Presiden Negeri Daratan

Presiden Negeri Daratan

Oleh Abdul Halim, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

Saat menerima peserta Rapat Koordinasi Nasional Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Sidang Dewan Kelautan Indonesia 2014 pada Kamis (30/1), di Istana Negara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan Indonesia akan kesulitan besar jika gagal memanfaatkan potensi laut pada 20, 30, 50 tahun mendatang.

Dalam pertemuan tersebut, Presiden menyebut istilah land-maritime based development (pembangunan berbasis darat-maritim). Pengenalan istilah ini seraya dipertegas dengan pentingnya mengubah paradigma pembangunan. Apalagi pada tahun 2035, penduduk Indonesia diproyeksikan menyentuh angka 305 juta orang, bertambah 65 juta ketimbang jumlah penduduk sesuai sensus pada 2010. Pertambahan penduduk ini membuat kebutuhan akan pangan, sandang, papan, dan energi meningkat drastis.

Mengubah paradigma pembangunan merupakan sine qua non bagi bangsa Indonesia untuk menguasai pentas dunia. Sebaliknya, menafikan kemestian paradigma bahwa “laut adalah masa depan bangsa” berakibat pada lumpuhnya daya produktif dan saing raksasa kelautan dunia ini. Apalagi masih bergantung pada daratan (land-based development). Tengok bencana ekologis yang serentak dialami oleh rakyat! Akses transportasi menjadi sulit, pasokan pangan menjadi tersendat dan membubungnya hutang-hutang rakyat. Sudah lama kita melupakan laut.

Tak ada yang memungkiri 70% wilayah Indonesia adalah laut. Pertanyaannya, sekadar mendistribusikan alat produksi pelaku perikanannya, Pemerintah Indonesia dihadapkan pada persoalah remeh-temeh. Sejak tahun 2010-2014, pengadaan kapal Inka Mina menjadi program Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan target 1.000 kapal, di mana harga per unit Rp 1,5 miliar dan total nilai APBN sebesar Rp 1,5 triliun. Pada tahun 2014, sebanyak 100 kapal ditargetkan terbangun.

Temuan lapangan menunjukkan bahwa penyelenggaraan program Inka Mina menuai persoalan, di antaranya target pelaksanaan anggaran pengadaan kapal tidak tercapai, kemudian spesifikasi kapal tidak sesuai dengan jumlah alokasi yang dianggarkan tiap unitnya, baik kualitas kapal, kualitas mesin, dan sarana tangkap yang disediakan serta berdasarkan perhitungan nelayan, terdapat indikasi kenakalan pemenang tender pengadaan kapal.

Persoalan lain adalah terdapat beberapa kapal Inka Mina yang rusak atau tidak bisa dioperasikan, seperti Inka Mina 199 dan 198 di Kalimantan Timur. Akibatnya KUB nelayan memiliki beban moral tanpa ada mekanisme pengembalian kepal kepada Negara. Lebih parah lagi, Inka Mina 63 dipergunakan untuk mengangkut bawang impor dari Malaysia dan kemudian tenggelam di perairan Sialang Buah, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara.

Ketidakadilan terhadap nelayan adalah perintang utama kemajuan bangsa ini. Ingat perkataan Pramoedya Ananta Toer dalam novel Anak Semua Bangsa, “Kekuatan yang kita miliki mungkinlah tidak sebanding dengan ketidakadilan yang ada, tapi satu hal yang pasti: Tuhan tahu bahwa kita telah berusaha melawannya”. Tunggu apalagi!

Sumber: http://www.neraca.co.id/article/38046/Presiden-Negeri-Daratan

 

EMPAT TANDA TANYA MENTERI KELAUTAN

EMPAT TANDA TANYA MENTERI KELAUTAN

Oleh Abdul Halim

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

Klaim Menteri Kelautan dan Perikanan atas keberhasilannya mengelola sumber daya kelautan dan perikanan sepanjang tahun 2013 bak kacang lupa kulitnya. Penilaian ini setidaknya bertolak dari 4 tolak ukur “sebesar-besar kemakmuran rakyat” sebagaimana diuraikan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Pertama, kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat. Dengan 70% lautan dan kandungan sumber daya perikanan di dalamnya, bukan mustahil bagi bangsa Indonesia untuk menjadi produsen perikanan utama dunia. Apalagi didukung dengan anggaran yang terus membesar dan regulasi yang berlandasan prinsip survival of the fittest.

