PERMEN USAHA PERIKANAN TANGKAP No.30/2012: MELANGGAR UU PERIKANAN

Siaran Pers KIARA.

Jakarta, 30 April 2013. Pada tanggal 27 Desember 2012 lalu, Menteri Kelautan dan Perikanan RI menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan Perikanan No. 30 Tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Pada Permen No. 30 Tahun 2012 yang terdiri dari 94 pasal ini, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menemukan pasal-pasal yang bertentangan dengan UU Perikanan No. 45 Tahun 2009.

Pasal-pasal dalam Permen No. 30 Tahun 2012 yang bertentangan dengan UU Perikanan tersebut dapat disimak pada Tabel berikut.     

PERATURAN MENTERI KELAUTAN PERIKANAN NO. 30 TAHUN 2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP

UU PERIKANAN NO. 45 TAHUN 2009

 

Alih Muatan (Transhipment) Pasal 69 Permen No. 30 Tahun 2012

(1) Setiap kapal penangkap ikan dapat melakukan transhipment ke kapal penangkap ikan dan/atau ke kapal pengangkut ikan.

(3) Dalam pelaksanaan transhipment, ikan wajib didaratkan di pelabuhan pangkalan sesuai SIPI atau SIKPI dan tidak dibawa keluar negeri, kecuali bagi kapal penangkap ikan yang menggunakan alat penangkapan ikan purse seine berukuran diatas 1000 (seribu) GT yang dioperasikan secara tunggal.

 

Pasal 88 Permen No. 30 Tahun 2012

Kapal penangkap ikan berukuran diatas 1.000 (seribu) GT dengan menggunakan alat penangkapan ikan purse seine yang dioperasikan secara tunggal di WPP-NRI dapat mendaratkan ikan di luar pelabuhan pangkalan, baik pelabuhan di dalam negeri maupun pelabuhan di luar negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal, dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. melakukan operasi penangkapan ikan di ZEEI diluar 100 mil;
  2. menempatkan pemantau (observer) di atas kapal; dan
  3. melaporkan rencana dan pelaksanaan pendaratan ikan di pelabuhan di dalam negeri atau di luar negeri kepada Kepala Pelabuhan Pangkalan yang tercantum dalam SIPI

 

Pasal 41 ayat (3) UU Perikanan

No. 45/ 2009:

“Setiap kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan harus mendaratkan ikan tangkapan di pelabuhan perikanan yang ditetapkan atau pelabuhan lainnya yang ditunjuk.”

 

Pasal 41 ayat (4):

“Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan yang tidak melakukan bongkar muat ikan tangkapan di pelabuhan perikanan yang ditetapkan atau pelabuhan lainnya yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa peringatan, pembekuan izin, atau pencabutan izin.”

 

Penjelasan Pasal 41 ayat (4):

“Yang dimaksud dengan “bongkar muat ikan” adalah termasuk juga pendaratan ikan.”

 

Pasal 25B ayat (2) UU Perikanan

No. 45/ 2009:

 “Pengeluaran hasil produksi perikanan ke luar negeri dapat dilakukan apabila kebutuhan dalam negeri telah dipenuhi.”

 

Pasal 69 Permen No. 30 Tahun 2012 bertentangan dengan Pasal 41 UU Perikanan. Pasal 69 membolehkan setiap kapal penangkap ikan guna melakukan alih muatan di atas perairan (transhipment) ke kapal penangkap ikan dan/atau ke kapal pengangkut ikan. Pasal yang sama juga memberikan pengecualian kepada kapal penangkap ikan yang berukuran di atas 1.000 (seribu) GT untuk bisa melakukan alih muatan serta mendaratkan ikan langsung ke luar negeri atau di luar dari pelabuhan yang ditunjuk dalam izin.

Padahal sebelumnya, Pasal 41 UU Perikanan sudah mewajibkan setiap kapal penangkapan dan pengangkut ikan mendaratkan ikan tangkapan di pelabuhan perikanan yang telah ditunjuk dalam izin. Pelaku  yang melanggar kewajiban tersebut mendapat sanksi administrasi berupa peringatan, pembekuan izin dan pencabutan izin.

Selanjutnya Pasal 88 Permen No. 30 Tahun 2012 memberi kelonggaran kepada kapal-kapal penangkap ikan di atas 1.000 GT  yang beroperasi di laut zona ekonomi ekslusif untuk mendaratkan ikan di pelabuhan luar negeri.    Aturan ini bertolak belakang dengan Pasal 25B ayat (2) UU Perikanan yang menetapkan pemenuhan ikan dalam negeri sebagai prioritas.

