Archive for date: September 17th, 2013
House of Representatives Ignore Citizens’ Constitutional Rights in Legislative Process that manufactured this Regulation
/in Siaran Pers /by adminkiaraHouse of Representatives Ignore Citizens’ Constitutional Rights in Legislative Process that manufactured this Regulation
/in Siaran Pers /by adminkiaraKIARA submits debt termination petition to President that urges support of conservation through local wisdom in the management of marine resources.
/in Siaran Pers /by adminkiaraFood imports flood in, Gita Wiryawan protects U.S. and W.T.O. cartel
/in Siaran Pers /by adminkiara- All the Indonesian people, especially farmers, fishermen, and small scale traders, workers, including migrant workers, and women to be engaged actively in order to make corrections to various trade liberalization policies by providing an alternative based on the constitution of RI and resisting the implementation of the policies proposed for the 9th WTO KTM to be held in December 2013 in Bali.
- Leadership of the entire House of Representatives and other State Agencies, to urge the government to cancel the implementation of policies proposed by the WTO for the 9th KTM in Bali.
- President Susilo Bambang Yudhoyono and Minister Gita Wiryawan to immediately shut the faucet of imports of food products, including horticulture, meat, and fish as a form of support to Indonesian farmers, fishermen, planters and livestock herders by extending provisions and adding new types of commodity tariffs to Regulation No. 60 Year 2012 on the Import of Horticultural Products.
- President Suslio Bambang Yudhoyono and Minister Gita Wiryawan to ensure the stabilization of food prices ahead of Ramadan, and Eid al-Fitr.
- Susilo Bambang Yudhoyono’s government to carry out agrarian reform and adopt an agro-ecological farming model to support the realization of food sovereignty and environmental sustainability.
KIARA: President Must Fulfil and Ensure Children’s Rights to Freedom from Dangerous Work
/in Siaran Pers /by adminkiara- Execute the mandate of Law Number 23 of 2003 on Protection of Children and periodically check the situation on the ground so that the basic rights children of Indonesia can be met, such as the right to free and quality basic education, and to be free from hazardous work.
- Evaluate the performance of the Minister of Marine Areas and Fisheries in addressing the main impacts of children engaging in hazardous work, including poverty due to the development of unfavourable policies, such as reclamation which has displaced traditional fishing areas and fishing residences, as well as limiting access to and control of food source offered by fisheries.
- Guarantee social protection for families of fishermen, through measures such as capital to go to sea, healthcare, and other basic rights. ***
KIARA: Slack on Fish Theft, the President Must Reprimand Minister of Maritime Affairs and Fisheries
/in Siaran Pers /by adminkiara
No |
Year |
Number of cases |
|
1 |
2001 |
155 |
|
2 |
2002 |
210 |
|
3 |
2003 |
522 |
|
4 |
2004 |
200 |
|
5 |
2005 |
174 |
|
6 |
2006 |
216 |
|
7 |
2007 |
184 |
|
8 |
2008 |
243 |
|
9 |
2009 |
203 |
|
10 |
2010 |
183 |
|
11 |
2011 |
104 |
|
12 |
2012 |
3.782 |
|
13 |
2013 (Mei 2013) |
39 |
|
TOTAL |
6.215 |
Reclamation a Form of Discrimination by SBY’s Government against Traditional Fishing Communities
/in Siaran Pers /by adminkiaraReclamation District | No. of Displaced Fishermen (households) |
1 Jakarta Bay | 7,000 |
2 Beach Marina, Semarang | 1,370 |
3 Balikpapan Bay | 1,800 |
4 Manado, North Sulawesi, | 1,500 |
5 Bay of Palu, Central Sulawesi | 500 |
6 Kenjeran Beach, Surabaya | 600 |
7 Losari Beach, Makassar | 4,690 |
RUU Pesisir Mendesak Dibenahi
/in Kampanye & Advokasi, Pengelolaan Pesisir & Pulau - Pulau Kecil, Reformasi Kebijakan /by adminkiaraKELAUTAN
RUU Pesisir Mendesak Dibenahi
JAKARTA, KOMPAS – Rancangan revisi undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dinilai mengandung sejumlah kejanggalan yang memicu kriminalisasi terhadap nelayan dan masyarakat adat. Sejumlah pembenahan diperlukan agar revisi undang-undang tidak memukul rasa keadilan rakyat. Hal itu terungkap dalam rapat dengar pendapat umum komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan delapan organisasi kemasyarakatan dan lembaga swadaya masyarakat. Mereka membahas rancangan revisi undang-undang (UU) No 27/2007, di Jakarta, senin (16/9). Delapan organisasi itu yakni Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim, Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia, dan Lembaga Kelautan dan Perikanan Indonesia (LKPI). Sekretaris Jenderal Kiara, Abdul Halim, mengungkapkan bahwa terjadi aturan yang tumpang tindih dalam revisi RUU No 27/2007, yakni antara pasal 18 dengan pasal 23 ayat (4). Pada pasal 