Kabar Bahari: Bocornya Seribu Kapal

Kabar Bahari - inkaminaSejak tahun 2010-2014, pengadaan kapal Inka Mina menjadi program Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan target 1.000 kapal, di mana harga per unit Rp 1.5 Miliar dan total nilai APBN sebesar Rp 1,5 Triliun. Pada tahun 2014, sebanyak 100 kapal ditargetkan terbangun.

Temuan lapangan menunjukkan bahwa penyelenggaraan program Inka Mina menuai persoalan, di antaranya:
(1) Target pelaksanaan anggaran pengadaan kapal tidak tercapai;
(2) Spesifikasi kapal tidak sesuai dengan jumlah alokasi yang dianggarkan tiap unitnya, baik kualitas kapal, kualitas mesin, dan sarana tangkap yang disediakan;
(3) Berdasarkan perhitungan nelayan, terdapat indikasi kenakalan pemenang tender pengadaan kapal. Hal ini dilakukan dengan mengurangi spesifikasi kapal dan lambat dalam menyelesaikan target terbangunnya kapal;
(4) Terdapat beberapa kapal Inka Mina yang rusak atau tidak bisa dioperasikan, seperti Inka Mina 199 dan 198 di Kalimantan Timur.

Akibatnya KUB nelayan memiliki beban moral tanpa ada mekanisme pengembalian kepal kepada Negara. Lebih parah lagi, Inka Mina 63 dipergunakan untuk mengangkut bawang impor dari Malaysia dan kemudian tenggelam di perairan Sialang Buah, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara.

Ikuti informasi terkait buletin kabar bahari >> KLIK DISINI <<

Pemerintah Kebablasan, Kapal Seharga Rp2 Miliar Boleh Tenggak BBM Bersubsidi

JAKARTA, GRESNEWS.COM – Peraturan Menteri ESDM Nomor 18 Tahun 2013 yang telah diubah menjadi Permen ESDM Nomor 6 Tahun 2014 tentang harga jual eceran jenis bahan bakar minyak tertentu untuk konsumen pengguna tertentu menunjukkan adanya kebablasan dalam pengaturan BBM bersubsidi. Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Abdul Halim mengatakan, indikasi adanya kebablasan ini dapat dilihat dari ketetapan kapal maksimum berbobot 30 Gross Ton (GT) yang diperkenankan menenenggak BBM bersubsidi.

Aturan ini menjadi tidak adil karena nelayan skala kecil yang sejatinya lebih berhak mengakses BBM bersubsidi justru kesulitan mendapatkan BBM bersubsidi melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN) yang tersedia. Menurut Halim, Kiara mendapati fakta, kesulitan akses dan kesinambungan pasokan BBM bersubsidi di 237 unit SPBN di Indonesia tahun 2011 misalnya, menjadikan nelayan tradisional sebagai masyarakat yang paling dirugikan. “Padahal kapal sebesar itu lebih banyak dimiliki pengusaha besar, ketimbang nelayan,” kata Halim kepada Gresnews.com, Minggu (23/2).

Terlebih, kenaikan harga solar sebesar Rp200 di tahun 2012 melalui Perpres Nomor 15 Tahun 2012 tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu, terbukti kian membebani nelayan kecil. Belum lagi, penyimpangan pemakaian BBM bersubsidi juga marak terjadi di SPBN.  Misalnya di Kota Tarakan, Kalimantan Timur, dan sebagainya.

Potret Akses BBM Bersubsidi Nelayan Tradisional di 4 Kabupaten/Kota/Propinsi

No. Kabupaten/Kota/Provinsi Keterangan
1 Gresik, Jawa Timur Sekitar 5.000 nelayan tradisional setempat harus hidup serba prihatin agar terus survive. Karena harga solar sebesar Rp.4.500 sudah sangat memberatkan
2 Langkat, Sumatera Utara Sekitar 17.350 nelayan tradisional Langkat seringkali kesulitan mengakses BBM bersubsidi. Karena mereka harus menunggu tiap 10 hari sekali. DiLangkat, tersedia 6 SPBN dan hanya 4 diantaranya yang beroperasi. Pasokan yang tidak teratur berimbas pada tingginya biaya yang harusdikeluarkan oleh nelayan tradisional. Karena hargasolar di pedagang BBM eceran naik menjadi Rp5.500-Rp6.500/liter.
3 Lombok Timur, NTB Kelangkaan BBM bersubsidi terjadi di LombokTimur, Nusa Tenggara Barat. Walhasil, nelayan tradisional harus membeli solar dengan hargaRp5.000-5.500 per liter. Kelangkaan dan tingginya harga solar menyebabkan nelayan harus mengurangi waktu melaut. Dampaknya, berkurang dan utang menumpuk.
4 Tarakan, Kaltim Untuk mendapatkan solar seharga Rp4.500/liter, nelayan dibatasi sebanyak 200 liter dan hanya mencukupi kebutuhan melaut selama 4 hari. Ironisnya, dalam sebulan SPBN hanya beroperasi 2 hari saja. Selebihnya, nelayan harus merogoh kocek sebesar Rp.7.000-Rp.10.000/liter di pedagang eceran. Kondisi ini mengakibatkan nelayan terlilit utang agar agar tetap bisa menafkahi keluarga.

Sumber: KIARA

Karena itu kata Halim yang paling penting dilakukan pemerintah justru adalah membatalkan kenaikan harga BBM bersubsidi sebelum membenahi fungsi SPBN dan menjamin akses dan ketersediaan pasokan BBM bersubsidi bagi nelayan tradisional. Alih-alih demikian pemerintah justru malah bertindak aneh dengan melonggarkan aturan penggunaan BBM bersubsidi dan membolehkan kapal berbobot 30 GT memakai BBM bersubsidi. “Seharusnya, pemerintah justru menjamin akses dan ketersediaan pasokan BBM bersubsidi bagi nelayan tradisional, serta menindaktegas pemilik SPBN dan pengguna yang melakukan penyimpangan BBM bersubsidi sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia,” ujarnya.

Untuk mengatasi penyimpangan di lapangan, menurut Halim, setidaknya ada empat hal yang harus dilakukan. Pertama, membenahi koordinasi antar-kementerian. Lahirnya beleid seperti di atas, menunjukkan tidak adanya koordinasi antar-kementerian atau antar-lembaga yang menaungi nelayan atau pekerja sektor perikanan tangkap.

Kedua, dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, nelayan kecil didefinisikan sebagai mereka yang menangkap ikan di laut dan menggunakan perahu di bawah 5 GT. Di lapangan, justru nelayan berkapasitas maksimal 5 GT inilah yang kesulitan mengakses BBM bersubsidi. Terkadang mereka terpaksa mengeluarkan Rp20.000 untuk 1 liter solar akibat tiadanya akses dan jauhnya SPBN. “Fakta ini terjadi di Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah,” ujar Halim.

