Kala Puluhan Ribu Warga sampai Kawasan Konservasi Laut “Dikorbankan” Demi PLTU Batang

Oleh Sapariah Saturi,  June 9, 2013 11:17 pm

Anjing menggonggong kafilah berlalu. Tampaknya pepatah ini cocok dilabelkan kepada pemerintah dalam rencana pembangunan PLTU Batang. Meskipun protes warga terus menerus, semangat merealisasikan proyek yang masuk bagian MP3EI ini tak pernah surut. Pembangunan seakan ‘wajib’ meskipun harus mengubah kawasan konservasi perairan laut daerah (KKLD) dan mengancam tempat hidup tak kurang 10.961 nelayan. Juga ribuan petani yang lahan produktif mereka ‘dipaksa’ menjadi lahan proyek.

PLTU Batang akan dibangun di lahan seluas 700 hektar berkapasitas 2.000 mega watt (MW) oleh PT Bimasena Power Indonesia. Abdul Salim, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengatakan, ironis karena proyek ini akan mengubah lahan pertanian produktif dan KKLD yang menjadi sumber pangan perikanan masyarakat Batang dan Jawa Tengah.

Nelayan-nelayan terdampak PLTU ini tersebar di enam desa, yaitu Ponowareng, Karanggeneng, Wonokerso, Ujungnegoro, Sengon (Roban Timur) dan Kedung Segog (Roban Barat).

Demi memuluskan proyek ini, Keputusan Bupati Batang Nomor 523/283/2005, tertanggal 15 Desember 2005 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Laut Daerah Pantai Ujungnegoro-Roban Kabupaten Batang, dianulir.

Muncul Keputusan Bupati Batang Nomor 523/306/2011, tanggal 19 September 2011. Muncul lagi,  SK Bupati Batang Nomor 523/194/2012 tentang Pencadangan Kawasan Taman Pesisir Ujung Negoro-Roban dan Sekitarnya. Kawasan konservasipun menyusut. “Sebelumnya luas mencapai 6.893,75 hektar dengan panjang bentang pantai sejauh tujuh km,” katanya dalam rilis kepada media Rabu (5/6/13).

Empat desa yang termasuk KKLD Ujungnegoro – Roban Kabupaten Batang itu meliputi Desa Ujungnegoro, Desa Karanggeneng, Desa Ponowareng dan Desa Kedung Segog, Kecamatan Roban. Nasib serupa juga dialami petani di desa-desa ini.

Pada Hari Lingkungan Hidup 5 Juni lalu, masyarakat nelayan tradisional Kabupaten Batang menyerukan Presiden SBY memenuhi hak konstitusional mereka. “Mereka meminta akses ke laut dan mendapatkan lingkungan hidup, perairan bersih dan sehat.”

Sutiyamah, perempuan nelayan Batang tergabung dalam Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) mengatakan, perolehan ikan di perairan Batang sangat tinggi. Dalam waktu lima sampai eman jam nelayan melaut bisa membawa pulang pendapatan berkisar Rp400-Rp500 ribu. Dalam kondisi baik, nelayan bisa meraup penghasilan Rp2-Rp3 juta.  “Keluarga nelayan di Batang, bisa hidup layak,” katanya.

Jumlah nelayan Kabupaten Batang mencapai 10.961 orang, namun bila dihitung bersama istri dan anak-anak mereka, sekitar 54.805 jiwa hidup dari sektor perikanan. Karno, nelayan tradisional Batang menambahkan, jika proyek PLTU lanjut, nelayan tradisional dan lima tempat pelelangan ikan (TPI) tersebar di enam desa dipastikan tergusur. Padahal, nelayan tradisional Demak, Pati, Jepara, Kendal, Semarang, Tawang, bahkan dari Wonoboyo, Surabaya, Gresik, Pemalang, Gebang dan Indramayu juga mencari ikan di kawasan pesisir Batang.

Andiono Direktur LBH Semarang menjelaskan, potensi perikanan di Batang, seperti ikan, udang, cumi, ranjungan, kepinting dan kerang sangat besar dan menjadi sumber penghidupan masyarakat Batang dan sekitar.

