Sutiamah: Pejuang Lingkungan, Hak Anak dan Perempuan Roban, Batang

ibu sutiamah (Medium)Sutiamah merapikan buku-buku yang diperolehnya dari pertemuan perempuan nelayan dan pelatihan yang ia hadiri. Buku-buku itu disusun di atas lemari sederhana yang terbuat dari kayu berbentuk kotak. Tidak lebih dari 40 buku yang sudah dikumpulkan untuk mencapai cita-cita sederhana: memiliki perpustakaan untuk anak-anak Roban.

Sutiamah atau lebih dikenal dengan panggilan Mbak Tia, lahir di Garut, Jawa Barat pada tahun 1972 dan menikah dengan Wagino tujuh tahun lalu. Baru empat tahun terakhir, Mbak Tia pindah ke Roban mengikuti suaminya. Bapak Wagino berprofesi sebagai nelayan di Roban, Kabupaten Batang, Provinsi Jawa Tengah.

Cita-cita sederhana untuk memiliki perpustakaan didasari atas keprihatinan Tia melihat kampungnya yang akan terkena dampak pembangunan PLTU. Olehnya, ia menolak secara tegas pembangunan PLTU Batang.

Menjaga lingkungan

Proyek PLTU Batang dengan kapasitas 2×1000 MW rencananya akan dibangun di lahan seluas 700 hektar. Proyek ini akan menggusur warga di enam desa, yaitu Ponowareng, Karanggeneng, Wonokerso, Ujungnegoro, Sengon (Roban Timur) dan Kedung Segog (Roban Barat), Kabupaten Batang, Jawa Tengah, dan mengancam kelestarian lingkungan dan keberlanjutan sumber daya perikanan, seperti udang, rajungan, cumi, kepiting dan kerang.
Sejak tahun 2011 rencana pembangunan PLTU Batang diumumkan oleh pemerintah, warga sekitar sering mendapatkan perlakuan yang kurang baik. Contohnya, ketika sosialisasi dan konsultasi publik diadakan oleh pemerintah dan PT. Bimasena Power Indonesia (selaku kontraktor), pengamanan ekstra dikerahkan selama acara tersebut berlangsung.

Proses konsultasi pembuatan dokumen Kerangka Acuan Analisis mengenai Dampak Lingkungan (KA. ANDAL) dilaksanakan di Batang pada Desember 2012. Untuk menjaga kelancaran proses konsultasi, pemerintah mengerahkan lebih dari 1.000 orang aparat dari Kepolisian dan Kodim Kabupaten Batang. Pembangunan PLTU menuai pro dan kontra dari masyarakat. Hal inilah yang membuat Tia menjadi sedih dan khawatir; warga Batang menjadi terpecah. Kini ia harus melihat kecurigaan antarwarga. Padahal, sebelumnya tidak pernah terjadi.

“Dulu kami kuat sekali gotong royongnya, kalau ada nelayan yang kapalnya butuh dicat, kami bisa urunan untuk beli cat dan membantu. Tapi sekarang, semua jadi tidak peduli satu sama lain. Kalau ada yang sakit dari pihak yang pro PLTU, otomatis pihak yang kontra tidak mau menjenguk,” ujar Tia.

Tanpa disadari rencana pembangunan PLTU telah memberikan dampak buruk, baik bagi orang dewasa maupun anak-anak.

Di sekolah, misalnya, sering kali terjadi perang mulut antar-anak. Hal ini dipicu oleh posisi orang tua yang menolak dan sebagian kecilnya mendukung. Anak-anak yang awalnya tidak mengerti, terpaksa menjadi terlibat dalam konflik ini. Apalagi mereka melihat truk pengangkut tanah, tentara, polisi hingga preman berseliweran di kampung.
Anak-anak Batang tidak bisa main seperti dahulu. Karena rasa takut telah membuat mereka lebih menikmati waktu di rumah sambil bermain telepon genggam atau menonton televisi. Aktivitas mereka sebagai anak-anak terampas oleh rasa curiga yang ditimbulkan akibat adanya proyek PLTU.

“Anak-anak yang masih polos pun ikut ribut. Saling ejek menjadi fenomena baru di antara anak-anak penolak dan pendukung PLTU. Inilah bentuk pemberangusan hak anak untuk mendapatkan lingkungan yang bersih dan sehat. Saya prihatin melihatnya,” tambah Tia.

Mewujudkan impian

Mbak Tia tanpa mengenal lelah selalu ikut terlibat dalam kegiatan-kegiatan penolakan PLTU Batang. Di antara kerumunan laki-laki yang sedang berdemo menolak PLTU, Mbak Tia pasti berdiri di antaranya. Dalam forum-forum diskusi pun, Tia tidak pernah terlewat untuk hadir dan berperan aktif. Menurutnya, perjuangan tidak mengenal batas.

“Semuanya saya lakukan untuk anak-anak Roban, supaya mereka bisa hidup lebih baik seperti dahulu,” kata Tia.
Di awal tahun 2012, Tia mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan PPNI (Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia). Keikutsertaannya merupakan salah satu upaya mewujudkan mimpi-mimpinya. Dari pertemuan ke pertemuan lainnya, Mbak Tia menunjukkan permasalahan yang terjadi di kampungnya dan menyampaikan mimpinya untuk anak-anak Roban.

