TAMBANG PASIR BESI Sama-sama Buntung di Pantai Karet
TAMBANG PASIR BESI
Sama-sama Buntung di Pantai Karet
Neke Abijulu (50), nelayan di Pantai Paret, Kotabunan, Bolaang Mongondow Timur, Sulawesi Utara, tetap hidup miskin. Mendiami rumah reyot bersama istrinya, Hasnah, dan empat anak. Semula ia berharap kehidupannya lebih baik saat perusahaan tambang pasir besi masuk wilayahnya pada tahun 2018.
Oleh JEAN RIZAL LAYUCK
Akan tetapi, asa itu pupus setelah konflik muncul yang membuat kantor dan mes perusahaan dibakar massa pada November 2012. Ibarat pepatah, kehidupan warga dan perusahaan PT Meitha Perkasa Utama (MPU) sama-sama buntung. Perusahaan rugi besar, lingkungan pantai paret tempat nelayan mengadu nasib rusak. Kubangan di tepi laut sepanjang pesisir hanya berjarak 5 meter dari pantai sulit direklamasi lagi.
Mantan manajer PT MPU, Kader Mamontoh, akhir oktober, mengatakan, investasi perusahaan ratusan miliar rupiah belum kembali meski telah dua kali melakukan ekspor ke China. Ekspor pasir besi perdana dilakukan tahun 2012 sebanyak 21.000 ton dan kedua pada tahun ini sebanyak 18.000 ton.
Kerugian besar dialami investor setelah massa membakar semua peralatan vital milik perusahaan, seperti mesin separator dan sejumlah alat berat. Awal 2012, PT MPU juga bernasib sial karena tongkang seharga Rp 3 miliar yang dipakai perusahaan mengangkut pasir besi patah di laut. Dua mobil truk di atas tongkang ikut tercebur.
Izin perusahaan MPU, didanai investor asal China, yang mendapat konsesi tambang pasir besi 500 hektar dan menguasai sebagian wilayah pantai Paret langsung dibekukan Bupati Bolaang Mongondow Timur. “Kami seperti jatuh tertimpa tangga,”kata Kader.
Sisa-sisa peralatan vital bekas dibakar tampak jelas di pinggir pantai. Tongkang yang patah di laut belum diangkat. Lubang galian di pantai dekat kawasan bakau tampak menganga dan baru sebagian ditimbun.
Belasan karyawan MPU duduk santai di barak perusahaan. Mereka tetap mendapat gaji dari perusahaan. Marten, karyawan MPU, mengaku masih menerima gaji Rp 2,8 juta per bulan. Ia telah bekerja selama lima tahun.
Nelayan terpuruk
Nasib berbeda dialami nelayan Pantai Paret. Sepanjang pesisir Pantai Paret dari utara ke Selatan tampak permukiman kumuh milik warga. Hidup mereka mengandalkan tangkapan ikan di laut. Namun, sebagian nelayan mengaku tak mudah mencari ikan karena harus melaut puluhan mil.
“Dulu tidak perlu jauh-jauh melaut, dari pantai kita bisa langsung memancing,” ujar Neke. Ia menduga penambangan pasir besi di pesisir pantai telah merusak biota laut.
Banyak warga enggan bekerja di perusahaan tambang karena gaji rendah. Latief Ayula, warga Paret, sempat ditawari menjadi petugas keamanan di perusahaan dengan gaji Rp 800.000. Angka itu tidak sesuai dengan upah minimum Provinsi Sulawesi Utara sebesar Rp 1 juta. “Kami harus bekerja siang dan malam,” katanya.
Sikap perusahaan PT MPU yang meremehkan warga menjadi awal konflik. “Kami marah karena perusahaan menambang seenaknya. Lihat pantai kami berlubang,” kata Neke di Pantai Paret.
Warga menjadi emosional ketika mengetahui PT MPU menyalahi izin usaha pertambangan (IUP) yang diberikan Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow tahun 2008. IUP dikeluarkan saat Bolaang Mongondow Timur belum dimekarkan.
Menurut Soleman Paputungan, warga Paret, izin penambangan pasir besi di laut, tetapi PT MPU melakukan penambangan di darat, pesisir pantai. Lokasi penambangan di luar areal konsesi diberikan, sampai ke wilayah pantai tempat warga bermukim.
Kini, Pantai Paret sepanjang 9 kilometer terancam abrasi. Tanggul pengaman yang dibangun pemerintah tahun 2008 dengan balok-balok beton di pesisir kini terancam runtuh karena pasir pantai disedot perusahaan tambang.
Pantai Paret yang semula landai berpasir hitam itu kini curam. Dari jarak 5 meter, orang dapat masuk ke kubangan bekas galian sedalam 3 meter. Karena itu, warga meminta orang berhati-hati mandi di Pantai Paret.
Neke menceritakan bagaimana perusahaan menambang pasir besi di pantai setiap hari. Warga tak berdaya ketika kapal perusahaan menyusuri pantai menyedot ribuan ton pasir besi. Semula warga menganggap hal biasa. Namun, ketika pantai berlubang, mereka pun protes.
“Kami melempar batu ke arah kapal, tetapi mereka tetap saja menyedot,” katanya. Perusahaan keras kepala karena di lindungi aparat. Neke dan Hasnah sempat ditahan tiga hari di Kantor Polsek Kotabunan.
Gilbert Mamuaja, dosen kelautan dan perikanan Universitas Sam Ratulangi, Manado, mengatakan, penambangan harus dipadukan dengan upaya penataan dan perlindungan pantai. “Ketika pasir diambil, perlu pengganti berupa bangunan pelindung pantai,” katanya.
Di Sulawesi Utara, konflik masyarakat dan pengusaha penambangan terus terjadi. Dua tahun terakhir tercatat belasan konflik muncul di masyarakat menolak pertambangan emas, pasir besi, dan bijih besi di Kabupaten Minahasa Selatan, Minahasa Utara, Minahasa Tenggara, Bolaang Mongondow Timur, Bolaang Mongondow, Bolaang Mongondow Utara, dan Kabupaten Kepulauan Sangihe.
Gubernur Sulawesi Utara SH Sarundajang mengatakan, pihaknya memberikan keleluasaan kepada pengusaha untuk menggarap sejumlah potensi tambang, emas, bijih, dan pasir besi di daerahnya. Saat ini tercatat 77 pengusaha mendapat konsesi IUP yang dikeluarkan pemerintah kabupaten/kota di Sulawesi Utara.
“Kami terbuka kapada siapa saja untuk berusaha. Yang penting pengusaha memiliki komitmen pemberdayaan masyarakat dan menjaga lingkungan tetap lestari. Ini karunia yang harus diolah, tetapi pengusaha jangan untung sendiri,” ujar Gubernur.
Akan tetapi, Firasat Mokodompit, tokoh masyarakat Bolaang Mongondow, menyatakan, pertambangan tak sepenuhnya memberikan keuntungan kepada rakyat. Dalam setiap konflik, masyarakat dalam posisi lemah dan selalu menjadi korban.
Sumber: Harian Kompas, Rubrik Headline, Kompas, 19 November 2013 Halaman 1 dan 15.