Australia Sadap (Udang) Indonesia

Australia Sadap (Udang) Indonesia

Oleh: ABDUL HALIM, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA); Alumnus Sekolah Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina, Jakarta

Edward J Snowden, eks intelijen NSA (National Security Agency) Amerika Serikat (AS), kembali buka mulut. Dia ungkap dokumen rahasia penyadapan Australia terhadap kantor pengacara Pemerintah Indonesia dinegeri Paman Sam di antaranya menyangkut kepentingan dagang udang sebagaimana dilaporkan oleh The New York Times(15 Februari 2014).

Sebagai mitra apik, Australia enteng menyampaikan bahwa ekspor udang Indonesia ke Amerika Serikat memiliki dampak bagi keamanan Australia. Tengok pernyataan Perdana Menteri Australia Tony Abbot, ”Kami menggunakan perangkat penyadapan untuk memberikan keuntungan dan meningkatkan makna keberadaan kami kepada seorang teman. Kami menggunakannya untuk melindungi warga negara Australia dan negara lain. Kami pasti tidak menggunakannya untuk kepentingan komersial,” (ABC News, 16/02).

Menyikapi pernyataan tersebut, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Marty Natalegawa menyindir, ”Australia menyampaikan alasan yang tidak masuk akal dan berlebihan. Mestinya sebagai negara tetangga harus saling membantu dan bukan berbalik menjadi musuh.” Dalam kacamata penulis, penyadapan yang dilakukan Australia adalah bentuk barter kepentingan dengan Amerika Serikat.

Dalam konteks geopolitik, Indonesia memainkan peranan strategis seiring membesarnya pengaruh China di kawasan Asia-Pasifik. Untuk memastikan tiadanya gangguan eksternal, Australia menyiapkan pangkalan khusus bagi tentara AS yakni di Pulau Cocos (Selatan Barat Daya Pulau Jawa), yang hanya berjarak 1270 kilometer dari Jakarta dan Darwin (Australia Utara).

Sebaliknya, informasi apa pun yang dimiliki Australia sangat bermanfaat bagi kepentingan Amerika Serikat sekalipun dalam hubungan diplomatik penyadapan dikategorikan sebagai aktivitas terlarang.

Selisih Subsidi

Dengan dukungan anggaran dan program yang diarahkan untuk meningkatkan kapasitas produksi perikanan nasional sebagaimana tercantum di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 untuk prioritas kelima pembangunan yakni ketahanan pangan bukan mustahil bagi Indonesia untuk mencapai target meski kerusakan lingkungan pesisir menjadi fakta yang seringkali dinomorduakan.

Peningkatan produksi perikanan budidaya berimbas terhadap menyusutnya sebaran hutan bakau. Ini setidaknya terjadi di enam negara yang disebut-sebut sebagai kawasan Segitiga Karang. FAO (2006) memperkirakan sebesar10% hutan bakau dunia hilang akibat perluasan tambak udang. Fenomena ini juga terjadi di Asia dengan hilangnya 40% hutan bakau. Separuh di antaranya hilang akibat ekstensifikasi tambak. Sejak 2008 hingga 2012 produksi udang Indonesia mengalami peningkatan drastis.

Dari sektor perikanan tangkap diperoleh sebesar 236.922 ton pada 2008 dan mengalami kenaikan pada 2012 sebesar 260.618 ton. Setali tiga uang, produksi udang di sektor perikanan budi daya juga terus membesar: 409.950 ton (2008) naik hingga 415.703 ton (2012). Dengan jumlah produksi yang besar, tak ayal pasar Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa menjadi destinasi pemasaran.

Pada 2012 jumlah udang yang diekspor ke Amerika Serikat mencapai 62.194 ton dengan nilai USD500.307. Diikuti Jepang sebesar 33.521 ton atau setara nilai USD372.825 dan Uni Eropa sebesar 16.359 ton atau senilai USD111.911 (Kelautan dan Perikanan 2012, Kementerian Kelautan dan Perikanan). Besarnya udang yang dipasok ke Amerika Serikat membuat khawatir sejumlah pedagang di Amerika Serikat.

Ini ditimbulkan oleh keberadaan indikasi pemberian subsidi kepada produsen udang dalam negeri. Karena itu, Coalition of Gulf Shrimp Industries (COGSI) mengajukan petisi kepada Pemerintah Amerika Serikat tertanggal 28 Desember 2012 untuk mengenakan countervailing duties (CvD) atas impor frozen warmwater shrimp yang dianggap mengandung subsidi dari tujuh negara yaitu China, Ekuador, India, Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.