Pasal 69 dan Pasal 88 membuktikan Permen No. 30/ 2012 melanggar substansi hukum UU Perikanan No. 45 Tahun 2009.

Mida Saragih, Koordinator Pengelolaan Pengetahuan KIARA menegaskan, “KIARA menyayangkan kemunduran kualitas kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan yakni Permen No. 30/ 2012 yang malah mengizinkan kapal-kapal asing melakukan eksploitasi ikan secara terus menerus, bahkan membolehkan penjualan ikan secara gelondongan ke negara lain. Permen 30/ 2012 dapat memacu kekurangan stok ikan untuk konsumsi dan kebutuhan industri domestik.   Dengan begitu, hilirisasi pengolahan ikan sulit terwujud dan lantas mempersempit lapangan pekerjaan di sektor perikanan. Padahal sebelumnya sudah ada UU Perikanan No. 45 Tahun 2009 yang memiliki semangat pemenuhan kebutuhan ikan dalam negeri.”

“Permen No. 30/ 2012 juga berpihak kepada kapal-kapal asing. Pasal 69 Ayat 3 dan Pasal 88 aturan yang sama membolehkan kapal berbobot di atas 1.000 GT untuk mendaratkan dan membawa ikan ke luar negeri. Keuntungan di balik aturan ini adalah terbukanya pintu penjarahan ikan di laut Indonesia dan legitimasi untuk melakukannya. Pihak yang mendapat keuntungan dari Permen No. 30/ 2012 adalah negara-negara yang memiliki kapal-kapal bertonase di atas 1.000 GT seperti Prancis, Jepang dan Spanyol. Sementara Indonesia tidak bakal menikmati keuntungan serupa karena cuma memiliki kapal-kapal berbobot 800 GT ke bawah dan sumber daya ikannya akan dihabisi,”  tegas Mida.

Permen No. 30/ 2012 berpeluang memperburuk tata kelola perikanan nasional. Menteri Kelautan dan Perikanan RI punya pekerjaan rumah agar lekas merevisi pasal-pasal dalam Permen No. 30 Tahun 2012 tersebut, dengan tujuan supaya sejalan dengan semangat pengelolaan perikanan yang lestari, serta pemenuhan ikan domestik sebagaimana dalam UU Perikanan No. 45 Tahun 2009  ***

Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:

Mida Saragih, Koordinator Pengelolaan Pengetahuan

Di +628 13223 0667 3

Selamet Daroyni, Koordinator Divisi Pendidikan dan Penguatan Jaringan

di +62 815 8419 7713

A. Marthin Hadiwinata, Koordinator Divisi Advokasi Hukum dan Kebijakan

Di +62 856 2500 181

 

Sekretariat Nasional Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

Jl. Lengkeng Blok J-5 Perumahan Kalibata Indah Jakarta 12750 Indonesia

Telp. +62 21 7989522/ Faks. +6221 7989543. Email. kiara@kiara.or.id / Website. www.kiara.or.id

Undangan Liputan Aksi Diam Menolak PERMEN KP No. 30/2012

 

Nomor :      / AH / KIARA / I / 2013
Perihal : Undangan Meliput Aksi Diam “Permen KP 30/2012: Legalisasi Pencurian Ikan”

 

Jakarta, 29 April 2013

 

Kepada Yth.

Rekan-Rekan Media Cetak dan Elektronik

di tempat

 

Salam sejahtera untuk kita semua,

Semoga Sahabat-sahabat media senantiasa berada dalam kondisi sehat dan baik sehingga bisa terus berkiprah dalam menyuarakan keadilan untuk masyarakat yang terenggut hak-hak kemanusiaannya, amin.

 

Sejak Desember 2012, Menteri Kelautan dan Perikanan menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan Perikanan No. 30 Tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap (Permen Perikanan Tangkap). Dalam Permen Perikanan Tangkap, pemerintah memberikan kelonggaran kepada pelaku usaha perikanan skala besar baik nasional maupun asing. Aturan ini membolehkan kapal pengangkut ikan di atas 500 GT dan 1.000 GT asal luar negeri untuk ikut mengeksploitasi wilayah perikanan Indonesia (Pasal 31). Kapal penangkap ikan berukuran di atas 1.000 (seribu) GT dengan menggunakan alat penangkapan purse seine dapat membawa hasil tangkapan ikan dan mendaratkannya di luar pelabuhan pangkalan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri (Pasal 88).