“Membangun perpustakaan mini tidaklah mudah. Dengan mengikuti kegiatan PPNI, saya bisa memperbanyak teman, berani mengutarakan dan mewujudkan cita-cita perjuangan masyarakat Roban. Saya yakin, lewat buku anak-anak bisa melihat dunia di luar kampungnya sendiri,” imbuh Tia.

PPNI menjadi gerbong perjuangan Tia melunasi mimpinya. Ia wujudkan mimpi itu lewat buku, seperti dipesankan oleh Bung Hatta (Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia) bahwa, “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku. Karena dengan buku, aku bebas”.

Tia ingin anak-anak Roban memiliki kebebasan untuk bermimpi, termasuk tentang lingkungan lestari dan hidup lebih baik. Untuk itulah, Tia terus berjuang hingga detik ini.

Majelis Hakim Tolak Eksepsi Para Tergugat: Sidang Gugatan Warga Negara (CLS ) Swastanisasi Air Masuk Pemeriksaan Pokok Perkara

Siaran Pers

Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ)

 

Majelis Hakim Tolak Eksepsi Para Tergugat:
Sidang Gugatan Warga Negara (CLS ) Swastanisasi Air Masuk Pemeriksaan Pokok Perkara

Selasa, 25 Juni 2013 , Ketua Majelis Hakim: Nawawi Pomolango, SH yang memimpin persidangan perkara No. 527/PDT.G/2012/PN.JKT PST. Membacakan putusan sela atas eksepsi kompetensi absolut yang diajukan Para Tergugat diantaranya Presiden RI, Wakil Presiden RI, Menteri Keuangan, Menteri Pekerjaan Umum, PT. Palyja dan PT. Aetra terhadap Gugatan Warga Negara Pembatalan Perjanjian Kerjasama Swastanisasi Air yang diajukan oleh (12 Warga Negara, Nurhidayah dkk).

Dalam eksepsinya pada persidangan sebelumnya,  Para Penggugat  mendalilkan bahwa gugatan warga negara para tergugat tidak dapat diterima karena menuntut adanya pencabutan surat  Surat Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 3126/072 tertanggal 24 Desember 1997 (support letter Gubernur DKI Jakarta tahun 1997) dan surat Menteri Keuangan Republik Indonesia No. S-648/MK.01/1997 tertanggal 26 Desember 1997 yang itu merupakan objek sengketa Tata Usaha Negara.

Menanggapi eksepsi tersebut, Penggugat menjelaskan dalil tersebut muncul karena ketidakcermatan dan telitinya para tergugat dalam membaca gugatan Citizen Law, khususnya mengenai petitum gugatan, sehingga kemudian menukil secara serampangan petitum gugatan dan mengabaikan petitum  lain terkait gugatan yang diajukan. Petitum Penggugat agar para tergugat mencabut surat Gubernur dan Surat menteri keuangan  hanyalah salah satu sub point dari tujuh petitum penggugat yang pada intinya menuntut agar pengadilan menyatakan bahwa perjanjian kerjasama antara tergugat V dengan turut tergugat I dan II batal demi hukum dan sebagai konsekuensi dari adanya pembatalan perjanjian kerjasama haruslah dicabut surat yang menjadi pendukung dari pelaksanaan kerjasama tersebut

Sejatinya dalam gugatan tersebut objek dari gugatan Citizen Law Suit bukanlah Surat Gubernur dan Surat Menteri Keuangan melainkan adalah adanya kerjasama Tergugat  VII antara Swasta asing Palyja dan Aetara yang dibuat dengan melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.Dalam eksepsinya justru para tergugat mencoba mengaburkan apa yang menjadi inti permasalahan dalam gugatan yang di ajukan oleh para penggugat dan mengarahkan pada pemahaman yang keliru terkait substansi gugatan.  Pendapat Penggugat tersebut pun dilengkapi dengan 11 bukti pendukung yang termasuk didalamnya pengalaman PN Jakarta Pusat mengadili dan memutus perkara Gugatan Warga Negara.

Terhadap dalil eksepsi kompetensi absolut yang diajukan tergugat dan tanggapan penggugat, Majelis Hakim mengambil putusan untuk menolak eksepsi para Tergugat. Majelis hakim memutuskan bahwa Mekanisme Gugatan Warga Negara terhadap Konsesi Swastanisasi Air Jakarta diterima dan Sidang akan dilanjutkan ke Pemeriksaan Pokok Perkara, adapun pertimbangan hakim dalam putusan Sela tersebut sebagai berikut :

Menimbang Bahwa dengan berpedoman pada pasal 136 HIR hanya mempertimbangkan pada eksepsi kompetensi absolute dan eksepsi selebihnya akan diputuskan bersama  pokok perkara

