KIARA: Target Kawasan Konservasi Perairan 20 Juta Ha Meminggirkan Nelayan Tradisional dan Menisankan Kearifan Lokal

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

www.kiara.or.id

 

KIARA: Target Kawasan Konservasi Perairan 20 Juta Ha

Meminggirkan Nelayan Tradisional

dan Menisankan Kearifan Lokal

 

Jakarta, 9 Juli 2013. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menilai target perluasan kawasan konservasi perairan seluas 20 juta hektar di tahun 2020 dilakukan dengan mengenyampingkan partisipasi aktif nelayan tradisional dan masyarakat adat, serta mengubur kearifan lokal yang sudah dijalankan secara turun-temurun di Indonesia.

Pengelolaan sumber daya laut yang lestari dan berkelanjutan sudah diterapkan sejak abad ke-16 oleh masyarakat adat yang tersebar di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. KIARA mencatat di antaranya Sasi di Maluku, Bapongka di Sulawesi Tengah, Awig-awig di Bali dan Nusa Tenggara Barat, serta Ola Nua di Nusa Tenggara Timur. Model pengelolaan ini dilakukan secara swadaya (tanpa dipesan oleh pihak luar) dengan partisipasi aktif seluruh anggota masyarakat. Bahkan tidak membutuhkan dana hutang.

Masyarakat perikanan tradisional menyadari bahwa kelestarian dan keberlanjutan sumber daya ikan merupakan prasyarat terwujudnya kehidupan yang sejahtera dan adil. Apalagi mereka mendapati betapa besarnya manfaat sumber daya laut bagi kehidupannya. Berbeda dengan kawasan konservasi perairan yang ditetapkan semau pemerintah semata-mata untuk mendapatkan pinjaman asing dan citra positif di level internasional.

Pusat Data dan Informasi KIARA (Juni 2013) mencatat proyek konservasi yang dilangsungkan di laut Indonesia didanai asing, di antaranya: (1) Pada periode 2004-2011, Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (COREMAP II) mencapai lebih dari Rp1,3 triliun yang sebagian besarnya bersumber dari utang luar negeri Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB); (2) Pemerintah AS melalui lembaga USAID memberikan bantuan hibah kepada Indonesia senilai USD 23 juta. Rencananya, dana hibah diberikan dalam jangka waktu empat tahun yang terdiri dari kawasan konservasi senilai USD 6 juta dan penguatan industriliasasi perikanan senilai USD 17 juta.

Dalam pelaksanaannya, program konservasi terumbu karang ini justru gagal/tidak efektif dan terjadi kebocoran dana berdasarkan Laporan BPK 2013. Sudah terbukti gagal, KKP malah ingin melanjutkan proyek COREMAP III periode 2014-2019 dengan menambah utang konservasi baru sebesar US$80 juta dari Bank Dunia dan ADB. Setali tiga uang, penetapan kawasan konservasi perairan juga memicu konflik horisontal.

Lebih ironis lagi, pemerintah secara sepihak mengubah Surat Keputusan Bupati Batang Nomor 523/283/2005 tertanggal 15 Desember 2005 menetapkan Kawasan Konservasi Laut Daerah Daerah (KKLD) Pantai Ujungnegoro-Roban Kabupaten Batang seluas 8.639,75 Ha menjadi hanya 4.015,2 Ha melalui Surat Keputusan Bupati Batang Nomor 523/194/2012 yang kemudian ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan dalam Surat Keputusan Nomor KEP.29/MEN/2012.

KIARA mendapati fakta pengurangan luasan KKLD Pantai Ujungnegoro-Roban dikarenakan kepentingan investasi infrastruktur MP3EI, yakni pembangunan PLTU sebesar 2.000 MW yang menyebabkan kawasan konservasi perairan seluas 4.624.55 Ha tidak terlindungi. Bukan untuk kepentingan masyarakat Indonesia. Karenanya, KIARA mendesak Presiden SBY mengevaluasi proyek konservasi laut yang terbukti membebani keuangan Negara, gagal, dan mengebiri hak masyarakat adat dan nelayan tradisional, serta mengedepankan pengelolaan sumber daya laut sesuai dengan kearifan lokal yang sudah ada.***

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal

di +62 815 53100 259

Ahmad Marthin Hadiwinata, Koordinator Divisi Advokasi Hukum dan Kebijakan

di +62 812 860 30 453

Sutiamah, Perempuan Nelayan Alasroban, Batang, Jawa Tengah

Di +62 812 847 33 339

PELESTARIAN LAUT Perkuat Kearifan Lokal

PELESTARIAN LAUT
Perkuat Kearifan Lokal

Jakarta, Kompas – Kearifan masyarakat lokal dalam mengelola sumber daya pesisirnya terbukti selama turun-temurun mampu menjamin keberlanjutan kehidupannya. Pemerintah diminta memperkuat dan memberdayakan kearifan lokal ini.