Tuduhan pengenaan CvD dimaksudkan untuk mengganti kerugian yang ditimbulkan dari perdagangan tidak adil (unfair trade) akibat ada subsidi dari pemerintah yang dilakukan tujuh negara tersebut. Petisi tersebut telah diperiksa kelayakannya oleh Otoritas Amerika Serikat yaitu Komisi Perdagangan Internasional AS (US ITC) dan Departemen Perdagangan AS (US DOC).

Karena ada indikasi kerugian tersebut, US DOC mengirimkan petugas pada 3–21 Juni 2013. US DOC telah melakukan verifikasi lapangan ke Jakarta dan Lampung. Namun, setelah melaksanakan verifikasi lapangan, US DOC mengeluarkan ketetapan akhir (final determination) pada 13 Agustus 2013 bahwa tidak terdapat indikasi subsidi terhadap ekspor udang Indonesia (Antara, 20 Agustus 2013).

Dagang Bebas

Penyadapan yang dilakukan Australia (dengan atau tanpa Permintaan Amerika Serikat) dan petisi yang diajukan COGSI adalah gambaran perdagangan ekonomi internasional yang terus diarahkan pada mekanisme perdagangan bebas, di mana peran negara sebatas memastikan bahwa pelbagai restriksi perdagangan harus dikurangi dan bahkan dihapuskan sesuai aturan WTO di antaranya subsidi.

Fenomena di atas representasi salah satu aspek di dalam struktur perdagangan internasional yakni tingkat keterbukaan (thedegreeofopenness) untuk pergerakan barang sebagaimana modal, tenaga kerja, teknologi, dan faktor-faktor produksi lainnya. Di sinilah letak kekuatan sebuah negara diuji. Kepentingan dan tindakan yang dipilih negara untuk memaksimalkan kepentingan nasionalnya turut menentukan struktur perdagangan internasional (Krasner, 1976).

Keberhasilan sebuah negara mengendalikan struktur perdagangan internasional terhadap tingkat keterbukaan pergerakan barang dan jasa ditopang oleh empat faktor yaitu pendapatan nasional, stabilitas sosial, kekuatan politik, dan pertumbuhan ekonomi. Empat hal ini setidaknya diamini China. Terlepas dari ada indikasi pelanggaran terhadap hak asasi manusia di dalamnya.

Tak mengherankan jika pelbagai negara, terutama Amerika Serikat, amat memperhitungkan kepentingan dan tindakan yang dipilih China, negara produsen utama perikanan dunia. Apa yang harus dilakukan Indonesia? Pertama, Pemerintah Indonesia harus menafsir ulang perkembangan geoekonomi- politik yang terjadi di kawasan Asia-Pasifik dan meresponsnya secara strategis demi tercapainya kepentingan nasional.

Kedua, sebagai negara produsen perikanan (ketiga di sektor perikanan tangkap dan keempat di sektor perikanan budi daya), tantangan yang dihadapi adalah menyambungkan sektor hulu (praproduksi dan produksi) dan hilir (pengolahan dan pemasaran) yang tidak hanya menyumbangkan devisa kepada negara, tapi juga harus merembes kepada produsen perikanan skala kecil.

Presiden Republik Indonesia Soekarno di depan Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa pada 30 September 1960 tegas mengemukakan, ”Kami (bangsa Indonesia) tidak berusaha mempertahankan dunia yang kami kenal (baca: penuh penindasan atas yang lemah dan kecil, pengabaian terhadap rasa kemanusiaan), kami berusaha membangun dunia baru, yang lebih baik! Kami berusaha membangun dunia yang sehat dan aman. Kami berusaha membangun dunia, di mana setiap orang dapat hidup dalam suasana damai. Kami berusaha membangun dunia, di mana terdapat keadilan dan kemakmuran untuk semua orang.” Untuk mengejawantahkan pesan ini, Pemilihan Umum 2014 adalah momentum korektif perjalanan bangsa Indonesia di tengah kompetisi global! ●

Sumber: http://m.koran-sindo.com/node/373363, Sabtu 08 Maret 2014

MENGGENAPKAN JANJI KEPADA NELAYAN

MENGGENAPKAN JANJI KEPADA NELAYAN

Oleh Abdul Halim

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

Dinamika pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan sepanjang tahun 2013 tidak mengalami perubahan berarti. Pemerintah terus menggaungkan industrialisasi perikanan, namun berjarak kepada masyarakat nelayan dan pembudidaya. Padahal, secara esensial tidak ada ubahnya dengan konsep minapolitan ala Menteri Kelautan dan Perikanan sebelumnya.