Menimbang bahwa Tergugat 1, 2,3,4 dan Turut Tergugat 1 dan Turut tergugat 2 Meminta penggugat Mencabut Surat  keputusan yang dikeluarkan oleh badan Tun berupa SK Gub & Surat Menteri keuangan adalah keputusan TUN. Menimbang Tergugat tidak teliti dan cermat dalam melihat gugtan citizen Law Swit (CLS) yang diajukan oleh Penggugat  Karena Tergugat terlalu menggangap mudah gugtan yang diajukan oleh Penggugat tent perjanjian kerjasama swatanisasi air

Menimbang Setelah Hakim Mengkonstatir dari dalil gugatan dan petitum terhadap pokok gugatan terkait ada atau tidaknya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa  incasu T1-7 karena tidak terpenuhinya hak-hak  dari warganegara  sebagaimana disebut dalam ide petitum angka 2 s/d angka 7 huruf h –g yang mana ini adalah tuntutan Warga Negara terhadap penguasa yang  dalam hal ini dikenal dalam mekanisme gugatan perdata sebagai gugatan CLS yang mana hal tersebut menjadi kewenangan Peradilan Umum pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Menimbang sepanjang tentang tuntutan pencabutan  SK Gubernur dan Menkeu dalam petitum  angka 7 Huruf H.  majelis hakim bertpendapat hanyalah tuntutan yang bersifat asecoir atau ikutan yang seyogyanya tidak sama sekali mengesampingkan tuntutan pokok perkara. Dan majelis hakim mengesampingkan bukti2 awal tergugat dan turut tergugat termasuk ket saksi ahli dari Tergugat.

Kesimpulan Majelis: Terhadap eksepsi kompetensi absolut tergugat dan turut tergugat tidak cukup beralasan hukum dan harus ditolak dan sekaligus menetapkan untuk dilanjutkan pada proses pemeriksaan pokok perkara dengan memperhatikan khusus pasal 134 HIR dan 136 HIR, maka majelis menolak eksepsi kompetensi absolute tergugat , menerima  perkara dan menetapkan  pemeriksaan pokok perkara, tersebut menjadi kewenangan PN Jakarta Pusat, menangguhkan pembebanan biaya pokok perkara sampai pada putusan akhir.

Terhadap putusan a quo, KMMSAJ mengapresiasi putusan Majelis Hakim dalam perkara ini. Meskipun sebelumnya sempat khawatir putusan akan “masuk angin”, karena pengambilan putusan sempat tertunda satu minggu dari  tanggal seharusnya 18 Juni 2013 karena hakim meminta waktu untuk berfikir dengan alasan belum adanya kesamaan pendapat.

Putusan ini menunjukkan bahwa pengadilan memperhatikan kepentingan publik, khususnya masyarakat jakarta yang terlanggar hak atas air nya serta menunjukkan bahwa Hakim masih berhati-hati dalam memutus perkara dan berpedoman pada nurani serta nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Harapanya akan selalu demikian, dan masyarakat dapat terus mengawal  berjalannya proses hukum GWN ini sampai petitum diterima. Putusan Sela ini merupakan langkah awal untuk memasuki tahap pembuktian,untuk membongkar 16 tahun praktek swastanisasi air  yang melanggar hak konstitusi dan peraturan perundang-undagaan yang berakibat pada kerugian negara dan kerugian masyarakat pemilik keadulatan lebih khusus lagi masyarakat miskin yang selama ini tidak memperoleh akses atas air. Swastanisasi air ini sendiri jika diteruskan, baru akan selesai tahun 2023 dan jika tidak segera dihentikan, diperkirakan potensi kerugian negara mencapati 18, 2 Triliun.

Jakarta, 25 Juni 2013

Hormat Kami,

Koalisi Mayarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta

Koalisi Masyarakat Untuk Hak Atas Air (KRuHa), Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jakarta, Koalisi Anti Utang (KAU),

Solidaritas Perempuan (SP) Jabotabek, Front Perjuangan Pemuda Indonesia,

Jaringan Rakyat Miskin Kota, Indonesia Corruption Watch (ICW)

Untuk Informasi Lebih Lanjut, Silahkan menghubungi:

Arif Maulana (LBH Jakarta): 0817256167; ar1f_maulana@yahoo.com

Ahmad Marthin Hadiwinata (KIARA): 081286030453; hadiwinata_ahmad@yahoo.com

Muhammad Reza (KruHA): 081370601441; reza@kruha.org

Kabar Bahari: Udang Primadona yang Diperebutkan

Kabar Bahari - udangAnda penyuka makanan laut? Tentu kurang lengkap rasanya jika belum menikmati udang. Kandungan gizi dalam udang sangat banyak. Saat menyantapnya, protein, vitamin B12, vitamin D, Omega 3, seng, asam lemak, zat besi, tembaga, niasin, dan magnesium, ikut  larut dalam tubuh kita. Tak mengherankan jika udang banyak memberi manfaat bagi kesehatan.

Perebutan udang sebagai komoditas perdagangan dunia memicu ekspor besar-besaran. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP, 2013) menyebutkan bahwa, hingga semester I/2013, ekspor udang Indonesia ke Amerika Serikat mencapai 36.528 ton atau senilai USD334,53 juta. Nilainya meningkat 12,21 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang tercatat USD298,13 juta.