Demikian petisi berjudul “Lestarikan Laut dengan Kearifan lokal; Bukan Utang atau Bantuan Asing” yang disebarkan secara daring oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Rabu (10/7). Petisi ini pada 31 Juli akan diserahkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

“Kami mendesak Presiden untuk mengedepankan dan memastikan pengelolaan sumber daya laut berdasarkan kearifan lokal yang sudah dilakoni masyarakat adat dan nelayan tradisional di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia,” kata Abdul Halim, Sekjen Kiara.

Ia menyatakan, pengelolaan sumber daya laut yang lestari dan berkelanjutan diterapkan sejak abad ke-16 oleh masyarakat adat yang tersebar di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Kiara menunjukan sejumlah contoh kearifan lokal yang masih berjalan, seperti sasi di Maluku, Bapongka di Sulawesi Tengah, Awig-awig di Bali dan Nusa Tenggara Barat, serta Ola Nua di Nusa Tenggara Timur.

“Model pengelolaan ini dilakukan secara swadaya dengan partisipasi aktif semua anggota masyarakat. Ini tidak perlu dana utang,” kata Abdul Halim.

Masyarakat perikanan tradisional menyadari kelestarian dan keberlanjutan sumber daya ikan merupakan prasyarat terwujudnya kehidupan yang sejahtera dan adil. Apalagi mereka mendapat manfaat sumber daya laut bagi kehidupannya.

“Berbeda dengan kawasan konservasi perairan yang ditetapkan semau pemerintah semata-mata untuk mendapatkan pinjaman asing dan citra positif di level internasional,” ujarnya.

Pusat Data dan Informasi Kiara (Juni 2013) mencatat proyek konservasi di laut Indonesia yang didanai asing, di antaranya program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (Coremap II 2004-2011)  mencapai lebih dari Rp. 1,3 triliun, sebagian besar bersumber dari utang Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB).

Dia mengatakan, berdasarkan Laporan BPK 2013, program konservasi terumbu karang justru tak efektif dan ada kebocoran dana. Kini, Kementerian Kelautan dan Perikanan melanjutkan proyek coremap III periode 2014-2019 dengan  menambah utang konservasi baru sebesar 80 juta dollar AS dari Bank Dunia dan ADB.

Terkait pinjaman asing pada program konservasi perairan, beberapa waktu lalu, Direktur Jenderal Kelautan Pesisir dan pulau-pulau kecil kementerian Perikanan dan Kelautan Sudirman Saad meminta untuk dilihat secara seimbang. “Memang harus diakui proyek Coremap ada loan, tetapi struktur grant juga tinggi. Contoh, program Coral Triangle Initiative grant semua,” ujarnya.

Upaya konservasi juga menjadi komitmen Indonesia melalui target 20 juta hektar kawasan konservasi laut pada 2020. Kini, luas kawasan sekitar 15 juta hektar.

Abdul Halim mengkhawatirkan program ini mengesampingkan nelayan tradisional dan masyarakat adat serta mengubur kearifan lokal. Kiara menyusun petisi untuk mendesak presiden mengedepankan dan memastikan pengelolaan sumber daya laut berdasarkan kearifan lokal.

Desakan lain, mengevaluasi proyek konservasi laut yang terbukti membebani keuangan negara dan menghentikan skema pembiayaan konservasi laut berbasis utang. (ICH)

Sumber: Harian Kompas, Kamis, 11 Juli 2013, Halaman 13

IKHTIAR KONSTITUSIONAL

IKHTIAR KONSTITUSIONAL

Oleh Abdul Halim

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA);

Anggota Pokja Perikanan Budidaya SEAFish (Southeast Asia Fish for Justice Network);

Koordinator Pokja Perikanan Aliansi untuk Desa Sejahtera (ADS)

JANUARI 2013 menjadi momentum bersejarah bagi 7.512 petambak dan 33.705 jiwa penduduk Indonesia yang hidup di 8 kampung Bumi Dipasena: Sentosa, Utama, Agung, Jaya, Mulya, Makmur, Sejahtera, dan Abadi (Rawajitu Timur dalam Angka 2010); dan tanpa kenal lelah berjuang membumikan cita-cita kemerdekaan Republik di ujung utara Provinsi Lampung. Di bulan itulah, putusan Pengadilan Negeri Menggala menolak gugatan PT. AWS/CPP.