 

Setelah membaca keseluruhan substansi Permen 30/ 2012 yang terdiri dari 94 pasal, KIARA menemukan pasal-pasal aturan ini bertentangan dengan kebijakan, baik aturan hukum yang lebih tinggi maupun pasal-pasal yang terdapat di dalam Permen 30/ 2012 itu sendiri. Berkenaan dengan itu, Kami bermaksud mengundang kehadiran rekan-rekan media dan cetak dan elektronik untuk meliput aksi diam yang akan diadakan pada:

Hari/Tanggal : Selasa, 30 April 2013
Waktu : Pukul 13.00 WIB
Tempat : Pintu Gerbang Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik IndonesiaJl. Medan Merdeka Timur No. 16, Jakarta Pusat
Agenda : Aksi Diam, dengan isu Permen KP No. 30/2012: Legalisasi Pencurian Ikan,
Kontak : Marthin 0856 2500 181

 

Demikian undangan ini kami sampaikan. Atas waktu, perhatian, dan kerjasamanya, kami haturkan terima kasih.

 

Hormat kami,

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

 

 

Ahmad Marthin Hadiwinata

Advokasi Hukum

Draf Revisi UU Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil: KIARA: Tetap Mengkapling, Memprivatisasi, dan Mengkriminalisasi

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

Draf Revisi UU Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil:

KIARA: Tetap Mengkapling, Memprivatisasi, dan Mengkriminalisasi

 

Jakarta, 16 April 2013. Draf revisi Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP-PPK) mulai dibahas oleh pemerintah. Dalam hal ini dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia.

Revisi UU PWP-PPK dilakukan untuk menjawab Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap uji materi yang telah dilakukan oleh KIARA dan 8 organisasi masyarakat sipil bersama-sama dengan 27 Nelayan Tradisional. Putusan MK telah dibacakan pada 16 Juni 2011 dengan dua bagian penting, yakni pertama, membatalkan keseluruhan pasal-pasal yang terkait dengan HP-3; dan kedua, MK telah melakukan penilaian terhadap Pasal 14 ayat (1) UU Pesisir yang mengatur mengenai partisipasi masyarakat dalam penyusunan RSWP-3-K, RZWP-3K, RPWP-3-K, dan RAPEP-3-K telah dianggap bertentangan dengan UUD 1945.

Draf revisi UU PWP-PPK mengubah 14 pasal yang telah dibatalkan MK, yakni perubahan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) menjadi konsep perizinan: Izin Pemanfaatan Perairan Pesisir (IP-3) dan Izin Pemanfaatan Ruang Perairan Pesisir (IPRP-2) yang secara prinsip mengubah pendekatan hak menjadi perizinan.

Jika membandingkan definisi dari IP-3 dan IPRP-2 dengan HP-3 di dalam UU PWP-PPK, tidak terdapat perbedaan signifikan. Perbandingan definisinya sebagai berikut:

IP-3[1] IPRP-2[2] HP-3
Izin Pemanfaatan Perairan Pesisir, selanjutnya disebut IP-3, adalah izin yang diberikan untuk memanfaatkan bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir, yang mencakup permukaan laut, kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu, untuk usaha yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Izin pemanfaatan ruang perairan pesisir, selanjutnya disebut IPRP-2, adalah izin yang diberikan untk penetapan ruang lokasi tertentu pada kawasan perairan pesisir sebagai tempat untuk melakukan kegiatan usaha. Hak Pengusahaan Perairan Pesisir, selanjutnya disebut HP-3, adalah hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu.

 

IP-3 dan IPRP-2 dimaksudkan sebagai izin lokasi yang menunjukkan bagian tertentu dari kawasan perairan pesisir sebagai lokasi tempat dilakukan kegiatan usaha. IP-3 dan IPRP-2 memberikan kewenangan dalam melakukan kegiatan usaha pemanfaatan sumber daya perairan pesisir serta penunjukkan lokasi tempat dilakukannya kegiatan usaha. Setelah mendapatkan IP-3 dan IPRP-2 diberikan izin usaha atau hak atas tanah pada perairan pesisir untuk kegiatan usaha tertentu meliputi: a. Perikanan budidaya; b. Bangunan terapung seperti perumahan, rumah makan, dan bagan; c. Sumber tenaga gelombang laut; d. Kawasan konservasi; e. Pemanfaatan sumber daya pemandangan/keindahan laut; dan f. Wisata bahari.