Sudah sejak tahun 2010, anggaran Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengalami peningkatan sebesar 140% (lihat Tabel 1): dari Rp3,139,5 Triliun (2010) menjadi Rp7.077,4 (2013). Bahkan pada tahun 2011, terdapat tambahan sebesar Rp1.137.763.437.000 dari APBN Perubahan. Tak mengherankan, peningkatan produksi perikanan, baik dari sektor perikanan tangkap maupun budidaya, terus dipacu: 11.662.342 ton (2010); 13.643.234 ton (2011); 15.504.747 ton (2012); dan 19,56 juta ton (2013).

Tabel 1. Anggaran Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2010-2013

Tahun Anggaran Jumlah
2010 Rp3.139,5
2011 Rp5.176,0
2012 Rp6.014,1
2013 Rp7.077,4

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (Mei 2013), diolah dari Data Pokok APBN 2007-2013, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia

Kenaikan produksi perikanan bukanlah prestasi, melainkan kelumrahan laiknya negara kelautan. Sebaliknya, sejumlah fakta tidak terhubungnya program pemerintah dengan upaya penyejahteraan nelayan di desa pesisir/perkampungan nelayan, di antaranya nelayan masih dihadapkan pada perkara terputusnya tata kelola hulu ke hilir; tiadanya jaminan perlindungan jiwa dan sosial (termasuk pendidikan dan kesehatan) bagi nelayan dan keluarganya; semakin sulitnya akses melaut akibat praktek pembangunan yang tidak ramah nelayan; serta ancaman bencana yang terjadi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Lebih parah lagi, akses BBM bersubsidi masih menjadi perkara laten bagi masyarakat nelayan. Jika demikian, adakah manfaat sumber daya perikanan yang dirasakan oleh pelaku perikanan skala kecil?

Kedua, tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat. Tatkala kenaikan produksi perikanan justru kian memperlebar jurang kemiskinan: nelayan dan pembudidaya kecil diposisikan sebagai buruh, sementara pemilik kapal/lahan bak majikan berkubang dana program pemerintah (KIARA, Desember 2013), sulit untuk menyebut ada keberhasilan di balik pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan.

Temuan KIARA (Oktober 2013) menyebutkan: (i)  penerima proyek demfarm tahun 2012 di Indramayu, Jawa Barat, pada umumnya adalah juragan tambak dengan kepemilikan lahan berkisar 20-40 hektar; (ii) format pengerjaan proyek tidak berbasis kelompok, melainkan buruh-majikan; (iii) sistem penggajian menyalahi standar UMR, yakni sebesar Rp. 700.000/orang. Padahal, UMR Kabupaten Indramayu pada tahun 2012 senilai Rp. 994.864; dan (iv) para pekerja tidak diberikan hak-hak dasarnya, seperti jaminan perlindungan jiwa dan kesehatan, serta standar keselamatan kerja di tambak. Jika situasinya seperti ini, benarkah manfaat pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan sudah merata dirasakan oleh masyarakat nelayan tradisional?

Ketiga, tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam. Sudah sejak tahun 2010, jumlah nelayan yang hilang dan meninggal dunia di laut akibat dampak perubahan iklim mengalami peningkatan (lihat Tabel 2).

Tabel 2. Jumlah Nelayan Hilang dan Meninggal Dunia di Laut 2010-2012

No Tahun Jumlah Nelayan
1 2010 86
2 2011 149
3 2012 186

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (Desember 2013)

Tak hanya itu, ancaman bencana (gempa, banjir bandang, banjir rob, gelombang tinggi, dan angin kencang) yang berakibat pada tidak bisa melautnya masyarakat nelayan tradisional terus mengancam.

Pusat Data dan Informasi KIARA (Februari 2013) menerima laporan sedikitnya 20.726 nelayan tidak bisa melaut di 10 kabupaten/kota di Indonesia tanpa perlindungan dari ancaman bencana. Sayangnya, kedua fakta ini tidak dianggap sebagai hal penting oleh Negara.

Mengingat kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana produksi nelayan, dan luasnya wilayah yang terkena dampak cuaca ekstrem memberi dampak terhadap aktivitas ekonomi sosial nelayan tradisional dan mengacu pada Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, status cuaca ekstrem semestinya dikategorikan sebagai bencana nasional. Apalagi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sudah memberikan informasi prakiraan cuaca sebelumnya.

