Govt urged to cancel fuel price increase

The Jakarta Post, Jakarta | National | Thu, May 23 2013, 9:25 PM

The People’s Coalition for Fisheries Justice (KIARA) has called on the government to reconsider its plan to raise the price of subsidized premium gasoline by Rp 2,000 (20 US cents) and diesel fuel by Rp 1,000 in June as the increase would not be accompanied by a guarantee that fishermen would have better access to fuel.

“We urge the government to cancel its plan to raise the price of subsidized fuel unless it improves the function of fuel stations for fishermen and guarantees access and the availability of subsidized fuel for traditional fishermen,” said KIARA secretary-general Abdul Halim in a statement on Thursday.

KIARA data shows that during 2010-2013, the government’s allocation for the subsidy fuel had increased by 182 percent.

Despite such an increase, Halim said traditional fishermen still lacked access to subsidized fuel whereas fuel accounted for 60 to 70 percent of a fisherman’s costs.

“As a result, fishermen’s families keep find it difficult to improve their welfare,” he said.

In a survey, KIARA found poor access and availability of subsidized fuel at 237 fuel stations for fishermen in areas across the country in 2011, in which traditional fishermen suffered the most.

The reported illicit use of subsidized fuel at many fuel stations such as in Tarakan, East Kalimantan, aggravates the problem.

“Authorities should take tough measures to sanction fuel station owners and users who are involved in the illicit use of subsidized fuel,” said Halim. (ebf)

Govt urged to cancel fuel price increase

The Jakarta Post, Jakarta | National | Thu, May 23 2013, 9:25 PM

The People’s Coalition for Fisheries Justice (KIARA) has called on the government to reconsider its plan to raise the price of subsidized premium gasoline by Rp 2,000 (20 US cents) and diesel fuel by Rp 1,000 in June as the increase would not be accompanied by a guarantee that fishermen would have better access to fuel.

“We urge the government to cancel its plan to raise the price of subsidized fuel unless it improves the function of fuel stations for fishermen and guarantees access and the availability of subsidized fuel for traditional fishermen,” said KIARA secretary-general Abdul Halim in a statement on Thursday.

KIARA data shows that during 2010-2013, the government’s allocation for the subsidy fuel had increased by 182 percent.

Despite such an increase, Halim said traditional fishermen still lacked access to subsidized fuel whereas fuel accounted for 60 to 70 percent of a fisherman’s costs.

“As a result, fishermen’s families keep find it difficult to improve their welfare,” he said.

In a survey, KIARA found poor access and availability of subsidized fuel at 237 fuel stations for fishermen in areas across the country in 2011, in which traditional fishermen suffered the most.

The reported illicit use of subsidized fuel at many fuel stations such as in Tarakan, East Kalimantan, aggravates the problem.

“Authorities should take tough measures to sanction fuel station owners and users who are involved in the illicit use of subsidized fuel,” said Halim. (ebf)

KIARA: Reklamasi Pantai Wujud Diskriminasi Pemerintahan SBY Terhadap Masyarakat Nelayan Tradisional

Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

www.kiara.or.id

KIARA: Reklamasi Pantai Wujud Diskriminasi Pemerintahan SBY
Terhadap Masyarakat Nelayan Tradisional

Jakarta, 14 Juni 2013. Terjadinya diskriminasi terhadap masyarakat nelayan semakin meningkat akibat proses pembangunan yang kian merampas wilayah perairan tradisionalnya. Hal ini disampaikan oleh Dewan HAM PBB melalui Resolusi Nomor A/HRC/19/75 tentang “Kemajuan Hak-hak Petani dan Masyarakat Lain yang Bekerja di Pedesaan”.

Pusat Data dan Informasi KIARA (Juni 2013) mendapati fakta bahwa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang tengah menjalankan proyek reklamasi tersebar di 22 kabupaten/kota di Indonesia. Sedikitnya 18.151 KK nelayan tradisional di 8 wilayah pesisir tergusur akibat praktek pengkaplingan dan komersialisasi melalui reklamasi pantai (lihat Tabel 1).

Tabel 1. Kawasan Reklamasi Pantai dan Jumlah Nelayan Tergusur

No Kawasan Reklamasi Jumlah Nelayan Tergusur
1 Teluk Jakarta 7.000 KK
2 Pantai Marina, Semarang 1.370 KK
3 Teluk Balikpapan 1.800 KK
4 Manado, Sulawesi Utara 1.500 KK
5 Teluk Palu, Sulawesi Tengah 500 KK
6 Pantai Kenjeran, Surabaya 600 KK
7 Pantai Losari, Makasar 4.690 KK
8 Pulau Serangan, Bali 691 KK
  Jumlah 18.151 KK

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (Juni 2013)

