Draf Revisi UU Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil: KIARA: Tetap Mengkapling, Memprivatisasi, dan Mengkriminalisasi
Draf Revisi UU Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil:
KIARA: Tetap Mengkapling, Memprivatisasi, dan Mengkriminalisasi
Jakarta, 16 April 2013. Draf revisi Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP-PPK) mulai dibahas oleh pemerintah. Dalam hal ini dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia. Revisi UU PWP-PPK dilakukan untuk menjawab Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap uji materi yang telah dilakukan oleh KIARA dan 8 organisasi masyarakat sipil bersama-sama dengan 27 Nelayan Tradisional. Putusan MK telah dibacakan pada 16 Juni 2011 dengan dua bagian penting, yakni pertama, membatalkan keseluruhan pasal-pasal yang terkait dengan HP-3; dan kedua, MK telah melakukan penilaian terhadap Pasal 14 ayat (1) UU Pesisir yang mengatur mengenai partisipasi masyarakat dalam penyusunan RSWP-3-K, RZWP-3K, RPWP-3-K, dan RAPEP-3-K telah dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Draf revisi UU PWP-PPK mengubah 14 pasal yang telah dibatalkan MK, yakni perubahan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) menjadi konsep perizinan: Izin Pemanfaatan Perairan Pesisir (IP-3) dan Izin Pemanfaatan Ruang Perairan Pesisir (IPRP-2) yang secara prinsip mengubah pendekatan hak menjadi perizinan. Jika membandingkan definisi dari IP-3 dan IPRP-2 dengan HP-3 di dalam UU PWP-PPK, tidak terdapat perbedaan signifikan. Perbandingan definisinya sebagai berikut:
IP-3[1] | IPRP-2[2] | HP-3 |
Izin Pemanfaatan Perairan Pesisir, selanjutnya disebut IP-3, adalah izin yang diberikan untuk memanfaatkan bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir, yang mencakup permukaan laut, kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu, untuk usaha yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. | Izin pemanfaatan ruang perairan pesisir, selanjutnya disebut IPRP-2, adalah izin yang diberikan untk penetapan ruang lokasi tertentu pada kawasan perairan pesisir sebagai tempat untuk melakukan kegiatan usaha. | Hak Pengusahaan Perairan Pesisir, selanjutnya disebut HP-3, adalah hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu. |
Pasal 18 RUU PWP3K Revisi | Pasal 18 UU PWP3K |
IP-3 dapat diberikan kepada: (a) orang perseorangan warga Negara Indonesia; (b) Badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; dan (c) dihapuskan | HP-3 dapat diberikan kepada: (a) Orang perseorangan warga Negara Indonesia; (b) Badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; atau (c) Masyarakat Adat. |
Pasal 14 ayat (1) dan ayat (1a) Draf Revisi UU PWP-PPK | Pasal 14 ayat (1) UU PWP-PPK |
Pasal 14 ayat (1): Usulan penyusunan RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3-K, dan RAPWP-3-K dilakukan oleh Pemerintah Daerah, dunia usaha, dan masyarakat. | Pasal 14 (1) Usulan penyusunan RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3-K, dan RAPWP-3-K dilakukan oleh Pemerintah Daerah serta dunia usaha. |
Pasal 14 ayat (1a): Usulan penyusunan RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3-K, dan RAPWP-3-K di lingkungan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan ruang perairan pesisir menurut kearifan lokal. |