Ironisnya, informasi yang disediakan oleh BMKG tidak dijadikan sebagai panduan KKP untuk melindungi nelayan. Akibatnya, sepanjang tahun 2013, sebanyak 225 nelayan mengalami kecelakaan, hilang dan meninggal dunia di laut tanpa jaminan perlindungan jiwa (lihat Tabel 3).

Tabel 3. Jumlah Nelayan Mengalami Kecelakaan, Hilang dan Wafat di Laut 2013

No

Bulan

Jumlah Kecelakaan

Jumlah Nelayan Wafat

1 Januari 8 kasus 49 orang
2 Februari 1 kasus 1 orang
3 Maret 1 kasus 1 orang
4 April 3 kasus 60 orang
5 Mei 2 kasus 11 orang
6 Juni 3 kasus 14 orang
7 Juli 5 kasus 16 orang
8 Agustus 9 kasus 10 orang
9 September 9 kasus 18 orang
10 Oktober 5 kasus 6 orang
11 November 5 kasus 15 orang
12 Desember 6 kasus 24 orang
Jumlah total 57 Kasus 225 orang

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (Desember  2013)

Dalam kasus Inka Mina tahun 2012 di Kalimantan Timur, ditemui fakta bahwa: (1) Proses pembuatan kapal amburadul. Dengan perkataan lain, pengerjaan kapal dilakukan secara sungguh-sungguh saat Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi datang. Di luar itu, pekerja kapal terkesan main-main; (2) Sejak diterima, Kapal Inka Mina 198 (beroperasi 4 kali) dan Inka Mina 199 (hanya dipergunakan memancing) tidak pernah mendapatkan hasil apapun; (3) Mata jaring pukat terlalu kecil (hanya 1 inch). Mestinya mata jaring pukat 2-2,5 inch sehingga dapat dipakai untuk menangkap ikan besar, seperti tongkol, bukan ikan-ikan kecil; dan (4) Kedua kapal, menurut nakhoda Kapal Inka Mina 198, tidak sesuai dengan karakter nelayan yang beroperasi di perairan Kalimantan Timur bagian Utara.

Berdasarkan temuan-temuan di atas, kelompok penerima kapal mengusulkan: (1) Kapal harus dilengkapi dengan alat pendingin; (2) Sejak awal, nelayan harus dilibatkan dalam pengadaan kapal sehingga bisa dipergunakan sesuai tujuan program; dan (3) Pengadaan alat tangkap harus disesuaikan dengan karakteristik wilayah tangkap. Dalam bahasa nakhoda Kapal Inka Mina 198, desain kapal harus memperhatikan arus air di Laut Sulawesi yang bertingkat mulai dari bagian permukaan, tengah, hingga dasar laut. Tanpa kesungguhan memperbaiki, program pemberian kapal Inka Mina di Provinsi Nusa Tenggara Timur di tahun 2014 hanya akan mengulangi kekeliruan yang pernah dilakukan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, partisipasi diartikan sebagai “turut berperan-serta di dalam suatu kegiatan”. Berkaca pada ketiga fakta di atas, dapatkah nelayan tradisional berpartisipasi dalam mengelola sumber daya perikanan?

Keempat, penghormatan terhadap hak rakyat secara turun-temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam bagi rakyat. Tiga tahun pasca Putusan Mahkamah Konstitusi terkait pembatalan Pasal-pasal HP3 (Hak Pengusahaan Perairan Pesisir) di dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang menegaskan adanya 4 hak konstitusional masyarakat nelayan, KIARA menemukan sedikitnya 50 Kepala Daerah, terdiri dari: (i) 4 Gubernur; (ii) 36 Bupati; dan (iii) 10 Walikota yang memberlakukan kebijakan tidak  ramah terhadap nelayan, di antaranya memberikan izin tambang pasir laut/besi di wilayah pesisir; alih konversi mangrove; reklamasi pantai; dan alih fungsi kawasan konservasi untuk PLTU  (lihat Tabel 4). Terakhir, Menteri Kelautan dan Perikanan membolehkan asing ikut serta memanfaatkan pulau strategis dan perairan sekitarnya sembari mendiskriminasi masyarakat nelayan dan pembudidaya. Benarkah ada penghormatan terhadap hak-hak konstitusional masyarakat nelayan tradisional?

