Kabar Bahari: Bocornya Seribu Kapal

JAKARTA, GRESNEWS.COM – Peraturan Menteri ESDM Nomor 18 Tahun 2013 yang telah diubah menjadi Permen ESDM Nomor 6 Tahun 2014 tentang harga jual eceran jenis bahan bakar minyak tertentu untuk konsumen pengguna tertentu menunjukkan adanya kebablasan dalam pengaturan BBM bersubsidi. Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Abdul Halim mengatakan, indikasi adanya kebablasan ini dapat dilihat dari ketetapan kapal maksimum berbobot 30 Gross Ton (GT) yang diperkenankan menenenggak BBM bersubsidi.
Aturan ini menjadi tidak adil karena nelayan skala kecil yang sejatinya lebih berhak mengakses BBM bersubsidi justru kesulitan mendapatkan BBM bersubsidi melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN) yang tersedia. Menurut Halim, Kiara mendapati fakta, kesulitan akses dan kesinambungan pasokan BBM bersubsidi di 237 unit SPBN di Indonesia tahun 2011 misalnya, menjadikan nelayan tradisional sebagai masyarakat yang paling dirugikan. “Padahal kapal sebesar itu lebih banyak dimiliki pengusaha besar, ketimbang nelayan,” kata Halim kepada Gresnews.com, Minggu (23/2).
Terlebih, kenaikan harga solar sebesar Rp200 di tahun 2012 melalui Perpres Nomor 15 Tahun 2012 tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu, terbukti kian membebani nelayan kecil. Belum lagi, penyimpangan pemakaian BBM bersubsidi juga marak terjadi di SPBN. Misalnya di Kota Tarakan, Kalimantan Timur, dan sebagainya.
Potret Akses BBM Bersubsidi Nelayan Tradisional di 4 Kabupaten/Kota/Propinsi
No. | Kabupaten/Kota/Provinsi | Keterangan |
1 | Gresik, Jawa Timur | Sekitar 5.000 nelayan tradisional setempat harus hidup serba prihatin agar terus survive. Karena harga solar sebesar Rp.4.500 sudah sangat memberatkan |
2 | Langkat, Sumatera Utara | Sekitar 17.350 nelayan tradisional Langkat seringkali kesulitan mengakses BBM bersubsidi. Karena mereka harus menunggu tiap 10 hari sekali. DiLangkat, tersedia 6 SPBN dan hanya 4 diantaranya yang beroperasi. Pasokan yang tidak teratur berimbas pada tingginya biaya yang harusdikeluarkan oleh nelayan tradisional. Karena hargasolar di pedagang BBM eceran naik menjadi Rp5.500-Rp6.500/liter. |
3 | Lombok Timur, NTB | Kelangkaan BBM bersubsidi terjadi di LombokTimur, Nusa Tenggara Barat. Walhasil, nelayan tradisional harus membeli solar dengan hargaRp5.000-5.500 per liter. Kelangkaan dan tingginya harga solar menyebabkan nelayan harus mengurangi waktu melaut. Dampaknya, berkurang dan utang menumpuk. |
4 | Tarakan, Kaltim | Untuk mendapatkan solar seharga Rp4.500/liter, nelayan dibatasi sebanyak 200 liter dan hanya mencukupi kebutuhan melaut selama 4 hari. Ironisnya, dalam sebulan SPBN hanya beroperasi 2 hari saja. Selebihnya, nelayan harus merogoh kocek sebesar Rp.7.000-Rp.10.000/liter di pedagang eceran. Kondisi ini mengakibatkan nelayan terlilit utang agar agar tetap bisa menafkahi keluarga. |
Sumber: KIARA
Karena itu kata Halim yang paling penting dilakukan pemerintah justru adalah membatalkan kenaikan harga BBM bersubsidi sebelum membenahi fungsi SPBN dan menjamin akses dan ketersediaan pasokan BBM bersubsidi bagi nelayan tradisional. Alih-alih demikian pemerintah justru malah bertindak aneh dengan melonggarkan aturan penggunaan BBM bersubsidi dan membolehkan kapal berbobot 30 GT memakai BBM bersubsidi. “Seharusnya, pemerintah justru menjamin akses dan ketersediaan pasokan BBM bersubsidi bagi nelayan tradisional, serta menindaktegas pemilik SPBN dan pengguna yang melakukan penyimpangan BBM bersubsidi sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia,” ujarnya.