Subyek yang dapat diberikan IP-3

Pasal 18 RUU PWP3K Revisi Pasal 18 UU PWP3K
IP-3 dapat diberikan kepada: (a) orang perseorangan warga Negara Indonesia; (b) Badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; dan (c) dihapuskan HP-3 dapat diberikan kepada: (a) Orang perseorangan warga Negara Indonesia; (b) Badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; atau (c) Masyarakat Adat.

 

Dalam hal penjaminan hutang, IP3 dan IPRP-2 tidak berbeda dengan HP-3 yang dapat dibebani hutang. Berdasarkan Pasal 20 Revisi UU PWP-PPK, IP-3 dan IPRP-2 dapat dijadikan jaminan hutang dengan jaminan fidusia.

Selain itu, terjadi potensi kriminalisasi terhadap subyek pemanfaat perairan pesisir yang melakukan kegiatan usaha di kawasan perairan pesisir tanpa adanya IP-3 yang sah di dalam Pasal 75 draf revisi UU PWP-PPK:

“Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp.  300.000.000,00,- (tiga ratus juta rupiah) setipa Orang yang karena kelalaiannya: (1) Melakukan   kegiatan usaha di wilayah pesisir tanpa IP-3 atau IPRP-2 yang sah; dan/atau (2) Tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4).”

 

Partisipasi Masyarakat

 

Pasal lain yang dibatalkan oleh MK adalah pasal subyek yang dapat berpartisipasi dalam melakukan penyusunan Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dalam draf revisi UU PWP-PPK, keterlibatan masyarakat diakomodir dan dilibatkan dalam usulan penyusunan. Selain itu terdapat mandate untuk memperhatikan ruang perairan pesisir menurut kearifan lokal.

 

Pasal 14 ayat (1) dan ayat (1a) Draf Revisi UU PWP-PPK Pasal 14 ayat (1) UU PWP-PPK
Pasal 14 ayat (1):

Usulan penyusunan RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3-K, dan RAPWP-3-K dilakukan oleh Pemerintah Daerah, dunia usaha, dan masyarakat.

Pasal 14

(1) Usulan penyusunan RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3-K, dan RAPWP-3-K dilakukan oleh Pemerintah Daerah serta dunia usaha.

Pasal 14 ayat (1a):

Usulan penyusunan RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3-K, dan RAPWP-3-K di lingkungan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan ruang perairan pesisir menurut kearifan lokal.

 

Atas dasar itulah, KIARA berpandangan bahwa: pertama, prinsip pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil adalah open acces (akses terbuka) dan common property (milik bersama) atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sehingga dengan adanya IP-3 dan IPRP-2 akan mengkapling wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut. Dengan diberikannya IP-3 dan IPRP-2 di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut, kemudian akan mengeksploitasi wilayah pesisir dengan memberikan Izin kepada subyek hukum baik individu atau badan hukum. Akibatnya akan terjadi penggusuran dan peminggiran nelayan tradisional yang berhak atas sumber daya pesisir. Oleh karena itu IP-3 dan IPRP-2 pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan HP-3 yang bertentangan dengan prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana dipertegas oleh Mahkamah Konstitusi.

Kedua, draf revisi UU PWP-PPK dari KKP tidak menempatkan nelayan tradisional sebagai subyek penting dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya pesisir. Tidak jauh berbeda dengan HP-3 dalam aturan subyek yang dapat diberikan IP-3 dan IPRP-2, yaitu orang baik perorangan ataupun badan hukum. Proses perizinan tersebut tidak menempatkan nelayan tradisional sebagai subjek penting dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya pesisir. Sehingga akan bersaing dengan swasta untuk dapat mengelola dan memanfaatkan sumber daya pesisir dengan adanya pembatasan akses dengan cara mengkriminalkan usaha pemanfaatan sumber daya pesisir yang terlebih dahulu ada namun tidak memiliki IP-3 atau IPRP-2.

Ketiga, masih terjadi konsep penguasaan areal lokasi wilayah pesisir yang sudah ditunjuk dalam izin-izin tersebut. Konsep penguasaan areal lokasi berpotensi terjadi pengkaplingan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan pemberian IP-3 dan IPRP-2 sebagai izin lokasi terhadap kegiatan usaha. Akibatnya terjadi ekploitasi sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Ditambah lagi, pemegang IP-3 dan IPRP-2 dapat melakukan pembebasan terhadap kegiatan usaha yang sudah ada yang terletak dalam wilayah yang diberikan IP-3 dan IPRP-2. Ditambah lagi penguasaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat terjadi dengan adanya peminggiran pemanfaat sumber daya pesisir yang sudah ada terlebih dahulu dengan pemberian kompensasi dan adanya kriminalisasi terhadap pemanfaatan sumber daya pesisir yang tidak memiliki IP-3 dan IPRP-2 (Pasal 60 ayat (2) dan Pasal 75 RUU Revisi UU Pesisir).

