Kiara Minta Bantuan Kapal Inka Mina Diaudit

Kiara Minta Bantuan Kapal Inka Mina Diaudit 

Perikanan Tangkap

Jakarta – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menuntut adanya audit program bantuan kapal Inka Mina sepanjang 2010-2013. Bantuan kapal untuk para nelayan yang ditargetkan mencapai jumlah 1000 unit di 2014 itu dimaksudkan agar nilai keberhasilan atau kegagalannya bisa serta dapat dijadikan sebagai pedoman perbaikan program ini.

“Kiara meminta kepada UKP4 untuk, pertama, melakukan audit keseluruhan atas program Inka Mina 2010-2013 agar nilai keberhasilan atau kegagalannya bisa diukur oleh khalayak luas, khususnya masyarakat nelayan, dan dapat dijadikan sebagai pedoman perbaikan pelaksanaan program ini di tahun 2014, dan kedua Menteri Kelautan dan Perikanan untuk menyiapkan database online perkembangan program, meliputi implementasi, pelaporan, pemantauan dan verifikasi lapangan, sehingga bisa diakses dengan mudah dan cepat oleh para pemangku kepentingan, termasuk aparatur hukum. Hal ini bertujuan untuk meminimalisasi terjadinya penyimpangan-penyimpangan,” kata Sekjen Kiara Abdul Halim kepada Neraca, Minggu (2/2).

Menurut data Kiara, sejak 2010-2014, pengadaan kapal Inka Mina menjadi program Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan target 1.000 kapal, di mana harga per unit Rp 1,5 miliar dan total nilai APBN sebesar Rp 1,5 triliun. Pada tahun 2014, sebanyak 100 kapal ditargetkan terbangun.

“Temuan lapangan menunjukkan bahwa penyelenggaraan program Inka Mina menuai persoalan, di antaranya target pelaksanaan anggaran pengadaan kapal tidak tercapai, spesifikasi kapal tidak sesuai dengan jumlah alokasi yang dianggarkan tiap unitnya, baik kualitas kapal, kualitas mesin, dan sarana tangkap yang disediakan,” jelasnya.

Temuan ketiga, lanjut Halim, berdasarkan perhitungan nelayan, terdapat indikasi kenakalan pemenang tender pengadaan kapal. Hal ini dilakukan dengan mengurangi spesifikasi kapal dan lambat dalam menyelesaikan target terbangunnya kapal.

“Keempat, terdapat beberapa kapal Inka Mina yang rusak atau tidak bisa dioperasikan, seperti Inka Mina 199 dan 198 di Kalimantan Timur. Akibatnya KUB nelayan memiliki beban moral tanpa ada mekanisme pengembalian kepal kepada Negara. Lebih parah lagi, Inka Mina 63 dipergunakan untuk mengangkut bawang impor dari Malaysia dan kemudian tenggelam di perairan Sialang Buah, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara,” imbuhnya.

Disebutkan Halim, hal lainnya adalah tidak sinkronnya data pengadaan kapal yang terbangun dan tercatat antara Dinas Provinsi/Kabupaten/Kota dan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP dengan UKP4 (Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan), misalnya data yang dimiliki oleh UKP4 sebanyak 735 kapal yang berhasil dibangun, sementara KKP mencatat 733 kapal.

Selisih ini menunjukkan lemahnya mekanisme pengawasan dan pelaporan perkembangan program pengadaan 1.000 kapal ini. “Jika dari sisi jumlah pengadaan saja tidak cocok, potensi kelirunya pelaporan terkait berhasil atau gagalnya kapal pasca serah-terima di pelbagai wilayah besar kemungkinan terjadi,” kata Halim.

Kritik terhadap program Inka Mina juga pernah dilontarkan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI). Mereka meragukan klaim keberhasilan Program Bantuan 1000 Kapal Inka Mina oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo. “Sejak awal, KNTI menaruh perhatian terhadap mega proyek bantuan 1000 kapal ini. Bukan saja karena nilai proyeknya yang mencapai Rp 1,5 triliun. Tapi juga, realisasinya untuk restrukturisasi armada penangkapan ikan di kawasan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia. Sangat disayangkan, menteri lebih memilih berbohong daripada melakukan perbaikan sesuai rekomendasi sebelumnya dari para nelayan, DPR, hingga Badan Pemeriksa Keuangan,“ ujar Ketua Dewan Pembina KNTI M. Riza Damanik, dalam siaran pers bersama, belum lama ini.

