Nelayan Jepara Protes Industri Tambang Pasir Besi

Nelayan Jepara Protes Industri Tambang Pasir Besi

NERACA

Jakarta – Koalisi yang tergabung dalam forum nelayan, petani, dan petani tambak pantai utara Jepara, dalam keterangan pers bersama, menyebut, di tengah kondisi nelayan yang semakin terpuruk oleh cuaca ekstrim dan kebijakan yang tidak berpihak, masyarakat nelayan di pesisir utara Jepara harus menghadapi kenyataan pahit dengan diterbitkannya Perda Kabupaten Jepara No 2 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Jepara yang memperuntukan pesisir utara Jepara sebagai kawasan pertambangan mineral.

“Aturan inilah yang kemudian menjadi pintu masuk perusahaan untuk melakukan eksploitasi pertambangan pasir besi yang berdampak pada abrasi, rusaknya ekosistem laut, hilangnya lahan pertanian dan tambak, serta terancamnya pemukiman warga,” sebut siaran tersebut yang dikutip Neraca di Jakarta, Rabu.

Menurut Koalisi, setidaknya telah ada dua perusahaan tambang pasir besi yang beroperasi yaitu PT. Pasir Rantai Mas dan CV. Guci Mas Nusantara, meskipun saat ini telah berhenti beroperasi akibat penolakan warga, dan atas penolakan tersebut 15 orang nelayan Bandungharjo, Donorojo, Jepara, dikriminalkan pada pertengahan 2012 yang lalu dan baru selesai pada 2013 dengan vonis 8 bulan penjara.

“Belum selesai terhadap perusahan penambangan pasir besi yang telah beroperasi kini pemerintah kabupaten Jepara lewat Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) kembali menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi atas rencana penambangan pasir besi oleh PT.Alam Mineral Lestari (AML) yang berencana melakukan penambangan Pasir Besi dengan luasan 200 Ha dengan rincian 21 Ha di Desa Bandungharjo, 119 Ha di Desa Banyumanis, dan 60 Ha di Desa Ujungwatudengan potensi tambang sekitar 3 juta ton dengan waktu sekitar 15 tahun,” kata Koalisi.
Masih menurut data Koalisi, dari dokumen AMDAL, rencana penambangan yang akan dilakukan terbagi dalam 3 tahap. Tahap ke 1 dimulai dari Blok 1 yang terletak di desa bandungharjo dengan luasan 21 Ha dengan potensi tambang 383.695 ton dan umur tambang 2 tahun. Penambangan tahap 2 merupakan penambangan pada blok III dan IV yang terletak di Desa Ujungwatu dengan luasan 60 Ha dengan potensi tambang 990.045 ton dan umur tambang 4,1 tahun, serta penambangan tahap 3 pada Blok I, II, III di desa Banyumanis dengan luasan 119 Ha dengan potensi tambang 2.263.801,039 ton dan umur tambang 8,9 tahun,. Rincian volume penggalian pasir besi lembab pada tahun ke 1 dan ke 2 sebesar +/- 1.500 m3/hari, pada tahun ke 3 dan ke 4 sebesar +/- 2.000 m3/hari, sedangkan pada tahun ke 5, ke 6, dan ke 7 +/- 4.000 m3/hari.

“Tentunya dari angka dan rentang taun dalam rencana penambangan yang akan dilakukan oleh PT. AML sangat meresahkan warga nelayan sekitar pantai dan petani yang terancam lahannya, karena selama ini masyarakat hanya menggantungkan hidup pada Sumber Daya Alam disekitar mereka. Keterancaman ini bukan tanpa alasan, lokasi penambangan pasir besi di jepara utara memiliki karakteristik pantai dan Hidrooceanografi rentan terhadap arus dan gelombang, sehingga sering terjadi abrasi dan perubahan garis pantai.[2]Dampak hipotetik  abrasi/akresi inilah yang membuat masyarakat dukuh Mulyorejo, Bandungharo, Donorojo, Jepara bersikeras untuk melakukan penolakan terhadap segala bentuk penambangan pasir besi di sepanjang  pantai,” jelas siaran tersebut.

