Pertambangan Pasir Besi di Jepara Akan Percepat Abrasi

Pertambangan Pasir Besi di Jepara Akan Percepat Abrasi

 

Tahun lalu, 21 Maret 2013, Pengadilan Negeri (PN) Jepara memutus bersalah terhadap 15 Nelayan Bandungharjo, Donorojo, Jepara yang menolak penambangan pasir dipesisir pantai. Mereka dinyatakan bersalah dan dihukum pidana 4 bulan penjara dengan masa percobaan 8 bulan.

Pada 2 April 2014 kemarin, berkisar lima warga yang tergabung dalam Forum Petani, Nelayan dan Petani Tambak Pantai Utara Jepara sudah memenuhi ruang sidang di Pengadilan Tata Usaha Negara di Semarang Jawa Tengah. Mereka hadir sejak pukul 09.00 pagi. Pukul 09.30 sidang dimulai dengan dipimpin oleh Wahyuning Nurjayati, SH. MH selaku ketua majelis hakim. Adapun agenda sidang adalah mendengarkan keterangan ahli yang diajukan oleh warga selaku penggugat kepada perusahaan yang akan melakukan penambangan pasir yaitu PT. Alam Mineral Lestari.

Zainal Arifin selaku kuasa hukum warga dari Lembaga Bantuan Hukum Semarang kepadaMongabay-Indonesia mengatakan, gugatan ini dilakukan oleh warga didasari karena keterancaman kerusakan lingkungan yang akan dihadapi warga dikemudian hari. Selain itu, selama ini keterlibatan masyarakat diabaikan dalam berbagai proses hingga keluanya Ijin Usaha Pertambangan (IUP).

“Padahal sudah ada Surat Edaran (SE) Dirjen Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM No: 08.E/30/DJB/2012 tertanggal 6 Maret 2012. Dalam surat edaran itu disebutkan, penghentian sementara IUP dilakukan sampai ditetapkannya wilayah pertambangan. Harusnya hal ini ditaati pemerintahan Kabupaten Jepara,” kata Zainal.

Zainal menambahkan, dalam sidang kemarin warga mengajukan ahli Sumber Daya Air (Hidrologi) Ir. Budi Santosa, MT dosen pengajar di Universitas Katolik (UNIKA) Soegijapranata Semarang untuk menjelaskan tentang pengaruh pertambangan terhadap abrasi. Dalam keterangannya, Ir. Budi santosa, MT. Menyampaikan bahwa abrasi adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut dan arus laut yang bersifat merusak dan dapat disebabkan oleh 2 faktor, yaitu faktor Hidro-Oceanografi dan faktor Antropogenik.

Dalam rilis yang dikirim oleh LBH Semarang kepada Mongabay-Indonesia dijelaskan,  pertambangan pasir adakan berdampak pada terjadinya faktor hidro-oceanografi, yaitu perubahan garis pantai berlangsung manakala proses geomorfologi yang terjadi pada setiap bagian pantai melebihi proses yang biasanya terjadi. Proses geomorfologi yang dimaksud dapat berbentuk gelombang, arus, dan pasang surut.

Sementara itu, faktor Antropogenik adalah proses geomorfologi yang diakibatkan oleh aktivitas manusia. Aktivitas manusia di pantai dapat mengganggu kestabilan lingkungan pantai. Gangguan terhadap lingkungan pantai misalnya dengan membangun jetti, groin, pemecah gelombang, reklamasi pantai, pembabatan hutan bakau untuk dikonversi sebagai tambak, dan pertambangan. Sehingga Antropogenik inilah yang menjadi faktor paling dominan dalam perubahan garis pantai termasuk aktivitas penambangan pasir besi.

Dampak yang diakibatkan oleh abrasi ini sangat besar. Garis pantai akan semakin menyempit dan apabila tidak diatasi lama kelamaan daerah-daerah yang permukaannya rendah akan tenggelam. Pantai yang indah dan menjadi tujuan wisata menjadi rusak. Pemukiman warga dan tambak tergerus hingga menjadi laut. Kawasan pantai juga merupakan kawasan yang banyak menyimpan potensi kekayaan alam yang perlu untuk dipertahankan. Adanya infrastruktur dan pemukiman yang berdiri di kawasan pantai yang terancam bahaya abrasi akan membuat nelayan dan petani di pesisir pantai Bandungharjo, Banyumanis, dan Ujungwatu akan merasa khawatir akan kehilangan dan kerusakan fasilitas tersebut.