Sebelumnya, PT. AWS/CPP tidak menunjukkan itikad baik dengan memaksakan adanya upaya hukum gugatan ke Pengadilan Negeri Menggala. PT. AWS/CPP menggugat 400 Petambak Plasma dengan masing-masing 200 petambak sebagai tergugat dalam gugatan dengan nomor perkara: 01/PDT.G/2012/PN.MGL dan 04/PDT.G/2012/PN.MGL. Gugatan tersebut didaftarkan pada awal Januari 2012 lalu dan putusannya telah dibacakan di depan publik pada tanggal 17 Januari 2013. Padahal, Komnas HAM tengah memediasi penyelesaian kasus tersebut.

Sejak infrastruktur listrik dimatikan sepihak oleh PT Aruna Wijaya Sakti (AWS) pada tanggal 7 Mei 2011, anak perusahaan PT Central Proteinaprima (CPP), asa untuk hidup bahagia dan makmur tidak serta-merta padam. Inilah sejarah yang bercerita tentang perlawanan atas kesewenang-wenangan (Negara dan korporasi asing).

Petambak Bumi Dipasena meyakini pesan Bung Hatta (12 Agustus 1902–14 Maret 1980), “Indonesia merdeka bukan tujuan akhir kita. Indonesia merdeka hanya syarat untuk bisa mencapai kebahagiaan dan kemakmuran rakyat. Indonesia merdeka tidak ada gunanya bagi kita, apabila kita tidak sanggup untuk mempergunakannya memenuhi cita-cita rakyat: hidup bahagia dan makmur dalam pengertian jasmani dan rohani”. Kesadaran kolektif pun terus-menerus dibangkitkan untuk melawan ketidakadilan. Karena ia sesungguhnya adalah musuh bersama rakyat (common enemies).

Koreksi rakyat

Perjuangan jasmani dan rohani petambak Bumi Dipasena yang tergabung di dalam Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW) mendapatkan jalan terangnya: Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ojo Sumarna, SH. MH., dengan anggota majelis Estiono, SH. MH. dan Hj. Siti Yutistia Akuan, SH. MH., memutuskan bahwa gugatan PT. AWS/CPP tidak dapat diterima/ditolak.

Meski belum berkekuatan hukum tetap, karena keputusan Pengadilan Negeri Menggala ini disambut upaya hukum banding oleh PT AWS/CPP pada tanggal 20 Februari 2013, kemenangan ini adalah sebentuk koreksi rakyat: pertama, Negara haruslah memihak kepada warganya, bukan malah membiarkan warganya bertempur melawan ketidakadilan korporasi di meja hijau. Terkait hal ini, Pembukaan UUD 1945 sudah memberikan panduan: “….membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ……”.

Kedua, kemenangan petambak Bumi Dipasena ini menggambarkan bahwa hukum bukanlah entitas yang terpisah dari masyarakat. Karena ia lahir dan tumbuh-kembang di dalamnya.

Filsuf Romawi Cicero (3 Januari 106 – 7 Desember 43 SM) menyebut, “Di mana ada masyarakat, di situ ada hukum (ubi societas ibi ius)”. Hukum bukanlah barang dagangan yang diproduksi semau penguasa, karena sejatinya ia telah memandu manusia sejak kelahirannya. Olehnya, tiap tindakan melawan hukum akan berbalik kepada pelakunya.

Dalam penyelesaian sengketa eks Dipasena, belakangan terkuak kejahatan finansial perusahaan, di antaranya sejak akad-kredit petambak tidak sekalipun mengetahui buku tabungan yang mencatat alur transaksi budidaya udang selama kemitraan inti-plasma berlangsung. Sementara pihak perbankan mengonfirmasi sudah memberikannya melalui perusahaan. Anehnya, tiba-tiba petambak digugat ratusan hingga miliaran rupiah, tanpa pernah menerima Sisa Hasil Usahanya (SHU) senilai Rp36 miliar. Inilah buah keculasan.

Kemenangan pertama ini memberi pelajaran: sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga. Karena rakyat tidak akan tinggal diam. Pertanyaannya, tutup bukukah pertambakan udang eks Dipasena ini di tengah konflik?

Kemitraan baru

Dalam 4 tahun terakhir, produksi udang nasional mengalami peningkatan: 409.590 ton pada tahun 2008 menjadi 414.000 ton pada tahun 2011 (Pusdatin KKP, 28 Mei 2012). Lampung menjadi penghasil utama udang dengan produksi per tahun mencapai 168 ribu ton atau 40% dari total produksi udang nasional.

Di Provinsi Lampung, produksi udang pada tahun 2011 naik dibandingkan dengan tahun sebelumnya: 352 ribu ton (2010) menjadi 381.288 ton (2011). Luas potensi perikanan, khususnya produksi udang di provinsi ini mencapai 440 ribu ton dengan pencapaian sekitar 40%—50% produksi nasional (Lampung Post, 27/03/2012). Pertambakan Dipasena adalah satu di antara sentra produksi udang terbesar di Indonesia yang memberi kontribusi, meski belum difasilitasi secara menyeluruh oleh Negara.