Riza juga menyebut, di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Kapal Inka Mina 250 diketahui baru 2 kali beroperasi dan rugi. Saat diserahterimakan 2012 lalu, kapal bantuan tersebut tidak dilengkapi alat tangkap yang memadai. “Dengan kenyataan seperti itu, bagaimana kapal dapat beroperasi dan mendapatkan keuntungan hingga milyaran rupiah?” kata Amin Abdullah, Presidium KNTI Wilayah Sulawesi dan Nusa Tenggara.

Temuan lainnya di Sumatera Utara. Kapal Inka Mina 63 dan 64, justru digunakan untuk mengangkut bawang impor dari Malaysia ke Sumatera Utara. “Secara fisik, kapal-kapal bantuan tersebut tidak layak untuk kegiatan menangkap ikan. Tingginya ongkos perawatan kapal, telah mendorong penggunaan kapal tidak sesuai peruntukannya, termasuk menjadi armada pengangkut bawang impor ilegal dari Malaysia,” terang Dahli Sirait, Pengurus Wilayah KNTI Sumatera Utara.

Hal serupa, sebut siaran tersebut, dikatakan Munir, Pengurus Wilayah KNTI Jawa Timur. “3 kapal bantuan KKP di Jawa Timur semakin tidak jelas masa depannya. Mulai dari kelengkapan kapal yang minim, hingga persoalan terbatasnya kapasitas nelayan dalam mengoperasikannya. Belakangan, Dinas Perikanan memilih memasang rumpon di Selat Madura,” kata Munir.

Itulah sebabnya, menurut Riza, KNTI Kami mendukung BPK segera melakukan Audit Khusus terhadap proyek bantuan 1000 kapal. “Di 2014, KPK perlu memperbesar komitmennya untuk mendalami potensi kerugian negara dari sektor kelautan dan perikanan,” tutur Riza.

Sumber: http://www.neraca.co.id/article/37874/Kiara-Minta-Bantuan-Kapal-Inka-Mina-Diaudit

Meresahkan, Nelayan Desak Operasi Jaring Batu Dihentikan

Meresahkan, Nelayan Desak Operasi Jaring Batu Dihentikan

Senin, 10 Februari 2014 WIB

JAKARTA, GRESNEWS.COM – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mendesak pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk segera menghentikan pengoperasian alat penangkap ikan jaring batu. Hari ini, Kiara telah mengirimkan surat resmi kepada Menteri KKP Sharif Cicip Sutardjo agar mengambil tindakan tegas kepada para operator jaring batu. Menurut Sekretaris Jenderal Kiara Abdul Halim, penggunaan alat tangkap sejenis pukat (trawl) itu, membuat ekosistem pesisir laut hancur. “Akibatnya ikan-ikan dasar laut kehilangan tempat bermukim dan berkembang biak,” kata Halim kepada Gresnews.com, Senin (10/2).

Selain itu pengoperasian jaring dasar juga telah berdampak pada berkurangnya hasil tangkapan nelayan tradisional. Ikan-ikan dasar, seperti ikan kurau, merah, malung, kerapu, gerut, dan lain-lain semakin sulit diperoleh. Bahkan ikan permukaan sulit ditemukan karena jaring batu telah mengambil seluruh ikan, baik ukuran besar maupun kecil dan semua jenis ikan. Padahal, sebelum ada jaring batu, setiap nelayan sekali melaut minimal mendapatkan 100 kg ikan, dan 60% merupakan ikan kurau yang memiliki harga paling tinggi di Bengkalis.

Belum lagi dampak ikutan berupa terjadinya kecemburuan sosial karena nelayan jaring batu lebih banyak mendapatkan hasil tangkap dan menangkap di zona 0-4 mil. Sementara nelayan tradisional sangat minim pendapatannya dan harus berebut wilayah tangkap dengan pemilik kapal-kapal jaring batu. “Pada titik tertentu tidak sedikit pertengkaran terjadi di tengah laut dan berujung tindak kekerasan,” kata Halim.

