Menhut: Aru Bukan untuk Perkebunan Tebu

Menhut: Aru Bukan untuk Perkebunan Tebu

JAKARTA, KOMPAS — Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menyatakan, Kepulauan Aru tak layak digunakan sebagai perkebunan tebu. Ia memastikan tak akan menandatangani persetujuan pelepasan ratusan ribu hektar hutan lindung setempat. Konsekuensinya, kebutuhan lahan bagi swasembada gula diarahkan ke lokasi lain.

”Jadi, Kepulauan Aru untuk perkebunan tebu dibatalkan,” kata Zulkifli, Jumat (11/4), menjawab Kompas tentang rencana eksploitasi 6 pulau di Kepulauan Aru sebagai perkebunan tebu.

Diberitakan, sejak 2010, Bupati Kepulauan Aru mengeluarkan izin prinsip, izin lokasi, dan rekomendasi pelepasan kawasan hutan 480.000 ha bagi 28 perusahaan dalam satu grup korporasi. Hal itu diperkuat Gubernur Maluku yang juga mengeluarkan surat rekomendasi pelepasan kawasan hutan pada Juli 2011 (Kompas, 18/4).

Investasi itu bagian dari Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Rencana itu diprotes aktivis lingkungan karena eksploitasi pulau kecil mengancam masa depan warga dan ekosistem unik setempat. Perkebunan tebu akan membuka hutan di pulau kecil di Pulau Wokam, Kobroor, Kola, Maikoor, Trangan, dan Koba.

Zulkifli mendapat banyak pesan singkat yang mendesak agar tak menandatangani pembukaan hutan lindung di Kepulauan Aru. Ia mengatakan, awalnya ia menyetujui ada kajian pembukaan hutan di Aru sebagai perkebunan tebu. Pertimbangannya, Indonesia mengimpor lebih dari 3 juta ton gula setiap tahun.

Komoditas ini, kata dia, bisa dihasilkan di Indonesia. Untuk itu, diterjunkan tim pengkaji, dari 450.000 ha yang berpotensi sebagai kebun tebu, hanya 100.000 ha yang layak.

Namun, setelah diteliti, luasan 100.000 ha itu berada pada daerah lereng. ”Tidak mungkin dari sisi ekonomi,” ujarnya.

Kini, pihaknya mencari wilayah lain, seperti Sulawesi Utara dan Sulawesi Tenggara. Namun, luasan hutan sangat minim sekitar 5.000 ha jika sekaligus dibangun industri gula.

Di Papua, kata Zulkifli, tanahnya cocok, tetapi terdapat hama yang belum ditemukan penangkalnya. Ia berusaha memanfaatkan lahan hutan di Jawa yang dikelola Perum Perhutani sebagai gantinya.

Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim sepakat agar tak dilakukan eksploitasi pada ke-6 pulau kecil di Kepulauan Aru. ”Studi kami sebulan lalu di Pulau Kola (salah satu penyusun Kepulauan Aru), ekosistem mangrove, lamun, dan terumbu karang masih sangat baik,” kata dia.

Luas hutan mangrove lebih dari 11.000 ha. Bahkan, ditemukan pohon mangrove setinggi 30 meter dan diameter 50 sentimeter yang menandakan usia tanaman sangat tua.

Ia mengatakan, sebagai pulau kecil, Kepulauan Aru butuh pendekatan dan penguatan masyarakat. Bukan menjadikan pulau itu sebagai lokasi mengeksploitasi lahan. (ICH)

Sumber: Kompas, 14 April 2014

 

MENYAMBUNGKAN NUSANTARA

MENYAMBUNGKAN NUSANTARA

Oleh Abdul Halim

Sekretaris Jenderal KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan)

Pemilu 2014 sudah di depan mata. Keliru memilih pemimpin bervisi kelautan akan berimbas pada kian kelamnya masa depan bangsa Indonesia selang 5 tahun ke depan.

Negeri dengan 75% lautnya, namun masih dihadapkan pada persoalan pokok pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang tak kunjung menghadirkan kesejahteraan di tingkat masyarakatnya: 6,2 juta jiwa keluarga nelayan. Tak hanya itu, ikan yang dihidangkan di meja makan keluarga Indonesia juga diimpor. Belum lagi garam sebagai penyedap masakannya. Sudah impor, harganya pun mahal. Tak ayal, nelayan dan pembudidaya terus dimiskinkan. Ironis. Apa yang keliru dengan kita?

Pertama, sebagai negara produsen perikanan (ketiga di sektor perikanan tangkap dan keempat di sektor perikanan budidaya), tantangan yang dihadapi adalah menyambungkan sektor hulu (pra-produksi dan produksi) dan hilir (pengolahan dan pemasaran) yang tidak hanya menyumbangkan devisa kepada negara, melainkan harus merembes kepada produsen perikanan skala kecil. Hanya saja, kenaikan ini tidak dibarengi dengan turut meningkatnya kesejahteraan masyarakat nelayan.