Untuk mengatasi penyimpangan di lapangan, menurut Halim, setidaknya ada empat hal yang harus dilakukan. Pertama, membenahi koordinasi antar-kementerian. Lahirnya beleid seperti di atas, menunjukkan tidak adanya koordinasi antar-kementerian atau antar-lembaga yang menaungi nelayan atau pekerja sektor perikanan tangkap.
Kedua, dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, nelayan kecil didefinisikan sebagai mereka yang menangkap ikan di laut dan menggunakan perahu di bawah 5 GT. Di lapangan, justru nelayan berkapasitas maksimal 5 GT inilah yang kesulitan mengakses BBM bersubsidi. Terkadang mereka terpaksa mengeluarkan Rp20.000 untuk 1 liter solar akibat tiadanya akses dan jauhnya SPBN. “Fakta ini terjadi di Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah,” ujar Halim.
Ketiga, pemerintah harus memastikan kuota BBM bersubsidi untuk sektor perikanan, baik tangkap maupun budidaya, tiap tahunnya dan menjamin regularitas pasokannya hingga ke wilayah kepulauan. Agar tepat sasaran, maksimalkan fungsi kartu nelayan.
Keempat, perlu ada intervensi khusus dari pemerintah menyangkut keberadaan ABK yang berada di kapal-kapal besar, karena besar kemungkinan akan menerima dampak pengurangan pembagian hasil dan hak-hak dasar layaknya pekerja sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Beberapa hari lalu, Menteri ESDM Jero Wacik telah mengeluarkan aturan baru yang mengizinkan kembali kapal-kapal ikan baik ukuran di bawah maupun di atas 30 GT membeli BBM subsidi atau solar subsdi. Kapal ukuran ini sedikitnya seharga Rp2 miliar per unit.
“Menteri ESDM telah menandatangani Permen ESDM Nomor 6 Tahun 2014 terkait perubahan atas Permen ESDM Nomor 18 Tahun 2013 tentang harga jual eceran jenis bahan bakar minyak tertentu untuk konsumen pengguna tertentu,” ujar Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian ESDM Saleh Abdurrahman, ditemui di KantorKementerian ESDM, Jumat lalu.
Saleh mengungkapkan, dengan perubahan aturan tersebut, maka kapal nelayan baik ukuran di bawah atau di atas 30 GT boleh membeli BBM subsidi. Sebelumnya BPH Migas sempat melarangnya. “Permen ini mengatakan bahwa nelayan yang menggunakan kapal ikan Indonesia dengan ukuran di bawah dan di atas 30 GT yang terdaftar di Kementerian Kelautan dan Perikanan, SKPD baik di provinsi, kabupaten atau kota yang membidangi perikanan yang melakukan pemakaian BBM subsidi 25 kilo liter dengan telah diverifikasi dengan surat dari kepala SKPD yang terkait sesuai kewenangannya masing-masing,” ungkap Saleh.
Dengan revisi Permen ESDM tersebut, secara otomatis, aturan BPH Migas yakni Surat BPH Migas Nomor: 29/07/Ka.BPH/2014 Tanggal 15 Januari 2014 tentang larangan konsumsi jenis BBM tertentu untuk kapal di atas 30 GT gugur alias tidak berlaku. “Otomatis aturan BPH Migas gugur tidak berlaku lagi,” kata Saleh.
Sebelumnya, DPR-RI memang meminta agar pemerintah mencabut aturan BPH Migasitu. Anggota DPR RI dari F-PDIP, Rieke Diah Pitaloka mengatakan, aturan itu memberatkan nelayan, mengingat kondisi nelayan kita dalam keadaan sulit baik akibat cuaca, serbuan ribuan ikan impor maupun bencana alam.