Akibat tidak mendapatkan penghasilan yang memadai, sebagian nelayan terbelit hutang ke tengkulak dan bahkan hingga meninggal dunia tidak mampu melunasi hutang-hutang mereka. Dampak lain akibat penghasilan para nelayan tradisional yang kecil sehingga anak-anak putus sekolah dan terlanggarnya hak atas pendidikan mereka. Fakta ini diperoleh Kiara setelah menerima laporan langsung dari masyarakat nelayan yang tergabung di dalam Solidaritas Nelayan Kecamatan Bantan (SNKB) pada tanggal 28-30 Januari 2014 di Bengkalis. Kiara juga telah melakukan studi lapangan untuk mengkaji dampak tersebut.

Menurut Halim, berdasarkan Pasal 9 jo. Pasal 85 Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan alat tangkap trawl telah dilarang. Pasal 9 UU Perikanan tersebut melarang setiap orang untuk memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia.

Pengguna trawl berdasarkan pasal tersebut diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Pelarangan penggunaan trawl di perairan Indonesia diperkuat dengan terbitnya Keputusan Presiden No. 39 Tahun 1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl sebagai jawaban konflik berdarah alat tangkap trawl di Sumatera Utara.

Ketua Serikat Nelayan Kecamatan Bantan (SNKB), Bengkalis, Kepulauan Riau, Abu Samah mengatakan, pengoperasian jaring batu telah dipergunakan di perairan Bengkalis sejak tahun 1983. Beroperasinya jaring batu berdampak pada rusaknya lingkungan hidup pesisir dan hilangnya pendapatan nelayan tradisional. Puncaknya, pada tahun 2006 nelayan tradisional setempat semakin tidak dapat mengendalikan kemarahan mereka yang berujung pada konflik dan kekerasan dengan pemilik dan anak buah kapal jaring batu.

Sedikitnya 5 orang nelayan meninggal dunia dan puluhan warga luka-luka. Lamban dan lemahnya perhatian pemerintah dalam tata kelola dan pengawasan serta penegakan hukum menjadi faktor utama. Berselang 7 tahun kemudian, pengoperasian jaring batu/dasar sampai dengan hari ini masih terus berlangsung. Nelayan tradisonal yang berada di 4 desa, yaitu Jangkang, Selat Baru, Bantan Air dan Pambang, yang berjumlah lebih dari 2.000 nelayan dirugikan.

Saat ini nelayan tradisional seringkali tidak mendapatkan hasil tangkapan ikan. Dahulu kata Abu, dalam 1 musim tangkap, nelayan bisa membawa pulang penghasilan hingga Rp 4-5 juta rupiah. Penghasilan itu terutama dari tangkapan ikan kurau yang merupakan ikan paling ekonomis dengan harga pasaran Rp 120 ribu per kilogram dan berat ikan bisa mencapai 30-40 kilogram per ekor.

Nelayan tradisional biasa menangkap ikan dasar dengan pancing rawai yang lebih ramah lingkungan. “Karena yang makan umpan hanya ikan yang lapar saja,” kata Abu kepada Gresnews.com lewat sambungan telepon, Senin (10/2).

Sementara, dengan jaring batu, semua ikan termasuk ikan-ikan kecil dan ikan permukaan bisa kena. Tak heran jika nelayan tradisional semakin kesulitan mencari ikan baik ikan dasar maupun permukaan. “Sekarang 1 kapal hanya bisa dapat satu ekor ikan saja kalau dirupiahkan hanya senilai Rp 80.000,” kata Abu.

Dengan pendapatan seperti itu nelayan sangat merugi karena sekali melaut mereka membutuhkan modal sebesar Rp 120 ribu-Rp 150 ribu. “Kondisi ini memicu tingginya angka pengangguran dan kemiskinan, sehingga tidak sedikit dari keluarga nelayan harus beralih profesi dan menjadi tenaga kerja di Malaysia dan buruh bangunan di kota,” kata Abu. Di Kecamatan Bantan sendiri kata dia, dari 2000-an nelayan yang dulu ada kini jumlahnya tak lebih dari 400 nelayan saja.

Sudah banyak upaya yang dilakukan oleh nelayan tradisional agar pengoperasian jaring batu bisa dihentikan. Melalui SNKB, para nelayan bersama-sama dengan LSM, baik yang berada di Pekanbaru maupun Jakarta sudah meminta kepada pemerintah daerah dan pusat untuk segera menghentikan pengoperasian jaring batu, namun hasilnya tidak ada. Bahkan Pemerintah justru memfasilitasi dan memberikan permodalan bagi keberadaan dan pengoperasian kapal-kapal jaring batu/dasar tersebut.