Keempat, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus mengedepankan prinsip dikuasai Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam konteks ini, Mahkamah Konstitusi telah menjabarkan 4 tolak ukurnya, yakni (i) kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat; (ii) tingkat pemerataan sumber daya alam bagi rakyat; (iii) tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam; dan (iv) penghormatan terhadap hak rakyat secara turun-temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam.

Akhirnya, KIARA meminta Presiden SBY untuk mengevaluasi kinerja Menteri Kelautan dan Perikanan karena draf revisi UU 27/2007 yang diusung KKP bak bom ikan yang bertolak belakang dengan amanah UUD 1945. Kemudian kepada DPR RI, KIARA mendesak untuk tidak melangsungkan pembahasan revisi UU 27/2007 karena hanya akan menghamburkan anggaran Negara dan mengulangi kesalahan.

Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:

Abdul Halim, Sekjen KIARA

di +62 815 53100 259

 

Ahmad Marthin Hadiwinata, Koodinator Divisi Advokasi Hukum dan Kebijakan KIARA

di +62 812 8603 0453 / +62 856 2500 181

 

 


[1]   Pasal 1 angka 18 Draf Revisi UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil versi Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.

[2]   Pasal 1 angka 18a Draf Revisi UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil versi Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.

Hari Nelayan Indonesia 2013, KIARA: Instruksi Presiden Tentang Perlindungan Nelayan Diabaikan

Siaran Pers Bersama

Perhimpunan Nelayan Kecil, Kalimantan Timur

Kelompok Nelayan Wilujeng, Kendal

KNTI Sumatera Utara

Kelompok Perempuan Nelayan Marunda Kepu, Jakarta

Kelompok Perempuan Nelayan Puspita Bahari

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

Hari Nelayan Indonesia 2013

KIARA: Instruksi Presiden Tentang Perlindungan Nelayan Diabaikan

Jakarta, 6 April 2013. Sepanjang Januari–Maret 2013, sedikitnya 25 nelayan dan pembudidaya tradisional dikriminalisasi oleh aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia saat memperjuangkan hak hidupnya atas lingkungan yang baik dan sehat. Inilah fakta yang terjadi di perkampungan nelayan seiring diperingatinya Hari Nelayan Indonesia, 6 April 2013.

Padahal, Presiden SBY tegas melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 tentang Perlindungan Nelayan memerintahkan kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk mengutamakan upaya pre-emtif, preventif dan edukatif dalam penegakan hukum di bidang perikanan terhadap nelayan dan melakukan perlindungan dan menjaga keamanan nelayan dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan.

Instruksi Presiden juga ditujukan kepada 18 menteri, Panglima TNI, Kapolri, Kepala BPN, Kepala BPS, para gubernur, bupati/walikota, untuk berkoordinasi secara integratif guna memberikan jaminan kesejahteraan, kepastian, dan perlindungan hukum bagi nelayan.

Fakta di perkampungan nelayan menunjukkan bahwa Instruksi Presiden 15/2011 diabaikan oleh penyelenggara negara di bawah pimpinan Presiden SBY. Indikasinya, pertama, pembiaran pemakaian alat tangkap trawl di perairan Indonesia tanpa penegakan hukum. Sepanjang Januari-Maret 2013, 2 nelayan tradisional Indonesia meninggal dunia akibat lemahnya penegakan hukum terhadap pemakai trawl.

Kedua, keluarnya Permen 30/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap yang mempermudah maraknya praktek perikanan ilegal, tidak diatur dan dilaporkan. Ketiga, meski sebagian kecil mendapatkan kartu nelayan, akses jaminan sosial dan kesehatan belum diperoleh masyarakat nelayan. Keempat, kelangkaan BBM untuk nelayan. Kelima, ABK asing mengebiri hak anak bangsa untuk mendapatkan kesempatan kerja di sektor perikanan. Keenam, pembiaran perda-perda pesisir yang melegalkan praktek pengkaplingan dan privatisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Ketujuh, kontribusi besar perempuan nelayan di sektor perikanan belum mendapatkan pengakuan dan perlindungan dari Negara.