Tak hanya menggusur enam desa, rencana PLTU Batang ini berpotensi mengganggu perekonomian serta keberlanjutan lingkungan hidup di 12 desa sekitar lokasi proyek. Desa-desa ini adalah Desa Juragan, Sumur, Sendang, Wonokerto, Bakalan, Seprih, Tulis, Karang Talon, Simbang Desa, Jeragah Payang, Simbar Jati, dan Gedong Segog.

Selamet Daroyni, Koordinator Pendidikan dan Penguatan Jaringan Kiara, mendesak pemerintah membatalkan rencana pembangunan PLTU Batang. Apalagi penetapan Pantai Ujungnegoro – Roban sebagai KKLD karena kawasan ini melindungi tiga obyek penting dalam menjaga ekosistem.

Pertama, kawasan Karang Kretek yang memiliki peran penting melindungi potensi sumberdaya ikan bagi nelayan tradisional. Kedua, kawasan situs Syekh Maulana Maghribi, berperan dalam penyebaran agama Islam di Batang. Ketiga, kawasan wisata Pantai Ujungnegoro yang memberikan andil pada perkembangan industri pariwisata dan kebudayaan Kabupaten Batang.

Aksi-aksi protes masyarakat petani dan nelayan terus berlanjut. Mereka pun mendapatkan teror, ancaman sampai penangkapan-penangkapan. Aksi tak hanya di daerah, tetapi sampai ke pemerintah pusat di Jakarta.

Pada Selasa (30/4/13), sekitar 500an warga Batang aksi di depan Kantor Kementerian Perekonomian. Saat itu, Hatta Rajasa, selaku Menteri Koordinator Perekonomian sekaligus ketua MP3EI tak bisa hadir dengan alasan sedang bersama Presiden. Lucky Eko Wuryanto, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah, Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi, menemui warga.

Saat mendengar ‘curhat’ warga, Lucky mengaku prihatin dan akan menindaklanjuti masalah ini. “Kami yang di sini tak bisa peka menangkap apa yang terjadi di lapangan. Tetapi, dari Menko tak ada niatan masalah jadi seperti ini,” ujar dia.

Dari atas mobil bak terbuka, Lucky meminta warga bersabar. Dia akan menyampaikan semua keberatan warga. “Kami harap ada langkah dilakukan. Kami akan dengarkan semua pihak, baik institusi maupun masyarakat.” Dia meminta, warga kembali ke desa sambil menunggu penyelesaikan kasus ini.

Selang beberapa hari setelah itu, dalam statemen kepada media, Lucky mengatakan, pembangunan PLTU Batang, tetap berjalan sesuai rencana. Seperti dikutip dari Jakarta Post, 11 Mei 2013, dia mengatakan, pemerintah akan melakukan berbagai cara guna memastikan proyek PLTU Batang, berjalan lancar. Protes-protes dan kontroversi yang muncul seputar pembangunan ini oleh warga dan organisasi lingkungan pada dasarnya menyesatkan.

Dikutip dari Jpnn.com, 12 Mei 2013, Lucky mengatakan, pembangunan PLTU kemungkinan awal tahun depan. Pembangunan ini mengalami banyak hambatan, salah satu pembebasan lahan, hingga perkiraan awal selesai 2017 mengalami kemunduran setahun. Namun, pembebasan tanah sudah mencapai 80 persen dan diperkirakan Juni dan Juli masalah tuntas.

Menurut dia, pembangunan PLTU menggunakan teknologi terkini, Ultra Super Criticel hingga tidak ada pencemaran seperti di Tanjung Jati atau di lokasi lain yang menyebabkan polusi.

