicicil.
Bisa dibayangkan, Meilani pasti mengajar tanpa honor. Betul sekali! Meilani dan dua guru lainnya, yakni Yuli dan Lili memang tidak menerima bayaran. Padahal mereka bekerja saban hari dari pukul 07.30-11.00, disambung lagi dengan kegiatan bimbingan belajar (bimbel) sampai pukul 15.00.
Sekolah itu didirikan pada tahun 2007 oleh Wanda Warouw, dan Meilani adalah relawannya. Lantas pasti timbul pertanyaan: dari mana modal untuk membiayai pengajaran itu? Wanda, Meilani, Yuli, dan Lili hanya bermodalkan ketulusan. Mereka memberikan hati mereka untuk para murid dari keluarga tak mampu.
Perempuan “perkasa” lainnya adalah Salamah (42), yang sampai dikejar-kejar satpam demi memperjuangkan pasien miskin supaya dirawat di rumah sakit. Meski belum terlalu lama bergabung dalam Dewan Kesehatan Rakyat (DKR), sudah banyak masyarakat miskin di Jakarta Utara yang terbantu olehnya.
Kepada SH, dia menceritakan setahun lalu sekitar pukul 02.00 ada seorang pasien yang sudah berjam-jam berada di Instalasi Gawat Darurat (IGD) sebuah rumah sakit di Jakarta Utara. Meski dokter di IGD menyuruh pasien itu dipindah ke ruang perawatan, ternyata oleh petugas belum juga dipindahkan dengan alasan kamar penuh.
“Akhirnya saya nekat keliling cari kamar yang ada tempat tidur kosongnya. Ada lima kasur kosong, dua di lantai tiga dan tiga di lantai delapan,” katanya. Ia pun membawa bantal yang ada di kasur itu lalu membawanya ke Bagian Admisi untuk diperlihatkan bahwa masih ada kamar kosong. Saat membawa bantal itulah dia dihalang-halangi dan dikejar satpam.
“Sampai di Bagian Admisi, petugasnya berdalih bahwa kelima kasur itu sudah di-booking. Lalu saya tanya, ini rumah sakit atau hotel? Akhirnya mereka mempersilakan pasien saya masuk ke kamar di lantai delapan,” lanjut Salamah.
Ibu tiga anak ini berharap pemerintah memperhatikan nasib warga miskin terutama yang sedang sakit. Namun, menurut warga Koja, Jakarta Utara ini, masih banyak warga Jakarta Utara yang belum memahami hak mereka untuk mendapatkan jaminan kesehatan dari pemerintah karena kurang sosialisasi dari RT dan RW.
Sementara itu Hairiah, SH, MH bisa disebut sebagai pejuang hak asasi perempuan. Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Kalimantan Barat. Perempuan kelahiran 27 Maret 1966 ini selalu berjuang membela kaum perempuan sejak 1990-an. Bermula ketika dia melihat ada perdagangan perempuan untuk dikirim ke luar negeri.
Pada 17 Januari 1997, ibu dua anak ini mendirikan Lembaga Bantuan Hukum Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH PIK) Pontianak untuk mengatasi permasalahan tenaga kerja wanita (TKW). Namun dalam perjuangannya ada kendala, di mana dia sering diancam para calo di perbatasan Malaysia-Indonesia yang hendak mengirimkan TKW. Untuk mengatasinya, Hairiah bekerja sama dengan institusi lain.
Apakah semudah itu Hairiah mewujudkan cita-citanya menyejajarkan kesetaraan gender perempuan dengan lelaki? Jangankan Hairiah, para perempuan yang memperjuangkan kebutuhan pokok, seperti Suparjiyem dari Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, masih mendapat tantangan dari pemerintah.Perangkat desa kurang mendukung pengadaan lahan untuk percontohan. Selain itu, belum ada alat untuk membuat tepung dari umbi-umbian supaya bisa diolah menjadi penganan lain.
Begitu juga Sitti Rahmah, warga Desa Pitu Sunggu, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan masih terkendala oleh terbatasnya ketersediaan pupuk organik yang masih diproses secara manual, faktor cuaca yang membuat tanaman tergenang, dan tantangan sosial berupa pertanyaan kaum lelaki mengapa perempuan beraktivitas. Dukungan dari perangkat desa pun masih terbatas. Itulah perempuan. (Naomi Siagian/Saiful Rizal/CR-35)