Petisi Bersama: Lestarikan Laut dengan Kearifan Lokal, Bukan Hutang/Bantuan Asing

Petisi Bersama
Lestarikan Laut dengan Kearifan Lokal, Bukan Hutang/Bantuan Asing

Pengelolaan sumber daya laut yang lestari dan berkelanjutan sudah diterapkan sejak abad ke-16 oleh masyarakat adat yang tersebar di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mencatat di antaranya Sasi di Maluku, Bapongka di Sulawesi Tengah, Awig-awig di Bali dan Nusa Tenggara Barat, serta Ola Nua di Nusa Tenggara Timur. Model pengelolaan ini dilakukan secara swadaya (tanpa dipesan oleh pihak luar) dengan partisipasi aktif seluruh anggota masyarakat. Bahkan tidak membutuhkan dana utang.

Masyarakat perikanan tradisional menyadari bahwa kelestarian dan keberlanjutan sumber daya ikan merupakan prasyarat terwujudnya kehidupan yang sejahtera dan adil. Apalagi mereka mendapati betapa besarnya manfaat sumber daya laut bagi kehidupannya. Berbeda dengan kawasan konservasi perairan yang ditetapkan semau pemerintah semata-mata untuk mendapatkan pinjaman asing dan citra positif di level internasional.

Pusat Data dan Informasi KIARA (Juni 2013) mencatat proyek konservasi yang dilangsungkan di laut Indonesia didanai asing, di antaranya:

  • Pada periode 2004-2011, Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (COREMAP II) mencapai lebih dari Rp1,3 triliun yang sebagian besarnya bersumber dari utang luar negeri Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB);
  • Pemerintah AS melalui lembaga USAID memberikan bantuan hibah kepada Indonesia senilai USD 23 juta. Rencananya, dana hibah diberikan dalam jangka waktu empat tahun yang terdiri dari kawasan konservasi senilai USD 6 juta dan penguatan industriliasasi perikanan senilai USD 17 juta.

Dalam pelaksanaannya, misalnya, program konservasi terumbu karang justru gagal/tidak efektif dan terjadi kebocoran dana berdasarkan Laporan BPK 2013. Sudah terbukti gagal, KKP malah ingin melanjutkan proyek COREMAP III periode 2014-2019 dengan menambah utang konservasi baru sebesar US$80 juta dari Bank Dunia dan ADB. Setali tiga uang, penetapan kawasan konservasi perairan juga memicu konflik horisontal.

Saat ini terdapat skema dan praktek perluasan kawasan konservasi perairan seluas 20 juta hektar di tahun 2020 dilakukan dengan menggunakan dana utang luar negeri dan mengenyampingkan partisipasi aktif nelayan tradisional dan masyarakat adat, serta mengubur kearifan lokal yang sudah dijalankan secara turun-temurun di Indonesia.

Berkenanan dengan hal tersebut, KIARA mengajak Warga Negara Republik Indonesia mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar:

  1. Mengedepankan dan memastikan pengelolaan sumber daya laut berdasarkan kearifan lokal yang sudah dilakoni oleh masyarakat adat dan nelayan tradisional di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia;
  2. Mengevaluasi proyek konservasi laut yang terbukti membebani keuangan Negara, gagal, dan mengebiri hak masyarakat adat dan nelayan tradisional; dan
  3. Menghentikan skema pembiayaan konservasi laut berbasis utang.

Pendukung petisi
(Tulis nama, Asal wilayah/organisasi, Email/FB/Twitter)

Kiara : Konservasi Kelautan Bebani Keuangan Negara

Kiara : Konservasi Kelautan Bebani Keuangan Negara

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyatakan bahwa program konservasi kelautan membebani keuangan negara dan berpotensi meminggirkan kearifan lokal dari para nelayan tradisional.
‘Dalam pelaksanaannya, program konservasi terumbu karang justru tidak efektif dan terjadi kebocoran dana berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan 2013,’ kata Sekjen Kiara Abdul Halim, Selasa.
Abdul Halim mengaku heran bahwa dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) malah ingin melanjutkan proyek COREMAP III periode 2014-2019 dengan menambah utang konservasi baru sebesar 80 juta dolar AS dari Bank Dunia dan ADB.
Selain itu, menurut dia, penetapan kawasan konservasi perairan juga memicu konflik horizontal karena mengenyampingkan partisipasi aktif nelayan tradisional dan masyarakat adat, serta mengubur kearifan lokal yang sudah dijalankan secara turun-temurun di Indonesia.
‘Pengelolaan sumber daya laut yang lestari dan berkelanjutan sudah diterapkan sejak abad ke-16 oleh masyarakat adat yang tersebar di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia,’ katanya.
Kiara mencatat di antaranya Sasi di Maluku, Bapongka di Sulawesi Tengah, Awig-awig di Bali dan Nusa Tenggara Barat, serta Ola Nua di Nusa Tenggara Timur.
Ia mengungkapkan, model pengelolaan ini dilakukan secara swadaya dengan partisipasi aktif seluruh anggota masyarakat dan bahkan tidak membutuhkan dana utang.
Hal tersebut karena masyarakat perikanan tradisional dinilai menyadari bahwa kelestarian dan keberlanjutan sumber daya ikan merupakan prasyarat terwujudnya kehidupan yang sejahtera dan adil.
Apalagi, lanjutnya, mereka mendapati betapa besarnya manfaat sumber daya laut bagi kehidupannya dan berbeda dengan kawasan konservasi perairan yang ditetapkan untuk mendapatkan pinjaman asing dan citra positif di level internasional.(ant/rd)

Sumber: http://www.ciputranews.com/riil/kiara-konservasi-kelautan-bebani-keuangan-negara