Ketiga, pemerintah harus memastikan kuota BBM bersubsidi untuk sektor perikanan, baik tangkap maupun budidaya, tiap tahunnya dan menjamin regularitas pasokannya hingga ke wilayah kepulauan. Agar tepat sasaran, maksimalkan fungsi kartu nelayan.

Keempat, perlu ada intervensi khusus dari pemerintah menyangkut keberadaan ABK yang berada di kapal-kapal besar, karena besar kemungkinan akan menerima dampak pengurangan pembagian hasil dan hak-hak dasar layaknya pekerja sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Beberapa hari lalu, Menteri ESDM Jero Wacik telah mengeluarkan aturan baru yang mengizinkan kembali kapal-kapal ikan baik ukuran di bawah maupun di atas 30 GT membeli BBM subsidi atau solar subsdi. Kapal ukuran ini sedikitnya seharga Rp2 miliar per unit.

“Menteri ESDM telah menandatangani Permen ESDM Nomor 6 Tahun 2014 terkait perubahan atas Permen ESDM Nomor 18 Tahun 2013 tentang harga jual eceran jenis bahan bakar minyak tertentu untuk konsumen pengguna tertentu,” ujar Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian ESDM Saleh Abdurrahman, ditemui di KantorKementerian ESDM, Jumat lalu.

Saleh mengungkapkan, dengan perubahan aturan tersebut, maka kapal nelayan baik ukuran di bawah atau di atas 30 GT boleh membeli BBM subsidi. Sebelumnya BPH Migas sempat melarangnya. “Permen ini mengatakan bahwa nelayan yang menggunakan kapal ikan Indonesia dengan ukuran di bawah dan di atas 30 GT yang terdaftar di Kementerian Kelautan dan Perikanan, SKPD baik di provinsi, kabupaten atau kota yang membidangi perikanan yang melakukan pemakaian BBM subsidi 25 kilo liter dengan telah diverifikasi dengan surat dari kepala SKPD yang terkait sesuai kewenangannya masing-masing,” ungkap Saleh.

Dengan revisi Permen ESDM tersebut, secara otomatis, aturan BPH Migas yakni Surat BPH Migas Nomor: 29/07/Ka.BPH/2014 Tanggal 15 Januari 2014 tentang larangan konsumsi jenis BBM tertentu untuk kapal di atas 30 GT gugur alias tidak berlaku. “Otomatis aturan BPH Migas gugur tidak berlaku lagi,” kata Saleh.

Sebelumnya, DPR-RI memang meminta agar pemerintah mencabut aturan BPH Migasitu. Anggota DPR RI dari F-PDIP, Rieke Diah Pitaloka mengatakan, aturan itu memberatkan nelayan, mengingat kondisi nelayan kita dalam keadaan sulit baik akibat cuaca, serbuan ribuan ikan impor maupun bencana alam.

Terkait larangan kapal 30 GT memakai BBM subsidi, Kepala BPH Migas Andy Noorsaman Someng mengatakan, kebijakan itu sebenarnya tidak akan membebani nelayan, karena kapal tersebut lebih banyak digunakan oleh industri penangkapan ikan atau pemodal besar. “Jadi harus dibedakan yang namanya nelayan dengan industri penangkapan ikan,” ucapnya.

Andy menegaskan pemilik kapal di atas 30 GT pasti bukanlah seorang nelayan, karena untuk harga kapal tersebut di atas Rp2 miliar. “Apakah di atas kapal 30 GT yang harganya di atas Rp2 miliar itu milik nelayan? apakah nelayan punya modal di atas Rp2 miliar. Kapal harga Rp2 miliar kok masih membeli BBM subsidi,” tegas Andy. Karena itulah BPH Migas melarang mereka menggunakan solar bersubsidi seharga Rp5.500/ liter dan diwajibkan membeli solar industri seharga Rp11.000/liter. (dtc)

Redaktur : Muhammad Agung Riyadi

Sumber: http://www.gresnews.com/berita/politik/130232-pemerintah-kebablasan-kapal-seharga-rp2-miliar-boleh-tenggak-bbm-bersubsidi/0/

Nelayan Kecil Terpinggirkan, Permen ESDM Ngawur

Nelayan Kecil Terpinggirkan, Permen ESDM Ngawur

JAKARTA, GRESNEWS.COM – Nasib nelayan kecil semakin terpuruk. Biaya melaut akan semakin berat lantaran distribusi dan pasokan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang semakin seret seiring dengan terbitnya Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 6 Tahun 2014 sebagai pengganti Permen ESDM Nomor 18 Tahun 2013 tentang Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu untuk Konsumen Pengguna Tertentu. Isi permen baru itu tidak ada pembatasan golongan nelayan yang berhak membeli bahan bakar solar bersubsidi. Artinya kini kapal-kapal ikan ukuran di bawah maupun diatas 30 Gross Tonnage (GT) dapat membeli solar bersubsidi.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim menyatakan Permen ESDM Nomor 6 Tahun 2014 itu kebablasan dalam pengaturan BBM bersubsidi. Permen tersebut artinya menyamakan kondisi seluruh nelayan dalam mendapatkan BBM subsidi sebanyak 25 kilo liter per bulan. Padahal nelayan kecil sulit mendapat pasokan BBM kendati sudah ada jatah per bulan.

“Perlu ada koordinasi antar kementerian yang dapat menjamin kelancaran pasokan BBM,” kata Abdul Halim kepada Gresnews.com, Sabtu (22/2).

Menurut Abdul tersendatnya pasokan itu diduga karena adanya penyimpangan. Untuk mengatasi penyimpangan di lapangan, setidaknya 4 hal ini harus dilakukan:

Pertama, perlu ada koordinasi antar kementerian atau lembaga yang menaungi nelayan atau pembudidaya. Karena mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2012 tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis BBM Tertentu tertanggal 7 Februari 2012 menyebutkan, hanya kapal dengan bobot maksimum 30 GT yang boleh menggunakan BBM bersubsidi. “Perpres 15 Tahun 2012 jelas sekali pengaturannya,” imbuhnya.

Kedua, di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, nelayan kecil didefinisikan sebagai mereka yang menangkap ikan di laut dan menggunakan perahu di bawah 5 GT. Dari temuan KIARA di lapangan, justru nelayan berkapasitas maksimal 5 GT inilah yang kesulitan mengakses BBM bersubsidi. Terkadang mereka terpaksa mengeluarkan Rp. 20.000 untuk 1 liter solar akibat tiadanya akses dan jauhnya Solar Packed Dealer Nelayan (SPDN). Fakta ini terjadi di Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah.

Ketiga, kata Abdul Halim pemerintah harus memastikan kuota BBM bersubsidi untuk sektor perikanan, baik tangkap maupun budidaya, tiap tahunnya dan menjamin regularitas pasokannya hingga ke wilayah kepulauan. Agar tepat sasaran dan memaksimalkan fungsi kartu nelayan.