Sumber: http://www.neraca.co.id/article/39132/Nelayan-Jepara-Protes-Industri-Tambang-Pasir-Besi

Upaya Penyejahteraan Nelayan dan Perempuan Nelayan Butuh Kerjasama dan Kesungguhan Pemerintah Kabupaten Lembata

Siaran Pers Bersama

Kelompok Petani Penyangga Abrasi Laut dan Darat (KLOMPPALD)

WALHI Nusa Tenggara Timur

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

 

Upaya Penyejahteraan Nelayan dan Perempuan Nelayan

Butuh Kerjasama dan Kesungguhan Pemerintah Kabupaten Lembata 

Lewoleba, 26 Maret 2014. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) bekerjasama dengan Kelompok Petani Penyangga Abrasi Laut dan Darat (KLOMPPALD) dan WALHI Nusa Tenggara Timur menyelenggarakan rangkaian kegiatan lanjutan “Pemberdayaan Masyarakat dan Lingkungan Hidup Pesisir Berbasis Perempuan Nelayan” di Lewoleba, Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur, pada tanggal 25-26 Maret 2014. Kegiatan pertama dilakukan pada Februari 2014.

Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh KIARA bersama dengan KLOMPPALD, di antaranya: (i) penelitian dampak perubahan iklim dan daya adaptasi masyarakat pesisir Pulau Lembata; (ii) pelatihan pengolahan ikan; (iii) penanaman dan pelatihan mengolah mangrove; dan (iv) sekolah iklim dan penyusunan peraturan desa tentang pengelolaan  wilayah pesisir.

Dari penelitian berjudul “Perubahan Iklim dan Upaya Adaptasi di Pulau Lembata” yang dilakukan KIARA (Maret 2014) melalui investigasi lapangan dan foto satelit, ditemui fakta bahwa: pertama, Pulau Lembata memiliki ekosistem pesisir yang lengkap (mangrove, lamun, dan terumbu karang); kedua, modal alami berupa ekosistem pesisir yang lengkap ini terancam hilang akibat aktivitas manusia yang merusak. Imbasnya, tutupan mangrove tinggal 1,2% dari luas Pulau Lembata (berkurang 40%) dan tutupan karang tinggal 20%. Sementara lamun masih berkisar 95% baik; dan ketiga, adanya 51 jenis benih pangan lokal yang sudah dikembangkan di kebun contoh milik KLOMPPALD yang berlokasi di Desa Merdeka, Kecamatan Lebatukan, Kabupaten Lembata, di antaranya sorgum, jewawut, jelai, umbi-umbian, kacang-kacangan dan padi-padian.

Dalam kaitannya dengan perubahan iklim, parameter kunci kerentanan perubahan iklim di Pulau Lembata serta upaya adaptasi upaya adaptasi yang dapat dilakukan oleh masyarakat pesisir bersama dengan Pemerintah Kabupaten Lembata sebagai berikut:

Parameter

Dampak

Upaya Adaptasi

Variabilitas angin muson Angin ekstrim dan gelombang serta berdampak pada abrasi pantai Memperkuat modal alami (penanaman kembali mangrove yang dikonversi), akses informasi dan infrastruktur (transportasi, energi dan listrik)
Kenaikan Suhu Permukaan Laut Kekeringan Memperkuat modal alami, seperti ketahanan pangan (pusat benih) dan pelestarian lingkungan pesisir untuk pangan dari pesisir dan laut. Memperkuat modal sosial (kelompok tani dan nelayan), peraturan desa. 
Pengasaman laut Perusakan karang jangka panjang Memperkuat modal sosial (sanksi adat dan pengelolaan perikanan)

 

Temuan di atas merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh masyarakat dan pemerintah untuk memperbaiki ekosistem pesisir dan laut, menyejahterakan masyarakat nelayan dan melibatkan perempuan nelayan di dalam program-program pemberdayaan keluarga yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sebagian masyarakat sudah berpartisipasi aktif dalam pelestarian mangrove dan penyediaan pangan lokal khas pesisir, seperti yang dilakukan oleh Kelompok Petani Penyangga Abrasi Laut dan Darat (KLOMPPALD). Tinggal komitmen politik Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Pemerintah Kabupaten Lembata, di mana salah satu programnya adalah pengembangan potensi kelautan, perikanan, dan pariwisata, serta kesediaannya untuk bekerjasama dan bersungguh-sungguh menyejahterakan masyarakatnya.***

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Siti Rofiah, Ketua KLOMPPALD

di +62 813 3710 0158

Yustinus Besu Dharma, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut WALHI NTT

di +62 821 4678 2463

Abdul Halim, Sekjen KIARA

di +62 815 53100 259