Lebih lanjut Ir. Budi santosa, MT. menerangkan bahwa berdasarkan pengalaman dan analisis, gelombang di pantai utara jawa mempunyai karakteristik, jika ada bangunan/ struktur yang menonjol di kawasan pantai, misalnya bangunan jetty, akan menyebabkan akresi di kawasan di sebelah barat struktur, dan abrasi di sebelah timur struktur. Hal ini sebenarnya telah terbaca dalam laporan AMDAL yang dilakukan oleh PT. Alam Mineral Lestari.

“Sementara itu terkait mengenai AMDAL yang yang disusun oleh PT. Alam Mineral Lestari, Ir. Budi santosa, MT menyampaikan bahwa setelah membaca AMDAL tersebut dia mengakui bahwa potensi abrasi telah telah terbaca dan disampaikan dalam AMDAL, namun dia tidak melihat treatment atau antisipasi yang akan dilakukan,”

Siklus sedimentasi.

Mewakili dari para warga, Mbah Nur Hadi selaku sesepuh dan ketua Forum Nelayan Pantai Utara Jepara menuturkan, “Kami berharap apa yang telah disampaikan oleh pak dosen (ahli) tadi bisa menjadikan pencerahan kepada mejelis hakim dan perusahaan untuk membatalkan izin pertambangan pasir besi dan perusahaan tidak nambang lagi”, kata Mbah Nur.

Zainal juga menambahkan gugatan ini adalah upaya warga menjaga kelestarian lingkungan sekitarnya agar terhindar dari bencana ekologis yang suatu saat akan terjadi. Kami berharap ijin penambangan pasir di pantai selatan Jepara ini dibatalkan. Saat ini saja perhatian pemerintah terhadap para petani dan nelayan juga  masih rendah. Bahkan kebijakannya pun tidak berpihak pada para petani dan nelayan.

“Tujuan dan keinginan kami satu, batalkan ijin pertambangan pasir di pantai Selatan jepara,” tutup Zainal.

Sumber: http://www.mongabay.co.id/2014/04/04/pertambangan-pasir-besi-di-jepara-akan-percepat-abrasi/

KIARA: Jelang Pemilu 2014, Utang Negara Bertambah dengan Proyek COREMAP-CTI

KIARA: Jelang Pemilu 2014, Utang Negara Bertambah dengan Proyek COREMAP-CTI

Jakarta, GATRAnews – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), sebuah organisasi non laba menuding ada proyek Kementerian Kelautan dan Perikanan yang membebani keuangan Negara dan Pemerintahan Baru 2014-2019 dengan meloloskan permohonan hutang sebesar US$ 47,38 juta atau setara dengan Rp. 534,162 Miliar. Proyek yang dimaksud antara lain proyek COREMAP-CTI (Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang) tahun 2014-2019. Nilai hutang tersebut diperoleh dari Bank Dunia. Selebihnya didanai dari hibah GEF (Global Environmental Facility) sebesar US$ 10 juta dan US$ 5,74 juta yang dibebankan kepada APBN.

“Berkaca dari 3 fase COREMAP sebelumnya, sudah semestinya proyek hutang ini dihentikan. Selain tidak ada perubahan membaiknya terumbu karang sebagaimana dilaporkan BPK, proyek ini membebani keuangan Negara dan terjadi banyak penyimpangan. Dari temuan BPK sudah mengindikasikan adanya tindak pidana korupsi.” tutur Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA, kepada wartawan, Selasa (1/4). Dalam dokumen berkode P127813 yang dipublikasikan oleh Bank Dunia, disebutkan bahwa Pemerintah Indonesia mengajukan proyek hutang yang dinamai Coral Reef Rehabilitation and Management Program-Coral Triangle Initiative (COREMAP-CTI).