 

Pengaturan Kawasan Pantai Ujungnegoro dan Roban. Dokumen: Badan Lingkungan Hidup Jawa Tengah
Peta Struktur Rencana Zonasi Kawasan Konservasi Laut Daerah. Dokumen: LBH Semarang
Sumber: http://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2013/05/batang-menko5-20130430_111211.jpg

Pemberantasan Pencurian Ikan: Sea and Coast Guard Jawaban Tumpang Tindih Koordinasi

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

Pemberantasan Pencurian Ikan: Sea and Coast Guard Jawaban Tumpang Tindih Koordinasi

Jakarta, 10 Juni 2013. Pengawasan perikanan Indonesia tidak optimal disebabkan adanya tumpang tindih antar kementerian sektoral sehingga pencurian ikan tidak akan pernah bisa berkurang. Data KIARA menunjukkan sepanjang 2001 – 2013, terdapat 6.215 kasus pencurian ikan. Dari jumlah itu, 60 persen lebih atau 3.782 kasus terjadi hingga Nopember 2012.

Penyidikan tindak pidana di bidang perikanan dilakukan berdasarkan Pasal 73 UU No. 31 Tahun 2004 jo UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Penyidik Perwira TNI AL dan/atau Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal tersebut menjadi dasar penyidikan pencurian ikan dapat dilakukan dilakukan oleh lembaga yang disebut.

Selain itu juga dalam beberapa peraturan perundngan yang terkait dengan semisal di UU Tentara Nasional Indonesia juga memandatkan upaya pemberantasan pencurian ikan. Dalam penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf g angka 3 UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia menjelaskan TNI bertugas untuk menjaga kedaulatan Negara yang berupa ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan Negara termasuk juga ancaman keamanan di laut atau udara yurisdiksi nasional Indonesia, termasuk Penangkapan ikan secara ilegal atau pencurian kekayaan laut.

Tumpang tindih pemberantasan pencurian ikan ditandai dengan dibentuknya Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) berdasarkan Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Keamanan Laut. Dasar yuridis pembentukannya adalah UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang dibuat sebagai turunan dari Konvensi tentang Hukum Laut (UNCLOS). Patut diperhatikan adalah UU Perairan tersebut basisnya tentang perhubungan laut dan tidak dengan tegas menyebutkan tentang adanya pemberantasan pencurian ikan. Ditambah lagi, Bakorkamla bersifat koordinasi 13 kementerian dan lembaga .

Menjawab tumpang tindih upaya pemberantasan perikanan dapat dilakukan dengan menjalankan mandat UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran untuk membentuk Lembaga Penjaga Laut dan Pantai. Alasannya adalah pertama, lembaga tersebut yang akan fungsi penjagaan dan penegakan peraturan perundang-undangan di laut dan pantai yang termasuk dalamnya UU Perikanan.

Lembaga tersebut akan bertanggungjawab kepada Presiden dan secara teknis operasional dilaksanakan oleh Menteri. Merujuk kepada penjelasan UU Pelayaran bahwa lembaga Penjaga Laut dan Pantai memiliki fungsi komando dalam penegakan aturan di bidang keselamatan dan keamanan pelayaran, dan fungsi koordinasi di bidang penegakan hukum di luar keselamatan pelayaran. Dasar pembentukannya lebih tinggi dari Perpres yaitu berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Kedua, lembaga Penjaga Laut dan Pantai mempunyai tugas, fungsi dan wewenang yang lebih komprehensif dibanding dengan Bakorkamla. Tugas, fungsi dan wewenang Lembaga Penjaga Laut dan Pantai berdasarkan UU Pelayaran yaitu:

Tugas berdasarkan Pasal 276 ayat (1) UU Pelayaran Fungsi berdasarkan Pasal 277 ayat (1) Wewenang berdasarkan Pasal 278 ayat (1)
Untuk menjamin terselenggaranya keselamatan dan keamanan di laut dilaksanakan fungsi penjagaan dan penegakan peraturan perundang-undangan di laut dan pantai. a. melakukan pengawasan keselamatan dan keamanan pelayaran; a. melaksanakan patroli laut;
b. melakukan pengawasan, pencegahan, dan penanggulangan pencemaran di laut; b. melakukan pengejaran seketika (hot pursuit);

 

c. pengawasan dan penertiban kegiatan serta lalu lintas kapal; c. memberhentikan dan memeriksa kapal di laut; dan
d. pengawasan dan penertiban kegiatan salvage,

pekerjaan bawah air, serta eksplorasi dan eksploitasi

kekayaan laut;

d. melakukan penyidikan.
e. pengamanan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran; dan  
f. mendukung pelaksanaan kegiatan pencarian dan

pertolongan jiwa di laut.