Tabel 4. Daftar Kepala Daerah Tidak Ramah Nelayan

No Kepala Daerah Bentuk Kebijakan Tidak Ramah Nelayan
  Gubernur  
1 Jawa Timur Perizinan Tambang Pasir Laut
2 Sumatera Utara Alih konversi mangrove
3 DKI Jakarta Reklamasi Pantai
4 Bali Reklamasi Pantai
Bupati
5 Batang Alih fungsi kawasan konservasi untuk PLTU
6 Serang Perizinan Tambang Pasir Laut
7 Jepara Perizinan Tambang Pasir Besi
8 Pandeglang Perizinan Tambang Pasir
9 Bangka Perizinan Tambang Timah
10 Belitung Perizinan Tambang Timah
11 Langkat Pembolehan/Pembiaran Pemakaian Trawl
12 Asahan Pembolehan/Pembiaran Pemakaian Trawl
13 Tangerang Reklamasi Pantai
14 Minahasa Utara Reklamasi Pantai
15 Bolaang Mongondow Timur Perizinan Tambang Pasir Besi
16 Bolaang Mongondow Utara Perizinan Tambang Pasir Besi
17 Kepulauan Sangihe Perizinan Tambang Pasir Besi
18 Gresik Reklamasi Pantai
19 Mamuju Reklamasi Pantai
20 Donggala Reklamasi Pantai
21 Pangandaran Perizinan Tambang Pasir Besi
22 Tasikmalaya Perizinan Tambang Pasir Besi
23 Bandung Barat Perizinan Tambang Pasir Besi
24 Minahasa Selatan Perizinan Tambang Pasir Besi
25 Minahasa Tenggara Perizinan Tambang Pasir Besi
26 Morowali Reklamasi Pantai
27 Aceh Besar Perizinan Tambang Pasir Laut
28 Seluma, Bengkulu Perizinan Tambang Pasir Besi
29 Belitung Perizinan Tambang Pasir Laut
30 Bangka Perizinan Tambang Timah
31 Garut Perizinan Tambang Pasir Besi
32 Kulon Progo Perizinan Tambang Pasir Besi
33 Kebumen Perizinan Tambang Pasir Besi
34 Cilacap Perizinan Tambang Pasir Besi
35 Tulungagung Perizinan Tambang Pasir Besi
36 Lumajang Perizinan Tambang Pasir Besi
37 Jember Perizinan Tambang Pasir Laut
38 Blitar Perizinan Tambang Pasir Laut
39 Ende Perizinan Tambang Pasir Besi
40 Konawe Perizinan Tambang Pasir Besi
Walikota
41 Balikpapan Perizinan Tambang Pasir Laut dan Reklamasi Pantai
42 Manado Reklamasi Pantai
43 Palu Reklamasi Pantai
44 Makasar Reklamasi Pantai
45 Lampung Reklamasi Pantai
46 Padang Reklamasi Pantai
47 Semarang Reklamasi Pantai
48 Surabaya Reklamasi Pantai
49 Kupang Reklamasi Pantai
50 Bau-bau Reklamasi Pantai

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (Desember 2013)

Empat tanda tanya di atas adalah ruang introspeksi bangsa Indonesia, terlebih bagi Menteri Kelautan dan Perikanan. Bung Hatta mengingatkan, “Sanubari rakyat Indonesia penuh dengan rasa-bersama, kolektivitas. Maka jelaslah bahwa persekutuan asli di Indonesia memakai asas kolektivisme. Bukan kolektivisme yang berdasar(kan) sentralisasi, melainkan desentralisasi. Apalagi mendasarkannya pada ideologi individualiasme, paham yang mendahulukan orang-seorang, bukan masyarakat”.

Seyogianya Menteri Kelautan dan Perikanan di sisa waktu pengabdiannya meneladani syair Rene de Clerq yang disitir oleh Bung Hatta dalam pelayanannya kepada masyarakat: “Hanya satu tanah yang bernama tanah airku. Ia makmur karena usaha, dan usaha itu ialah usahaku”. Dengan jalan inilah, ia akan dikenang tanpa tanda tanya!