Proyek ini mendapat persetujuan Bank Dunia pada tanggal 21 Februari 2014 dan akan berakhir pada tahun 2019. Proyek hutang ini merupakan kelanjutan dari proyek serupa sebelumnya yang dibagi ke dalam tiga tahapan: fase inisiasi (1998-2001), fase akselerasi (2011-2007), dan fase institusionalisasi (2007-2013).

Padahal, menurut Halim, ada sejumlah fakta yang harus diwaspadai lebih dulu. “Setidaknya itu dilaporkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan pada Januari 2012,” tutur Halim.

Fakta-fakta itu di antaranya:

Pertama, desain dan pelaksanaan kegiatan pengelolaan terumbu karang melalui program COREMAP II, antara lain mata pencaharian alternatif (MPA), dana bergulir (seed fund), pembangunan dan pemanfaatan prasarana sosial belum seluruhnya sesuai dengan desain yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat pesisir.

Kedua, BPK RI mengeluarkan hasil audit terhadap indikator kondisi biofisik yang meliputi terumbu karang dan tutupan karang hidup yang dibandingkan dengan kondisi setelah akhir program tidak mengalami perubahan signifikan atau cenderung mengalami penurunan dibandingkan kondisi awal (baseline).

Ketiga, pelaksanaan COREMAP II pada beberapa kabupaten tidak memiliki dampak yang signifikan atas peningkatan kelestarian terumbu karang dan kondisi sosial ekonomi masyarakat di wilayah COREMAP II.

Keempat, pengelolaan dana bergulir (seed fund) tidak berdasarkan prinsip akuntabilitas dan pertanggungjawaban yang semestinya;

Kelima, pengawasan dan evaluasi pelaksanaan atas penggunaan dan pelaporan dana bergulir tidak dapat dipakai sebagai ukuran atas pencapaian program tersebut.

Keenam, penggunaan dan pelaporan dana bergulir tidak efektif, tidak optimal dan banyak penyimpangan.

“Dengan menghentikan proyek hutang tersebut, anggaran Negara sebesar US$ 5,74 juta atau setara dengan Rp. 64,712 Miliar yang dialokasikan untuk co-financing dapat dimanfaatkan untuk membangun sedikitnya 1.200 rumah yang layak dan sehat bagi masyarakat nelayan,” tambah Halim.

Atas dasar itulah, “KIARA mendesak Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai institusi pelaksana untuk menghentikan dan mengembalikan proyek hutang ini, serta mengedepankan pengelolaan ekosistem laut kepada masyarakat dan pemerintah daerah setempat berbasis kearifan lokal yang sudah mereka jalani secara turun-temurun,” tutup Halim. (NHi)

 

Sumber: http://www.gatra.com/ekonomi-1/50019-kiara-jelang-pemilu-2014,-utang-negara-bertambah-dengan-proyek-coremap-cti.html

DANA TERUMBU KARANG DILOLOSKAN

DANA TERUMBU KARANG DILOLOSKAN

JAKARTA-Menteri Kelautan dan Perikanan dinilai membebani keuangan negara dan pemerintahan baru 2014-2019 dengan meloloskan permohonan utang sebesar US$ 47,38 juta atau setara dengan Rp534,16 miliar untuk proyek rehabilitasi terumbu karang.

Proyek tersebut bernama  Coral Reef Rehabilitation and Management Program – Coral Triangle Initiative (COREMAP-CTI), dan bakal dilangsungkan kembali pada 2014-2019.

Adapun, nilai uatang tersebut diperoleh dari Bank Dunia. Selebihnya didanai dari hibah GEF (Global Environmental Facility) sebesar US$ 10 juta dan US$ 5,74 juta yang dibebankan kepada APBN.

Abdul Halim, Sekjen Koalisi Rakyat untu Keadilan Perikanan (KIARA) mengatakan. Berkaca dari tiga fase COREMAP sebelumnya, sudah semestinya proyek hutang ini dihentikan. “Selain tidak ada perubahan membaiknya terumbu karang sebagaimana dilaporkan BPK, proyek ini membebani keuangan negara dan terjadi banyak penyimpangan.”

Sumber: Bisnis Indonesia, Rabu, 2 April 2014 – AGRIBISNIS