 
penjaga laut dan pantai

melaksanakan tugas sebagai Pejabat Penyidik Pegawai

Negeri Sipil sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

 

Terakhir, apabila lembaga Penjaga Laut dan Pantai tersebut telah terbentuk maka anggaran dan sumber daya pengawasan dapat terfokus ke dalam satu lembaga khusus. Sehingga anggaran pengawasan laut dapat optimal melakukan upaya pemberantasan pencurian ikan dengan tidak tersebar di kementerian atau lembaga lain.

 

Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi:

A. Marthin Hadiwinata, koordinator Advokasi Hukum dan Kebijakan

di +62812 860 30 453

 

Pasal Siluman Peraturan Menteri Keungan Rugikan Negara Triliunan Rupiah

KBR68H, Jakarta – Pasal siluman dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Usaha Perikanan Tangkap dinilai merugikan negara hingga puluhan triliun rupiah. Dalam pasal tersebut memuat legitimasi praktik penangkapan ikan ilegal lewat alih muatan (transhipment) hasil laut dengan menggunakan kapal di atas 1000 GT yang hanya dimiliki perusahaan asing.

Sekretaris Jenderal KIARA, Abdul Halim mengatakan, kapal tersebut dapat mengambil ikan di perairan Indonesia tanpa harus melalui pelabuhan pangkalan. Menurutnya, pihak internal Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagian mendapat keuntungan pribadi dari aturan tersebut.

“Karena saat diterbitkan aturan ini, muncul juga protes di internal Kementerian Kelautan dan Perikanan, yang memunculkan pergantian di direktorat jenderal perikanan tangkap. Karena pada prosesnya tidak ada aturan itu, nah pada saat di meja menteri, itu muncul aturan tersebut, tapi sayangnya tidak direvisi, tapi justru disahkan,” kata Abdul Halim kepada KBR68H.

Sekretaris Jenderal KIARA, Abdul Halim menambahkan, pasal tersebut bertentangan dengan Undang Undang Perikanan dan Keputusan Menteri Kelautan dan perikanan tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulanan Illegal. KIARA menuntut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertindak tegas atas temuan ini.

Editor: Suryawijayanti

Sumber: http://www.iyaa.com/berita/nasional/umum/2668761_1124.html

KIARA: Pembangunan PLTU Batang Gusur 10.961 Nelayan Tradisional

Batang, GATRAnews – Dalam rangka Hari Lingkungan Hidup 2013, masyarakat nelayan tradisional Kabupaten Batang, Jawa Tengah, mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar memperhatikan ancaman penggusuran dari pembangunan PLTU Batang. “Saat ini ada setidaknya 10.961 nelayan tradisional Batang yang terancam adanya pembangunan PLTU berkapasitas 2.000 MW,” kata Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA, dalam siaran persnya, Jumat, (7/6). Selain para nelayan, lanjut Halim, petani yang tersebar di 6 desa, yaitu Ponowareng, Karanggeneng, Wonokerso, Ujungnegoro, Sengon (Roban Timur) dan Kedung Segog (Roban Barat) juga mengalami nasib yang sama.