Hal ini terjadi karena hidup sebagai nelayan tak lagi menguntungkan secara ekonomi sementara risiko yang dihadapi sangata besar. Selain oleh pengoperasian jaring batu nelayan tradisional di Kecamatan Bantan terdesak pengoperasian kapal Inka Mina bantuan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang kebanyakan jatuh ke tangan pengusaha besar. “Karena kami nelayan tradisional menolak kapal itu, karena laut kita kan selat yang sempit, sehingga tak mungkin mengoperasikan kapal besar seperti itu,” kata Abu.

Karena itu selain mendesak agar jaring batu dilarang, Abu Samah juga meminta agar pemerintah memulihkan kondisi dasar laut yang rusak dengan cara membangun rumah-rumah ikan dari beton. “Supaya ikan dasar yang tersisa bisa berkembang biak lagi,” ujarnya.

Redaktur : Muhammad Agung Riyadi

Sumber: http://www.gresnews.com/mobile/berita/sosial/1830102-meresahkan-nelayan-desak-operasi-jaring-batu-dihentikan/

Kiara Minta Jangan Dibatasi Akses BBM Bersubsidi

Kiara Minta Jangan Dibatasi Akses BBM Bersubsidi

Jakarta (Antara) – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) meminta pemerintah jangan membatasi akses BBM bersubsidi yang sangat dibutuhkan oleh para nelayan yang beroperasi di berbagai daerah di kawasan perairan Indonesia.

“Pelarangan mengakses BBM merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak dasar nelayan,” kata Sekjen Kiara Abdul Halim ketika dihubungi Antara di Jakarta, Minggu.

Menurut dia, harus diingat bahwa BBM merupakan 70 persen dari keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk kebutuhan produksi nelayan dalam menangkap ikan.

Ia menyatakan ketidaksetujuan atas pembatasan BBM bersubsidi antara lain karena anggaran BBM dalam lima tahun terakhir mengalami peningkatan.

Selain itu, lanjutnya, banyak Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Nelayan (SPBN) yang tidak beroperasi sebagaimana mestinya alias mangkrak.

“Kalaupun beroperasi, pasokannya tidak reguler dan seringkali diwarnai dengan penyimpangan pengalokasiannya,” ujarnya.

Sebelumnya, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) meminta seluruh kapal mendapat bahan bakar minyak bersubsidi, tidak hanya dibatasi untuk kapal berkapasitas di bawah 30 GT yang biasanya dimiliki nelayan kecil tradisional.

“Masalah ini (larangan pemberian BBM bersubsidi terhadap kapal yang berkapasitas lebih dari 30 GT) telah menimbulkan keresahan dan kemarahan para nelayan pemilik maupun nelayan pekerja kapal ikan di atas 30 GT,” kata Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perikanan dan Kelautan Yugi Prayanto di Jakarta, Rabu (5/2).

Menurut dia, saat ini terdapat sekitar 10.000 kapal ikan di atas 30 GT yang tidak bisa melaut karena harus membeli BBM solar nonsubsidi yang harganya dua kali lipat dari BBM bersubsidi.

Karena itu, pengusaha perikanan dan para nelayan meminta kepada pemerintah, Kementerian ESDM, Pertamina, serta Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi agar kapal yang berkapasitas lebih dari 30 GT bisa tetap mendapat subsidi BBM.

Yugi mengatakan, Kadin beserta asosiasi-asosiasi terkait akan melakukan pendekatan kembali dengan pemerintah, terutama dengan Menteri Koordinator Perekonomian untuk menindaklanjutinya.

Perpres 15/2012 tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis BBM Tertentu tertanggal 7 Februari 2012 menyebutkan, hanya kapal dengan bobot maksimum 30 GT yang boleh menggunakan BBM bersubsidi.

Aturan tersebut disusul Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Perpres 15/2012 tertanggal 24 Februari 2012 yang mengatur kapal di bawah 30 GT hanya boleh mengonsumsi BBM subsidi maksimal 25 kiloliter per bulan.(fr)

 

Sumber: http://id.berita.yahoo.com/kiara-minta-jangan-dibatasi-akses-bbm-bersubsidi-080133683.html