Keempat, perlu ada intervensi khusus dari pemerintah menyangkut keberadaan Anak Buah Kapal yang berada di kapal-kapal besar, karena besar kemungkinan menerima dampak pengurangan pembagian hasil dan hak-hak dasar layaknya pekerja sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Sementara itu, Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian ESDM Saleh Abdurrahman mengatakan dengan adanya perubahan aturan itu tidak ada lagi larangan bagi kapal-kapal untuk membeli solar bersubsidi berjatah 25 kilo liter per bulan.

Namun untuk mendapatkan BBM bersubsidi itu kapal-kapal nelayan harus terdaftar di Kementerian Kelautan dan Perikanan, SKPD baik di provinsi, kabupaten atau kota yang membidangi perikanan. Kapal itu harus sudah diverifikasi dengan surat dari kepala SKPD yang terkait sesuai kewenangannya masing-masing.

“Artinya sekarang kapal nelayan boleh membeli solar subsidi 25 kilo liter per bulan. Aturan ini dalam satu-dua hari sudah diundang dari Kementerian Hukum dan HAM, Senin sudah berlaku,” tambahnya.

Dengan revisi Permen ESDM tersebut, secara otomatis, aturan BPH Migas yakni Surat BPH Migas Nomor: 29/07/Ka.BPH/2014 Tanggal 15 Januari 2014 tentang larangan konsumsi jenis BBM tertentu untuk kapal di atas 30 GT gugur alias tidak berlaku.

Sebelumnya, Kepala Badan Pengatur Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH) Migas Andy Noorsaman Someng mengungkapkan, pelarangan membeli BBM subsidi untuk kapal di atas 30 GT tidak akan membebani nelayan. Karena kapal tersebut lebih banyak digunakan oleh industri penangkapan ikan atau pemodal besar.

Andy menegaskan pemilik kapal di atas 30 GT pasti bukanlah seorang nelayan, karena untuk harga kapal tersebut di atas Rp 2 miliar. “Apakah di atas kapal 30 GT yang harganya di atas Rp 2 miliar itu milik nelayan? apakah nelayan punya modal di atas Rp 2 miliar. Kapal harga Rp 2 miliar kok masih membeli BBM subsidi,” tegas Andy.

Sedangkan sikap anggota DPR RI Komisi VII dari Fraksi PDIP Dewi Aryani Hilman menyambut baik penandatangan Permen ESDM Nomor 6 Tahun 2014 itu. Menurutnya dengan perubahan itu akan meningkatkan kesejahteraan hidup nelayan.

Reporter : Mungky Sahid
Redaktur : Muhammad Fasabeni

Sumber: http://www.gresnews.com/mobile/berita/politik/124222-nelayan-kecil-terpinggirkan-permen-esdm-ngawur

Menghadang Kiamat Ekologi di Teluk Palu

Menghadang Kiamat Ekologi di Teluk Palu

Jum’at, 21 Februari 2014 , 13:00:42 WIB – Sosia

JAKARTA, GRESNEWS.COM – Reklamasi terhadap kawasan teluk Talise di Palu terus dilakukan meski mendapatkan banyak perlawanan dari para nelayan dan aktivis lingkungan. Para nelayan dan aktivis khawatir reklamasi ini bisa memberikan dampak yang mematikan seperti bencana banjir yang melanda Sulawesi Utara beberapa waktu lalu. Di tengarai banjir bandang terjadi karena maraknya reklamasi pantai yang tidak memperhatikan dampak lingkungan.

Bencana-bencana tersebut menurut para aktivis dan nelayan yang tergabung dalam Koalisi Penyelamatan Teluk Palu, seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi Walikota Palu H. Rusdi  Mastura yang dinilai telah secara serampangan memberi izin reklamasi pantai seluas 38,33 Ha. “Reklamasi itu diperuntukkan bagi pembangunan ruko, supermarket, Carrefour, hotel, restoran dan kedai kopi, mal, dan apartemen,” kata Daniel, Koordinator Serikat Nelayan Teluk Palu dalam pernyataan tertulis yang diterima Gresnews.com, Jumat (21/2).

Pihak koalisi telah melakukan berbagai studi mengacu pada dokumen Analisis Dampak Lingkungan Reklamasi Pantai Talise Teluk Palu, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah, oleh PT Yauri Properti Investama Tahun 2013. Dari hasil studi itu koalisi berkesimpulan, proyek pengurugan pantai ini akan berimbas pada terjadinya banjir dan ancaman kerusakan lingkungan lainnya.

Dari tinjauan hidrologi, pengoperasian lahan hasil reklamasi dan pengoperasian drainase pada tapak proyek diketahui akan membawa dampak pada muara sungai Poboya. Sungai itu memiliki panjang sekitar 27 km dan luas daerah aliran sungai (DAS) sekitar 75 km2 membujur dari Timur ke Barat dan bermuara di Pantai Talise Palu, terletak di Sungai ini memiliki debit yang sangat kecil bahkan hampir kering di bagian hilir pada musim kemarau dan mengalirkan debit relatif besar pada musim penghujan dengan konsentrasi sedimen yang cukup tinggi. Jika proyek itu pengurugan pantai Talise dilakukan, menurut analisis koalisi, akan merusak komponen hidrologi di kawasan DAS sungai Poboya yang bisa mengakibatkan terjadinya banjir.

Angkutan sedimen pantai dominan terjadi pada arah susur pantai sesuai arah angin dominan dari utara menuju selatan, dianalisis berdasarkan hasil pengukuran sampel sedimen dasar dan melayang. Berdasarkan analisis sampel sedimen yang diambil diperoleh bahwa angkutan sedimen susur pantai di wilayah studi adalah 46.59 m3/hari. “Intensitas dampak ini tinggi, berlangsung lama dan jumlah manusia yang terkena dampak sangat banyak, yaitu penduduk Kota Palu,” ujar Ahmad Pelor, DIrekturnEksekusi Daerah WALHI Sulawesi Tengah.

Selain itu reklamasi teluk Talise juga diperkirakan akan merusak biota perairan. Pembuatan struktur pengaman pantai atau tanggul, penimbunan serta perataan dan pembuatan drainase dan pemadatan, akan berpengaruh pada biota laut di kawasan itu.

Sebelum reklamasi, dari hasil penelitian diketahui, terdapat kelimpahan fitoplankton yang tercuplik pada setiap stasiun berkisar antara 1.870-6.378 sel/m3, dengan indeks keanekaragaman berkisar 0,54-1,71.

Sedangkan kelimpahan zooplankton berkisar antara 1.103-16.710 Individu/m3 dengan Indeks keanekaragaman berksar 0,29 – 0,92. Kepadatan bentos (organisme yang hidup di dasar perairan) di wilayah studi berkisar antara 23-31 Individu/m3 dengan nilai keanekaragaman berkisar antara 1,32-1,73. Semua ini merupakan sumber makanan bagi ikan yang hidup di kawasan teluk Palu dan juga menjadi sumber keragaman jenis ikan.