Bertepatan dengan Hari Nelayan Indonesia, organisasi nelayan bersama dengan KIARA mendesak Presiden SBY untuk:

1.Fokus menyelesaikan tugas-tugas pemerintahan ketimbang mengurus kepentingan partai politik tertentu sesuai dengan mandat UUD 1945;

2.Meminta Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk menghentikan praktek kriminalisasi nelayan; dan

3.Mengevaluasi kinerja 18 menteri, Panglima TNI, Kapolri, Kepala BPN, Kepala BPS, para gubernur, bupati/walikota, sesuai dengan instruksi yang telah diberikan guna memberikan jaminan kesejahteraan, kepastian, dan perlindungan hukum bagi nelayan.

 

Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:

Rustam, Perhimpunan Nelayan Kecil (PNK) Kalimantan Timur

di +62 813 4649 9011

Sugeng Triyanto, Kelompok Nelayan Wilujeng, Kendal

di +62 858 7625 9545

Tajruddin Hasibuan, KNTI Sumatera Utara

di +62 812 6271 020

Habibah, Kelompok Perempuan Nelayan Marunda Kepu, Jakarta

+62 877 8168 2130

Masnuah, Kelompok Perempuan Nelayan Puspita Bahari

di +62 852 2598 5110

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA

di +62 815 53100 259

 

Putusan PN Menggala: Gugatan PT. AWS/CPP Tidak Dapat Diterima

 

Siaran Pers Bersama

Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW) Dipasena

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

 

Putusan PN Menggala: Gugatan PT. AWS/CPP Tidak Dapat Diterima

 

Jakarta, 24 April 2013. Sejak pemutusan listrik yang dilakukan oleh PT. AWS/CPP pada 7 Mei 2011, masa depan penyelesaian sengketa pertambakan udang di Bumi Dipasena mendapatkan kemenangan kecil dengan putusan Pengadilan Negeri Menggala yang menolak gugatan PT. AWS/CPP. Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ojo Sumarna, SH. MH. dengan anggota majelis Estiono, SH. MH. dan Hj. Siti Yutistia Akuan, SH. MH. memutus bahwa gugatan PT. AWS/CPP tidak dapat diterima berdasarkan eksepsi dari Tergugat.

 

Patut diketahui bahwa PT. AWS/CPP tidak menunjukkan itikad baik dengan memaksakan adanya upaya hukum gugatan ke Pengadilan Negeri Menggala. Padahal, Komnas HAM tengah memediasi penyelesaian kasus tersebut. Ironisnya, PT. AWS/CPP menggugat 400 Petambak Plasma dengan masing-masing 200 petambak sebagai tergugat dalam gugatan dengan nomor perkara: 01/PDT.G/2012/PN.MGL dan 04/PDT.G/2012/PN.MGL. gugatan tersebut didaftarkan pada awal Januari 2012 lalu dan telah dibacakan didepan publik 17 Januari 2013. Majelis Hakim baru dapat memberikan salinan putusan kepada kuasa hukum lebih dari 2 bulan tepatnya pada 28 Maret 2013.

 

Putusan setebal 348 halaman dalam amar putusannya Majelis Hakim memutuskan:

DALAM KONPENSI

TENTANG EKSEPSI

Mengabulkan Eksepsi Para Tergugat.

 

TENTANG POKOK PERKARA

Menyatakan Gugatan Penggugat tidak dapat diterima.

 

DALAM REKONPENSI

Menyatakan Gugatan Para Penggugat dalam Rekonpensi tidak dapat diterima.

 

Majelis Hakim dalam pertimbangannya memutuskan bahwa gugatan PT. AWS/CPP tidak dapat diterima berdasarkan eksepsi Para Tergugat yang dikabulkan. Eksepsi yang dikabulkan oleh Majelis Hakim adalah karena terjadi penggabungan gugatan yang salah oleh PT. AWS/CPP terhadap 200 tergugat petambak plasma dalam dua perkara nomor perkara: 01/PDT.G/2012/PN.MGL dan 04/PDT.G/2012/PN.MGL.

 

Majelis hakim berpendapat bahwa satu gugatan mengandung satu kepentingan hukum, sehingga dalam satu gugatan tidak dibenarkan lebih dari satu kepentingan subjek hukum dan tidak dibenarkan secara hukum adanya generalisasi terhadap 400 Tergugat atas dasar adanya perbuatan person tertentu dari Para Tergugat. Dari putusan tersebut, majelis hakim menitikberatkan kepada substansi keadilan dalam penyelesaian persoalan yang disengketakan oleh kedua pihak. Dari pertimbangan hukum tersebut, majelis hakim menyimpulkan tidak beralasan secara hukum 400 Tergugat Petambak Plasma Bumi Dipasena ditarik sebagai Para Tergugat dalam satu gugatan.

