Darsini: Mimpi Darsini untuk Anak Petani Garam
Di Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat, terik matahari tepat berada di atas kepala. Darsini (45) mengambil air dari kolam kecil sebesar 3×2 meter menggunakan ember yang diikat dengan kayu, kemudian disiramkan ke atas garam yang sudah ada di dalam jaring. Terdengar bunyi ‘sreeekk sreeek’ sewaktu Darsini menarik jaring ke arah kiri dan kanan. Air berwarna cokelat kemudian luruh dari sela-sela bambu.
Alat pencuci garam hanya terbuat dari 4 batang kayu yang ditanam di tanah. Pada bagian tengahnya dipasang bambu sebagai alas menahan beratnya garam, di bagian atas jala rapat diikat pada 4 kayu. Jaring yang dipenuhi garam memiliki berat kurang lebih 10 kilogram. Dibutuhkan kekuatan ekstra saat Darsini harus mencuci garam yang baru saja dipanen oleh suaminya, Sarjam. Kegiatan mencuci garam (Dermayu: ngosek) merupakan kegiatan yang sering dilakukan perempuan petani garam.
Garam yang sudah dicuci berkilau putih, tandanya garam sudah cukup baik untuk kemudian dimasukkan ke dalam karung. Ironisnya, garam yang berkilau di jaring tempat Darsini ngosek tidak serupa dengan nasib para petani garam yang semakin terpuruk. Penyebabnya harga jual garam yang anjlok akibat maraknya garam impor.
Pantang menyerah
Ketika terik, Darsini melindungi tubuhnya dengan tiga baju lapis yang menutupi lengan dan kakinya. Di bagian kepala, kaos yang sudah tidak layak pakai ia bentuk menjadi seperti kerudung yang menutupi wajahnya, kemudian caping berwarna hijau diikat ke dagunya.
Darsini adalah petani garam yang lahir dan besar di Desa Muntur, Kecamatan Losarang, Indramayu. Sarjam, suami Darsini pun lahir di Muntur. Dari generasi ke generasi, keluarga mereka menjadi petani garam. Asinnya garam menjadi tumpuan hidup mereka.
Sudah 30 tahun Darsini dan Sarjam menikah, tiga orang anaknya pun telah tumbuh menjadi dewasa. Kebanggaan tersendiri bagi Darsini ketika menceritakan salah satu anaknya telah berhasil kerja di Jakarta. Di dalam diri Darsini, teriknya matahari di Losarang tidak pernah memadamkan usahanya untuk menghadirkan nasi di piring-piring makan keluarganya.
“Panas ya panas, cape ya cape, kalau cape istirahat. Kerja lagi, cari makan lagi. Tidak boleh malas,” ujar Darsini sambil tersenyum.
Jika cuaca sedang terik, Darsini dan Sarjam bersuka cita. Teriknya matahari mampu mempercepat panen garam mereka. Dalam empat hari mereka bisa menghasilkan 40 karung garam dengan berat perkarungnya mencapai 50 kilogram.
Sekalipun menggarap lahan milik orang lain, Darsini tidak merasa kekurangan. Sistem bagi hasil yang diterapkan di Losarang adalah 3:1. Pembagian tersebut berdasarkan kebiasaan penggarapan lahan tambak yang dilakukan suami istri.
“Sistemnya itu, kalau ada 15 karung, kami petani suami istri dapat masing-masing 5 karung dan juragan lima karung. Saya dan bapak mendapatkan 10 karung. Sementara juragan 5 karung,” jelas Darsini.
Garam impor
Tahun 2010 adalah masa jaya para petani garam lokal. Per kilogram garam dihargai Rp1.300 dan Darsini bisa meraup pendapatan dalam satu bulan kurang lebih Rp4.000.000.
Namun, gempuran impor garam mulai menghancurkan petani garam skala kecil pada tahun 2011. Petani garam dibuat morat-marit oleh limpahan garam impor asal Australia. Sempat ada usaha pemerintah dalam menjaga impor garam dengan menangkap dan memberi sanksi pelaku impor. Darsini merasakan sesaat keberpihakan pemerintah, namun kini pengimpor garam bebas memasukkan produk garamnya ke pasar-pasar dalam negeri.
Dengan membanjirnya garam impor, petani garam hanya bisa menjual seharga Rp. 280 sampai Rp. 380 perkilogram. Kini pendapatan Darsini hanya Rp2.000.000 perbulan.
“Bukan hanya saya sebagai petani garam yang semakin susah hidupnya. Di Losarang, semua warga menggantungkan hidupnya pada garam. Ada tukang ojek yang bawa hasil garam ini ke gudang, lalu ada orang yang kerja jadi buruh di gudang, ada juga yang kerja jadi sopir untuk mengirimkan garam. Hampir semua penduduk Losarang berprofesi sebagai petani garam,” kata Darsini dengan wajah murung.
Hingga kini Darsini tidak paham kenapa harus ada garam impor ketika gudang-gudang milik petani lokal masih menumpuk. Ia mengakui, dalam suatu kesempatan, ia diberitahu juragannya bahwa garam hasil garapannya dianggap kalah kualitas.
“Anak-anak kami banyak yang cari kerja di Jakarta. Harga garam murah, untuk makan saja susah. Kalau sudah lelah sekali, kadangkala saya tidak makan supaya bisa irit nasi untuk makan malam si bungsu,” cerita Darsini sambil tersenyum.
Minimnya usaha membangkitkan daya saing petani lokal akan membunuh satu persatu petani garam lokal. Mereka akan kalah bersaing ketika pasar bebas mulai berlaku. Pun pemerintah seperti menutup mata pada kenyataan pemiskinan terstruktur yang dijalankan melalui kran-kran impor.
Darsini dan Sarjam berharap pemerintah memfasilitasi para petani garam di Losarang. Dengan produksi yang cukup besar, kehadiran pemerintah masih dinanti melalui kebijakan manajemen garam yang adil.
“Paling penting, saya akan terus menggarap garam. Terus berusaha supaya anak-anak kami bisa makan dan sekolah tinggi. Harapannya anak-anak kami bisa lebih pintar dan kelak membantu kami membuat garam dengan kualitas bagus,” tutup Darsini.*** (GS)