Kesejahteraan nelayan masih jauh panggang dari api. Hal ini terlihat dari sejumlah fakta tidak terhubungnya program pemerintah dengan upaya penyejahteraan nelayan di desa pesisir/perkampungan nelayan, di antaranya nelayan masih dihadapkan pada perkara terputusnya tata kelola hulu ke hilir; tidak berfungsinya TPI/PPI sebagaimana mestinya dalam melayani nelayan; tiadanya jaminan perlindungan jiwa dan sosial (termasuk pendidikan dan kesehatan) bagi nelayan dan keluarganya; semakin sulitnya akses melaut akibat praktek pembangunan yang tidak ramah nelayan, seperti reklamasi pantai, konservasi laut yang membatasi akses nelayan, dsb; serta ancaman bencana yang terjadi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Lebih parah lagi, akses BBM bersubsidi masih menjadi perkara laten bagi masyarakat nelayan. Padahal, dari tahun 2008-2012, misalnya, kenaikan nilai ekspor ikan Indonesia mencapai 9,97% atau dari US$ 2,69 juta menjadi US$3,85 juta. Lebih parah lagi, angka impor ikan segar/beku juga terus meningkat: 19,33% sejak 2008 – Juni 2013.

Kedua, belum terhubungnya pusat produksi, distribusi dan konsumsi Indonesia. Ditandai dengan tercecernya daya saing logistik Indonesia di peringkat ke-59 dunia atau berada jauh di bawah Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam. Padahal, mandat Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan mengamanahkan pengelolaan sumber daya perikanan berbasis sistem bisnis perikanan yang menghubungkan sektor hulu (pra-produksi dan produksi) dan hilir (pengolahan dan pemasaran). Adakah jalan keluarnya?

Pemimpin nasional harus mengarahkan peningkatan angka produksi perikanan ini untuk: pertama, menyejahterakan pelaku perikanan Indonesia, khususnya masyarakat nelayan, dengan model ekonomi kerakyatan, misalnya kerja sama BUMN dengan organisasi-organisasi nelayan, bukan menggadaikan kekayaan laut kepada asing yang terus terjadi 10 tahun terakhir; kedua, mengubah orientasi ekspor dengan memaksimalkan potensi demografi dalam negeri seperti yang kini dilakukan oleh China; dan ketiga, menghidupkan kemandirian sektor perikanan nasional melalui reaktivasi BUMN perikanan.

Tak hanya itu, pemimpin nasional lima tahun ke depan harus secara sungguh-sungguh menjalankan mandat Undang-Undang Nomo 31 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan yang diturunkan melalui Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2012 tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional lintas kementerian/lembaga. Dalam konteks perikanan, juga terdapat Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 5 Tahun 2014 tentang Sistem Logistik Ikan Nasional. Dengan jalan inilah, menyambungkan Nusantara tidak hanya dikenal sebatas sejarah Deklarasi Djuanda 1957,  melainkan menjejak dari Miangas hingga Rote.***

Sumber: Majalah Resources, April 2014

KELIRU ANGKA MENGHEMPAS CITA-CITA

KELIRU ANGKA MENGHEMPAS CITA-CITA

Oleh Abdul Halim

Sekretaris Jenderal KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan)

Ironis! Kementerian Kelautan dan Perikanan diminta segera mengklarifikasi data produksi perikanan budidaya yang dinilai tidak wajar. Kekeliruan data disinyalir juga terjadi di semua kementerian sehingga mengancam arah kebijakan dan program kerja pemerintah (Kompas, 6/03).

Melihat situasi di atas, David Brooks membuka alinea pertama kolomnya berjudul The Philosophy of Data di harian The New York Times tertanggal 4 Februari 2013 dengan kalimat tanya-jawab, “Jika Anda bertanya mengenai pemikiran filsafat yang berkembang belakangan ini, saya akan menjawabnya: data-isme”.

Jamak dipahami bahwa berkat keintiman manusia abad modern dengan teknologi informasi, jutaan data bisa didapatkan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Bagi Brooks, kemajuan ini mengandaikan adanya asumsi-asumsi kultural, seperti (i) segala sesuatu yang dapat diukur sudah seharusnya diukur; (ii) data merupakan sesuatu yang transparan dan lensa yang handal untuk menyaring emosi dan ideologi; serta (iii) data dapat membantu kita melakukan hal-hal yang luar biasa, di antaranya memprediksi masa depan (foretell the future).

Menempatkan data

Tak dimungkiri bahwa data faktual dan valid merupakan barang langka, tak hanya di Indonesia, melainkan juga dialami oleh organisasi multilateral setingkat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun demikian, kekeliruan dalam penyajian data adalah perilaku koruptif yang mesti dikoreksi.

Dalam kajian kebijakan publik, data menjadi ujung tombak yang dapat menghadirkan hal-hal positif atau sebaliknya justru mencelakakan. Karena bekal data menjadi sarana awal proses penyusunan kebijakan dilakukan.

