Nelayan Butuh Pesisir yang Lestari, Bukan Tambang Pasir Besi

Laporan: Ade Mulyana

RMOL. “Selama ini masyarakat nelayan kebingungan untuk menghentikan praktik dan rencana pertambangan yang mengancam lingkungan pesisir dan pemukiman kami,” ujar Dafiq, nelayan tradisional yang tergabung dalam Forum Nelayan (Fornel) Jepara.

Dafiq menyampaikan hal itu di sela-sela kegiatan “Pelatihan Paralegal dan Pendidikan Hukum Kritis” di Desa Andungharjo, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Jepara, yang diselenggarakan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) bekerjasama dengan LBH Semarang dan Forel Jepara. Acara digelar menyikapi maraknya tambang pasir besi dan pasir laut, serta maraknya kriminalisasi terhadap nelayan tradisional di sepanjang pantai utara Jawa Tengah.

Dafiq mengatakan kurangnya pengetahuan terkait hukum lingkungan dan pertambangan membuat para nelayan kebingungan menghentikan praktik pertambangan pasir besi dan laut di wilyahnya. Oleh karena itu pendidikan dan pelatihan paralegal yang digelar tiga hari, Rabu (22/5) hingga Jumat (24/5), sangat membantu untuk modal para nelayan dalam mengadvokasi wilayah pesisir di sepanjang pantai utara Jepara.

“Kami sangat membutuhkan kemampuan tentang hak-hak nelayan dan hukum lingkungan, serta aturan pengelolaan kawasan pesisir agar tidak terjadi lagi kriminalisasi oleh perusahaan tambang terhadap para nelayan,” kata Sugeng, nelayan tradisional di Kecamatan Bandungharjo.

Sebelumnya pada akhir april 2012 yang lalu 15 warga Bandungharjo menjadi korban kriminalisasi atas aksi penolakan pertambangan di pesisir mereka. Sampai 21 Maret 2013 kemarin, 15 warga nelayan dinyatakan bersalah dengan hukuman pidana 6 bulan dengan masa percobaan 8 bulan oleh Pengadilan Negeri Jepara.

Misbahul Munir dari LBH Semarang, dalam keterangan pers yang diterima redaksi, Jumat (24/5), mengatakan, persoalan yang dihadapi oleh nelayan kaitannya dengan ancaman pertambangan di kawasan pesisir utara Jepara bermuara dari Perda No 2/2011 tentang RTRW Kabupaten Jepara yang menetapkan sepanjang pantai di Kecamatan Donorojo sebagai kawasan pertambangan. Padahal sesuai aturannya, seharusnya RTRW Kabupaten dalam hal ini Jepara harus mengacu pada aturan RTRW propinsi Jawa Tengah yakni Perda No 6/2010 yang sama sekali tidak menyebutkan kawasan pantai utara Jepara sebagai kawasan pertambangan mineral logam, bukan logam, batuan, dan batubara atau sebagaimana yang disebut dalam pasal 80 di Perda tersebut.

“Hak nelayan tradisional untuk mendapatkan lingkungan hidup dan perairan yang bersih dan sehat dijaminoleh UUD 1945. Hal ini juga disebut dalam pasal 66 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Bahkan di dalam pasal 35 UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sudah ditetapkan larangan penambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,” tambah Koordinator Advokasi Hukum dan Kebijakan Ahmad Marthin Hadiwinata. [dem]

Nelayan Butuh Pesisir Yang Lestari, Bukan Tambang Pasir Besi

Siaran Pers Bersama
Forum Nelayan Jepara
LBH Semarang
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan
Nelayan Butuh Pesisir Yang Lestari, Bukan Tambang Pasir Besi
Jepara, 24 Mei 2013. Menyikapi maraknya tambang pasir besi dan pasir laut, serta maraknya kriminalisasi terhadap Nelayan tradisional disepanjang pantai utara Jawa Tengah, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) bekerjasama dengan LBH Semarang dan Forum Nelayan (FORNEL) Jepara menyelenggarakan “Pelatihan Paralegal dan Pendidikan Hukum Kritis” di Desa andungharjo, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Jepara pada 22-24 Mei 2013.
Pada pertemuan tersebut Dafiq salah satu nelayan tradisional yang tergabung dalam Fornel Jepara mengatakan bahwa, “selama ini masyarakat nelayan kebingungan untuk menghentikan praktek dan rencana pertambangan yang mengancam lingkungan pesisir dan pemukiman kami. Karena kurangnya pengetahuan terkait hukum lingkungan dan pertambangan. Oleh karena itu pendidikan dan pelatihan paralegal ini sangat membantu untuk modal para nelayan dalam mengadvokasi wilayah pesisir di sepanjang pantai utara Jepara”.
Sugeng salah satu nelayan tradisional di Kecamatan Bandungharjo juga menambahkan bahwa, “ nelayan kami sangat membutuhkan kemampuan tentang hak-hak nelayan dan hukum lingkungan, serta aturan pengelolaan kawasan pesisir agar tidak terjadi lagi kriminalisasi oleh perusahaan tambang terhadap para nelayan”
Sebelumnya pada akhir april 2012 yang lalu 15 warga Bandungharjo menjadi korban kriminalisasi atas aksi penolakan pertambangan di pesisir mereka. Sampai pada 21 Maret 2013 kemarin 15 warga nelayan tersebut dinyatakan bersalah dengan hukuman pidana 6 Bulan dengan masa percobaan 8 bulan oleh Pengadilan Negeri Jepara”.
Sementara itu, Misbahul munir dari LBH semarang mengatakan bahwa, “persoalan yang dihadapi oleh nelayan kaitannya dengan ancaman pertambangan di kawasan pesisir utara jepara bermuara dari Perda No 2 Tahun 2011 tentang RTRW Kabupaten Jepara yang menetapkan sepanjang pantai di Kecamatan Donorojo sebagai kawasan pertambangan. Padahal sesuai aturannya, seharusnya RTRW Kabupaten dalam hal ini Jepara harus mengacu pada aturan RTRW propinsi Jawa Tengah yakni Perda No 6 Tahun 2010 yang sama sekali tidak menyebutkan kawasan pantai utara Jepara sebagai kawasan pertambangan mineral logam, bukan logam, batuan, dan batubara atau sebagaimana yang disebut dalam pasal 80 di Perda tersebut”
Ahmad marthin Hadiwinata, Koordinator Advokasi Hukum dan Kebijakan menambahkan, “Hak nelayan tradisional untuk mendapatkan lingkungan hidup dan perairan yang bersih dan sehat dijaminoleh UUD 1945. Hal ini juga disebut dalam pasal 66 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Bahkan didalam pasal 35 UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sudah ditetapkan larangan penambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil”.
Untuk itu, penting bagi pemerintah bersama dengan aparat penegak hukumnya untuk mengedepankan penegakan hukum terhadap perusak lingkungan pesisir. Karena dampaknya telah merugikan Masyarakat Nelayan.
 
Kontak Person:
–          085 289 701 385 (Sugeng/Nelayan Bandungharjo)
–          085 727 149 369 (Jaynal Arifin/LBH Semarang)
–          081 286 030 453 (Ahmad Marthin Hadiwinata/KIARA)