Muslim Muin Ph.D.: ‘Jakarta Tak Perlu Bangun Giant Sea Wall’
Muslim Muin Ph.D.: ‘Jakarta Tak Perlu Bangun Giant Sea Wall’



Muslim Muin Ph.D.: ‘Jakarta Tak Perlu Bangun Giant Sea Wall’
Siaran Pers Bersama
Hari Mangrove Sedunia 26 Juli 2013 Hentikan Konversi Hutan Mangrove, Dukung Inisiatif Lokal Selamatkan Hutan Mangrove
Jakarta, 26 Juli 2013. Saat ini pemerintah tengah gencar-gencarnya melakukan kampanye penyelamatan hutan mangrove. Dimulai dengan memasang baliho, iklan di media elektronik dan cetak, hingga mengundang olahragawan dan artis terkenal untuk menjadi duta mangrove Indonesia. Namun ironis, kerusakan dan kehancuran hutan mangrove hingga saat ini masih terus terjadi. Lebih miris lagi, inisiatif nelayan untuk merehabilitasi hutan mangrove seringkali mendapat tentangan baik dari pemerintah maupun perusahaan akibat adanya kebijakan yang tumpang tindih. Indonesia merupakan negara kelautan terbesar yang memiliki hamparan hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove di dunia mencapai luas sekitar 16.530.000 ha yang tersebar di Asia 7.441.000 ha, Afrika 3.258.000 ha, dan Amerika 5.831.000 ha (FAO 1994). Merujuk pada The World’s Mangroves 1980-2005 (FAO 2007), walaupun dari segi luasan kawasan, mangrove Indonesia merupakan yang terluas di dunia, yakni sebesar 49%, namun kondisinya semakin menurun baik dari segi kualitas dan kuantitas dari tahun ke tahun. Pada tahun 1982, hutan mangrove di Indonesia seluas 4,25 juta ha, sedangkan pada 2009 diperkirakan menjadi kurang dari 1,9 juta ha (KIARA, 2010). Setali tiga uang, dalam Status Lingkungan Hidup Indonesia 2009 yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa, “Hutan mangrove di Sumatera Utara seluas 306.154.20 ha. Dari luasan itu, 9.86% berada dalam kondisi rusak”. Pusat Data dan Informasi KIARA (Juli 2013) mencatat adanya empat faktor utama penyebab kerusakan mangrove di Indonesia. Pertama, konversi untuk ekspansi industri pertambakan, seperti yang terjadi di Provinsi Lampung dan Langkat Sumatera Utara. Kedua, konversi hutan mangrove untuk kegiatan reklamasi kota-kota pantai, seperti yang terjadi di Teluk Jakarta, Semarang (Jateng), Surabaya (Jatim), Padang (Sumbar), Makassar (Sulsel), dan Manado (Sulut). Ketiga, pencemaran lingkungan. Keempat, konversi hutan mangrove untuk perluasan kebun kelapa sawit. Di pesisir Pantai Timur Sumatera Utara, luasan mangrove menurun sebesar 59.68% dari 103,425 ha di tahun 1977 menjadi 41,700 ha di tahun 2006 (Onrizal 2006). Senada dengan itu, data KNTI regio Sumatera (2010) menyebutkan bahwa hutan mangrove di pesisir Kabupaten Langkat seluas 35.000 ha. Dari luasan itu, kini yang tersisa dalam kondisi baik hanya 10.000 ha. Penurunan kuantitas dan kualitas ini disebabkan oleh perluasan tambak udang dan perkebunan sawit di wilayah pesisir. Akibatnya, selain merusak ekosistem pesisir, juga berdampak terhadap penurunan pendapatan nelayan tradisional. Inisiatif nelayan untuk terlibat aktif dalam kegiatan penyelamatan hutan mangrove sudah banyak dilakukan akan tetapi belum mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Dalam kasus pengembalian hutan mangrove di Langkat (Sumatera Utara) seluas 1.200 ha yang sebelumnya dilaihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit, nelayan harus berkonflik dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Padahal jelas-jelas PT Sari Bumi Bakau (SBB), PT. Pelita Nusantara Sejahtera (PNS), PT. Marihot, PT. Buana, PT Charoen Phokpand, telah melakukan alih fungsi lahan hutan mangrove menjadi perkebunan kelapa sawit. Intimidasi dan teror terhadap nelayan yang dilakukan oleh 5 perusahaan tersebut hingga kini masih terus terjadi. Terakhir pada tanggal 9 Juli 2013 lalu, nelayan Langkat mendapati sedikitnya 200 ribu bibit mangrove dari 700 ribu bibit yang dipersiapkan untuk melengkapi penanaman hutang mangrove di lahan seluas 1.200 ha tersebut mati karena disiram bahan kimia oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Indikasi kuat dari informasi lapangan didapati bahwa yang melakukan tindakan pengrusakan bibit tersebut merupakan orang-orang yang pro terhadap konversi hutan mangrove menjadi perkebunan kelapa sawit. Aktivitas