Ikuti Informasi terkait buletin kabar bahari >> KLIK DISINI

BBM Naik, Nelayan Tradisional Mulai Menjerit

BBM Naik, Nelayan Tradisional Mulai Menjerit

Arief Setyadi – Okezone

JAKARTA – Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi per-22 Juni 2013 langsung memberikan dampak negatif pada nelayan tradisional. Kenaikan harga BBM bukan hanya berpengaruh pada meningkatnya biaya operasional melaut karena harus membeli bahan bakar lebih mahal, tetapi juga berdampak pada tingginya harga bahan pokok sehingga harus merogoh kocek lebih besar.

Seperti diungkapkan Sekjen Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Abdul Halim. Dia menuturkan, dengan kenaikan BBM bersubsidi berimbas pada kenaikan harga bahan pokok seperti beras, minyak sayur, gula, garam, dan lainnya berkisar  Rp1.000-Rp.5000/kg/liter. Di mana, kenaikan harga bahan pokok itu, dilansir Kiara dari empat kampung nelayan di tiga daerah, mulai dari Tarakan, Bengkalis, dan Gresik.

“Demikan situasi yang dihadapi masyarakat nelayan. Misal nelayan Bengkalis, ditengah isu kenaikkan BBM dan sulitnya mencari ikan akibat kabut asap tebal (kebakaran hutan) yang menghalangi melaut, harga-harga bahan kebutuhan pokok naik antara Rp200-Rp5.000 kilogram per liter,” katanya melalui siaran persnya, kepada Okezone, Sabtu (22/6/2013).

Padahal, kata dia, kenaikan harga bahan pokok itu tidak sebanding dengan pendapatan para nelayan. Pasalnya, meski harga BBM naik, tidak membuat penghasilan para nelayan bertambah, mengingat para nelayan tradisional di Tarakan lebih banyak memasok ikan ke pengepul untuk pemenuhan kuota ekspor sebelum atau setelah ada isu kenaikkan harga BBM.

“Harga ikan  tidak ada perubahan, demikian juga harga-harga ikan di Bengkalis tidak mengalami kenaikan,” tukasnya.

Bahkan, sambung Abdul, para nelayan tradisional Bengkalis hanya mengandalkan konsumen lokal dengan menyesuaikan kemampuan pembeli atau konsumen lokas itu sendiri. Apalagi, para konsumen lebih memprioritaskan bahan kebutuhan pokok ketimbang membeli ikan.

Bila dikalkulasi, pendapatan nelayan tradisional Tarakan Rp2 juta per bulan. Untuk nelayan Bengkalis hanya Rp1,5 juta per bulan. Sedangkan, untuk nelayan Gresik, hanya mendapat penghasilan Rp750 ribu per bulan.

“Dengan jumlah tersebut, keluarga nelayan harus memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan pendidikan serta kesehatan keluarga mereka dengan komposisi rata-rata setiap keluarga minimal tiga orang. Bahkan, ada yang harus menanggung enam orang,” terangnya.

Kata Abdul, fakta ini sangat jelas berseberangan dengan asumsi yang dibangun pemerintah, bahwa dengan adanya kompensasi bagi warga tidak mampu, maka persoalan ketidakadilan akan teratasi.

“Terkait hal itu, Kiara mendesak pemerintah untuk tidak menaikkan harga BBM yang dibutuhkan oleh masyarakat nelayan tradisional, khususnya solar yang sudah dinaikkan menjadi Rp5.500 per liter,” pungkasnya. (put)

 

Sumber: http://news.okezone.com/read/2013/06/22/337/825922/bbm-naik-nelayan-tradisional-mulai-menjerit

KIARA: Nelayan Tradisional Dirugikan Akibat Isu Harga BBM Naik

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

www.kiara.or.id

 

KIARA: Nelayan Tradisional Dirugikan Akibat Isu Harga BBM Naik

Jakarta, 21 Juni 2013. Isu kenaikan BBM beberapa hari terakhir telah berdampak naiknya berbagai kebutuhan pokok bagi keluarga nelayan tradisional di berbagai wilayah di Indonesia. Ironisnya, kenaikan harga kebutuhan tersebut tidak diikuti dengan  meningkatnya harga hasil tangkapan ikan mereka. Bahkan pada komunitas nelayan tradisional yang hanya memasok komunitas tertentu mengalami penurunan pendapatan akibat turunnya jumlah pembelian ikan.

Kehidupan Nelayan tradisional Tarakan semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sejak adanya isu kenaikan BBM. Semua bahan pokok kebutuhan rumah tangga dan melaut, seperti beras, minyak sayur, gula, garam, dan lain-lain rata-rata telah naik antara Rp.1.000 – Rp.5.000/kg/lt. Demikianlah situasi yang dihadapi oleh masyarakat nelayan. Misalnya nelayan Bengkalis, di tengah isu kenaikan BBM dan sulitnya mencari ikan akibat kabut asap tebal (kebakaran hutan) yang menghalangi melaut, harga-harga bahan kebutuhan pokok naik  antara Rp.200 –Rp. 5.000/kg/lt. Secara umum kondisi harga bahan pokok di 3 kampung nelayan sejak ada isu kenaikan harga BBM mengalami kenaikan harga (Tabel 1).

