RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Dipastikan Tak Rampung Tahun Ini
RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Dipastikan Tak Rampung Tahun Ini
JAKARTA, GRESNEWS.COM- Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan dipastikan tak bisa diselesaikan pada akhir tahun ini. Sebab RUU yang telah masuk Program Legislasi Nasional itu hingga saat ini belum juga dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat.
Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi Amanat Nasional Viva Yoga Mauladi mengatakan pembahasan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan masih dalam taraf penyusunan naskah akademik. “Saat ini masih kita bahas penyusunan naskah akademiknya. Karena kan kemarin kami masih fokus pada penyelesaian UU Pemberdayaan Pulau-Pulau Kecil dan Wilayah Pesisir,” kata Yoga kepada Gresnews.com melalui telepon, kemarin.
Ketua Badan Pemenangan Pemilu PAN itu menambahkan alasan masih dibahasnya RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan itu juga dikarenakan Komisi saat ini masih fokus untuk menyelesaikan RUU Konservasi Tanah dan Air dan RUU Perkebunan. Lebih lanjut Yoga mengungkapkan mengenai RUU perlindungan dan pemberdayaan nelayan sebenarnya akan dimasukkan dalam pembahasan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, dimana di dalamnya mencakup petani laut, yang berarti termasuk nelayan. Namun saat pembahasan RUU itu, anggota dewan sepakat bahwa petani yang dimaksud adalah petani darat. Sehingga pihaknya skeptis RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan dapat diselesaikan sebelum masa jabatan anggota dewan saat ini berakhir.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Abdul Halim mengatakan DPR RI justru harus segera menyelesaikan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan karena sangat penting bagi upaya peningkatan kesejahteraan nelayan secara hukum. Menurutnya, bila Indonesia sudah meratifikasi Pedoman Internasional tentang Pengamanan Perikanan Skala Kecil Berkelanjutan (International Guidelines on Securing Sustainable Smallscale Fisheries) maka RUU itu harus segera disahkan.
Saat ini kan sedang dibahas mengenai Pedoman Internasional tentang Pengamanan Perikanan Skala Kecil Berkelanjutan (International Guidelines on Securing Sustainable Smallscale Fisheries) di Roma Italia, maka Indonesia wajib mempunyai UU tentang perlindungan dan pemberdayaan nelayan,” kata Abdul kepada Gresnews.com kemarin.
Abdul menambahkan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan yang tengah di bahas di Komisi IV saat ini merupakan inisiatif DPR. Sementara pada tahun 2010 lalu, Kementerian Hukum dan HAM sudah pernah menyusun naskah akademik untuk RUU ini. Namun tiba-tiba RUU ini masuk dalam Prolegnas tahun 2010, atas inisiatif DPR. Komisi IV sendiri saat dihubungi oleh Gresnews.com menyatakan tidak ingat kapan RUU ini mulai diajukan oleh DPR.
Saat ini konsultasi teknis mengenai Pengamanan Perikanan Skala Kecil Berkelanjutan tengah berlangsung dari tanggal 3-7 Februari 2014 di Roma, Italia. Perwakilan Delegasi Republik Indonesia diwakili oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Pedoman Internasional tersebut merupakan bagian penting pengaturan perikanan yang menjadi bagian dari Tata Laksana Perikanan yang Bertanggung Jawab FAO 1995 (FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries 1995). Tata Laksana Perikanan yang Bertanggung Jawab menegaskan pentingnya kontribusi perikanan artisanal dan perikanan skala kecil terhadap kesempatan kerja, pendapatan dan ketahanan pangan. Juga menegaskan adanya perlindungan terhadap hak para nelayan dan pekerja perikanan, terutama bagi mereka yang terlibat dalam perikanan subsistem, skala kecil dan artisanal, atas suatu mata pencaharian yang aman dan pantas dan jika perlu, hak atas akses istimewa ke daerah penangkapan dan sumberdaya tradisional di dalam perairan di bawah yuridiksi mereka.
