Laporan Bohong di Puncak Sail Komodo
Laporan Bohong di Puncak Sail Komodo
Laporan Menko Kesra di hadapan Presiden SBY tidak sesuai dengan data dan fakta di lapangan.
Semua kamar hotel—yang jumlahnya sekitar 1.000 kamar—di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), habis dipesan selama puncak pelaksanaan Sail Komodo, 12-14 September 2013 lalu.
Sejumlah menteri dan staf kementerian dari Jakarta berwisata ke Labuan Bajo dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Ribuan personel TNI dan polisi memadati kota kecil di ujung barat Pulau Flores tersebut. Di berbagai sisi jalan, berdiri sejumlah polisi dengan senjata lengkap. Kota yang biasanya lengang dan sepi, mendadak padat dan macet, terutama sekitar tempat pameran dan pelaksanaan acara puncak.
“Kalau situasi perang, mungkin seperti ini, ya. Hanya beberapa hari, rasanya seram, banyak tentara. Bagaimana kalau daerah bertahun-tahun konflik seperti di Aceh,” ujar Lastri (34), seorang pegawai negeri sipil (PNS) di Labuan Bajo.
Ia menceritakan, jelang pelaksanaan Sail Komodo, sejumlah Kantor Dinas Pemerintah Daerah (Pemda) Manggarai Barat tidak efektif bekerja. Sebagian besar waktu habis untuk membersihkan sampah di pingggir-pinggir jalan. Pelayanan publik di kantor terganggu dan masyarakat yang membutuhkan pelayanan dipaksa menunggu hingga pelaksanaan Sail Komodo berakhir, seminggu setelahnya.
“Kami kebagian mengurus sampah dari tamu Jakarta dan Kupang. Setelah ini, kami di sini belum tahu ada dampaknya atau tidak buat kami,” katanya.
Selama beberapa hari, Lastri dan sejumlah pegawai di dinasnya sibuk mengurus tiket pesawat, rental mobil, akomodasi, dan makanan untuk pejabat dari Kupang dan Jakarta.
“Senang kalau acara ini selesai. Selama ini harga bahan pokok semua naik, pasokan dari luar pulau terbatas karena ada larangan menyeberang selama beberapa hari untuk kapal feri dari Sumbawa,” tambahnya.
Laporan Bohong
Pernyataan Lastri cukup beralasan. Ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar laporan Menko Kesra Agung Laksono di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan rombongan, serta sejumlah peserta puncak acara Sail Komodo.
Dalam laporapnya, Agung Laksono mengatakan Sail Komodo telah berhasil mempercepat pelaksanaan pembangunan di Manggarai Barat. Bedah rumah, pengadaan air bersih, dan pembangunan rumah sakit telah dilakukan, demikian juga pembangunan rumah pintar dan pengobatan gratis.
Bupati Manggarai Barat Agustinus Ch Dulla, sebelumnya mengklaim kawasan kumuh di Labuan Bajo, yakni Kampung Ujung telah disulap menjadi kota baru yang sangat rapi dan bersih.
“Namanya pejabat sama saja bohongnya. Yang di Labuan Bajo maupun yang dari pusat. Rumah sakit mana yang selesai dibangun. Kepala dinasnya saja sudah masuk penjara karena korupsi. Yang ada hanya bangunan tidak pernah jadi, yang dibilang rumah sakit yang mana?” kata Barthomeus, warga Labuan Bajo.
Bedah rumah yang diklaim Agustinus Ch Dulla malah membuat Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri marah ketika disurvei. Rumah hasil bedah rumah sangat tidak layak huni. Pengap, bau amis, dan sangat kumuh, tanpa memperhatikan kebersihan lingkungan. “Saya sangat, sangat tidak puas. Harus sesuai dengan aturan. Ini saya tidak puas,” tandas Al Jufri.
Menurutnya, dari sejumlah bedah kampung yang dilakukannya di berbagai daerah, yang terburuk adalah yang terjadi Labuan Bajo, yang dilaporkan Agung Laksono di puncak acara Sail Komodo, Sabtu (14/9) lalu.
Al Jufri meminta 668 rumah yang dibedah dievaluasi total dan diberi pengawasan saksama. Anggaran bedah rumah Rp 10-15 juta per unit. Namun, dengan hasil yang ada di puncak acara Sail Komodo, bedah rumah yang dimaksudkan sangat tidak sesuai harapan.