Seperti diketahui, PLTU Batang direncanakan akan dibangun di lahan seluas 700 hektare dan dilakukan oleh PT Bimasena Power Indonesia. Namun, menurut penilaian KIARA, proyek ini akan mengubah lahan pertanian produktif dan kawasan konservasi laut daerah (KKLD) yang menjadi sumber pangan perikanan masyarakat Batang dan Jawa Tengah. Bupati Batang justru mengeluarkan Surat Keputusan Bupati Batang Nomor 523/194/2012 tentang Pencadangan Kawasan Taman Pesisir Ujung Negoro-Roban dan Sekitarnya yang menganulir SK Bupati Batang Nomor 523/283/2005 tanggal 15 Desember 2005 dengan luas mencapai 6.893,75 ha dengan panjang bentang pantai sejauh 7 km. Empat desa yang termasuk dalam kawasan KKLD Ujungnegoro – Roban Kabupaten Batang meliputi Desa Ujungnegoro, Desa Karanggeneng, Desa Ponowareng dan Desa Kedung Segog, Kecamatan Roban.
Sutiyamah, perempuan nelayan Batang yang tergabung di dalam Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) mengatakan bahwa, “Saking produktifnya perairan Batang dalam rentang waktu 5-6 jam nelayan tradisional melaut bisa membawa pulang pendapatan berkisar Rp400.000-Rp500.000. Sementara dalam kondisi baik, nelayan bisa berpendapatan sebesar Rp2.000.000-Rp3.000.000. Dengan anugerah ini, keluarga nelayan di Batang bisa hidup layak”.
Jumlah nelayan Kabupaten Batang mencapai 10.961 orang, namun bila dihitung bersama istri dan anak-anak mereka, maka terdapat sekitar 54.805 jiwa yang hidup dari sektor perikanan. “Jika proyek PLTU diteruskan, maka nelayan tradisional dan 5 TPI/Tempat Pelelangan Ikan yang tersebar di 6 desa tersebut dipastikan tergusur. Padahal, nelayan tradisional Demak, Pati, Jepara, Kendal, Semarang, Tawang, dan bahkan dari Wonoboyo, Surabaya, Gresik, Pemalang, Gebang dan Indramayu juga mencari ikan di kawasan pesisir Batang”, tutur Karno, 48 tahun, nelayan tradisional Batang seperti dikutip KIARA.

Oleh karena itu, mendapati produktivitas perikanan tangkap di Kabupaten Batang atau terbesar ke-4 di Jawa Tengah (DKP Provinsi Jateng, 2012), Selamet Daroyni, Koordinator Pendidikan dan Penguatan Jaringan KIARA mendesak pemerintah untuk membatalkan rencana pembangunan PLTU di Batang. Apalagi pendekatan Kawasan Konservasi Laut Daerah Pantai Ujungnegoro – Roban sebagai KKLD adalah dikarenakan kawasan ini melindungi 3 obyek penting dalam menjaga ekosistem, yaitu: (1) kawasan Karang Kretek yang memiliki peran penting melindungi potensi sumberdaya ikan bagi nelayan tradisional; (2) kawasan situs Syekh Maulana Maghribi yang berperan dalam penyebaran agama Islam di Batang; dan (3) kawasan wisata pantai Ujungnegoro yang memberikan andil pada perkembangan industri pariwisata dan kebudayaan Kabupaten Batang (DKP Kabupaten Batang, 2009) (NHi)

Sumber: http://www.gatra.com/nusantara-1/jawa-1/32062-kiara-pembangunan-pltu-batang-gusur-10-961-nelayan-tradisional.html

KIARA: Longgarkan Pencurian Ikan, Presiden SBY Harus Tegur Menteri Kelautan dan Perikanan

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

www.kiara.or.id

KIARA: Longgarkan Pencurian Ikan,

Presiden SBY Harus Tegur Menteri Kelautan dan Perikanan

Jakarta, 7 Juni 2013. Praktek penangkapan ikan ilegal, tidak diatur, dan tidak dilaporkan (IUU fishing) menjadi salah satu perhatian banyak Negara, termasuk Indonesia. Sepanjang tahun 2013, sedikitnya 39 kapal asing memasuki perairan Indonesia dan menangkap ikan secara ilegal. Pusat Data dan Informasi KIARA (Juni 2013) mendapati kapal-kapal tersebut berasal dari Malaysia, Cina, Filipina, Korea, Thailand, Vietnam, dan Myanmar. Praktek ini jelas merugikan negara dalam menjaga kelestarian ekosistem laut dan keberlanjutan sumber pangan perikanan.