 

Hingga kini putusan Majelis Hakim tersebut belum memiki kekuatan hukum tetap karena pihak PT. AWS/CPP melakukan upaya hukum banding. PT. AWS/CPP telah menyatakan banding pada 20 Februari 2013 dan kuasa hukum Petambak Plasma telah menerima pernyataan banding pada 8 Februari 2013. Kemenangan kecil petambak plasma di PN Menggala tertunda.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Manurung, Bagian Advokasi P3UW

di +62 821 820 154 39

 

A. Marthin Hadiwinata, Koordinator Advokasi Hukum dan Kebijakan KIARA

di +62 856 2500 181 / +62 812 860 30 453
Abdul Halim, Sekretaris Jendral KIARA

di +62815 5310 0259

 

Peringati Hari Bumi, Warga Marunda Punguti Sampah

REPUBLIKA.CO.ID, CILINCING — Warga di Kampung Marunda Kepu, Jakarta Utara, memperingati Earth Day (Hari Bumi) dengan membersihkan lingkungan rumah dan pesisir pantai. Kegiatan yang didukung Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) ini berjalan cepat dan lancar walaupun sempat ditunda karena cuaca buruk.

Salah satu warga, Jueni (49 tahun) mengatakan lingkungan rumahnya yang berada di dekat pantai tak jarang berkelimpahan sampah banjir rob. Sehingga sampah harus dibersihkan secara berkala. Dia dan warga sekitar membersihkan areal pemukiman setiap minggu pagi. “Senang kalau bersih,” ujarnya kepada Republika, Senin (22/4).

Menurut pantauan, sekitar 30 orang warga perempuan dan 20 laki-laki dari segala umur turun memunguti sampah-sampah. Kondisi sehabis hujan membuat beberapa titik terendam air beberapa sentimeter.

Hujan tak menggoyahkan semangat warga untuk membersihkan lingkungan sekitar rumah mereka. Walaupun lumpur hitam mengotori tangan hingga baju mereka. Setelah sekitar 45 menit bekerja bakti, terkumpul 25 kantong sampah yang beratnya 20 kilogram per kantong.

Selain mengambil sampah, warga pun menanam pohon jenis Bintaro di sekitar lahan kosong di dekat rumah mereka. Sampah di dua RT,  termasuk RT 8 dan RT 9 di RW 7 Kelurahan Marunda, akhirnya sedikit berkurang.

Menurut Sekretaris Jenderal KIARA, Abdul Halim, limbah padat (sampah) dan limbah cair (terutama limbah B3 yang berbahaya) merupakan pencemar lingkungan hidup dan bumi. Seluruh limbah tersebut larut dalam tanah dan air kemudian mengalir ke sungai dan berakhir di muara sungai hingga ke kampung nelayan. “Rata-rata kondisi kampung nelayan seperti itu,” ujarnya.

Menurut data, wilayah sungai yang rusak di Indonesia telah mencapai 85 persen. Kualitas sungai terus menurun sebab difungsikan sebagai sarana limbah, industri pabrik, pertambangan dan domestik.

Data Pemda DKI Jakarta menyebut ada 94 persen kualitas air sungai di Jakarta tercemar berat dan 6 persen tercemar ringan. Sedangkan kualitas air di Teluk Jakarta tercemar berat 64 persen, tercemar ringan 30 persen dan tercemar sedang 6 persen.

Sumber: http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/13/04/22/mlnuag-peringati-hari-bumi-warga-marunda-punguti-sampah

Triwulan I 2013: Berjuang Jaga Lingkungan, 25 Nelayan Ditangkap

Oleh Sapariah Saturi,  April 6, 2013 9:28 pm

 A+ | A-

Inpres yang dikeluarkan Presiden pada 2011 jelas meminta Kapolri mengutamakan upaya preemtif, preventif dan edukatif dalam penegakan hukum bagi nelayan. Fakta di lapangan berkata lain. Nelayan yang berjuang mempertahankan wilayah hidup dan lingkungan yang baik serta sehat banyak ditangkapi.

Pada triwulan pertama, Januari–Maret 2013,  setidaknya 25 nelayan dan pembudidaya tradisional dikriminalisasi Kepolisian saat memperjuangkan hak hidup atas lingkungan yang baik serta sehat. Padahal, Presiden SBY melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 tentang Perlindungan Nelayan. Sayangnya, dalam implementasi Inpres ini diabaikan begitu saja oleh penyelenggara negara.