Selamet Daroyni, Koordinator Pendidikan dan Penguatan Jaringan KIARA mengatakan bahwa, “Reklamasi pantai merupakan bentuk penyingkiran masyarakat nelayan tradisional. Inilah praktek pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Negara. Belum lagi dampaknya terhadap ekosistem pesisir dan laut, di antaranya: (1) perubahan pola sedimentasi akibat perubahan garis pantai, hidrologi dan potensi intensitas kegiatan di lokasi reklamasi; dan (2) ekosistem mangrove (baik di pesisir pantai yang direklamasi maupun kawasan disekitarnya) akan rusak sehingga fungsi ekologis sebagai daerah perlindungan pantai, filter sedimen serta lokasi pembesaran dan perlindungan ikan menjadi hilang. Demikian juga sirkulasi dalam ‘waduk’ sangat lemah sehingga berdampak pada masalah eutrofikasi akibat suplai organik dari sungai-sungai yang ‘tersumbat’ karena keberadaan reklamasi”.

Di samping itu, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil jelas bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil terhadap UUD 1945 yang menegaskan pelarangan praktek pengkaplingan dan komersialisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Dengan harapan agar kehidupan masyarakat nelayan tradisional tidak semakin dimiskinkan dan terdiskriminasi, KIARA mendesak Presiden SBY untuk menjalankan Putusan Mahkamah Konstitusi dengan mengevaluasi Perpres dan aturan terkait lainnya; serta melakukan harmonisasi kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam rangka memenuhi dan melindungi hajat hidup masyarakat nelayan tradisional.***
Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:

Selamet Daroyni, Koordinator Divisi Pendidikan dan Penguatan Jaringan
di +62 821 1068 3102

 

KIARA: Reklamasi Pantai Wujud Diskriminasi Pemerintahan SBY Terhadap Masyarakat Nelayan Tradisional

Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

www.kiara.or.id

KIARA: Reklamasi Pantai Wujud Diskriminasi Pemerintahan SBY
Terhadap Masyarakat Nelayan Tradisional

Jakarta, 14 Juni 2013. Terjadinya diskriminasi terhadap masyarakat nelayan semakin meningkat akibat proses pembangunan yang kian merampas wilayah perairan tradisionalnya. Hal ini disampaikan oleh Dewan HAM PBB melalui Resolusi Nomor A/HRC/19/75 tentang “Kemajuan Hak-hak Petani dan Masyarakat Lain yang Bekerja di Pedesaan”.

Pusat Data dan Informasi KIARA (Juni 2013) mendapati fakta bahwa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang tengah menjalankan proyek reklamasi tersebar di 22 kabupaten/kota di Indonesia. Sedikitnya 18.151 KK nelayan tradisional di 8 wilayah pesisir tergusur akibat praktek pengkaplingan dan komersialisasi melalui reklamasi pantai (lihat Tabel 1).

Tabel 1. Kawasan Reklamasi Pantai dan Jumlah Nelayan Tergusur

No Kawasan Reklamasi Jumlah Nelayan Tergusur
1 Teluk Jakarta 7.000 KK
2 Pantai Marina, Semarang 1.370 KK
3 Teluk Balikpapan 1.800 KK
4 Manado, Sulawesi Utara 1.500 KK
5 Teluk Palu, Sulawesi Tengah 500 KK
6 Pantai Kenjeran, Surabaya 600 KK
7 Pantai Losari, Makasar 4.690 KK
8 Pulau Serangan, Bali 691 KK
  Jumlah 18.151 KK

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (Juni 2013)

Selamet Daroyni, Koordinator Pendidikan dan Penguatan Jaringan KIARA mengatakan bahwa, “Reklamasi pantai merupakan bentuk penyingkiran masyarakat nelayan tradisional. Inilah praktek pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Negara. Belum lagi dampaknya terhadap ekosistem pesisir dan laut, di antaranya: (1) perubahan pola sedimentasi akibat perubahan garis pantai, hidrologi dan potensi intensitas kegiatan di lokasi reklamasi; dan (2) ekosistem mangrove (baik di pesisir pantai yang direklamasi maupun kawasan disekitarnya) akan rusak sehingga fungsi ekologis sebagai daerah perlindungan pantai, filter sedimen serta lokasi pembesaran dan perlindungan ikan menjadi hilang. Demikian juga sirkulasi dalam ‘waduk’ sangat lemah sehingga berdampak pada masalah eutrofikasi akibat suplai organik dari sungai-sungai yang ‘tersumbat’ karena keberadaan reklamasi”.

Di samping itu, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil jelas bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil terhadap UUD 1945 yang menegaskan pelarangan praktek pengkaplingan dan komersialisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Dengan harapan agar kehidupan masyarakat nelayan tradisional tidak semakin dimiskinkan dan terdiskriminasi, KIARA mendesak Presiden SBY untuk menjalankan Putusan Mahkamah Konstitusi dengan mengevaluasi Perpres dan aturan terkait lainnya; serta melakukan harmonisasi kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam rangka memenuhi dan melindungi hajat hidup masyarakat nelayan tradisional.***
Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:

Selamet Daroyni, Koordinator Divisi Pendidikan dan Penguatan Jaringan
di +62 821 1068 3102