 

Sumber: Majalah Samudra Edisi 130 Tahun XII, Februari 2014), Halaman 32-33

KIARA: Pemerintah Indonesia Harus Maksimalkan Perundingan Pedoman Pengamanan Perikanan Skala Kecil Berkelanjutan untuk Melindungi Nelayan Tradisional

Siaran Pers

Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan

www.kiara.or.id

KIARA: Pemerintah Indonesia Harus Maksimalkan Perundingan Pedoman Pengamanan Perikanan Skala Kecil Berkelanjutan untuk Melindungi Nelayan Tradisional

Jakarta, 7 Februari 2014. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa telah melanjutkan kembali pembahasan Pedoman Internasional tentang Pengamanan Perikanan Skala Kecil Berkelanjutan (International Guidelines On Securing Sustainable Smallscale Fisheries). Konsultasi Teknis tersebut akan berlangsung dari tanggal 3-7 Februari 2014 di Roma, Italia. Perwakilan Delegasi Republik Indonesia akan diwakili oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Pedoman Internasional tersebut merupakan bagian penting pengaturan perikanan yang menjadi bagian dari Tata Laksana Perikanan yang Bertanggung Jawab FAO 1995 (FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries 1995). Tata Laksana Perikanan yang Bertanggung Jawab menegaskan pentingnya kontribusi perikanan artisanal dan perikanan skala kecil terhadap kesempatan kerja, pendapatan dan ketahanan pangan. Juga menegaskan adanya perlindungan terhadap hak para nelayan dan pekerja perikanan, terutama bagi mereka yang terlibat dalam perikanan “subsisten”, skala kecil dan “artisanal”, atas suatu mata pencaharian yang aman dan pantas dan jika perlu, hak atas akses istimewa ke daerah penangkapan dan sumberdaya tradisional di dalam perairan dibawah yuridiksi mereka. Walaupun menjadi hukum yang tidak mengikat, Tata Laksana Perikanan yang Bertanggung Jawab merupakan soft law atau hukum yang lunak dan tidak memaksa bagi negara anggota untuk meratifikasi. Namun Tata Laksana Perikanan yang Bertanggung Jawab bagi setiap negara anggota FAO, termasuk Indonesia, wajib untuk diikuti, ditaati dan dilaksanakan.

Konsultasi Teknis FAO yang telah berlangsung di Roma merupakan lanjutan dari konsultasi publik yang sebelumnya dilakukan pada 20-24 Mei 2013. Pedoman Internasional yang saat ini dibahas merupakan kelanjutan dari konsultasi publik bersama dengan nelayan tradisional, organisasi masyarakat sipil dan mitra kerja yang telah dilakukan KIARA bekerjasama dengan Aliansi untuk Desa Sejahtera dan The International Collective in Support of Fishworkers (ICSF). Konsultasi publik tersebut dilakukan di 4 (empat) tempat berbeda yaitu Mataram (Nusa Tenggara Barat),  Surabaya (Jawa Timur), Banda Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam), dan Balikpapan (Kalimantan Timur).

Dari konsultasi publik yang dilakukan di Indonesia menghasilkan dua poin rumusan perlindungan nelayan tradisional, yakni pertama, pemenuhan perlindungan dan pemenuhan hak-hak warga negara sebagaimana hak asasi manusia dalam hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial, dan hak untuk berbudaya. Kedua, pedoman perlindungan nelayan tradisional harus mencakup Hak-hak Nelayan Tradisional yang telah dirumuskan dan harus dilindungi melalui instrumen perlindungan nelayan.

Prospek perlindungan nelayan tradisional di Indonesia mendapatkan momentum penting dengan diputusnya uji materi terhadap UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Putusan MK No. 3/PUU-VIII/2010 dalam pertimbangannya menjabarkan 4 hak konstitusional nelayan Indonesia, yakni Hak untuk melintas di laut; Hak untuk mendapatkan mengelola sumber daya melalui kearifan lokal; Hak memanfaatkan atau mengelola sumber daya alam untuk kepentingan nelayan; dan Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup dan perairan yang bersih dan sehat. Walaupun kemudian, revisi melalui UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU  No. 27 Tahun UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berpotensi kembali melanggar hak nelayan atas ruang penghidupannya dengan adanya ijin lokasi dan ijin pengelolaan yang tetap wajib bagi nelayan tradisional dan skala kecil.

Peluang kebijakan perlindungan melalui RUU Perlindungan Nelayan semakin mengecil untuk segera disahkan menjadi Undang-Undang. Walaupun telah menjadi Prioritas Program Legislasi Nasional 2010-2014, namun ditengah tahun politik yang semakin hingar-bingar RUU Perlindungan Nelayan tidak dapat dipastikan akan disahkan. Padahal 95,6% dari 2,7 jiwa nelayan adalah nelayan tradisional dan skala kecil yang beroperasi di sekitar pesisir pantai atau beberapa mil saja dari lepas pantai.