Tabel 1. Daftar Harga Kebutuhan Pokok Nelayan Tradisional di 3 daerah

No

Nama Daerah

Nama Bahan Pokok

Harga Sebelumnya

Harga Setelah ada Isu Kenaikan Harga BBM

1

Tarakan

Beras Rp.8.000 /kg Rp. 9.000/kg
Minyak goreng Rp.12.500 /lt Rp.13.500 /lt
Gula pasir Rp.13.000 /kg Rp.14.000/kg
Cabe merah Rp. 30.000/kg Rp. 35.000 /kg
2

Bengkalis

Beras Rp. 7.100/kg Rp. 7.300/kg
Minyak goreng Rp. 9.500/lt Rp. 10.500/lt
Gula pasir Rp. 12.000/kg Rp. 14.000/kg
Cabe merah Rp. 25.000/kg Rp. 30.000/kg
3

Gresik

Beras Rp.8.000 /kg Rp. 8.6000/kg
Minyak goreng Rp.11.000 /kg Rp. 12.000/kg
Gula pasir Rp. 13.000/kg Rp. 14.5000/kg
Cabe merah Rp. 15.000 /kg Rp. 30.000/kg

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA, Juni 2103

Di sisi lain pendapatan para nelayan tradisional tidak mengalami peningkatan berarti. Nelayan tradisional Tarakan yang lebih banyak memasok ikan ke pengepul untuk pemenuhan kuota ekspor sebelum dan setelah ada isu harga BBM naik, harga ikan tidak ada perubahan. Demikian juga halnya harga-harga ikan di Bengkalis tidak mengalami kenaikan. Bahkan, nelayan tradisional Bengkalis yang hanya mengandalkan konsumen lokal harus menyesuaikan kemampuan pembeli/konsumen lokal. Sebagian besar para konsumen lebih memprioritaskan bahan kebutuhan pokok ketimbang membeli ikan. Dengan kondisi seperti ini, tidak jarang para nelayan menjual ikan dengan murah ketimbang tidak laku di pasaran. (Tabel 2)

Tabel 2. Daftar harga ikan hasil tangkapan nelayan tradisional

No.

Nama Ikan

Harga Sebelumnya

Harga Setelah Ada Isu Kenaikan Harga BBM

Tempat Jual

Daerah Nelayan

1 Kakap Merah Rp.  32.000 /kg Rp. 32.000/kg Pengepul Tarakan
2 Tenggiri Rp. 25.000/kg Rp. 25.000/kg Konsumen lokal Bengkalis
3 Ikan Parang Rp.12.000/kg Rp. 11.000-Rp.12.000/ Konsumen lokal Bengkalis
4 Tongkol Rp. 7.000/kg Rp. 7.000/Kg Tengkulak Gresik
5 Cumi Rp. 20.000/kg Rp. 20.000/kg Tengkulak Gresik

Sumber: Pusat data dan Informasi KIARA, Juni 2013

Pemasukan rata-rata keluarga nelayan tradisional Tarakan Rp. 2.000.000/bulan. Sementara itu, penghasilan nelayan Bengkalis hanya Rp. 1.500.000/bulan. Lebih parah lagi nelayan tradisional Gresik, mereka hanya mendapatkan Rp. 750.000/bulan. Dengan jumlah tersebut keluarga nelayan  harus memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan pendidikan kesehatan kesehatan keluarga mereka dengan komposisi rata-rata setiap keluarga minimal 3 orang. Bahkan ada yang harus menanggung 6 orang.

Fakta ini tentu sangat berseberangan dengan asumsi yang dibangun Pemerintah bahwa seolah-olah dengan adanya kompensasi bagi warga negara tidak mampu, maka persoalan ketidakadilan akan bisa teratasi. Olehnya, KIARA mendesak Presiden SBY untuk tidak menaikkan harga BBM yang dibutuhkan oleh masyarakat nelayan tradisional, khususnya solar yang sudah dinaikkan sebelumnya: dari harga Rp4.300 menjadi Rp4.500.***

 

Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:

Abdul Halim, Sekjen KIARA

Di +62 815 53100 259

 

Selamet Daroyni, Koordinator Pendidikan dan Penguatan Jaringan KIARA

Di +62 821 1068 31 02

KIARA: Reklamasi Pantai Diskriminasi Nelayan Tradisional

Sektor Perikanan Tangkap

Senin, 17/06/2013

Jakarta – Terjadinya diskriminasi terhadap masyarakat nelayan semakin meningkat akibat proses pembangunan yang kian merampas wilayah perairan tradisionalnya. Hal ini disampaikan oleh Dewan HAM PBB melalui Resolusi Nomor A/HRC/19/75 tentang “Kemajuan Hak-hak Petani dan Masyarakat Lain yang Bekerja di Pedesaan”.