Sebelum proyek reklamasi dilakukan diketahui, jenis ikan yang bisa tertangkap oleh nelayan antara lain sangat beragam, seperti ikan layang (Decapterus russelli), cakalang (Katsuwonus pelamis), ikan kembung betina (Rastrelliger brachysoma), kembung jantan (Rastrelliger kanagurta), dan ikan tembang (Clupea fimbricata).

Selain karena jumlah makanan ikan seperti fitoplankton, zooplankton dan bentos yang tinggi, jumlah dan keragaman jenis ikan di teluk Palu juga ditopang kondisi terumbu karang yang juga beragam. Sebagian besar tutupan karang hidup didominasi oleh hard coral sekitar 33,13%, karang lunak (soft coral) berkisar antara 1,88%, karang mati berkisar 3,75- 7,5% meliputi Recently Killed Coral (RKC), Rock (RC) dan Rubble (RB).

Penimbunan kawasan teluk diperkirakan akan membawa dampak pada terganggunya kehidupan biota perairan laut sekitar lokasi kegiatan. Dampak ini merupakan dampak lanjutan dari penurunan kualitas air berupa peningkatan kandungan TSS dan kekeruhan air selama kegitan penimbunan dilakukan.

Perkiraan penurunan populasi plankton perairan laut pada tahap penimbunan ini adalah sebagai berikut: Fitoplankton dari 1.870 – 6.378 Sel/m3 pada rona awal menjadi 935-5.421 Sel/m3. Zooplankton dari 1.103-16.710 Individu/m3 pada rona awal menjadi 882-11.821 Individu/m3.

Penurunan populasiplankton tersebut diatas berdampak lanjut pada gangguan rantai dan jaring makanan pada ekosistem laut. “Kehidupan biota perairan yang menduduki level yang lebih tinggi pada tropik level aliran energi tergaganggu sehingga populasinya menurun karna kekurangan makanan atau migrasi ketempat lain,” kata Ahmad.

Peningkatan kandungan TSS di perairan laut akan berdampak pada kehidupan karang yang masih ada sekitar lokasi kegiatan. Jenis karang yang masih ditemukan terdiri atas beberapa jenis antara lain Sinularia, Sacrophyton, Acropora, Turbinaria dan Echinophora.

Karena itu untuk mencegah bencana ekologis terjadi di teluk Palu, Koalisi Penyelamatan Teluk Palu mendesak Walikota Palu untuk membatalkan proyek reklamasi pantai. Sebab selain bencana ekologis, reklamasi itu dinilai akan memberi dampak negatif pula terhadap 32.782 jiwa yang berada di dua kelurahan, yakni Besusu Barat dan Talise, termasuk sedikitnya 1.800 nelayan yang menggantungkan penghidupannya di Teluk Palu. “Karena reklamasi Pantai Talise akan berimbas pada semakin sulitnya menangkap ikan dan membubungnya ongkos produksi melaut yang semakin jauh,” Sekjen KIARA Abdul Halim.

Redaktur : Muhammad Agung Riyadi

Sumber: http://www.gresnews.com/berita/sosial/130212-menghadang-kiamat-ekologi-di-teluk-palu/

Kelompok Nelayan Puspita Bahari: Memetik Buah Kegigihan Gotong Royong

Koleksi_Puspita_BahariMata dunia terbuka lebar mendapati peran penting komunitas perempuan nelayan di sektor perikanan. Sedikitnya 56 juta orang secara langsung terlibat di dalam aktivitas perikanan, di mana di dalamnya termasuk perempuan nelayan yang memainkan peranan penting dalam pengolahan dan pemasaran hasil tangkapan ikan (FAO, 2014).

Minus pengakuan

Pusat Data dan Informasi KIARA menemui fakta bahwa: pertama, perempuan nelayan menghabiskan waktunya selama 17 jam per hari untuk mengurus keluarga dan membantu suami mendapatkan alternatif pendapatan keluarga; dan kedua, sebesar 48 persen pendapatan keluarga nelayan adalah kontribusi perempuan nelayan.

Bertolak dari kedua fakta di atas, tak mengherankan jika gerakan perlindungan dan pemberdayaan pelaku perikanan skala kecil hingga level internasional mendorong negara-negara di dunia untuk mendata, memenuhi dan melindungi, serta memfasilitasi komunitas perempuan nelayan untuk memperoleh hak-hak dasarnya, baik sebagai warga negara maupun hak khususnya selaku pelaku penting di sektor perikanan. Bagaimana dengan Indonesia?

Berkaca pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, tidak ada pengakuan politik dari Negara terhadap komunitas perempuan nelayan. Absennya pengakuan di level kebijakan tak lantas membuat komunitas perempuan nelayan berdiam diri.

Pada tahun 2010, KIARA bersama dengan Jaringan Pengembangan Kawasan Pesisir (JPKP) Buton, Sulawesi Tenggara, menginisiasi lahirnya Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) yang dibidani oleh komunitas-komunitas nelayan di Indonesia, di antaranya Kelompok Perempuan Nelayan Puspita Bahari yang berasal dari Desa Morodemak, Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak, Provinsi Jawa Tengah.

Menyadari potensi

Perkampungan nelayan di Indonesia identik dengan kondisi lingkungan yang kumuh, terbelakang dan akrab dengan kemiskinan. Situasi ini pula yang terlihat di Desa Morodemak. Nampak pemukiman padat penduduk, langganan banjir rob, akses jalan yang sempit, genangan rawa dan selokan yang penuh dengan sampah.

Diperlukan kerjasama yang baik antara masyarakat setempat dengan Pemerintah Kabupaten Demak untuk menghadirkan lingkungan hidup yang bersih dan sehat sebagaimana diamanahkan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Mendapati kondisi kampungnya, Puspita Bahari mengambil inisiatif untuk memanfaatkan sampah yang terserak menjadi produk ekonomi kreatif yang memiliki nilai jual, seperti bantal dari limbah plastik.

Terbentuk sejak 25 Desember 2005 dan memulai kegiatan koperasi beras di awal 2006, aktivitas Puspita Bahari mengalami pasang-surut. Bahkan sempat vakum di tahun 2007 oleh karena dana koperasi beras yang tidak dikembalikan. Situasi ini tidak menyurutkan niat awal pendirian Puspita Bahari yang digawangi oleh Ibu Masnuah, kerap disapa Mbak Nuk.

Pada tahun 2009, Puspita Bahari mulai bergiat dengan kegiatan pengolahan ikan belida menjadi kerupuk. Kegiatan ini difasilitasi oleh LPUBTN dan terus berkembang hingga mendapatkan dana program pemberdayaan masyarakat pesisir dari Dompet Dhuafa yang bekerjasama dengan KIARA dan Layar Nusantara/LBH Semarang, Jawa Tengah.
Saat ini Puspita Bahari juga memiliki beberapa unit usaha, antara lain pengemasan teri, produksi kerupuk ikan, dan aneka kerajinan khas pesisir lainnya.