Tidak hanya itu, anggaran kelautan dan perikanan juga terus meningkat. Ironisnya justru kian memperlebar jurang kemiskinan: nelayan dan pembudidaya kecil diposisikan sebagai buruh, sementara pemilik kapal/lahan berkubang dana program pemerintah.

Anggaran meningkat

Sejak tahun 2008-2014, anggaran Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengalami peningkatan (lihat Tabel 1). Bahkan pada tahun 2011, terdapat tambahan sebesar Rp1.137.763.437.000 dari APBN Perubahan.

Tabel 1. Anggaran KKP Tahun 2008-2013

No Tahun Jumlah (Triliun)
1 2008 Rp3,20 Triliun
2 2009 Rp3,70 Triliun
3 2010 Rp3,19 Triliun
4 2011 Rp4,91 Triliun
5 2012 Rp5,99 Triliun
6 2013 Rp7,07 Triliun
7 2014 Rp5,60 Triliun

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (Desember 2013)

Jika dirata-rata, anggaran KKP sebesar Rp4,97 Triliun per tahun, dengan kenaikan rata-rata sebesar Rp0,4 Triliun/Tahun. Kecenderungan peningkatan anggaran ini mestinya dibarengi dengan visi kesungguhan untuk menyejahterakan masyarakat nelayan dan perempuan nelayan. Lebih pahit lagi, kenaikan anggaran justru tidak disertai dengan kreativitas program.

Pusat Data dan Informasi KIARA (Desember 2013) mencatat, program yang tertera di dalam Rincian Anggaran Belanja Kementerian/Lembaga Tahun Anggaran 2013 dan 2014 tidak jauh berbeda, misalnya: (1) Pengembangan Pembangunan dan Pengelolaan Pelabuhan Perikanan; (2) Pembinaan dan Pengembangan Kapal Perikanan, Alat Penangkap Ikan dan Pengawakan Kapal Perikanan. Ironisnya, manfaat dari pelaksanaan anggarannya justru tidak dirasakan nelayan tradisional. Pada titik ini, pola pelaporan pelaksanaan program harus direvisi: tidak sebatas menuntaskan program, melainkan berbasis analisis rinci program, meliputi pra, proses, dan pasca program. Dengan jalan inilah, pengulangan dan kecenderungan penyimpangan penyaluran program tidak berulang dari tahun ke tahun.

Belum terhubung

Tidak terhubungnya fakta di perkampungan nelayan dengan penganggaran di Kementerian Kelautan dan Perikanan menjadi penyebab utama terkendalanya keseriusan pemerintah dalam menyejahterakan masyarakat nelayan.

Sejumlah fakta tidak terhubungnya program pemerintah dengan upaya penyejahteraan nelayan di desa pesisir/perkampungan nelayan, di antaranya nelayan masih dihadapkan pada perkara terputusnya tata kelola hulu ke hilir; tiadanya jaminan perlindungan jiwa dan sosial (termasuk pendidikan dan kesehatan) bagi nelayan dan keluarganya; semakin sulitnya akses melaut akibat praktek pembangunan yang tidak ramah nelayan; serta ancaman bencana yang terjadi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Lebih parah lagi, akses BBM bersubsidi masih menjadi perkara laten bagi masyarakat nelayan.

Kontroversi pengaturan BBM bersubsidi untuk nelayan seiring penerbitan surat dari Badan Pengatur Hilir Minyak Bumi dan Gas (BPH Migas) Nomor 29/07/Ka.BPH/2014 yang mengatur penyaluran subsidi BBM oleh Pertamina dan melarang kapal di atas 30 gros ton menerima subsidi BBM menunjukkan ketidakcermatan pemangku kebijakan dalam menyelami kehidupan pelaku perikanan skala kecil.