“Ini rumah saya cuma dicat sengnya. Itu di depannya saja. Dindingnya mereka buang kayunya, ganti dengan seng. Jadinya, panas sekali,” ungkap Muhanya (45), warga Kelurahan Kampung Ujung, Labuan Bajo. Janda beranak tiga itu memperkirakan, dari anggaran bedah rumah untuknya, hanya terpakai Rp 3 juta dengan asumsi satu lembar seng seharga Rp 40.000 dan harga cat Rp 1 juta. Sisanya raib entah ke mana.
Lempar Tanggung Jawab
Mengenai pengadaan air bersih, Pemda Manggarai Barat, Pemda Provinsi NTT, dan pemerintah pusat saling melempar tanggung jawab. Pemda Manggarai Barat beranggapan, pembangunan air bersih di Komodo dan Labuan Bajo menjadi tanggung jawab Pemda NTT.
Pemda Provinsi NTT menilai pengadaan air bersih merupakan kewenangan pemerintah kabupaten selaku penguasa daerah. Pemerintah pusat merasa telah menggelontorkan anggaran untuk proyek air minum sejak beberapa waktu lalu.
Masalah air bersih sudah sangat mendesak dan soal klasik di Labuan Bajo. “Harusnya sudah bisa diatasi. Tapi, itu menjadi kewenangan pemerintah Kabupaten Manggarai Barat,” elak Gubernur NTT, Frans Lebu Raya, kepada SH di sela Sail Komodo.
Johan Misel (41), warga Sernaru, Kota Labuan Bajo mengungkapkan semua jenis pipa air minum sudah dipasang perusahaan air minum di Labuan Bajo.
Namun, tidak ada satu pun pipa dialiri air. “Kakeknya pipa ada di sini, tapi di dalamnya banyak tawon,” katanya.
Bukan karena tidak ada sumber air, imbuh Johan, tetapi karena bisnis tangki air sejumlah pejabat di Labuan Bajo akan tamat kalau proyek air bersih tuntas dikerjakan.
Johan mengatakan Pemda Manggarai Barat selalu mengumbar janji dari tujuh tahun lalu untuk pengadaan air minum. Namun, tidak terealisasi hingga saat ini. Sama halnya dengan janji pembangunan rumah sakit.
Bahkan, Agung Laksono mengklaim membangun rumah sakit bertaraf internasional untuk mendukung sektor pariwisata di pintu gerbang selatan pariwisata Indonesia itu. Sayang, lagi-lagi janji itu tak terwujud.
Anggaran Rp 3,6 Triliun
Sail Komodo menghabiskan anggaran sekitar Rp 3,6 triliun. Anggaran itu digunakan pembiayaan pembangunan di NTT dan 18 unit kegiatan di Labuan Bajo selama sekitar 6 bulan terakhir. Tak heran jika Presiden Yudhoyono sangat berharap banyak dari penggunaan dana itu.
Pengembangan pariwisata Taman Nasional Komodo (TNK) diharapkan menjadi akses utama pembangunan pariwisata di selatan sebab potensinya mempesona dan eksotis. Sebelumnya, empat kegiatan sail selalu terletak di utara, yakni Sail Bunaken Sulawesi Utara, Sail Banda Kepulauah Riau, Sail Wakatobi Belitung Sulawesi Barat, dan Sail Morotai Maluku.
Presiden mengatakan, ke depan pelaksanaan sail akan menjadi model pembangunan daerah terpencil dan kepulauan. Namun, hingga lima kali pelaksanaannya, belum ada evaluasi pasca-sail.
Hendrik Jelalu, warga Kecamatan Lembor-Manggarai Barat, mengatakan dana Rp 3,6 triliun yang dianggarkan untuk Sail Komodo hanya dipakai untuk melarang nelayan di sekitar perairan Komodo melaut.
Banyak nelayan merugi selama Sail Komodo. Tidak ada kompensasi dilarang melaut selama hampir sepekan.
“Mereka yang datang berwisata, masyarakat di sini yang jadi korban. Dikasih laporan palsu pula kami sama mereka,” ujar Palua, nelayan di Kampung Tengah, Kota Labuan Bajo.
Sumber: http://www.shnews.co/detile-25324-laporan-bohong-di-puncak-sail-komodo-.html