Mengusung pola kemitraan baru, pertambakan Dipasena terus bergairah. Dengan prinsip 2 M (modal kerja dan sarana produksi murah dan baik) dan 1 T (pembelian hasil panen tinggi dan adil), petambak dan mitranya tidak saling mengeksploitasi, melainkan menguntungkan satu sama lain (lihat Tabel 1). Tanpa terasa, pola kemitraan baru ini telah bergulir dalam 2 fase dan memproduksi kebahagiaan dan kemakmuran bagi masyarakat Bumi Dipasena.

Tabel 1. Manfaat Kemitraan Baru Pertambakan Udang Bumi Dipasena

No Peran Keterangan
1 Petambak
  1. Biaya produksi lebih rendah 15-25%
  2. Harga jual panen lebih tinggi dan stabil
2 Pemasok Sarana Produksi
  1. Pembelian barang secara tunai
  2. Menerima uang lebih dahulu sebelum barang diterima
3 Investor
  1. Modal tidak akan hilang. Karena  terdapat mekanisme pengamanan investasi atau biasa disebut petambak CRU (Cadangan Resiko Usaha).
  2. Keuntungan investasi sama dengan 4 kali standard investasi di bank-bank Indonesia (standard deposito di bank Indonesia 5-7%)
4 Cold Storage
  1. Mendapat jaminan pasokan barang
  2. Kondisi udang lebih segar

Sumber: Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu/P3UW (Juni 2013)

Kebangkitan Dipasena sejalan dengan laju produksi udang Indonesia selama 3 tahun terakhir yang terus menunjukkan peningkatan: 400.385 ton pada tahun 2011 menjadi 457.600 ton pada tahun 2012 atau naik sebesar 32,87%. Tak ayal, target tinggi pun ditetapkan Kementerian Kelautan dan Perikanan: 2014 produksi udang meningkat 200 ribu ton melalui optimalisasi luas areal tambak mencapai lebih dari 20 ribu Ha guna memenuhi hampir 50% kebutuhan udang dunia. Indonesia adalah salah satu negara produsen udang di Asia Tenggara bersama Thailand dan Vietnam.

Mengacu pada laporan Kementerian Perdagangan (Maret 2013), ikan dan udang menjadi produk non migas yang nilai ekspornya mengalami peningkatan terbesar, selain kendaraan dan bagiannya, kopi, teh dan rempah-rempahan, mesin pesawat, perhiasan, alas kaki, sabun, produk kimia, berbagai makanan olahan, dan benda-benda dari besi dan baja,  dengan kenaikan antara USD136 juta hingga USD1,5 miliar. Sudahkah petambak dan nelayan tradisional mendapatkan pemenuhan hak-hak konstitusionalnya dari Negara?

Harmonisasi

Di tengah isu global di sektor perikanan budidaya tentang jaminan mutu dan keamanan pangan, masyarakat dunia menjawabnya dengan berbagai sistem standar mutu, keamanan pangan dan sertifikasi, seperti HACCP, GAP, ASC, dan sebagainya. Di level nasional, Dirjen Perikanan Budidaya KKP mengeluarkan kebijakan CBIB yang dilegalisasi dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor KEP. 02/MEN/2007 tentang Cara Budidaya Ikan yang Baik. Mereka belum bersungguh-sungguh menjawab pelanggaran hak asasi manusia, problematika lingkungan, dan tanggung jawab sosial kemasyarakatan yang diabaikan, seperti yang dialami oleh petambak Dipasena, Bratasena, dan pertambakan rakyat berbasis kemitraan eksploitatif lainnya.

Kemenangan ganda petambak Dipasena (litigasi dan non-litigasi) merupakan ikhtiar warga negara untuk mengejawantahkan tujuan pendirian Republik. Bukan sebatas memastikan produk perikanan agar aman dikonsumsi atau terbebas dari residu antibiotik, logam berat, bahan biologi dan kimia yang dilarang, melainkan memastikan hak konstitusional antarwarga negara terpenuhi dalam bingkai harmonisasi rakyat.

“Maka dengan tercapainya penyerahan kedaulatan, perjuangan belum selesai. Malahan kita berada pada permulaan perjuangan yang jauh lebih berat dan lebih mulia, yaitu perjuangan untuk mencapai kemerdekaan daripada segala macam penindasan”, demikian Bung Hatta menutup pesannya.***

 

Sumber: Majalah Samudra, Edisi 123 – Tahun XI – Juli 2013