Menghadang Kiamat Ekologi di Teluk Palu
Jum’at, 21 Februari 2014 , 13:00:42 WIB – Sosia
JAKARTA, GRESNEWS.COM – Reklamasi terhadap kawasan teluk Talise di Palu terus dilakukan meski mendapatkan banyak perlawanan dari para nelayan dan aktivis lingkungan. Para nelayan dan aktivis khawatir reklamasi ini bisa memberikan dampak yang mematikan seperti bencana banjir yang melanda Sulawesi Utara beberapa waktu lalu. Di tengarai banjir bandang terjadi karena maraknya reklamasi pantai yang tidak memperhatikan dampak lingkungan.
Bencana-bencana tersebut menurut para aktivis dan nelayan yang tergabung dalam Koalisi Penyelamatan Teluk Palu, seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi Walikota Palu H. Rusdi Mastura yang dinilai telah secara serampangan memberi izin reklamasi pantai seluas 38,33 Ha. “Reklamasi itu diperuntukkan bagi pembangunan ruko, supermarket, Carrefour, hotel, restoran dan kedai kopi, mal, dan apartemen,” kata Daniel, Koordinator Serikat Nelayan Teluk Palu dalam pernyataan tertulis yang diterima Gresnews.com, Jumat (21/2).
Pihak koalisi telah melakukan berbagai studi mengacu pada dokumen Analisis Dampak Lingkungan Reklamasi Pantai Talise Teluk Palu, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah, oleh PT Yauri Properti Investama Tahun 2013. Dari hasil studi itu koalisi berkesimpulan, proyek pengurugan pantai ini akan berimbas pada terjadinya banjir dan ancaman kerusakan lingkungan lainnya.
Dari tinjauan hidrologi, pengoperasian lahan hasil reklamasi dan pengoperasian drainase pada tapak proyek diketahui akan membawa dampak pada muara sungai Poboya. Sungai itu memiliki panjang sekitar 27 km dan luas daerah aliran sungai (DAS) sekitar 75 km2 membujur dari Timur ke Barat dan bermuara di Pantai Talise Palu, terletak di Sungai ini memiliki debit yang sangat kecil bahkan hampir kering di bagian hilir pada musim kemarau dan mengalirkan debit relatif besar pada musim penghujan dengan konsentrasi sedimen yang cukup tinggi. Jika proyek itu pengurugan pantai Talise dilakukan, menurut analisis koalisi, akan merusak komponen hidrologi di kawasan DAS sungai Poboya yang bisa mengakibatkan terjadinya banjir.
Angkutan sedimen pantai dominan terjadi pada arah susur pantai sesuai arah angin dominan dari utara menuju selatan, dianalisis berdasarkan hasil pengukuran sampel sedimen dasar dan melayang. Berdasarkan analisis sampel sedimen yang diambil diperoleh bahwa angkutan sedimen susur pantai di wilayah studi adalah 46.59 m3/hari. “Intensitas dampak ini tinggi, berlangsung lama dan jumlah manusia yang terkena dampak sangat banyak, yaitu penduduk Kota Palu,” ujar Ahmad Pelor, DIrekturnEksekusi Daerah WALHI Sulawesi Tengah.
Selain itu reklamasi teluk Talise juga diperkirakan akan merusak biota perairan. Pembuatan struktur pengaman pantai atau tanggul, penimbunan serta perataan dan pembuatan drainase dan pemadatan, akan berpengaruh pada biota laut di kawasan itu.
Sebelum reklamasi, dari hasil penelitian diketahui, terdapat kelimpahan fitoplankton yang tercuplik pada setiap stasiun berkisar antara 1.870-6.378 sel/m3, dengan indeks keanekaragaman berkisar 0,54-1,71.
Sedangkan kelimpahan zooplankton berkisar antara 1.103-16.710 Individu/m3 dengan Indeks keanekaragaman berksar 0,29 – 0,92. Kepadatan bentos (organisme yang hidup di dasar perairan) di wilayah studi berkisar antara 23-31 Individu/m3 dengan nilai keanekaragaman berkisar antara 1,32-1,73. Semua ini merupakan sumber makanan bagi ikan yang hidup di kawasan teluk Palu dan juga menjadi sumber keragaman jenis ikan.
Sebelum proyek reklamasi dilakukan diketahui, jenis ikan yang bisa tertangkap oleh nelayan antara lain sangat beragam, seperti ikan layang (Decapterus russelli), cakalang (Katsuwonus pelamis), ikan kembung betina (Rastrelliger brachysoma), kembung jantan (Rastrelliger kanagurta), dan ikan tembang (Clupea fimbricata).
Selain karena jumlah makanan ikan seperti fitoplankton, zooplankton dan bentos yang tinggi, jumlah dan keragaman jenis ikan di teluk Palu juga ditopang kondisi terumbu karang yang juga beragam. Sebagian besar tutupan karang hidup didominasi oleh hard coral sekitar 33,13%, karang lunak (soft coral) berkisar antara 1,88%, karang mati berkisar 3,75- 7,5% meliputi Recently Killed Coral (RKC), Rock (RC) dan Rubble (RB).
Penimbunan kawasan teluk diperkirakan akan membawa dampak pada terganggunya kehidupan biota perairan laut sekitar lokasi kegiatan. Dampak ini merupakan dampak lanjutan dari penurunan kualitas air berupa peningkatan kandungan TSS dan kekeruhan air selama kegitan penimbunan dilakukan.
Perkiraan penurunan populasi plankton perairan laut pada tahap penimbunan ini adalah sebagai berikut: Fitoplankton dari 1.870 – 6.378 Sel/m3 pada rona awal menjadi 935-5.421 Sel/m3. Zooplankton dari 1.103-16.710 Individu/m3 pada rona awal menjadi 882-11.821 Individu/m3.
Penurunan populasiplankton tersebut diatas berdampak lanjut pada gangguan rantai dan jaring makanan pada ekosistem laut. “Kehidupan biota perairan yang menduduki level yang lebih tinggi pada tropik level aliran energi tergaganggu sehingga populasinya menurun karna kekurangan makanan atau migrasi ketempat lain,” kata Ahmad.
Peningkatan kandungan TSS di perairan laut akan berdampak pada kehidupan karang yang masih ada sekitar lokasi kegiatan. Jenis karang yang masih ditemukan terdiri atas beberapa jenis antara lain Sinularia, Sacrophyton, Acropora, Turbinaria dan Echinophora.
Karena itu untuk mencegah bencana ekologis terjadi di teluk Palu, Koalisi Penyelamatan Teluk Palu mendesak Walikota Palu untuk membatalkan proyek reklamasi pantai. Sebab selain bencana ekologis, reklamasi itu dinilai akan memberi dampak negatif pula terhadap 32.782 jiwa yang berada di dua kelurahan, yakni Besusu Barat dan Talise, termasuk sedikitnya 1.800 nelayan yang menggantungkan penghidupannya di Teluk Palu. “Karena reklamasi Pantai Talise akan berimbas pada semakin sulitnya menangkap ikan dan membubungnya ongkos produksi melaut yang semakin jauh,” Sekjen KIARA Abdul Halim.
Redaktur : Muhammad Agung Riyadi
Sumber: http://www.gresnews.com/berita/sosial/130212-menghadang-kiamat-ekologi-di-teluk-palu/