Terkait larangan kapal 30 GT memakai BBM subsidi, Kepala BPH Migas Andy Noorsaman Someng mengatakan, kebijakan itu sebenarnya tidak akan membebani nelayan, karena kapal tersebut lebih banyak digunakan oleh industri penangkapan ikan atau pemodal besar. “Jadi harus dibedakan yang namanya nelayan dengan industri penangkapan ikan,” ucapnya.
Andy menegaskan pemilik kapal di atas 30 GT pasti bukanlah seorang nelayan, karena untuk harga kapal tersebut di atas Rp2 miliar. “Apakah di atas kapal 30 GT yang harganya di atas Rp2 miliar itu milik nelayan? apakah nelayan punya modal di atas Rp2 miliar. Kapal harga Rp2 miliar kok masih membeli BBM subsidi,” tegas Andy. Karena itulah BPH Migas melarang mereka menggunakan solar bersubsidi seharga Rp5.500/ liter dan diwajibkan membeli solar industri seharga Rp11.000/liter. (dtc)
Redaktur : Muhammad Agung Riyadi
Sumber: http://www.gresnews.com/berita/politik/130232-pemerintah-kebablasan-kapal-seharga-rp2-miliar-boleh-tenggak-bbm-bersubsidi/0/
”Semua usaha membutuhkan waktu. Pembinaan juga harus dimulai dengan penyadaran hak dan kewajiban perempuan. Saya yakin, perempuan nelayan suatu hari nanti bisa mandiri,” kata Masnu’ah yang dipercaya menjadi Ketua Kelompok Perempuan Nelayan Puspita Bahari dan Koordinator PPNI Jawa Tengah.
***
LSM Tolak Aktivitas Buang Limbah ke Laut
Enrekang, (Antara) – LSM Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menolak aktivitas “dumping” atau pembuangan limbah ke laut yang masih ditoleransi dalam Rencana Peraturan Pemerintah tentang pengelolaan limbah. “Tutup peluang dumping di laut Indonesia,” kata Sekretaris Jenderal Kiara Abdul Halim dalam keterangan tertulis yang diterima dari Enrekang, Sulawesi Selatan, Kamis. Ia menyatakan penyesalannya bahwa setelah tertunda sejak Maret 2012, pembahasan Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun, Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, dan Dumping kembali berjalan. Apalagi, ujar dia, ada penamaan baru atas RPP ini menjadi Rencana Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. “Hal penting lainnya, dumping masih diperbolehkan,” ucapnya. Menurut dia, di dalam Pasal 1 angka (12) RPP ini, Dumping (pembuangan) didefinisikan sebagai kegiatan membuang, menempatkan, dan/atau memasukkan limbah dan/atau bahan dalam jumlah, konsentrasi, waktu, dan lokasi tertentu dengan persyaratan tertentu ke media lingkungan hidup tertentu. Selain itu, kewenangan penerbitan izin dumping sebagaimana diatur di dalam Pasal 178 dimiliki oleh Menteri, Gubernur, Bupati dan atau Walikota. Kiara menyatakan aktivitas dumping seharusnya dilarang di dalam RPP agar selaras dengan semangat Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran. “Sebagai contoh, pembuangan tailing ke laut dapat berdampak terhadap akumulasi logam berat di biota, misalnya, ikan domersal yang memang habitatnya dekat dasar, kemudian cumi yang bertelur di dekat dasar sebelum kemudian naik ke permukaan, kepiting/udang yang tinggal dekat dasar perairan,” ucapnya. Sebelumnya, dumping atau pembuangan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) ke darat maupun laut dinyatakan merupakan alternatif terakhir dalam pengelolaan limbah B3. “Dumping alternatif paling akhir termasuk untuk beberapa jenis limbah B3 yang dilakukan pengolahan sebelumnya,” kata Deputi bidang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun, Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup Rasio Ridho Sani di Jakarta, Kamis (6/2). Rasio Ridho Sani mengatakan, dumping limbah wajib memenuhi persyaratan jenis dan kualitas limbah serta lokasi sehingga dumping tidak akan menimbulkan kerugian terhadap kesehatan manusia, mahluk hidup lainnya dan lingkungan hidup. (*/sun) Sumber: http://m.antarasumbar.com/?dt=LSM: Reklamasi Pantai Talise Tidak Layak Lingkungan dan Rugikan Nelayan Teluk Palu