Tak hanya itu, untuk mengantisipasi ledakan pembiayaan pengeluaran keluarga, Puspita Bahari membentuk 3 model tabungan bagi para anggotanya yang terdiri dari perempuan nelayan, baik istri nelayan maupun mereka yang belum menikah. Tiga tabungan itu yakni TAKO (Tabungan Sembako), TAREN (Tabungan Rendeng), dan TAHARA (Tabungan Hari Raya). Ketiga tabungan ini dikelola oleh Koperasi Puspita Bahari dengan Badan Hukum Nomor 245/BH/XIV.8/VII/2012 yang disahkan pada tanggal 19 Juli 2012.

Untuk TAKO, setiap anggota diharuskan membayar iuran sebesar Rp. 2.000 per hari. Dalam sebulan akan terkumpul Rp. 60.000 per orang. Dana yang terkumpul dari setiap anggota akan dibelikan sembilan bahan pokok (sembako) rumah tangga dan dibagikan secara merata. Sementara TAREN dimanfaatkan oleh anggota Puspita Bahari untuk menyimpan pendapatan suami pasca melaut dan dapat diambil saat cuaca ekstrem melanda. Demikian juga TAHARA yang dimanfaatkan jelang Hari Raya Idul Fitri dan atau Idul Adha.

Menuai hasil

Kreativitas yang dipompa oleh semangat ingin maju bersama membuat Puspita Bahari dianugerahi penghargaan setingkat nasional Kusala Swadaya pada tahun 2011. Sejak itulah, kiprah Puspita Bahari kian terang.
Pada perkembangannya, Puspita Bahari mendapatkan kepercayaan dan kesempatan dari berbagai pihak untuk terus mengembangkan kegiatan kelompok dan berbagi inspirasi kepada kelompok perempuan nelayan lainnya di Jawa Tengah. Salah satunya dari Balitbang Provinsi Jawa Tengah yang memfasilitasi pelatihan inkubator pengembangan batik dan memperluas jaringan pemasaran.

Berbekal segudang pengalaman yang dimiliki oleh Puspita Bahari, KIARA bersama dengan PPNI wilayah Jawa Tengah dan KLOMPPALD (Kelompok Petani dan Nelayan Penjaga Abrasi Laut dan Darat) menyelenggarakan Pelatihan Pengolahan Hasil Tangkapan Ikan di Lewoleba, Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur, pada bulan Februari 2014. Pelatihan ini diminati oleh komunitas perempuan nelayan yang sebelumnya tidak pernah terpikir untuk memanfaatkan hasil tangkapan ikan suami menjadi produk ekonomi bernilai tinggi.

Tak sebatas urusan peningkatan pendapatan keluarga nelayan, Kelompok Perempuan Nelayan Puspita Bahari juga melihat pentingnya penyadaran mengenai hak dan kewajiban perempuan di berbagai keterlibatannya, seperti hak sebagai istri dan warga negara.

Kelompok Perempuan Nelayan Puspita Bahari terus mengepakkan sayapnya di tengah akses pasar dan modal. Kondisi ini tak membuat mereka patah arang. Kini mereka tengah membangun Sekretariat Puspita Bahari yang nantinya diperuntukkan sebagai ruang pertemuan dan rumah produksi.

”Semua usaha membutuhkan waktu. Pembinaan juga harus dimulai dengan penyadaran hak dan kewajiban perempuan. Saya yakin, perempuan nelayan suatu hari nanti bisa mandiri,” kata Masnu’ah yang dipercaya menjadi Ketua Kelompok Perempuan Nelayan Puspita Bahari dan Koordinator PPNI Jawa Tengah.

***

LSM Tolak Aktivitas Buang Limbah ke Laut

LSM Tolak Aktivitas Buang Limbah ke Laut

Enrekang, (Antara) – LSM Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menolak aktivitas “dumping” atau pembuangan limbah ke laut yang masih ditoleransi dalam Rencana Peraturan Pemerintah tentang pengelolaan limbah.

“Tutup peluang dumping di laut Indonesia,” kata Sekretaris Jenderal Kiara Abdul Halim dalam keterangan tertulis yang diterima dari Enrekang, Sulawesi Selatan, Kamis.

Ia menyatakan penyesalannya bahwa setelah tertunda sejak Maret 2012, pembahasan Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun, Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, dan Dumping kembali berjalan.

Apalagi, ujar dia, ada penamaan baru atas RPP ini menjadi Rencana
Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.

“Hal penting lainnya, dumping masih diperbolehkan,” ucapnya.

Menurut dia, di dalam Pasal 1 angka (12) RPP ini, Dumping (pembuangan) didefinisikan sebagai kegiatan membuang, menempatkan, dan/atau memasukkan limbah dan/atau
bahan dalam jumlah, konsentrasi, waktu, dan lokasi tertentu dengan
persyaratan tertentu ke media lingkungan hidup tertentu.

Selain itu, kewenangan penerbitan izin dumping sebagaimana diatur di dalam Pasal 178 dimiliki oleh Menteri, Gubernur, Bupati dan atau Walikota.

Kiara menyatakan aktivitas dumping seharusnya dilarang di dalam RPP agar selaras dengan semangat Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran.

“Sebagai contoh, pembuangan tailing ke laut dapat berdampak terhadap akumulasi logam berat di biota, misalnya, ikan domersal yang memang habitatnya dekat dasar, kemudian cumi yang bertelur di dekat dasar sebelum kemudian naik ke permukaan, kepiting/udang yang tinggal dekat dasar perairan,” ucapnya.

Sebelumnya, dumping atau pembuangan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) ke darat maupun laut dinyatakan merupakan alternatif terakhir dalam pengelolaan limbah B3.

“Dumping alternatif paling akhir termasuk untuk beberapa jenis limbah B3 yang dilakukan pengolahan sebelumnya,” kata Deputi bidang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun, Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup Rasio Ridho Sani di Jakarta, Kamis (6/2).

Rasio Ridho Sani mengatakan, dumping limbah wajib memenuhi persyaratan jenis dan kualitas limbah serta lokasi sehingga dumping tidak akan menimbulkan kerugian terhadap kesehatan manusia, mahluk hidup lainnya dan lingkungan hidup. (*/sun)

Sumber: http://m.antarasumbar.com/?dt=22&id=336061

LSM: Reklamasi Pantai Talise Tidak Layak Lingkungan dan Rugikan Nelayan Teluk Palu

LSM: Reklamasi Pantai Talise Tidak Layak Lingkungan dan Rugikan Nelayan Teluk Palu

Jakarta, Sumbawanews.com.- Bencana banjir yang terjadi di Jakarta dan Manado (Sulawesi Utara) menunjukkan bahwa reklamasi pantai ikut memberikan dampak negatif terhadap pengelolaan lingkungan hidup di kawasan pesisir dan menimbulkan kerugian jangka panjang kepada masyarakat nelayan. Hal ini mestinya menjadi pembelajaran berharga bagi Walikota Palu H. Rusdi Mastura yang serampangan memberi izin reklamasi pantai seluas 38,33 Ha dan diperuntukkan untuk pembangunan ruko, supermarket, Carrefour, hotel, restoran dan kedai kopi, mal, dan apartemen.