Pertama, Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2012 tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis BBM Tertentu tertanggal 7 Februari 2012 menyebutkan, hanya kapal dengan bobot maksimum 30 GT yang boleh menggunakan BBM bersubsidi. Mengacu pada aturan ini, nampak tidak ada koordinasi antarkementerian atau antarlembaga yang menaungi nelayan atau pekerja sektor perikanan tangkap.

Kedua, di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, nelayan kecil didefinisikan sebagai mereka yang menangkap ikan di laut dan menggunakan perahu di bawah 5 GT. Di lapangan, justru nelayan berkapasitas maksimal 5 GT inilah yang kesulitan mengakses BBM bersubsidi. Terkadang mereka terpaksa mengeluarkan Rp. 20.000 untuk 1 liter solar akibat tiadanya akses dan jauhnya SPDN (Solar Packed Dealer Nelayan). Fakta ini terjadi di Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah.

Ketiga, pemerintah harus memastikan kuota BBM bersubsidi untuk sektor perikanan, baik tangkap maupun budidaya, tiap tahunnya dan menjamin regularitas pasokannya hingga ke wilayah kepulauan. Agar tepat sasaran, maksimalkan fungsi kartu nelayan!

Keempat, perlu ada intervensi khusus dari pemerintah menyangkut keberadaan ABK yang berada di kapal-kapal besar, karena besar kemungkinan akan menerima dampak pengurangan pembagian hasil dan hak-hak dasar layaknya pekerja sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Oleh karena itu, pengkajian kembali atas beleid BPH Migas sudah seharusnya dilakukan. Pendataan secara akurat dan terverifikasi bersama antarkementerian/lembaga menyangkut jumlah armada kapal penangkap ikan di Indonesia, skala kecil dan skala besar. Dengan basis data dan fakta lapangan itulah, kebijakan subsidi energi kepada pelaku perikanan akan tepat sasaran.

Di tahun 2014, berbagai fakta yang belum dituntaskan harus menjadi prioritas pemerintah untuk diselesaikan. BBM adalah 70 persen kebutuhan masyarakat nelayan. Tanpa kesungguhan menyelesaikan kebutuhan dasar nelayan ini, mustahil persoalan tidak terhubungnya rantai pasokan bahan baku perikanan, sistem logistik, dan persaingan kualitas akan teratasi. Di sisa waktu Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid 2, tinta emas Menteri Kelautan dan Perikanan (terus) diimpikan nelayan: sekarang atau tidak sama sekali!

Sumber: Majalah Samudra Edisi 131, Tahun XII, Maret 2014

BBM Subsidi Dituntut Tepat Sasaran

BBM Subsidi Dituntut Tepat Sasaran

Ratusan Nelayan Tarakan Datangi Dewan, Wawali akan Panggil Instansi Terkait

 