Jakarta, Sumbawanews.com.- Bencana banjir yang terjadi di Jakarta dan Manado (Sulawesi Utara) menunjukkan bahwa reklamasi pantai ikut memberikan dampak negatif terhadap pengelolaan lingkungan hidup di kawasan pesisir dan menimbulkan kerugian jangka panjang kepada masyarakat nelayan. Hal ini mestinya menjadi pembelajaran berharga bagi Walikota Palu H. Rusdi Mastura yang serampangan memberi izin reklamasi pantai seluas 38,33 Ha dan diperuntukkan untuk pembangunan ruko, supermarket, Carrefour, hotel, restoran dan kedai kopi, mal, dan apartemen. Demikian pernyataan dari Koalisi Penyelamatan Teluk Palu terdiri dari Serikat Nelayan Teluk Palu, WALHI Sulawesi Tengah, Yayasan Pendidikan Rakyat (YPR) Palu, Yayasan Tanah Merdeka (YTM) Palu, Himpunan Pemuda Al-Khairat, KIARA, Kamis (20/2). Direktur Eksekusi Daerah WALHI Sulawesi Tengah Ahmad Pelor menjelaskan mengacu pada dokumen Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) Reklamasi Pantai Talise Teluk Palu, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah, oleh PT Yauri Properti Investama Tahun 2013, didapati keterangan bahwa proyek pengurugan pantai ini akan berimbas pada terjadinya banjir. “Kegiatan pengoperasian lahan hasil reklamasi diprakirakan potensil menimbulkan dampak terhadap komponen hidrologi berupa terjadinya banjir,” ungkap Ahmad. Berkaitan dengan itu, Koalisi Penyelamatan Teluk Palu mendesak Walikota Palu untuk membatalkan proyek reklamasi pantai yang akan memberi dampak negatif terhadap 32.782 jiwa yang berada di 2 desa, yakni Besusu Barat dan Talise, termasuk sedikitnya ± 1.800 nelayan yang menggantungkan penghidupannya di Teluk Palu. Karena reklamasi Pantai Talise akan berimbas pada semakin sulitnya menangkap ikan dan membubungnya ongkos produksi melaut yang semakin jauh.(sn01) Sumber: http://sumbawanews.com/berita/Jakarta, Sumbawanews.com.- Bencana banjir yang terjadi di Jakarta dan Manado (Sulawesi Utara) menunjukkan bahwa reklamasi pantai ikut memberikan dampak negatif terhadap pengelolaan lingkungan hidup di kawasan pesisir dan menimbulkan kerugian jangka panjang kepada masyarakat nelayan. Hal ini mestinya menjadi pembelajaran berharga bagi Walikota Palu H. Rusdi Mastura yang serampangan memberi izin reklamasi pantai seluas 38,33 Ha dan diperuntukkan untuk pembangunan ruko, supermarket, Carrefour, hotel, restoran dan kedai kopi, mal, dan apartemen. Demikian pernyataan dari Koalisi Penyelamatan Teluk Palu terdiri dari Serikat Nelayan Teluk Palu, WALHI Sulawesi Tengah, Yayasan Pendidikan Rakyat (YPR) Palu, Yayasan Tanah Merdeka (YTM) Palu, Himpunan Pemuda Al-Khairat, KIARA, Kamis (20/2). Direktur Eksekusi Daerah WALHI Sulawesi Tengah Ahmad Pelor menjelaskan mengacu pada dokumen Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) Reklamasi Pantai Talise Teluk Palu, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah, oleh PT Yauri Properti Investama Tahun 2013, didapati