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mengumumkan, Pusat Data dan Informasi KIARA (Juni 2013) mendapati fakta bahwa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang tengah menjalankan proyek reklamasi tersebar di 22 kabupaten/kota di Indonesia. Sedikitnya 18.151 KK nelayan tradisional di 8 wilayah pesisir tergusur akibat praktek pengkaplingan dan komersialisasi melalui reklamasi pantai.

“Reklamasi pantai merupakan bentuk penyingkiran masyarakat nelayan tradisional. Inilah praktek pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Negara. Belum lagi dampaknya terhadap ekosistem pesisir dan laut, di antaranya: pertama, perubahan pola sedimentasi akibat perubahan garis pantai, hidrologi dan potensi intensitas kegiatan di lokasi reklamasi; dan kedua ekosistem mangrove (baik di pesisir pantai yang direklamasi maupun kawasan disekitarnya) akan rusak sehingga fungsi ekologis sebagai daerah perlindungan pantai, filter sedimen serta lokasi pembesaran dan perlindungan ikan menjadi hilang. Demikian juga sirkulasi dalam ‘waduk’ sangat lemah sehingga berdampak pada masalah eutrofikasi akibat suplai organik dari sungai-sungai yang ‘tersumbat’ karena keberadaan reklamasi,” ujar Selamet Daroyni, Koordinator Pendidikan dan Penguatan Jaringan KIARA dalam siaran tertulisnya, Minggu.

Di samping itu, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil jelas bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil terhadap UUD 1945 yang menegaskan pelarangan praktek pengkaplingan dan komersialisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Dengan harapan agar kehidupan masyarakat nelayan tradisional tidak semakin dimiskinkan dan terdiskriminasi, KIARA mendesak Presiden SBY untuk menjalankan Putusan Mahkamah Konstitusi dengan mengevaluasi Perpres dan aturan terkait lainnya; serta melakukan harmonisasi kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam rangka memenuhi dan melindungi hajat hidup masyarakat nelayan tradisional.

Sebelumnya KIARA meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan DPR RI segera membahas RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan guna menyejahterakan nelayan. “Dari konsultasi publik yang dilakukan FAO (Badan Pertanian Pangan PBB) di Indonesia telah menghasilkan dua poin rumusan perlindungan nelayan tradisional,” kata Sekretaris Jenderal Kiara, Abdul Halim.

Halim menjelaskan, dua rumusan tersebut antara lain adalah pemenuhan hak-hak warga negara sebagaimana hak asasi manusia dalam hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan hak untuk berbudaya. Sementara rumusan kedua adalah pedoman perlindungan nelayan tradisional harus mencakup hak-hak nelayan tradisional yang telah dirumuskan melalui instrumen perlindungan nelayan.

Dijelaskan Halim, prospek perlindungan nelayan tradisional di Indonesia mendapatkan momentum penting pada 16 Juni 2011 ketika Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan aturan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) yang menjadi instrumen kebijakan privatisasi dan komersialisasi perairan pesisir yang terkandung dalam UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Dia mengingatkan, MK dalam pertimbangannya menjabarkan empat hak konstitusional nelayan Indonesia, yakni hak untuk melintas di laut; hak untuk mengelola sumber daya melalui kearifan lokal, hak memanfaatkan sumber daya alam untuk kepentingan nelayan, serta hak untuk mendapatkan lingkungan perairan yang bersih dan sehat.

Sumber: http://www.neraca.co.id/harian/article/29601/KIARA.Reklamasi.Pantai.Diskriminasi.Nelayan.Tradisional

Pemberantasan Pencurian Ikan: Sea and Coast Guard Jawaban Tumpang Tindih Koordinasi

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

 

Pemberantasan Pencurian Ikan: Sea and Coast Guard Jawaban Tumpang Tindih Koordinasi

Jakarta, 10 Juni 2013. Pengawasan perikanan Indonesia tidak optimal disebabkan adanya tumpang tindih antar kementerian sektoral sehingga pencurian ikan tidak akan pernah bisa berkurang. Data KIARA menunjukkan sepanjang 2001 – 2013, terdapat 6.215 kasus pencurian ikan. Dari jumlah itu, 60 persen lebih atau 3.782 kasus terjadi hingga Nopember 2012.

Penyidikan tindak pidana di bidang perikanan dilakukan berdasarkan Pasal 73 UU No. 31 Tahun 2004 jo UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Penyidik Perwira TNI AL dan/atau Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal tersebut menjadi dasar penyidikan pencurian ikan dapat dilakukan dilakukan oleh lembaga yang disebut.

Selain itu juga dalam beberapa peraturan perundngan yang terkait dengan semisal di UU Tentara Nasional Indonesia juga memandatkan upaya pemberantasan pencurian ikan. Dalam penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf g angka 3 UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia menjelaskan TNI bertugas untuk menjaga kedaulatan Negara yang berupa ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan Negara termasuk juga ancaman keamanan di laut atau udara yurisdiksi nasional Indonesia, termasuk Penangkapan ikan secara ilegal atau pencurian kekayaan laut.