Demikian pernyataan dari Koalisi Penyelamatan Teluk Palu terdiri dari Serikat Nelayan Teluk Palu, WALHI Sulawesi Tengah, Yayasan Pendidikan Rakyat (YPR) Palu, Yayasan Tanah Merdeka (YTM) Palu, Himpunan Pemuda Al-Khairat, KIARA, Kamis (20/2).

Direktur Eksekusi Daerah WALHI Sulawesi Tengah Ahmad Pelor  menjelaskan mengacu pada dokumen Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) Reklamasi Pantai Talise Teluk Palu, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah, oleh PT Yauri Properti Investama Tahun 2013, didapati keterangan bahwa proyek pengurugan pantai ini akan berimbas pada terjadinya banjir.

“Kegiatan pengoperasian lahan hasil reklamasi diprakirakan potensil menimbulkan dampak terhadap komponen hidrologi berupa terjadinya banjir,” ungkap Ahmad.

Berkaitan dengan itu, Koalisi Penyelamatan Teluk Palu mendesak Walikota Palu untuk membatalkan proyek reklamasi pantai yang akan memberi dampak negatif terhadap 32.782 jiwa yang berada di 2 desa, yakni Besusu Barat dan Talise, termasuk sedikitnya ± 1.800 nelayan yang menggantungkan penghidupannya di Teluk Palu. Karena reklamasi Pantai Talise akan berimbas pada semakin sulitnya menangkap ikan dan membubungnya ongkos produksi melaut yang semakin jauh.(sn01)

Sumber: http://sumbawanews.com/berita/lsm-reklamasi-pantai-talise-tidak-layak-lingkungan-dan-rugikan-nelayan-teluk-palu

 

Jakarta, Sumbawanews.com.- Bencana banjir yang terjadi di Jakarta dan Manado (Sulawesi Utara) menunjukkan bahwa reklamasi pantai ikut memberikan dampak negatif terhadap pengelolaan lingkungan hidup di kawasan pesisir dan menimbulkan kerugian jangka panjang kepada masyarakat nelayan. Hal ini mestinya menjadi pembelajaran berharga bagi Walikota Palu H. Rusdi Mastura yang serampangan memberi izin reklamasi pantai seluas 38,33 Ha dan diperuntukkan untuk pembangunan ruko, supermarket, Carrefour, hotel, restoran dan kedai kopi, mal, dan apartemen.

Demikian pernyataan dari Koalisi Penyelamatan Teluk Palu terdiri dari Serikat Nelayan Teluk Palu, WALHI Sulawesi Tengah, Yayasan Pendidikan Rakyat (YPR) Palu, Yayasan Tanah Merdeka (YTM) Palu, Himpunan Pemuda Al-Khairat, KIARA, Kamis (20/2).

Direktur Eksekusi Daerah WALHI Sulawesi Tengah Ahmad Pelor  menjelaskan mengacu pada dokumen Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) Reklamasi Pantai Talise Teluk Palu, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah, oleh PT Yauri Properti Investama Tahun 2013, didapati keterangan bahwa proyek pengurugan pantai ini akan berimbas pada terjadinya banjir.

“Kegiatan pengoperasian lahan hasil reklamasi diprakirakan potensil menimbulkan dampak terhadap komponen hidrologi berupa terjadinya banjir,” ungkap Ahmad.

Berkaitan dengan itu, Koalisi Penyelamatan Teluk Palu mendesak Walikota Palu untuk membatalkan proyek reklamasi pantai yang akan memberi dampak negatif terhadap 32.782 jiwa yang berada di 2 desa, yakni Besusu Barat dan Talise, termasuk sedikitnya ± 1.800 nelayan yang menggantungkan penghidupannya di Teluk Palu. Karena reklamasi Pantai Talise akan berimbas pada semakin sulitnya menangkap ikan dan membubungnya ongkos produksi melaut yang semakin jauh.(sn01)

Sumber: http://sumbawanews.com/berita/lsm-reklamasi-pantai-talise-tidak-layak-lingkungan-dan-rugikan-nelayan-teluk-palu

 

LSM: Reklamasi Pantai Talise Tidak Layak Lingkungan dan Rugikan Nelayan Teluk Palu

LSM: Reklamasi Pantai Talise Tidak Layak Lingkungan dan Rugikan Nelayan Teluk Palu

Jakarta, Sumbawanews.com.- Bencana banjir yang terjadi di Jakarta dan Manado (Sulawesi Utara) menunjukkan bahwa reklamasi pantai ikut memberikan dampak negatif terhadap pengelolaan lingkungan hidup di kawasan pesisir dan menimbulkan kerugian jangka panjang kepada masyarakat nelayan. Hal ini mestinya menjadi pembelajaran berharga bagi Walikota Palu H. Rusdi Mastura yang serampangan memberi izin reklamasi pantai seluas 38,33 Ha dan diperuntukkan untuk pembangunan ruko, supermarket, Carrefour, hotel, restoran dan kedai kopi, mal, dan apartemen.

Demikian pernyataan dari Koalisi Penyelamatan Teluk Palu terdiri dari Serikat Nelayan Teluk Palu, WALHI Sulawesi Tengah, Yayasan Pendidikan Rakyat (YPR) Palu, Yayasan Tanah Merdeka (YTM) Palu, Himpunan Pemuda Al-Khairat, KIARA, Kamis (20/2).

Direktur Eksekusi Daerah WALHI Sulawesi Tengah Ahmad Pelor  menjelaskan mengacu pada dokumen Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) Reklamasi Pantai Talise Teluk Palu, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah, oleh PT Yauri Properti Investama Tahun 2013, didapati keterangan bahwa proyek pengurugan pantai ini akan berimbas pada terjadinya banjir.

“Kegiatan pengoperasian lahan hasil reklamasi diprakirakan potensil menimbulkan dampak terhadap komponen hidrologi berupa terjadinya banjir,” ungkap Ahmad.

Berkaitan dengan itu, Koalisi Penyelamatan Teluk Palu mendesak Walikota Palu untuk membatalkan proyek reklamasi pantai yang akan memberi dampak negatif terhadap 32.782 jiwa yang berada di 2 desa, yakni Besusu Barat dan Talise, termasuk sedikitnya ± 1.800 nelayan yang menggantungkan penghidupannya di Teluk Palu. Karena reklamasi Pantai Talise akan berimbas pada semakin sulitnya menangkap ikan dan membubungnya ongkos produksi melaut yang semakin jauh.(sn01)

Sumber: http://sumbawanews.com/berita/lsm-reklamasi-pantai-talise-tidak-layak-lingkungan-dan-rugikan-nelayan-teluk-palu

 

Jakarta, Sumbawanews.com.- Bencana banjir yang terjadi di Jakarta dan Manado (Sulawesi Utara) menunjukkan bahwa reklamasi pantai ikut memberikan dampak negatif terhadap pengelolaan lingkungan hidup di kawasan pesisir dan menimbulkan kerugian jangka panjang kepada masyarakat nelayan. Hal ini mestinya menjadi pembelajaran berharga bagi Walikota Palu H. Rusdi Mastura yang serampangan memberi izin reklamasi pantai seluas 38,33 Ha dan diperuntukkan untuk pembangunan ruko, supermarket, Carrefour, hotel, restoran dan kedai kopi, mal, dan apartemen.