keterangan bahwa proyek pengurugan pantai ini akan berimbas pada terjadinya banjir. “Kegiatan pengoperasian lahan hasil reklamasi diprakirakan potensil menimbulkan dampak terhadap komponen hidrologi berupa terjadinya banjir,” ungkap Ahmad. Berkaitan dengan itu, Koalisi Penyelamatan Teluk Palu mendesak Walikota Palu untuk membatalkan proyek reklamasi pantai yang akan memberi dampak negatif terhadap 32.782 jiwa yang berada di 2 desa, yakni Besusu Barat dan Talise, termasuk sedikitnya ± 1.800 nelayan yang menggantungkan penghidupannya di Teluk Palu. Karena reklamasi Pantai Talise akan berimbas pada semakin sulitnya menangkap ikan dan membubungnya ongkos produksi melaut yang semakin jauh.(sn01) Sumber: http://sumbawanews.com/berita/
LSM: Reklamasi Pantai Talise Tidak Layak Lingkungan dan Rugikan Nelayan Teluk Palu
Jakarta, Sumbawanews.com.- Bencana banjir yang terjadi di Jakarta dan Manado (Sulawesi Utara) menunjukkan bahwa reklamasi pantai ikut memberikan dampak negatif terhadap pengelolaan lingkungan hidup di kawasan pesisir dan menimbulkan kerugian jangka panjang kepada masyarakat nelayan. Hal ini mestinya menjadi pembelajaran berharga bagi Walikota Palu H. Rusdi Mastura yang serampangan memberi izin reklamasi pantai seluas 38,33 Ha dan diperuntukkan untuk pembangunan ruko, supermarket, Carrefour, hotel, restoran dan kedai kopi, mal, dan apartemen. Demikian pernyataan dari Koalisi Penyelamatan Teluk Palu terdiri dari Serikat Nelayan Teluk Palu, WALHI Sulawesi Tengah, Yayasan Pendidikan Rakyat (YPR) Palu, Yayasan Tanah Merdeka (YTM) Palu, Himpunan Pemuda Al-Khairat, KIARA, Kamis (20/2). Direktur Eksekusi Daerah WALHI Sulawesi Tengah Ahmad Pelor menjelaskan mengacu pada dokumen Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) Reklamasi Pantai Talise Teluk Palu, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah, oleh PT Yauri Properti Investama Tahun 2013, didapati keterangan bahwa proyek pengurugan pantai ini akan berimbas pada terjadinya banjir. “Kegiatan pengoperasian lahan hasil reklamasi diprakirakan potensil menimbulkan dampak terhadap komponen hidrologi berupa terjadinya banjir,” ungkap Ahmad. Berkaitan dengan itu, Koalisi Penyelamatan Teluk Palu mendesak Walikota Palu untuk membatalkan proyek reklamasi pantai yang akan memberi dampak negatif terhadap 32.782 jiwa yang berada di 2 desa, yakni Besusu Barat dan Talise, termasuk sedikitnya ± 1.800 nelayan yang menggantungkan penghidupannya di Teluk Palu. Karena reklamasi Pantai Talise akan berimbas pada semakin sulitnya menangkap ikan dan membubungnya ongkos produksi melaut yang semakin jauh.(sn01) Sumber: http://sumbawanews.com/berita/Jakarta, Sumbawanews.com.- Bencana banjir yang terjadi di Jakarta dan Manado (Sulawesi Utara) menunjukkan bahwa reklamasi pantai ikut memberikan dampak negatif terhadap pengelolaan lingkungan hidup di kawasan pesisir dan menimbulkan kerugian jangka panjang kepada masyarakat nelayan. Hal ini mestinya menjadi pembelajaran berharga bagi Walikota Palu H. Rusdi Mastura yang serampangan memberi izin reklamasi pantai seluas 38,33 Ha dan diperuntukkan untuk pembangunan ruko, supermarket, Carrefour, hotel, restoran dan kedai kopi, mal, dan apartemen. Demikian pernyataan dari Koalisi Penyelamatan Teluk Palu terdiri dari Serikat Nelayan Teluk Palu, WALHI Sulawesi Tengah, Yayasan Pendidikan Rakyat (YPR) Palu, Yayasan Tanah