TARAKAN – Sekitar pukul 10.00 Wita kemarin, ratusan nelayan yang tergabung dalam Persatuan Nelayan Kecil (PNK) Tarakan mendatangi gedung DPRD Tarakan. Mereka me-nanyakan langkanya Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi jenis solar dari Agen Penyalur Minyak dan Solar (APMS) yang berada di laut.
Aksi damai yang dikawal ketat personel dari Polres Tarakan berlangsung singkat. Beberapa orang nelayan dipimpin ketua PNK Rustan diminta masuk ke dalam ruang pertemuan di DPRD Tarakan untuk dengar pendapat (hearing) bersama Wakil Walikota Tarakan Khaeruddin Arief Hidayat, Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) Subono, dan Anggota Komisi III DPRD Tarakan Gunawan Wibisono.
“Dalam aksi damai ini, kami hanya menuntut, agar BBM solar bersubsidi yang di-peruntukkan bagi nelayan, dapat disiapkan setiap kali kami mau melaut. Harus tepat sasaran, jangan sampai subsidi untuk nelayan, saat mau melaut, solar habis. Ke mana solar untuk kami?,” ujar Rustan ditemui usai memimpin aksi damai.
Menurutnya, regulasi dan aturan untuk BBM bersubsidi, khusus nelayan terlalu banyak, sehingga tidak dapat sampai ke nelayan. “Kami berharap, pemerintah tidak terlalu banyak aturan. Sedangkan, kami perlu solar, saat air sedang pasang. Kebutuhan solar sekali melaut tergantung mesin. Ada 400 sampai 600 liter per sembilan hari, sesuai waktu melaut. Kalau beli di APMS darat, hanya dapat 30 liter,” beber Rustan.
Ia menambahkan, dari enam APMS di Tarakan dan ditunjuk Pertamina, untuk jatah nelayan malah menjual BBMnya di darat, karena posisinya berada di darat. “Jatah nelayan yang dijual di darat, harus di-pertanyakan. Mau melaut, harus antri dulu di darat, padahal tidak semua nelayan memiliki sepedamotor,” jelas Rustan.
Ia mengatakan, APMS di laut memiliki  solar terbatas. “Solar subsidi untuk nelayan dijual di laut saja, karena jangan sampai, solar yang di darat, dibeli bukan nelayan. Apalagi, nelayan pergi ke laut hanya 2 kali sebulan. Jika ada nelayan membeli setiap hari, harus dipertanyakan. Saat waktunya pergi ke laut, sudah kehabisan BBM,” pungkas Rustan.
Dikonfirmasi terpisah, Ang-gota Komisi III DPRD Tarakan Gunawan Wibisono me-ngatakan, akan menindaklanjuti tuntutan nelayan ini. “Kita akan mengkoordinasikan hasil masalah ini dengan Depo Pertamina dulu, untuk BBM solar bersubsidi bagi nelayan,” ujarnya.
Dirinya menambahkan, jum-lah konsumsi BBM untuk nelayan harus sinkron dengan jumlah suplai BBM. Jika dari pendataan objektif di lapangan, jumlah konsumsi lebih besar dari kuota yang ada, DPRD akan menegosiasikan penambahan jumlah.
“Masalahnya, keberadaan kartu nelayan untuk mengetahui jumlah mereka menjadi sesuatu yang objektif di lapangan. Hal ini perlu dicari mekanisme yang baik, agar pemberian kartu nelayan itu tepat sasaran,” jelas Gunawan.
Terkait masalah pengawasan, dirinya meminta, Pemkot Tarakan mengawasi penyaluran distribusi BBM bersubsidi melalui personel Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). “Perlu dipastikan, distribusi itu tepat sasaran. Saya me-ngingatkan, Satpol pp dan pengawas lainnya, perlu dijamin anggaran pengawasannya. Sehingga, tidak menjadi hambatan dalam hal ope-rasional di lapangan,” tegas Gunawan.
Terpisah, Wakil Walikota Tarakan Khaeruddin Arief Hidayat segera melakukan rapat bersama instansi terkait untuk membahas tuntutan para nelayan.
“Saya akan memanggil se-luruh instansi terkait termasuk Depo Pertamina dan Dinas Kelautan Perikanan, untuk membahas masalah ini. Pe-merintah setuju dengan tuntutan nelayan, dan siap menindaklanjuti,” katanya. (saf)

 

Sumber: http://www.korankaltim.com/bbm-subsidi-dituntut-tepat-sasaran/

Reklamasi Teluk Palu Dinilai Cacat Hukum

Reklamasi Teluk Palu Dinilai Cacat Hukum

Meskipun terus mendapat protes dari berbagai kalangan, Pemerintah Kota Palu,Sulawesi Tengah (Sulteng), meneruskan reklamasi Teluk Palu di Kelurahan Talise, Kecamatan Mantikulore.

Namun, Walhi Sulteng menilai, SK Walikota Palu dengan Nomor 650/2288/DPRP/2012 pada 10 Desember 2012 tentang penetapan lokasi pembangunan sarana wisata di Kelurahan Talise, Kecamatan Mantikulore, Palu, cacat hukum.

Ahmad Pelor, Direktur Walhi Sulteng, mengatakan, kerangka acuan analisis dampak lingkungan (Ka-Amdal) dan surat keputusan walikota cacat hukum.  Seharusnya Ka-Amdal disetujui dulu baru dikeluarkan keputusan. Dalam kasus proyek reklamasi Teluk Palu yang digarap PT. Yauri Properti Investama (Yauri), justru terbalik. “Keputusan bupati dulu, baru Ka-Amdal. Itu sudah bisa dipastikan cacat hukum,”katanya kepadaMongabay, Senin (3/3/14).

Keputusan bupati keluar pada 2012.  Sedang, dokumen analisis dampak lingkungan hidup (Andal) dan rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup (RKL RPL) dengan nomor : 660/1081/BLH/2013 baru dikeluarkan pada 22 Agustus2013

Tak hanya itu. Ada kejanggalan dalam surat keputusan walikota. Yakni tidak disinggung sama sekali soal reklamasi Pantai Teluk Palu, padahal proyek ini masih berjalan. Surat keputusan walikota juga menegaskan penetapan lokasi pembangunan sarana wisata di atas tanah seluas 380.330 meter terletak di Kelurahan Talise, Kecamatan Mantikulore, kepada Yauri.