Pembahasan Pedoman Internasional tentang Pengamanan Perikanan Skala Kecil Berkelanjutan menjadi peluang kekosongan perlindungan negara terhadap nelayan tradisional dan skala kecil. Namun peluang tersebut masih berpeluang untuk berbelok kembali dengan ancaman potensi dalam klausul penting yang sedang dibahas dalam Pedoman Internasional. Terdapat empat klausul penting yang berpotensi berbelok arah dalam perlindungan nelayan tradisional dan skala kecil yaitu: Pertama, terkait dengan definisi dan kriteria nelayan skala kecil; kedua, terkait dengan adopsi pengaturan pasal-pasal terkait dengan WTO; ketiga, masih terkait dengan WTO, usulan dari Uni Eropa untuk memfasilitasi nelayan skala kecil ke pasar dunia; dan keempat, terkait dengan redistribusi sumber daya tanah pesisir bagi keluarga nelayan.

Untuk itu, KIARA mendesak kepada Presiden dan DPR RI segera membahas RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan sebagai bentuk keseriusan Negara untuk hadir melindungi dan menyejahterakan masyarakat nelayan. Dan kepada Delegasi Republik Indonesia yang diwakili oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk menunjukkan konsistensi terhadap perlindungan nelayan tradisional dan skala kecil.***

 

Untuk informasi lebih lanjut, silahkan menghubungi:

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal

di +62 815 53100 259

Ahmad Marthin Hadiwinata, Koordinator Divisi Advokasi Hukum dan Kebijakan

di +62 812 860 30 453

 

Sekretariat Nasional Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

The People’s Coalition for Fisheries Justice Indonesia

Jl. Manggis Blok B Nomor 4

Perumahan Kalibata Indah

Jakarta 12750

Telp./Faks. +62 21 799 3528

Website. www.kiara.or.id

KIARA: Pemerintah Indonesia Harus Maksimalkan Perundingan Pedoman Pengamanan Perikanan Skala Kecil Berkelanjutan untuk Melindungi Nelayan Tradisional

Siaran Pers

Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan

www.kiara.or.id

KIARA: Pemerintah Indonesia Harus Maksimalkan Perundingan Pedoman Pengamanan Perikanan Skala Kecil Berkelanjutan untuk Melindungi Nelayan Tradisional

Jakarta, 7 Februari 2014. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa telah melanjutkan kembali pembahasan Pedoman Internasional tentang Pengamanan Perikanan Skala Kecil Berkelanjutan (International Guidelines On Securing Sustainable Smallscale Fisheries). Konsultasi Teknis tersebut akan berlangsung dari tanggal 3-7 Februari 2014 di Roma, Italia. Perwakilan Delegasi Republik Indonesia akan diwakili oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Pedoman Internasional tersebut merupakan bagian penting pengaturan perikanan yang menjadi bagian dari Tata Laksana Perikanan yang Bertanggung Jawab FAO 1995 (FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries 1995). Tata Laksana Perikanan yang Bertanggung Jawab menegaskan pentingnya kontribusi perikanan artisanal dan perikanan skala kecil terhadap kesempatan kerja, pendapatan dan ketahanan pangan. Juga menegaskan adanya perlindungan terhadap hak para nelayan dan pekerja perikanan, terutama bagi mereka yang terlibat dalam perikanan “subsisten”, skala kecil dan “artisanal”, atas suatu mata pencaharian yang aman dan pantas dan jika perlu, hak atas akses istimewa ke daerah penangkapan dan sumberdaya tradisional di dalam perairan dibawah yuridiksi mereka. Walaupun menjadi hukum yang tidak mengikat, Tata Laksana Perikanan yang Bertanggung Jawab merupakan soft law atau hukum yang lunak dan tidak memaksa bagi negara anggota untuk meratifikasi. Namun Tata Laksana Perikanan yang Bertanggung Jawab bagi setiap negara anggota FAO, termasuk Indonesia, wajib untuk diikuti, ditaati dan dilaksanakan.