Untuk itu, bertepatan Hari Nelayan Indonesia, organisasi nelayan bersama Kiara mendesak Presiden mengevaluasi kinerja para kementerian dan lembaga serta kepala daerah sesuai tertera dalam instruksi. Lalu, meminta Kapolri menghentikan praktik kriminalisasi nelayan. Mereka juga meminta, Presiden SBY fokus menyelesaikan tugas-tugas pemerintahan ketimbang mengurus kepentingan partai politik tertentu sesuai mandat UUD 1945.

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), mengatakan, dalam Inpres ini memerintahkan kepada Kepolisian RI mengutamakan upaya preemtif, preventif dan edukatif dalam penegakan hukum bidang perikanan terhadap nelayan. Juga melakukan perlindungan dan menjaga keamanan nelayan dalam kegiatan penangkapan ikan. Ia ditujukan kepada 18 menteri, Panglima TNI, Kapolri, Kepala BPN, Kepala BPS, para gubernur, bupati dan walikota. “Mereka diminta berkoordinasi integratif guna memberikan jaminan kesejahteraan, kepastian, dan perlindungan hukum bagi nelayan,” katanya dalam rilis kepada media Sabtu(6/4/13).

Dia mengatakan, fakta di perkampungan nelayan menunjukkan, Inpres 15/2011 diabaikan penyelenggara negara. Kondisi ini bisa diliaht dari beberapa indikator. Pertama, pembiaran pemakaian alat tangkap trawl di perairan Indonesia tanpa penegakan hukum. Sepanjang Januari-Maret 2013, dua nelayan tradisional Indonesia meninggal dunia akibat lemahnya penegakan hukum pemakai trawl.

Kedua, keluar Permen 30/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap yang mempermudah marak praktik perikanan ilegal, tidak diatur dan dilaporkan. Ketiga, meski sebagian kecil mendapatkan kartu nelayan, akses jaminan sosial dan kesehatan belum diperoleh masyarakat nelayan. Keempat, kelangkaan BBM untuk nelayan. Kelima, anak buah kapal (ABK) asing mengebiri hak anak bangsa untuk mendapatkan kesempatan kerja di sektor perikanan.

Keenam, pembiaran perda-perda pesisir melegalkan praktik pengkaplingan dan privatisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Ketujuh, kontribusi besar perempuan nelayan di sektor perikanan belum mendapatkan pengakuan dan perlindungan negara.

Sumber : http://www.mongabay.co.id/2013/04/06/triwulan-i-2013-berjuang-jaga-lingkungan-25-nelayan-ditangkap/#ixzz2QDT0COgk

REKLAMASI PANTAI: Warga dan Ekosistem Rugi

Jakarta, Kompas – Reklamasi pantai di sejumlah daerah sebagian besar tidak berpihak kepada masyarakat pesisir. Warga digusur dan akses melaut dibatasi. Terjadi pula kerusakan ekosistem akibat pembelokan arah dan kekuatan arus.

Pemerintah didesak untuk mengarusutamakan kepentingan masyarakat kecil dan pertimbangan lebih luas dalam pembangunan pesisir. Demikian kata Herdianto Wahyu Kustiadi, Sekjen Perhimpunan Cendekiawan Lingkungan Indonesia, dalam diskusi ahli Dampak Reklamasi Pantai dan Pulau-pulau Kecil yang diadakan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, Jumat (19/4), di Jakarta.

Pembicara lain adalah Nirwono Joga (pakar lanskap Universitas Trisakti), Alan Koropitan (Direktur Pusat Oseanografi dan Teknologi Kelautan Universitas Surya), dan Arie Herlambang (pakar hidrologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi). Nelayan dari Kendal, Serang, dan Marunda dihadirkan.

Herdianto mengatakan, reklamasi bagi kesejahteraan nelayan seharusnya berupa penyediaan fasilitas ekonomi atau sosial, seperti pembangunan tempat pelelangan ikan dan penambatan perahu. Namun, pembangunan reklamasi di Indonesia sebagian besar didorong kepentingan komersial.

Terkait reklamasi Teluk Jakarta yang akan membangun pulau- pulau buatan, kata Arie, akan menimbun kabel bawah laut dan pipa Pembangkit Listrik Tenaga Uap Muara Tawar yang memasok 40 persen listrik Jakarta. Ia mengingatkan analisis natural flushing (pencucian alami) yang akan meningkatkan sedimentasi antara pulau reklamasi dan daratan Jakarta. Hal itu berbahaya bagi terumbu karang. (ICH)

Sumber: http://cetak.kompas.com/read/2013/04/22/02332067/warga.dan.ekosistem.rugi