Merdeka (YTM) Palu, Himpunan Pemuda Al-Khairat, KIARA, Kamis (20/2). Direktur Eksekusi Daerah WALHI Sulawesi Tengah Ahmad Pelor menjelaskan mengacu pada dokumen Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) Reklamasi Pantai Talise Teluk Palu, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah, oleh PT Yauri Properti Investama Tahun 2013, didapati keterangan bahwa proyek pengurugan pantai ini akan berimbas pada terjadinya banjir. “Kegiatan pengoperasian lahan hasil reklamasi diprakirakan potensil menimbulkan dampak terhadap komponen hidrologi berupa terjadinya banjir,” ungkap Ahmad. Berkaitan dengan itu, Koalisi Penyelamatan Teluk Palu mendesak Walikota Palu untuk membatalkan proyek reklamasi pantai yang akan memberi dampak negatif terhadap 32.782 jiwa yang berada di 2 desa, yakni Besusu Barat dan Talise, termasuk sedikitnya ± 1.800 nelayan yang menggantungkan penghidupannya di Teluk Palu. Karena reklamasi Pantai Talise akan berimbas pada semakin sulitnya menangkap ikan dan membubungnya ongkos produksi melaut yang semakin jauh.(sn01) Sumber: http://sumbawanews.com/berita/
KIARA: Reklamasi Pantai Talise Tidak Layak Lingkungan
dan Rugikan Nelayan Teluk Palu
Jakarta, 20 Februari 2014. Bencana banjir yang terjadi di Jakarta dan Manado (Sulawesi Utara) menunjukkan bahwa reklamasi pantai ikut memberikan dampak negatif terhadap pengelolaan lingkungan hidup di kawasan pesisir dan menimbulkan kerugian jangka panjang kepada masyarakat nelayan. Hal ini mestinya menjadi pembelajaran berharga bagi Walikota Palu H. Rusdi Mastura yang serampangan memberi izin reklamasi pantai seluas 38,33 Ha dan diperuntukkan untuk pembangunan ruko, supermarket, Carrefour, hotel, restoran dan kedai kopi, mal, dan apartemen. Mengacu pada dokumen Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) Reklamasi Pantai Talise Teluk Palu, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah, oleh PT Yauri Properti Investama Tahun 2013, didapati keterangan bahwa proyek pengurugan pantai ini akan berimbas pada terjadinya banjir (lihat Tabel 1). Tabel 1. Ringkasan Analisis Dampak Proyek Reklamasi Pantai Talise Teluk PaluDampak Penting Hipotetik | Rona Lingkungan Hidup Awal | Hasil Prakiraan Dampak |
Hidrologi (i) Pengoperasian Lahan Hasil Reklamasi; dan (ii) Pengoperasian Drainase | Pada tapak proyek terdapat muara sungai Poboya yang kemungkinan akan terkena dampak pada saat kegiatan ini dilakukan. Sungai Poboya memiliki panjang sekitar 27 km dan luas DAS sekitar 75 km2 membujur dari Timur ke Barat dan bermuara di Pantai Talise Palu, terletak di sebelah Utara Muara Sungai Palu. Sungai ini memiliki debit yang sangat kecil bahkan hampir kering di bagian hilir pada musim kemarau dan mengalirkan debit relatif besar pada musim penghujan dengan konsentrasi sedimen yang cukup tinggi. | Besarnya Dampak: Kegiatan pengoperasian lahan hasil reklamasi diprakirakan potensil menimbulkan dampak terhadap komponen hidrologi berupa terjadinya banjir. Angkutan sedimen pantai dominan terjadi pada arah susur pantai sesuai arah angin dominan dari Utara menuju Selatan, dianalisis berdasarkan hasil pengukuran sampel sedimen dasar dan melayang. Berdasarkan analisis sampel sedimen yang diambil diperoleh bahwa angkutan sedimen susur pantai di wilayah studi adalah 46.59 m3/hari. Intensitas dampak ini tinggi, berlangsung lama dan jumlah manusia yang terkena dampak sangat banyak, yaitu penduduk Kota Palu. Sifat Penting Dampak: Negatif Penting (-P) |