Praktik pencurian ikan di perairan Indonesia tahun demi tahun bertambah banyak. Sepanjang 2001 – 2013, terdapat 6.215 kasus pencurian ikan (lihat Tabel 1). Dari jumlah itu, 60 persen lebih atau 3.782 kasus terjadi hingga Nopember 2012. Ironisnya, Menteri Kelautan dan Perikanan justru mengesahkan aturan yang membolehkan alih muatan (transhipment). Hal ini tertera di dalam Pasal 69 ayat 3 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30 Tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap, “(3) Dalam pelaksanaan transhipment, ikan wajib didaratkan di pelabuhan pangkalan sesuai SIPI atau SIKPI dan tidak dibawa keluar negeri, kecuali bagi kapal penangkap ikan yang menggunakan alat penangkapan ikan purse seine berukuran diatas 1000 (seribu) GT yang dioperasikan secara tunggal”.

Tabel 1. Angka Pencurian Ikan di Perairan Indonesia

No

Tahun

Jumlah

1

2001

155 kasus

2

2002

210 kasus

3

2003

522 kasus

4

2004

200 kasus

5

2005

174 kasus

6

2006

216 kasus

7

2007

184 kasus

8

2008

243 kasus

9

2009

203 kasus

10

2010

183 kasus

 

11

2011

104 kasus

 

12

2012

3.782 kasus

 

13

2013 (Mei 2013)

39 kasus

 

TOTAL

6.215 kasus

 

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (2012)

Selain bertentangan dengan UU Nomor 31 Tahun 2004 jo UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, aturan ini bertolak belakang dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor KEP.50/MEN/2012 Tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing Tahun 2012-2016, yaitu: (1) pemindahan hasil tangkapan di tengah laut atau sea transhipment tanpa didata/dilaporkan kepada aparat yang berwenang; (2) para pelaku tidak melaporkan hasil tangkapannya, untuk menghindari pembayaran pungutan atas usaha yang dilakukan; (3) kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan tidak melapor di pelabuhan pangkalan kapal sesuai izin yang diberikan; dan (4) kapal penangkap ikan langsung dari laut membawa ikan hasil tangkapan ke luar negeri. Keempat modus inilah yang menggarisbawahi (betapa) kontra produktifnya klausul alih muatan (transhipment) dengan upaya memberantas praktek pencurian di laut.

Lebih lanjut, kerjasama yang dijalin oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan FAO dalam menanggulangi praktek IUU fishing tidak akan berdaya guna jika Negara justru melonggarkan aturan usaha perikanan tangkap.

Di tengah minimnya kapasitas Negara melakukan pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan, KIARA mendesak Presiden SBY untuk menegur Menteri Kelautan dan Perikanan agar merevisi peraturan menteri yang berpotensi merugikan Negara dan nelayan tradisional, serta mengganggu ketersediaan sumber pangan perikanan dalam negeri.***

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Abdul Halim, Sekjen KIARA

di +62 815 53100 259

 

 

Hari Lingkungan Hidup 2013 PEMBANGUNAN PLTU BATANG MENGGUSUR 10.961 NELAYAN TRADISIONAL DAN MEMATIKAN SEKTOR PERIKANAN JAWA TENGAH

Siaran Pers Bersama

Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia Batang

Lembaga Bantuan Hukum Semarang

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

 

Hari Lingkungan Hidup 2013

PEMBANGUNAN PLTU BATANG MENGGUSUR 10.961 NELAYAN TRADISIONAL DAN MEMATIKAN SEKTOR PERIKANAN JAWA TENGAH

Batang, 5 Juni 2013. Dalam rangka Hari Lingkungan Hidup 2013, masyarakat nelayan tradisional Kabupaten Batang mendesak Presiden SBY untuk memenuhi hak konstitusional mereka, yakni akses ke laut dan mendapatkan lingkungan hidup dan perairan yang bersih dan sehat. Sebagaimana diketahui, saat ini 10.961 nelayan tradisional Batang terancam adanya pembangunan PLTU berkapasitas 2.000 MW. Selain nelayan, petani yang tersebar di 6 desa, yaitu Ponowareng, Karanggeneng, Wonokerso, Ujungnegoro, Sengon (Roban Timur) dan Kedung Segog (Roban Barat) juga mengalami nasib yang sama.