Demikian pernyataan dari Koalisi Penyelamatan Teluk Palu terdiri dari Serikat Nelayan Teluk Palu, WALHI Sulawesi Tengah, Yayasan Pendidikan Rakyat (YPR) Palu, Yayasan Tanah Merdeka (YTM) Palu, Himpunan Pemuda Al-Khairat, KIARA, Kamis (20/2).

Direktur Eksekusi Daerah WALHI Sulawesi Tengah Ahmad Pelor  menjelaskan mengacu pada dokumen Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) Reklamasi Pantai Talise Teluk Palu, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah, oleh PT Yauri Properti Investama Tahun 2013, didapati keterangan bahwa proyek pengurugan pantai ini akan berimbas pada terjadinya banjir.

“Kegiatan pengoperasian lahan hasil reklamasi diprakirakan potensil menimbulkan dampak terhadap komponen hidrologi berupa terjadinya banjir,” ungkap Ahmad.

Berkaitan dengan itu, Koalisi Penyelamatan Teluk Palu mendesak Walikota Palu untuk membatalkan proyek reklamasi pantai yang akan memberi dampak negatif terhadap 32.782 jiwa yang berada di 2 desa, yakni Besusu Barat dan Talise, termasuk sedikitnya ± 1.800 nelayan yang menggantungkan penghidupannya di Teluk Palu. Karena reklamasi Pantai Talise akan berimbas pada semakin sulitnya menangkap ikan dan membubungnya ongkos produksi melaut yang semakin jauh.(sn01)

Sumber: http://sumbawanews.com/berita/lsm-reklamasi-pantai-talise-tidak-layak-lingkungan-dan-rugikan-nelayan-teluk-palu

 

KIARA: Reklamasi Pantai Talise Tidak Layak Lingkungan dan Rugikan Nelayan Teluk Palu

Siaran Pers

Koalisi Penyelamatan Teluk Palu

 

KIARA: Reklamasi Pantai Talise Tidak Layak Lingkungan

dan Rugikan Nelayan Teluk Palu 

Jakarta, 20 Februari 2014. Bencana banjir yang terjadi di Jakarta dan Manado (Sulawesi Utara) menunjukkan bahwa reklamasi pantai ikut memberikan dampak negatif terhadap pengelolaan lingkungan hidup di kawasan pesisir dan menimbulkan kerugian jangka panjang kepada masyarakat nelayan. Hal ini mestinya menjadi pembelajaran berharga bagi Walikota Palu H. Rusdi Mastura yang serampangan memberi izin reklamasi pantai seluas 38,33 Ha dan diperuntukkan untuk pembangunan ruko, supermarket, Carrefour, hotel, restoran dan kedai kopi, mal, dan apartemen.

Mengacu pada dokumen Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) Reklamasi Pantai Talise Teluk Palu, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah, oleh PT Yauri Properti Investama Tahun 2013, didapati keterangan bahwa proyek pengurugan pantai ini akan berimbas pada terjadinya banjir (lihat Tabel 1).

Tabel 1. Ringkasan Analisis Dampak Proyek Reklamasi Pantai Talise Teluk Palu

Dampak Penting Hipotetik Rona Lingkungan Hidup Awal Hasil Prakiraan Dampak
Hidrologi

(i)   Pengoperasian Lahan Hasil Reklamasi; dan

(ii)  Pengoperasian Drainase

Pada tapak proyek terdapat muara sungai Poboya yang kemungkinan akan terkena dampak pada saat kegiatan ini dilakukan.

 

Sungai Poboya memiliki panjang sekitar 27 km dan luas DAS sekitar 75 km2 membujur dari Timur ke Barat dan bermuara di Pantai Talise Palu, terletak di sebelah Utara Muara Sungai Palu.

 

Sungai ini memiliki debit yang sangat kecil bahkan hampir kering di bagian hilir pada musim kemarau dan mengalirkan debit relatif besar pada musim penghujan dengan konsentrasi sedimen yang cukup tinggi.

Besarnya Dampak: Kegiatan pengoperasian lahan hasil reklamasi diprakirakan potensil menimbulkan dampak terhadap komponen hidrologi berupa terjadinya banjir.

 

Angkutan sedimen pantai dominan terjadi pada arah susur pantai sesuai arah angin dominan dari Utara menuju Selatan, dianalisis berdasarkan hasil pengukuran sampel sedimen dasar dan melayang.

 

Berdasarkan analisis sampel sedimen yang diambil diperoleh bahwa angkutan sedimen susur pantai di wilayah studi adalah 46.59 m3/hari.

 

Intensitas dampak ini tinggi, berlangsung lama dan jumlah manusia yang terkena dampak sangat banyak, yaitu penduduk Kota Palu.

 

Sifat Penting Dampak: Negatif Penting (-P)

Biota Perairan

(i)    Pembuatan struktur Pengaman Pantai/Tanggul;

(ii)  Penimbunan Perataan; dan

(iii)  Pembuatan Drainase Pemadatan

Kelimpahan Fitoplankton yang tercuplik pada setiap stasiun berkisar antara 1.870-6.378 sel/m3, dengan indeks keanekaragaman berkisar 0,54-1,71. Sedangkan kelimpahan zooplankton berkisar antara 1.103 – 16.710 Individu/m3     dengan Indeks   keanekaragaman berksar 0,29 – 0,92.

Kepadatan benthos di wilayah studi berkisar antara 23-31 Individu/m3 dengan nilai keanekaragaman berkisar antara 1,32 – 1,73                  Jenis ikan yang bisa tertangkap oleh nelayan antara lain: Decapterus russelli, Katsuwonus pelamis, Rastrelliger bracysoma, Rastrelliger kanagurta, dan clupea fimbricata

Kondisi trumbu karang yang terdapat dilokasi studi, sebagaian besar tutupan karang hidup didominsai oleh hard coral sekitar 33,13%, karang lunak (soft coral) berkisar antara 1,88%, karang mati berkisar 3,75- 7,5% meliputi Recently Killed Coral (RKC), Rock (RC) dan Rubble (RB).