Brooks menambahkan, ada dua pendekatan yang dapat dipraktekkan dalam menempatkan data. Pertama, data membantu penyusun kebijakan untuk mengoreksi intuisinya yang keliru dalam memahami fakta di lapangan. Hal ini mutlak dibutuhkan oleh para pengambil kebijakan mengingat adanya kecenderungan hampir setiap orang yang menjalankan jabatan politik beranggapan bahwa mereka memiliki intuisi yang kuat untuk mempengaruhi fakta. Dalam konteks ini, data yang dihasilkan terkadang tak kongruen dengan fakta.

Dalam perundingan FAO Sub-Komisi tentang Perdagangan Ikan di Bergen, Norwegia, pada tanggal 24-28 Februari 2014, misalnya, seluruh delegasi dari sedikitnya 27 Negara yang hadir menyepakati pentingnya kajian dengan dukungan data faktual dan valid menyangkut kontribusi perikanan terhadap pendapatan sebuah negara dan jumlah pekerja yang mendapatkan penghasilan dari sektor perikanan. Harapannya, kesepakatan multilateral yang diambil benar-benar mewakili kepentingan bangsa-bangsa di dunia.

Kedua, berbekal data yang faktual dan valid, pola perilaku masyarakat dapat dikenali. Pada titik ini, data harus selalu diperbarui dan didialogkan dengan fakta di lapangan.

Di tahun 2013, dinamika pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan tidak mengalami perubahan berarti. Pemerintah terus menggaungkan industrialisasi perikanan dengan fokus utama peningkatan produksi perikanan (tangkap dan budidaya), namun berjarak kepada masyarakat nelayan dan pembudidaya.

Setali tiga uang, anggaran kelautan dan perikanan yang terus meningkat, justru kian memperlebar jurang kemiskinan: nelayan dan pembudidaya kecil diposisikan sebagai buruh, sementara pemilik kapal/lahan berkubang dana program pemerintah.

Program revitalisasi tambak udang melalui tambak demfarm yang digulirkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sejak tahun 2012, misalnya, menciptakan kesenjangan sosial yang kian tinggi di kalangan masyarakat pembudidaya. Pusat Data dan Informasi KIARA (Oktober 2013) mencatat sedikitnya lima temuan lapangan. Pertama, penerima proyek demfarm tahun 2013 di Indramayu, Jawa Barat, pada umumnya adalah juragan tambak.

Kedua, format pengerjaan proyek tidak berbasis kelompok, melainkan buruh-majikan. Tenaga kerja didatangkan dari luar desa atau bahkan berasal dari kecamatan lainnya. Temuan ini menyalahi Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Nomor 84 Tahun 2012 tentang Petunjuk Pelaksanaan Percontohan Usaha Budidaya (Demfarm) Udang dalam Rangka Industrialisasi Perikanan Budidaya. Di dalam Bab II tentang Kelembagaan, Tugas, dan Fungsi, Kelompok Pembudidaya Ikan didefinisikan sebagai kumpulan pembudidaya ikan yang terorganisir, mempunyai pengurus dan aturan-aturan dalam organisasi kelompok, yang mengembangkan usaha produktif untuk mendukung peningkatan pendapatan dan penumbuhan wirausaha di bidang perikanan budidaya.

Di samping itu,  praktek penyelenggaraan program demfarm ini juga menyalahi Pasal 39 ayat (3) Undang-undang Ketenagakerjaan, “Semua kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah di setiap sektor diarahkan untuk mewujudkan perluasan kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar hubungan kerja”.

Ketiga, sistem penggajian menyalahi standar UMR, yakni sebesar Rp700.000/orang. Padahal, UMR Kabupaten Indramayu pada tahun 2013 senilai Rp1.125.000.  Keempat, para pekerja tidak diberikan hak-hak dasarnya, seperti perlindungan jiwa dan jaminan kesehatan, serta standar keselamatan kerja di tambak. Kedua hal ini melanggar ketentuan Pasal 88-89 UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Kelima, semangat yang dibangun proyek demfarm hanya memperkaya para juragan pemilik tambak, sementara kelompok pembudidaya ikan (pokdakan) yang menjadi sasaran utama justru dikesampingkan. Hal ini kian memperlebar jurang kesejahteraan di tingkat masyarakatpembudidaya.

Kelima fakta di atas adalah cermin tidak sejalannya data dan fakta yang dirujuk oleh pengambil kebijakan. Jikapun menjadi rujukan, mentalitas koruptif masih menjangkiti para penyelenggara negara. Singkatnya, revolusi data memberikan kita cara yang indah untuk memahami masa kini dan masa lalu. Apakah akan mengubah kemampuan kita untuk memprediksi dan membuat keputusan tentang masa depan rakyat Indonesia yang lebih sejahtera, adil dan makmur? Mari menjadi pemilih cerdas dan bervisi kelautan di Pemilu 2014.***

Sumber: Majalah Samudra, Edisi 132, Tahun XII, April 2014