Biota Perairan (i) Pembuatan struktur Pengaman Pantai/Tanggul; (ii) Penimbunan Perataan; dan (iii) Pembuatan Drainase Pemadatan | Kelimpahan Fitoplankton yang tercuplik pada setiap stasiun berkisar antara 1.870-6.378 sel/m3, dengan indeks keanekaragaman berkisar 0,54-1,71. Sedangkan kelimpahan zooplankton berkisar antara 1.103 – 16.710 Individu/m3 dengan Indeks keanekaragaman berksar 0,29 – 0,92. Kepadatan benthos di wilayah studi berkisar antara 23-31 Individu/m3 dengan nilai keanekaragaman berkisar antara 1,32 – 1,73 Jenis ikan yang bisa tertangkap oleh nelayan antara lain: Decapterus russelli, Katsuwonus pelamis, Rastrelliger bracysoma, Rastrelliger kanagurta, dan clupea fimbricata Kondisi trumbu karang yang terdapat dilokasi studi, sebagaian besar tutupan karang hidup didominsai oleh hard coral sekitar 33,13%, karang lunak (soft coral) berkisar antara 1,88%, karang mati berkisar 3,75- 7,5% meliputi Recently Killed Coral (RKC), Rock (RC) dan Rubble (RB). | Besarnya Dampak Kegiatan penimbunan diprakirakan dapat menimbulkan dampak pada gangguan kehidupan biota perairan laut sekitar lokasi kegiatan. Dampak ini merupakan dampak lanjutan dari penurunan kualitas air berupa peningkatan kandungan TSS dan kekeruhan air selama kegitan penimbunan dilakukan Perkiraan penurunan populasi plankton perairan laut pada tahap penimbunan ini adalah sebagai berikut: Fitoplankton dari 1.870 – 6.378 Sel/m3 pada rona awal menjadi 935-5.421 Sel/m3 Zooplankton dari 1.103 – 16.710 Individu/m3 pada rona awal menjadi 882-11.821 Individu/m3.Penurunan populasiplankton tersebut diatas berdampak lanjut pada gangguan rantai dan jaring makanan pada ekosistem laut. Kehidupan biota perairan yang menduduki level yang lebih tinggi pada tropik level aliran energi tergaganggu sehingga populasinya menurun karna kekurangan makanan atau migrasi ketempat lain Peningkatan kandungan TSS di perairan laut akan berdampak pada kehidupan karang yang masih ada sekitar lokasi kegiatan. Jenis karang yang masih ditemukan terdiri atas beberapa jenis antara lain Sinularia,Sacrophyton, Acropora, Turbinariadan Echinophora Sifat Penting Dampak Dampak kegiatan penimbunan terhadap biota perairan dikategorikan sebagai dampak negatif penting (-P). |
RPP Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
Tutup Peluang Dumping di Laut Indonesia
Jakarta, 19 Februari 2014. Setelah tertunda sejak Maret 2012, pembahasan Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun, Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, dan Dumping kembali berjalan. Menariknya, ada penamaan baru atas RPP ini menjadi: Rencana Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Hal penting lainnya, dumping masih diperbolehkan. Di dalam Pasal 1 angka (12) RPP ini, Dumping (pembuangan) didefinisikan sebagai kegiatan membuang, menempatkan, dan/atau memasukkan limbah dan/atau bahan dalam jumlah, konsentrasi, waktu, dan lokasi tertentu dengan persyaratan tertentu ke media lingkungan hidup tertentu. Lebih lanjut, kewenangan penerbitan izin dumping sebagaimana diatur di dalam Pasal 178 dimiliki oleh Menteri, Gubernur, Bupati dan atau Walikota. Berkenaan dengan hal tersebut, KIARA dan COMT-Universitas Surya menyatakan: pertama, dumping seharusnya dilarang di dalam RPP ini. Hal ini selaras dengan