Besarnya Dampak            Kegiatan penimbunan diprakirakan dapat menimbulkan dampak pada gangguan kehidupan biota perairan laut sekitar lokasi kegiatan. Dampak ini merupakan dampak lanjutan dari penurunan kualitas air berupa peningkatan  kandungan TSS dan kekeruhan air selama kegitan penimbunan dilakukan Perkiraan penurunan populasi plankton perairan laut pada tahap penimbunan ini adalah sebagai berikut: Fitoplankton dari 1.870 – 6.378 Sel/m3 pada rona awal menjadi 935-5.421 Sel/m3 Zooplankton dari 1.103 – 16.710 Individu/m3 pada rona awal menjadi 882-11.821 Individu/m3.Penurunan populasiplankton tersebut diatas berdampak lanjut pada gangguan rantai dan jaring makanan pada ekosistem laut. Kehidupan biota perairan yang menduduki level yang lebih tinggi pada tropik level aliran energi tergaganggu sehingga populasinya menurun karna kekurangan makanan atau migrasi ketempat lain

Peningkatan kandungan TSS di perairan laut akan berdampak pada kehidupan karang yang masih ada sekitar lokasi kegiatan. Jenis karang yang masih ditemukan terdiri atas beberapa jenis antara lain Sinularia,Sacrophyton, Acropora, Turbinariadan Echinophora

Sifat Penting Dampak
Dampak kegiatan penimbunan terhadap biota perairan dikategorikan sebagai dampak negatif penting (-P).

 

Berkaitan dengan itu, Koalisi Penyelamatan Teluk Palu mendesak Walikota Palu untuk membatalkan proyek reklamasi pantai yang akan memberi dampak negatif terhadap 32.782 jiwa yang berada di 2 kelurahan, yakni Besusu Barat dan Talise, termasuk sedikitnya ± 1.800 nelayan yang menggantungkan penghidupannya di Teluk Palu. Karena reklamasi Pantai Talise akan berimbas pada semakin sulitnya menangkap ikan dan membubungnya ongkos produksi melaut yang semakin jauh.***

 

Catatan:

Koalisi Penyelamatan Teluk Palu terdiri dari Serikat Nelayan Teluk Palu, WALHI Sulawesi Tengah, Yayasan Pendidikan Rakyat (YPR) Palu, Yayasan Tanah Merdeka (YTM) Sulawesi Tengah, Himpunan Pemuda Al-Khairat, FPI Sulawesi Tengah, JATAM Sulawesi Tengah, Yayasan Merah Putih (YMP) Sulawesi Tengah, PBHR (Perhimpunan Bantuan Hukum Rakyat) Sulawesi Tengah, dan KIARA.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Daniel, Koordinator Serikat Nelayan Teluk Palu

di +62 852 4128 9749

 

Ahmad Pelor, DIrektur Eksekusi Daerah WALHI Sulawesi Tengah

di +62 813 5431 1740

Dedi Irawan, Direktur Yayasan Pendidikan Rakyat Sulawesi Tengah

di +62 813 5662 4918

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA

di +62 815 53100 259

 

Selamet Daroyni, Koordinator Divisi Pendidikan dan Penguatan Jaringan KIARA

di +62 821 1068 3102

 

Tutup Peluang Dumping di Laut Indonesia

Siaran Pers Bersama

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

Pusat Studi Oseanografi dan Teknologi Kelautan (COMT), Universitas Surya

 

RPP Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun

Tutup Peluang Dumping di Laut Indonesia

Jakarta, 19 Februari 2014. Setelah tertunda sejak Maret 2012, pembahasan Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun, Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, dan Dumping kembali berjalan. Menariknya, ada penamaan baru atas RPP ini menjadi: Rencana Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Hal penting lainnya, dumping masih diperbolehkan.

Di dalam Pasal 1 angka (12)  RPP ini, Dumping (pembuangan) didefinisikan sebagai kegiatan membuang, menempatkan, dan/atau memasukkan limbah dan/atau bahan dalam jumlah, konsentrasi, waktu, dan lokasi tertentu dengan persyaratan tertentu ke media lingkungan hidup tertentu. Lebih lanjut, kewenangan penerbitan izin dumping sebagaimana diatur di dalam Pasal 178 dimiliki oleh Menteri, Gubernur, Bupati dan atau Walikota.

Berkenaan dengan hal tersebut, KIARA dan COMT-Universitas Surya menyatakan: pertama, dumping seharusnya dilarang di dalam RPP ini. Hal ini selaras dengan semangat Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.

Sebagai contoh, pembuangan tailing ke laut dapat berdampak terhadap akumulasi logam berat di biota, misalnya, ikan domersal yang memang habitatnya dekat dasar, kemudian cumi yang bertelur di dekat dasar sebelum kemudian naik ke permukaan, kepiting/udang yang tinggal dekat dasar perairan. Akumulasi logam barat juga dapat terjadi pada bentos dan plankton sehingga dapat berdampak kepada manusia melalui proses rantai makanan.

Kedua, mengenai dumping limbah B3, Pasal 179 ayat (2) yang berbunyi: “Dumping limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah dilakukan pengolahan sebelumnya”. Perlu penegasan definisi pengolahan dan cakupan kegiatannya sehingga potensi terjadinya pencemaran lingkungan hidup akibat kandungan logam berat yang dibuang tidak terjadi.

Ketiga, pada bagian pengawasan sebagaimana diatur di dalam Pasal 241 terlihat adanya potensi conflict of interest antara regulator/pemberi izin (Menteri, gubernur, atau bupati/walikota) dan pengawas. Pada titik ini, perlu ada pemisahan antara fungsi regulator dengan pengawas, seperti Environmental Protection Agency di Amerika Serikat yang melakukan pengawasan independen.

Keempat, Pasal 65 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa “setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup”. Berkaca pada fakta-fakta di lapangan, implementasi atas amanah pasal ini sering kali dikesampingkan, khususnya terkait pembuangan limbah B3. Oleh karena itu, pendapat dan persetujuan masyarakat yang akan terdampak harus menjadi syarat penting.

Kelima, perkembangan mutakhir teknologi pengurai limbah seharusnya menjadi arah kebijakan dalam RPP ini. Perkembangan mutakhir teknologi dapat mengatur zat seperti apa yang bisa dilakukan pengelolaan limbah, bahkan untuk dilakukan dumping di bawah laut. Merujuk pada London Dumping Convention tahun 1973 dan Protokol London tahun 1996, maka seharusnya RPP ini lebih maju dalam mengatur daftar negatif dan positif substansi atau kandungan yang dilarang dan tidak berbahaya untuk dumping.

Kelima, RPP tersebut tidak mengakomodir semangat United Nation Convention on the Law of The Sea yang telah diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982. Dalam Pasal 194 ayat (1) UNCLOS, menegaskan bahwa setiap negara penandatangan konvensi melakukan langkah penting untuk mencegah, mengurangi, dan mengontrol pencemaran lingkungan laut dari segala bentuk sumber pencemaran, termasuk pelarangan dumping di dalamnya.***

 

Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA

di +62 815 53100 259

Dr. Alan F. Koropitan, Direktur COMT-Universitas Surya

Di +62 813 8682 8716

Ahmad Marthin Hadiwinata, Koordinator Divisi Advokasi Hukum dan Kebijakan KIARA

di +62 812 860 30 453