konversi hutan mangrove hingga saat ini masih banyak terjadi, baik di Sumatera maupun di kawasan timur Indonesia. Bersamaan dengan peringatan Hari Mangrove Sedunia 2013 ini, KIARA mendesak kepada pemerintah untuk segera melakukan pencabutan terhadap perizinan usaha dan atau proyek pembangunan (kebun kelapa sawit, pertambakan udang, reklamasi pantai, dan sebagainya) yang menyebabkan hilangnya hutan mangrove. Pemerintah juga harus lebih memprioritaskan dukungannya terhadap inisiatif masyarakat nelayan dalam merehabilitasi mangrove, di antaranya di Langkat dan Serdang Bedagai (Sumatera Utara) dan Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, ketimbang sibuk melakukan kegiatan seremonial dalam menyikapi makin maraknya praktek pengrusakan hutan mangrove di Indonesia.*** Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi: Tajruddin Hasibuan, Presidium KNTI Region Sumatera di +62 813 7093 1995 Jumiati, Ketua Kelompok Perempuan Nelayan Muara Tanjung Serdang Bedagai di +62 812 6367 6561 Amin Abdullah, Presidium KNTI Region Nusa Tenggara di +62 818 0578 5720 Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA di +62 815 53100 259Kiara: Pemerintah Lamban Jalankan Mandat UU Penanggulangan Bencana di Gempolsewu
Kendal, 24 Juli 2013. Situasi yang dihadapi oleh masyarakat nelayan terdampak bencana banjir bandang di Desa Gempolsewu, Kecamatan Rowosari, Kabupaten Kendal, kian sulit. Setelah kapal mereka dipastikan rusak/tenggelam, asa untuk melaut pun harus diurungkan hingga 11 hari lamanya sejak bencana malam hari 13 Juli 2013 lalu. Alhasil, pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari keluarga menjadi terganggu. Pemerintah (baik daerah maupun pusat) didapati lamban dalam menjalankan mandat Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana pada Pasal 26 ayat (2) yang menegaskan, “Setiap orang yang terkena bencana berhak mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar”. Sedangkan pada pasal 33 secara tegas menyatakan, “Penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri atas 3 tahap meliputi prabencana, saat tanggap darurat dan pascabencana.” Dalam dialog bersama masyarakat nelayan di Desa Gempolsewu, Selasa (23/07) malam, Kiara mendapati temuan bahwa: pertama, sejak bencana terjadi, mereka hanya memperoleh bantuan berupa 250 paket sembako yang terdiri dari 14 mie instan, minyak 1 kg, gula pasir 1 kg, the poci 1 bungkus, dan beras sebanyak 5 kg. Sementara sudah 11 hari mereka tidak melaut. Seharusnya, dalam masa tanggap darurat, pemerintah harus memenuhi kebutuhan keluarga nelayan yang tak lagi bisa melaut hingga kondisi pulih. Berdasarkan keterangan nelayan, tiap kepala keluarga terdampak memerlukan bantuan (1 KK=5 anggota keluarga) berupa 2-3 kg beras dan uang lauk-pauk sebesar Rp30 ribu/hari. Kedua, juga diperlukan dana perbaikan sarana produksi para nelayan, berupa kapal yang rusak/tenggelam (kapal 3GT seharga Rp25 juta), penggantian jaring (1 jaring Rp700 ribu), dan mesin kapal (23 PK seharga Rp5,6 juta) Oleh karena itu, Kiara mendesak Bupati Kendal untuk berkoordinasi dengan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Jateng dan Menteri Kelautan & Perikanan, serta memutuskan secara cepat agar proses pemulihan pasca bencana bisa dilakukan. Apalagi Bupati Kendal sudah 2 kali meninjau lokasi dan bahkan mendapat tawaran bantuan dari Wakil Gubernur Provinsi Jateng. Namun, belum ada langkah konkrit yang dirasakan oleh masyarakat nelayan hingga hari ini. Info lebih lanjut, dapat menghubungi: Sugeng Triyanto, Nelayan Tradisional Gempolsewu di +6282265797175 Abdul Halim, Sekjen Kiara di +62 815 53100 259Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan
Jl. Tebet Utara 1 C No.9 RT.08/RW.01, Kel. Tebet Timur, Kec. Tebet, Kota Jakarta Selatan. 12820, Indonesia. Tlp/Fax +62-21 22902055
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) adalah organisasi non-pemerintah yang berdiri pada tanggal 6 april 2003. Organisasi nirlaba ini diinisiasi oleh WALHI, Bina Desa, JALA (Jaringan Advokasi untuk Nelayan Sumatera Utara), Federasi Serikat Nelayan Nusantara (FSNN), dan individu-individu yang menaruh perhatian terhadap isu kelautan dan perikanan.