Tumpang tindih pemberantasan pencurian ikan ditandai dengan dibentuknya Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) berdasarkan Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Keamanan Laut. Dasar yuridis pembentukannya adalah UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang dibuat sebagai turunan dari Konvensi tentang Hukum Laut (UNCLOS). Patut diperhatikan adalah UU Perairan tersebut basisnya tentang perhubungan laut dan tidak dengan tegas menyebutkan tentang adanya pemberantasan pencurian ikan. Ditambah lagi, Bakorkamla bersifat koordinasi 13 kementerian dan lembaga

Menjawab tumpang tindih upaya pemberantasan perikanan dapat dilakukan dengan menjalankan mandat UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran untuk membentuk Lembaga Penjaga Laut dan Pantai. Alasannya adalah pertama, lembaga tersebut yang akan fungsi penjagaan dan penegakan peraturan perundang-undangan di laut dan pantai yang termasuk dalamnya UU Perikanan.

Lembaga tersebut akan bertanggungjawab kepada Presiden dan secara teknis operasional dilaksanakan oleh Menteri. Merujuk kepada penjelasan UU Pelayaran bahwa lembaga Penjaga Laut dan Pantai memiliki fungsi komando dalam penegakan aturan di bidang keselamatan dan keamanan pelayaran, dan fungsi koordinasi di bidang penegakan hukum di luar keselamatan pelayaran. Dasar pembentukannya lebih tinggi dari Perpres yaitu berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Kedua, lembaga Penjaga Laut dan Pantai mempunyai tugas, fungsi dan wewenang yang lebih komprehensif dibanding dengan Bakorkamla. Tugas, fungsi dan wewenang Lembaga Penjaga Laut dan Pantai berdasarkan UU Pelayaran yaitu:

Tugas berdasarkan Pasal 276 ayat (1) UU Pelayaran Fungsi berdasarkan Pasal 277 ayat (1) Wewenang berdasarkan Pasal 278 ayat (1)
Untuk menjamin terselenggaranya keselamatan dan keamanan di laut dilaksanakan fungsi penjagaan dan penegakan peraturan perundang-undangan di laut dan pantai. a. melakukan pengawasan keselamatan dan keamanan pelayaran; a. melaksanakan patroli laut;
b. melakukan pengawasan, pencegahan, dan penanggulangan pencemaran di laut; b. melakukan pengejaran seketika (hot pursuit);

 

c. pengawasan dan penertiban kegiatan serta lalu lintas kapal; c. memberhentikan dan memeriksa kapal di laut; dan
d. pengawasan dan penertiban kegiatan salvage,

pekerjaan bawah air, serta eksplorasi dan eksploitasi

kekayaan laut;

d. melakukan penyidikan.
e. pengamanan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran; dan  
f. mendukung pelaksanaan kegiatan pencarian dan

pertolongan jiwa di laut.

 
penjaga laut dan pantai

melaksanakan tugas sebagai Pejabat Penyidik Pegawai

Negeri Sipil sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

 

 

Terakhir, apabila lembaga Penjaga Laut dan Pantai tersebut telah terbentuk maka anggaran dan sumber daya pengawasan dapat terfokus ke dalam satu lembaga khusus. Sehingga anggaran pengawasan laut dapat optimal melakukan upaya pemberantasan pencurian ikan dengan tidak tersebar di kementerian atau lembaga lain.

 

Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi:

A. Marthin Hadiwinata, koordinator Advokasi Hukum dan Kebijakan

di +62812 860 30 453

KIARA: Batalkan Kenaikkan Harga BBM Bersubsidi

PerspektifNews, Jakarta – Dalam merespon kenaikkan harga bahan bakan minyak (BBM) bersubsidi, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mendesak pemerintah agar keputusan tersebut dibatalkan sampai terjadi pembenahan pada fungsi Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN). Selain itu, KIARA juga mendesak terdapatnya jaminan akses dan ketersediaan pasokan BBM bersubsidi bagi nelayan tradisional, serta menindak tegas pelaku penyimpangan BBM bersubsidi sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.

Pada rilis yang diterima PerspektifNews (23/5), KIARA mengungkapkan bahwa walaupun sepanjang tahun 2010-2013 terjadi peningkatan anggaran subsidi BBM jenis tertentu sebesar 182 persen, tetapi para nelayan tradisional tidak mendapatkan haknya. Padahal, menurut KIARA, untuk turun ke laut nelayan harus menyiapkan sedikitnya 60-70 persen dari total ongkos produksinya.

“Maka kondisi tersebut berimbas pada sulitnya keluarga nelayan untuk hidup sejahtera, karena pada saat harga BBM naik dan harga sembako juga meningkat drastis,” ujar Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA.

Fakta lainnya, tahun 2011 KIARA mendapati bahwa akibat adanya kesulitan dalam hal akses dan rutinitas pasokan BBM bersubsidi pada 237 unit SPBN di wilayah Indonesia, menjadikan nelayan tradisional sebagai kelompok masyarakat yang paling dirugikan. Hal itu ditambah lagi dengan adanya keputusan kenaikkan harga solar sebesar Rp 200 pada tahun 2012.

“Apa lagi, penyimpangan pemakaian BBM bersubsidi juga marak terjadi di SPBN. Misalnya di Kota Tarakan, Kalimantan Timur, dan sebagainya,” ungkap Abdul Halim.