Walaupun menjadi hukum yang tidak mengikat, Tata Laksana Perikanan yang Bertanggung Jawab merupakan soft law atau hukum yang lunak dan tidak memaksa bagi negara anggota untuk meratifikasi. Namun Tata Laksana Perikanan yang Bertanggung Jawab bagi setiap negara anggota FAO, termasuk Indonesia, wajib untuk diikuti, ditaati dan dilaksanakan.
Konsultasi Teknis FAO yang telah berlangsung di Roma merupakan lanjutan dari konsultasi publik yang sebelumnya dilakukan pada 20-24 Mei 2013. Pedoman Internasional yang saat ini dibahas merupakan kelanjutan dari konsultasi publik bersama dengan nelayan tradisional, organisasi masyarakat sipil dan mitra kerja yang telah dilakukan KIARA bekerjasama dengan Aliansi untuk Desa Sejahtera dan The International Collective in Support of Fishworkers (ICSF). Konsultasi publik tersebut dilakukan di 4 (empat) tempat berbeda yaitu Mataram (Nusa Tenggara Barat), Surabaya (Jawa Timur), Banda Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam), dan Balikpapan (Kalimantan Timur).
Dari konsultasi publik yang dilakukan di Indonesia menghasilkan dua poin rumusan perlindungan nelayan tradisional, yakni pertama, pemenuhan perlindungan dan pemenuhan hak-hak warga negara sebagaimana hak asasi manusia dalam hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial, dan hak untuk berbudaya. Kedua, pedoman perlindungan nelayan tradisional harus mencakup hak-hak nelayan tradisional yang telah dirumuskan dan harus dilindungi melalui instrumen perlindungan nelayan.
Prospek perlindungan nelayan tradisional di Indonesia mendapatkan momentum penting dengan diputusnya uji materi terhadap UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Putusan MK No. 3/PUU-VIII/2010 dalam pertimbangannya menjabarkan 4 hak konstitusional nelayan Indonesia, yakni hak untuk melintas di laut; hak untuk dapat mengelola sumber daya melalui kearifan lokal; hak memanfaatkan atau mengelola sumber daya alam untuk kepentingan nelayan; dan hak untuk mendapatkan lingkungan hidup dan perairan yang bersih dan sehat.
Walaupun kemudian, revisi melalui UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 27 Tahun UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berpotensi kembali melanggar hak nelayan atas ruang penghidupannya dengan adanya ijin lokasi dan ijin pengelolaan yang tetap wajib bagi nelayan tradisional dan skala kecil.
Peluang kebijakan perlindungan melalui RUU Perlindungan Nelayan semakin mengecil untuk segera disahkan menjadi Undang-Undang. Walaupun telah menjadi Prioritas Program Legislasi Nasional 2010-2014, namun di tengah tahun politik yang semakin hingar-bingar RUU Perlindungan Nelayan tidak dapat dipastikan akan disahkan. Padahal 95,6% dari 2,7 jiwa nelayan adalah nelayan tradisional dan skala kecil yang beroperasi di sekitar pesisir pantai atau beberapa mil saja dari lepas pantai.
Pembahasan Pedoman Internasional tentang Pengamanan Perikanan Skala Kecil Berkelanjutan menjadi peluang kekosongan perlindungan negara terhadap nelayan tradisional dan skala kecil. Namun peluang tersebut masih berpeluang untuk berbelok kembali dengan ancaman potensi dalam klausul penting yang sedang dibahas dalam Pedoman Internasional. Terdapat empat klausul penting yang berpotensi berbelok arah dalam perlindungan nelayan tradisional dan skala kecil yaitu: Pertama, terkait dengan definisi dan kriteria nelayan skala kecil; kedua, terkait dengan adopsi pengaturan pasal-pasal terkait dengan WTO; ketiga, masih terkait dengan WTO, usulan dari Uni Eropa untuk memfasilitasi nelayan skala kecil ke pasar dunia; dan keempat, terkait dengan redistribusi sumber daya tanah pesisir bagi keluarga nelayan
Reporter : Mungky Sahid
Redaktur : Ramidi