“Jadi dalam surat keputusan walikota tidak disinggung pembangunan sarana wisata oleh Yauri dikelurahan Talise. Jika begitu, seharusnya proyek reklamasi itu tidak lagi dilanjutkan.”

Walhi Sulteng yang tergabung dalam Koalisi Penyelamatan Teluk Palu bersama lembaga dan organisasi masyarakat lain meminta proyek reklamasi ini segera dihentikan. “Jika administrasi sudah cacat, tidak ada alasan lagi bagi walikota menjalankan proyek reklamasi ini.”

Kiara Ajukan Permohonan Informasi Publik

Sementara itu, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) berkirim surat kepada Menteri Kelautan dan Perikanan. Surat pada akhir Februari 2014 itu terkait pengajuan permohonan informasi publik mengenai rekomendasi Menteri Kelautan dan Perikanan terhadap proyek reklamasi pantai Talise, Teluk Palu.

Dalam surat itu Kiara mengatakan, saat ini koalisi mendalami informasi dan dokumen seputar proyek reklamasi Pantai Talise Teluk, Sulteng.

Mereka menjelaskan, proyek reklamasi dimulai sejak Kamis 9 Januari 2014 oleh Yauri. Luasan Proyek reklamasi 38,33 hektar dengan panjang menjorok ke laut mencapai 1.670 meter.

Berdasarkan kajian mereka, proyek ini memberi dampak negatif terhadap 32.782 jiwa masyarakat pesisir di dua kelurahan, yakni Besusu Barat dan Talise. Termasuk kurang lebih 1.800 nelayan yang menggantungkan penghidupan di teluk itu.

Reklamasi ini, akan berimbas pada makin sulit akses nelayan menangkap ikan dan ongkos produksi tinggi akibat wilayah tangkapan makin jauh. Kiara menegaskan, setiap reklamasi pesisir dan pantai wajib mengacu kepada Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 122/2012 tentang Reklamasi dan Permen No. 17/PERMEN-KP/2013 tentang Perizinan Reklamasi.

Koalisi Penyelamatan Teluk Palu sendiri terdiri dari Serikat Nelayan Teluk Palu, WALHI Sulawesi Tengah, Yayasan Pendidikan Rakyat (YPR) Palu, Yayasan Tanah Merdeka (YTM) Sulawesi Tengah, Himpunan Pemuda Al-Khairat, FPI Sulawesi Tengah, JATAM Sulawesi Tengah, Yayasan Merah Putih (YMP) Sulawesi Tengah, PBHR (Perhimpunan Bantuan Hukum Rakyat) Sulawesi Tengah, dan juga KIARA.

Sebelumnya, Mulhanan Tombolotutu, Wakil Walkota Palu, seperti dilansirwww.sultengpost.com mengatakan, reklamasi Teluk Palu akan menguntungkan warga, baik yang tinggal di Pantai Talise maupun warga Kota Palu.

“Jika reklamasi ini malah menurunkan pendapatan masyarakat di sini atau menurunkan harga tanah bapak-bapak, silakan ludahi muka saya. Tapi, kalau pembangunan kawasan ini bagus, dan harga tanah bapak naik, bagikan juga saya sedikit uangnya,” kata Tony disambut tawa para tamu undangan yang menghadiri peletakan timbunan pertama reklamasi Teluk Palu di Pantai Talise, Kamis (9/1/14).

Menurut dia, konsep pembangunan kota tidak bisa disamakan dengan pembangunan kabupaten. “Pembangunan kawasan di Palu sudah harus kita lakukan, karena yang kita jual di Palu hanya perdagangan dan sektor jasa.”

Pembangunan kawasan ekonomi baru di Teluk Palu, sangat sulit dan memerlukan biaya besar. APBD Palu, katanya, tidak bisa mendanai. Ketika ada investor berencana membangun kawasan ekonomi baru di Palu, tentu pemerintah senang. “Yang terpenting, segala persyaratan administrasi m

Sumber: http://www.mongabay.co.id/2014/03/05/reklamasi-teluk-palu-dinilai-cacat-hukum/