18 disebutkan, pemberian izin lokasi dan izin pemanfaatan sumber daya perairan pesisir diberikan kepada orang perseorangan warga Negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia. Akan tetapi, dalam pasal 23 ayat (4), pemerintah membuka peluang orang asing untuk pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya. “Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya oleh orang asing akan memukul keadilan masyarakat local dan menggerus hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya perairan dan pesisir,” ujar Halim. Tumpang tindih juga berpotensi terjadi pada undang-undang lain yang terkait pengelolaan perairan dan pulau-pulau kecil, yakni UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU No 41/1999 tentang Kehutanan, dan UU No 5/1960 tentang Pokok-pokok Agraria. Selain tumpang tindih kebijakan, ujar Halim, revisi UU No 27/2007 juga memunculkan potensi kriminalisasi terhadap masyarakat adat dan nelayan yang telah menetap secara turun-temurun di perairan dan pesisir. Kriminalisasi itu antara lain tercermin dari ketentuan bahwa setiap pemanfaatan perairan pesisir wajib memiliki izin lokasi (pasal 16 ayat(1)) . pasal 71 ayat (1) menyebutkan, pemanfaatan sumber daya perairan pesisir yang tidak sesuai dengan izin lokasi yang diberikan sebagai mana dimaksud dalam pasal 16 ayat (1), dikenai sanksi administratif. Selain itu, terdapat ketentuan bahwa izin pemanfaatan ruang perairan pesisir dan izin pengusahaan perairan pesisir bisa dikeluarkan jika ada persetujuan masyarakat. Akan tetapi, tidak dijelaskan seperti apa mekanisme persetujuan masyarakat. “faktanya, masyarakat lokal disekitar lokasi usaha kerap disalahkan karena menghambat usaha dan investasi di suatu wilayah,” ujarnya. Anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Partai Golkar Siswono Yudo Husodo mengemukakan, ketentuan mengenai pemberian izin kepada asing untuk mengelola sumber daya perairan dan pesisir membuka celah bagi penjajahan bentuk baru. “Sumber daya perairan dan pesisir harus dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Begitu Indonesia membuka lebar izin kepada asing, maka pulau-pulau kita akan habis. Apa bedanya dengan penjajahan,” ujar Siswono. Siswono berjanji akan mengawal agar revisi UU No 27/2007 yang diusulkan pemerintah mengarah pada tujuan pembangunan masyarakat, kelestarian sumber daya, dan ekologi.(LKT) Sumber : Kompas, Selasa, 17 September 2013 hal. 19REVISI UU PESISIR, Laut Jangan Dikapling
/in Kampanye & Advokasi, Pengelolaan Pesisir & Pulau - Pulau Kecil, Reformasi Kebijakan /by adminkiaraREVISI UU PESISIR Laut Jangan Dikapling
JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat diminta untuk tidak mengulangi kesalahan, yakni membuka pengaplingan laut dalam revisi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau kecil. Privatisasi oleh dunia usaha lokal dan asing dikhawatirkan memarjinalkan masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya perairan dan pesisir. Hal itu dikemukakan Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritime Suhana serta Sekretari Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Abdul Halim, secara terpisah, di Jakarta, Minggu (15/9). Pada hari Senin ini, Komisi IV DPR dijadwalkan menggelar rapat dengar pendapat umum dengan mengundang Kementrian Kelautan dan Perikanan serta kalangan masyarakat untuk membahas rancangan revisi Undang-Undang (UU) No 27 Tahun 2007. Suhana mengingatkan Panitia Khusus Komisi IV DPR tentang revisi UU No 27/2007 merupakan kelanjutan dari dibatalkannya tentang pengusahaan perairan pesisir (HP3) dalam undang-undang tersebut oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Pembatalan itu karena aturan HP3, yang memberikan peluang bagi privatisasi sumber daya pesisir, dinilai MK mengakibatkan pengaplingan wilayah perairan dan hilangnya hak-hak masyarakat adat/tradisional yang bersifat turun-temurun. Abdul Halim mengemukakan, RUU No 27/2007 masih memiliki semangat pengaplingan dan komersialisasi wilayah perairan dan pesisir, serta mengkriminalissi nelayan dan masyarakat adat. Anggota Komisi IV DPR dari Fraksi PKS, Nabil Al-Musawwa, mengingatkan pemerintah tidak mengulang regulasi yang membuka liberalisasi pesisir. (LKT) Sumber: Kompas, Senin 16 September 2013
Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan
Jl. Tebet Utara 1 C No.9 RT.08/RW.01, Kel. Tebet Timur, Kec. Tebet, Kota Jakarta Selatan. 12820, Indonesia. Tlp/Fax +62-21 22902055
Tentang KIARA
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) adalah organisasi non-pemerintah yang berdiri pada tanggal 6 april 2003. Organisasi nirlaba ini diinisiasi oleh WALHI, Bina Desa, JALA (Jaringan Advokasi untuk Nelayan Sumatera Utara), Federasi Serikat Nelayan Nusantara (FSNN), dan individu-individu yang menaruh perhatian terhadap isu kelautan dan perikanan.