Dari data-data yang dihimpun oleh KIARA pada Mei 2013 terhadap kondisi nelayan tradisional di daerah Gresik (Jawa Timur), Langkat (Sumatera Utara), Tarakan (Kalimantan Timur), dan Lombok (Nusa Tenggara Barat), terungkap bahwa ribuan kaum nelayan mengalami kesulitan untuk mengakses BBM bersubsidi. Selain itu, seringkali mereka akhirnya membeli solar dengan harga Rp 5.000 – Rp 5.500 per liter.

“Kelangkaan dan tingginya harga solar menyebabkan nelayan tradisional harus mengurangi waktu melaut. Dampaknya, penghasilan berkurang dan hutang menumpuk,” kata Abdul Halim. (NHP)

Sumber: http://www.perspektifnews.com/4718/kiara-batalkan-kenaikkan-harga-bbm-bersubsidi/

Reklamasi Pantai Legalkan Penggusuran Nelayan Tradisional

MedanBisnis –  Jakarta. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengatakan, reklamasi pantai berpotensi untuk melegalkan aktivitas penggusuran nelayan tradisional sehingga pemerintah diminta untuk menolak beragam bentuk reklamasi pantai.

“Reklamasi pantai merupakan bentuk penyingkiran masyarakat nelayan tradisional,” kata Koordinator Pendidikan dan Penguatan Jaringan Kiara, Selamet Daroyni, di Jakarta, Jumat (14/6).

Menurut dia, pihak yang memiliki otoritas seharusnya menyadari bahwa reklamasi pantai akan berdampak terhadap ekosistem pesisir dan laut, antara lain perubahan pola sedimentasi akibat perubahan garis pantai dan hidrologi.

Selain itu, lanjutnya, ekosistem mangrove (“hutan bakau”) baik di pesisir pantai baik yang direklamasi atau kawasan sekitarnya juga dinilai akan rusak.

Hal itu, kata Selamet, juga akan mengakibatkan hilangnya fungsi ekologis sebagai daerah perlindungan pantai dan filter sedimentasi.

“Fungsi untuk lokasi pembesaran dan perlindungan ikan menjadi hilang. Demikian juga sirkulasi dalam waduk sangat lemah sehingga berdampak pada masalah eutrofikasi akibat suplai organik dari sungai-sungai yang tersumbat karena keberadaan reklamasi,” katanya.

Di samping itu, ia menegaskan bahwa Perpres No 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No 3/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian UU No 27/2007.

Putusan itu, lanjutnya, menegaskan pelarangan praktik pengkaplingan dan komersialisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

“Dengan harapan agar kehidupan masyarakat nelayan tradisional tidak semakin dimiskinkan dan terdiskriminasi, Kiara mendesak Presiden SBY untuk menjalankan Putusan MK dengan mengevaluasi Perpres dan aturan terkait lainnya,” kata Selamet.

Ia juga menginginkan agar pemerintah melakukan harmonisasi kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam rangka memenuhi dan melindungi hajat hidup masyarakat nelayan tradisional.

Sebelumnya, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menginginkan adanya Peraturan Presiden terkait pemberdayaan nelayan yang lebih kuat dan tegas dalam meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat pesisir di Tanah Air.

“Berdasarkan UU No 31/2004 tentang Perikanan, pemerintah seharusnya mengeluarkan Peraturan Pemerintah untuk memberdayakan nelayan-nelayan kecil,” kata Pembina KNTI Riza Damanik (ant )

Sumber: http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2013/06/15/34871/reklamasi_pantai_legalkan_penggusuran_nelayan_tradisional/#.Ub6D89i7HKc

Govt urged to cancel fuel price increase

The Jakarta Post, Jakarta | National | Thu, May 23 2013, 9:25 PM

The People’s Coalition for Fisheries Justice (KIARA) has called on the government to reconsider its plan to raise the price of subsidized premium gasoline by Rp 2,000 (20 US cents) and diesel fuel by Rp 1,000 in June as the increase would not be accompanied by a guarantee that fishermen would have better access to fuel.

“We urge the government to cancel its plan to raise the price of subsidized fuel unless it improves the function of fuel stations for fishermen and guarantees access and the availability of subsidized fuel for traditional fishermen,” said KIARA secretary-general Abdul Halim in a statement on Thursday.

KIARA data shows that during 2010-2013, the government’s allocation for the subsidy fuel had increased by 182 percent.

Despite such an increase, Halim said traditional fishermen still lacked access to subsidized fuel whereas fuel accounted for 60 to 70 percent of a fisherman’s costs.

“As a result, fishermen’s families keep find it difficult to improve their welfare,” he said.

In a survey, KIARA found poor access and availability of subsidized fuel at 237 fuel stations for fishermen in areas across the country in 2011, in which traditional fishermen suffered the most.

The reported illicit use of subsidized fuel at many fuel stations such as in Tarakan, East Kalimantan, aggravates the problem.

“Authorities should take tough measures to sanction fuel station owners and users who are involved in the illicit use of subsidized fuel,” said Halim. (ebf)