semangat Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Sebagai contoh, pembuangan tailing ke laut dapat berdampak terhadap akumulasi logam berat di biota, misalnya, ikan domersal yang memang habitatnya dekat dasar, kemudian cumi yang bertelur di dekat dasar sebelum kemudian naik ke permukaan, kepiting/udang yang tinggal dekat dasar perairan. Akumulasi logam barat juga dapat terjadi pada bentos dan plankton sehingga dapat berdampak kepada manusia melalui proses rantai makanan. Kedua, mengenai dumping limbah B3, Pasal 179 ayat (2) yang berbunyi: “Dumping limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah dilakukan pengolahan sebelumnya”. Perlu penegasan definisi pengolahan dan cakupan kegiatannya sehingga potensi terjadinya pencemaran lingkungan hidup akibat kandungan logam berat yang dibuang tidak terjadi. Ketiga, pada bagian pengawasan sebagaimana diatur di dalam Pasal 241 terlihat adanya potensi conflict of interest antara regulator/pemberi izin (Menteri, gubernur, atau bupati/walikota) dan pengawas. Pada titik ini, perlu ada pemisahan antara fungsi regulator dengan pengawas, seperti Environmental Protection Agency di Amerika Serikat yang melakukan pengawasan independen. Keempat, Pasal 65 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa “setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup”. Berkaca pada fakta-fakta di lapangan, implementasi atas amanah pasal ini sering kali dikesampingkan, khususnya terkait pembuangan limbah B3. Oleh karena itu, pendapat dan persetujuan masyarakat yang akan terdampak harus menjadi syarat penting. Kelima, perkembangan mutakhir teknologi pengurai limbah seharusnya menjadi arah kebijakan dalam RPP ini. Perkembangan mutakhir teknologi dapat mengatur zat seperti apa yang bisa dilakukan pengelolaan limbah, bahkan untuk dilakukan dumping di bawah laut. Merujuk pada London Dumping Convention tahun 1973 dan Protokol London tahun 1996, maka seharusnya RPP ini lebih maju dalam mengatur daftar negatif dan positif substansi atau kandungan yang dilarang dan tidak berbahaya untuk dumping. Kelima, RPP tersebut tidak mengakomodir semangat United Nation Convention on the Law of The Sea yang telah diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982. Dalam Pasal 194 ayat (1) UNCLOS, menegaskan bahwa setiap negara penandatangan konvensi melakukan langkah penting untuk mencegah, mengurangi, dan mengontrol pencemaran lingkungan laut dari segala bentuk sumber pencemaran, termasuk pelarangan dumping di dalamnya.*** Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi: Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA di +62 815 53100 259 Dr. Alan F. Koropitan, Direktur COMT-Universitas Surya Di +62 813 8682 8716 Ahmad Marthin Hadiwinata, Koordinator Divisi Advokasi Hukum dan Kebijakan KIARA di +62 812 860 30 453Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan
Jl. Tebet Utara 1 C No.9 RT.08/RW.01, Kel. Tebet Timur, Kec. Tebet, Kota Jakarta Selatan. 12820, Indonesia. Tlp/Fax +62-21 22902055
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) adalah organisasi non-pemerintah yang berdiri pada tanggal 6 april 2003. Organisasi nirlaba ini diinisiasi oleh WALHI, Bina Desa, JALA (Jaringan Advokasi untuk Nelayan Sumatera Utara), Federasi Serikat Nelayan Nusantara (FSNN), dan individu-individu yang menaruh perhatian terhadap isu kelautan dan perikanan.