PLTU Batang direncanakan akan dibangun di lahan seluas 700 hektare dan dilakukan oleh PT Bimasena Power Indonesia. Ironisnya, proyek ini akan mengubah lahan pertanian produktif dan kawasan konservasi laut daerah (KKLD) yang menjadi sumber pangan perikanan masyarakat Batang dan Jawa Tengah. Dalam konteks ini, Bupati Batang justru mengeluarkan Surat Keputusan Bupati Batang Nomor 523/194/2012 tentang Pencadangan Kawasan Taman Pesisir Ujung Negoro-Roban dan Sekitarnya yang menganulir SK Bupati Batang Nomor 523/283/2005 tanggal 15 Desember 2005 dengan luas mencapai 6.893,75 ha dengan panjang bentang pantai sejauh 7 km. Empat desa yang termasuk dalam kawasan KKLD Ujungnegoro – Roban Kabupaten Batang meliputi Desa Ujungnegoro, Desa Karanggeneng, Desa Ponowareng dan Desa Kedung Segog, Kecamatan Roban.

Sutiyamah, perempuan nelayan Batang yang tergabung di dalam Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) mengatakan bahwa, “Saking produktifnya perairan Batang (lihat Tabel 1), dalam rentang waktu 5-6 jam nelayan tradisional melaut bisa membawa pulang pendapatan berkisar Rp400.000-Rp500.000. Sementara dalam kondisi baik, nelayan bisa berpendapatan sebesar Rp2.000.000-Rp3.000.000. Dengan anugerah ini, keluarga nelayan di Batang bisa hidup layak”.

Tabel 1. Volume Produksi Perikanan Laut Kabupaten Batang 2005-2011

Kabupaten/Kota

Tahun

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Batang 12.049 20.293 18.455 22.854 23.296 29.932 31.244

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Jawa Tengah (2012)

Jumlah nelayan Kabupaten Batang mencapai 10.961 orang, namun bila dihitung bersama istri dan anak-anak mereka, maka terdapat sekitar 54.805 jiwa yang hidup dari sektor perikanan. Karno (48), nelayan tradisional Batang menambahkan, “Jika proyek PLTU diteruskan, maka nelayan tradisional dan 5 TPI/Tempat Pelelangan Ikan (lihat Tabel 2) yang tersebar di 6 desa tersebut dipastikan tergusur. Padahal, nelayan tradisional Demak, Pati, Jepara, Kendal, Semarang, Tawang, dan bahkan dari Wonoboyo, Surabaya, Gresik, Pemalang, Gebang dan Indramayu juga mencari ikan di kawasan pesisir Batang”.

Tabel 2. Sebaran TPI di Lokasi PLTU Batang

No Nama TPI Jumlah Perahu Sandar Jumlah Nelayan
1 TPI Roban Barat 128 buah 450 orang
2 TPI Seturi 201 buah 602 orang
3 TPI Celong 143 buah 300 orang
4 TPI Seklayu 205 buah 398 orang
5 TPI Roban Timur 120 buah 361 orang
TOTAL 797 buah 2.111

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (Juni 2013), dihimpun dari keterangan nelayan tradisional Kabupaten Batang.

Direktur LBH Semarang Andiono, SH menjelaskan, “Besarnya potensi perikanan (ikan, udang, cumi, ranjungan, kepinting dan kerang) menjadi sumber penghidupan masyarakat Batang dan sekitarnya. Selain menggusur 6 desa di atas, rencana pembangunan PLTU di Batang berpotensi mengganggu perekonomian serta keberlanjutan lingkungan hidup di 12 desa sekitar lokasi proyek, yakni Desa Juragan, Sumur, Sendang, Wonokerto, Bakalan, Seprih, Tulis, Karang Talon, Simbang Desa, Jeragah Payang, Simbar Jati, dan Gedong Segog”.