Konsultasi Teknis FAO yang telah berlangsung di Roma merupakan lanjutan dari konsultasi publik yang sebelumnya dilakukan pada 20-24 Mei 2013. Pedoman Internasional yang saat ini dibahas merupakan kelanjutan dari konsultasi publik bersama dengan nelayan tradisional, organisasi masyarakat sipil dan mitra kerja yang telah dilakukan KIARA bekerjasama dengan Aliansi untuk Desa Sejahtera dan The International Collective in Support of Fishworkers (ICSF). Konsultasi publik tersebut dilakukan di 4 (empat) tempat berbeda yaitu Mataram (Nusa Tenggara Barat),  Surabaya (Jawa Timur), Banda Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam), dan Balikpapan (Kalimantan Timur).

Dari konsultasi publik yang dilakukan di Indonesia menghasilkan dua poin rumusan perlindungan nelayan tradisional, yakni pertama, pemenuhan perlindungan dan pemenuhan hak-hak warga negara sebagaimana hak asasi manusia dalam hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial, dan hak untuk berbudaya. Kedua, pedoman perlindungan nelayan tradisional harus mencakup Hak-hak Nelayan Tradisional yang telah dirumuskan dan harus dilindungi melalui instrumen perlindungan nelayan.

Prospek perlindungan nelayan tradisional di Indonesia mendapatkan momentum penting dengan diputusnya uji materi terhadap UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Putusan MK No. 3/PUU-VIII/2010 dalam pertimbangannya menjabarkan 4 hak konstitusional nelayan Indonesia, yakni Hak untuk melintas di laut; Hak untuk mendapatkan mengelola sumber daya melalui kearifan lokal; Hak memanfaatkan atau mengelola sumber daya alam untuk kepentingan nelayan; dan Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup dan perairan yang bersih dan sehat. Walaupun kemudian, revisi melalui UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU  No. 27 Tahun UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berpotensi kembali melanggar hak nelayan atas ruang penghidupannya dengan adanya ijin lokasi dan ijin pengelolaan yang tetap wajib bagi nelayan tradisional dan skala kecil.

Peluang kebijakan perlindungan melalui RUU Perlindungan Nelayan semakin mengecil untuk segera disahkan menjadi Undang-Undang. Walaupun telah menjadi Prioritas Program Legislasi Nasional 2010-2014, namun ditengah tahun politik yang semakin hingar-bingar RUU Perlindungan Nelayan tidak dapat dipastikan akan disahkan. Padahal 95,6% dari 2,7 jiwa nelayan adalah nelayan tradisional dan skala kecil yang beroperasi di sekitar pesisir pantai atau beberapa mil saja dari lepas pantai.

Pembahasan Pedoman Internasional tentang Pengamanan Perikanan Skala Kecil Berkelanjutan menjadi peluang kekosongan perlindungan negara terhadap nelayan tradisional dan skala kecil. Namun peluang tersebut masih berpeluang untuk berbelok kembali dengan ancaman potensi dalam klausul penting yang sedang dibahas dalam Pedoman Internasional. Terdapat empat klausul penting yang berpotensi berbelok arah dalam perlindungan nelayan tradisional dan skala kecil yaitu: Pertama, terkait dengan definisi dan kriteria nelayan skala kecil; kedua, terkait dengan adopsi pengaturan pasal-pasal terkait dengan WTO; ketiga, masih terkait dengan WTO, usulan dari Uni Eropa untuk memfasilitasi nelayan skala kecil ke pasar dunia; dan keempat, terkait dengan redistribusi sumber daya tanah pesisir bagi keluarga nelayan.

Untuk itu, KIARA mendesak kepada Presiden dan DPR RI segera membahas RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan sebagai bentuk keseriusan Negara untuk hadir melindungi dan menyejahterakan masyarakat nelayan. Dan kepada Delegasi Republik Indonesia yang diwakili oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk menunjukkan konsistensi terhadap perlindungan nelayan tradisional dan skala kecil.***

 

Untuk informasi lebih lanjut, silahkan menghubungi:

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal

di +62 815 53100 259

Ahmad Marthin Hadiwinata, Koordinator Divisi Advokasi Hukum dan Kebijakan

di +62 812 860 30 453

 

Sekretariat Nasional Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

The People’s Coalition for Fisheries Justice Indonesia

Jl. Manggis Blok B Nomor 4

Perumahan Kalibata Indah

Jakarta 12750

Telp./Faks. +62 21 799 3528

Website. www.kiara.or.id