Oleh karena itu, mendapati produktivitas perikanan tangkap di Kabupaten Batang atau terbesar ke-4 di Jawa Tengah (DKP Provinsi Jateng, 2012), Selamet Daroyni, Koordinator Pendidikan dan Penguatan Jaringan KIARA mendesak pemerintah untuk membatalkan rencana pembangunan PLTU di Batang. Apalagi pendekatan Kawasan Konservasi Laut Daerah Pantai Ujungnegoro – Roban sebagai KKLD adalah dikarenakan kawasan ini melindungi 3 obyek penting dalam menjaga ekosistem, yaitu: (1) kawasan Karang Kretek yang memiliki peran penting melindungi potensi sumberdaya ikan bagi nelayan tradisional; (2) kawasan situs Syekh Maulana Maghribi yang berperan dalam penyebaran agama Islam di Batang; dan (3) kawasan wisata pantai Ujungnegoro yang memberikan andil pada perkembangan industri pariwisata dan kebudayaan Kabupaten Batang (DKP Kabupaten Batang, 2009).***

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Kontak di Batang

Sutiyamah, Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) Batang

di +62 8128 4733 339

Andiyono, SH, Direktur LBH Semarang

di +62 8139 0075 252

Selamet Daroyni, Koordinator Pendidikan dan Penguatan Jaringan KIARA

di +62 8211 068 3102

Kontak di Jakarta

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA

di +62 815 53100 259

 

Nelayan di Pantai Utara Jepara Kerap Jadi Korban Kriminalisasi

JAKARTA – Para nelayan di pesisir pantai utara, Jawa Tengah, mengikuti pelatihan Paralegal dan Pendidikan Hukum Kritis di Desa Andungrejo, Jepara, Jawa Tengah, karena kerap menjadi sasaran kriminalisasi kasus. Pelatihan yang digelar Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) bekerjasama dengan LBH Semarang dan Forum Nelayan (Fornel) Jepara itu, juga sekaligus mencegah maraknya tambang pasir besi dan pasir laut di pantai.

Sebab, sebelumnya, yakni akhir April 2012 lalu, sebanyak 15 warga Bandungharjo menjadi korban kriminalisasi atas aksi penolakan pertambangan di daerah mereka. Bahkan, sampai 21 Maret lalu, 15 orang tersebut dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri Jepara dan dihukum pidana 6 bulan dengan masa percobaan 8 bulan.

“Selama ini masyarakat nelayan kebingungan untuk menghentikan praktik dan rencana pertambangan yang mengancam lingkungan pesisir. Pendidikan ini sangat penting bagi kami untuk menjaga pantai utara, Jawa Tengah.” ujar salah satu anggota Fornel Dafiq, dalam keterangannya kepada Okezone, Selasa (28/5/2013).

Sementara itu, anggota Fornel lainnya, Sugeng menyatakan, dia beserta rekan-rekannya yang berprofesi sebagai nelayan tradisional membutuhkan pengetahuan tentang hak-hak nelayan dan hukum lingkungan.

“Kami juga butuh tahu aturan pengelolaan kawasan pesisir agar tidak terjadi lagi kriminalisasi oleh perusahaan tambang terhadap nelayan,” kata Sugeng.

Selaku perwakilan LBH Semarang, Misbahul Munir, menyatakan persoalan yang dihadapi nelayan Jepara kaitannya dengan ancaman pertambangan yang bermuara pada Perda Nomor 2 Tahun 2011 tentang RTRW Kabupaten Jepara yang menetapkan sepanjang pantai di Kecamatan Donorojo sebagai kawasan pertambangan.

“Padahal sesuai aturan, seharusnya RTRW Kabupaten Jepara harus mengacu pada aturan RTRW Provinsi Jawa Tengah, yakni Perda Nomor 6 Tahun 2010. Yang sama sekali tidak menyebutkan kawasan pantai utara Jepara sebagai pertambangan, sebagaimana Pasal 80 pada Perda tersebut,” tegas Munir.

Selaku Kordinator Advokasi Hukum, Ahmad Marthin Hadiwinata, menegaskan, hak nelayan dijamin oleh UUD 1945. Hal tersebut, sambungnya, juga disebut pada Pasal 66 Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).

“Bahkan dalam Pasal 35 UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, sudah ditetapkan larangan untuk melakukan penambangan,” tegas Ahmad.

Angkasa Yudhistira – Okezone

Sumber: http://jogja.okezone.com/read/2013/05/28/513/813596/redirect