Hari Bumi, Nelayan dan Perempuan Nelayan Rehabilitasi Lahan Mangrove
Hari Bumi, Nelayan dan Perempuan Nelayan Rehabilitasi Lahan Mangrove
Rabu, 23 April 2014 WIB
JAKARTA, GRESNEWS.COM – Beragam cara dilakukan berbagai kelompok masyarakat peduli lingkungan dalam memperingati Hari Bumi yang jatuh pada hari ini, Selasa (22/4). Di Langkat, Sumatera Utara, sejumlah 150 nelayan perempuan dan nelayan mengikuti pelatihan pengolahan mangrove yang dihelat Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA). Selain itu mereka juga akan melakukan penanaman 15.000 bibit mangove di bibir pantai desa mereka di Register 8/L Desa Lubuk Kertang, pada Kamis (24/4) mendatang.
Terbungkus tema “Menyelamatkan Mangrove, Keluarga Nelayan Tuai Kesejahteraan” perayaan Hari Bumi yang dilakukan nelayan Langkat ini memang bertujuan untuk membangkitkan jiwa gotong royong menyelamatkan hutan mangrove demi kesejahteraan mereka. Seperti di ketahui kawasan mangrove merupakan kawasan penting dalam ekosistem pesisir sebagai tempat ikan-ikan laut berbiak.
Sayangnya di Indonesia dari luas keseluruhan lahan mangrove yang mencapai 4,2 juta hektare, kini sekitar 1,8 juta diantaranya mengalami kerusakan. Salah satunya terjadi di kawasan Langkat. Sejak tahun 2008 lahan mangrove di kawasan itu rusak akibat adanya alih fungsi untuk salah satunya perkebunan sawit. Alih fungsi lahan ini selain merusak kawasan mangrove juga memicu terjadinya konflik antara warga nelayan dengan pihak perusahaan.
Kasus ini terjadi berawal dari aktivitas konversi Hutan Kawasan Ekosistem Mangrove yang telah terjadi sejak 2008 di Register 8/L Kecamatan Brandan Barat, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara. Diduga, pelaku utama perusahaan perkebunan skala besar, yaitu PT Sari Bumi Bakau (SBB), PT. Pelita Nusantara Sejahtera (PNS), PT. Marihot, PT. Buana, dan PT Charoen Phokpand. Perusahaan perkebunan tersebut telah melakukan alih fungsi hutan mangrove menjadi perkebunan kelapa sawit seluas 1.200 hektare.
Tidak hanya itu, guna memuluskan kegiatan alih fungsi hutan mangrove, pihak perusahaan melakukan aksi teror dan intimidasi terhadap nelayan. Terakhir, pada 9 Juli 2013, sebanyak 200 ribu bibit dari 700 ribu bibit yang disiapkan untuk melengkapi penanaman mangrove seluas 1.200 ha di Register 8/L rusak dan mati karena disiram bahan kimia. Aktivitas perusakan bibit mangrove ini disertai dengan perobohan satu unit bangunan semi permanen Pusat Informasi Mangrove.
Demi memulihkan kembali wilayah yang rusak, masyarakat nelayan termasuk kaum perempuan di tiga kecamatan yaitu Babalan, Sei Lepan dan Brandan Barat, sejak beberapa tahun lalu sudah melakukan upaya penanaman kembali lahan mangrove yang rusak. Upaya itu tidak sia-sia karena saat ini ikan-ikan kembali berkembang biak dan para nelayan pun memetik buahnya.
“Salah satu indikasinya adalah meningkatnya penghasilan nelayan tradisional dari Rp500 ribu per bulan menjadi Rp2,5 juta per bulan,” kata Sekretaris Jenderal KIARA Abdul Halim kepada Gresnews.com, Selasa (22/4).
Sedikitnya 15.000 jiwa yang tersebar di 8 desa/kelurahan, yakni Perlis, Lubuk Kasih, Kelantan, Lubuk Kasih, Pangkalan Batu, Brandan Barat, Sei Bilah dan Teluk Meku, kini turut aktif merehabilitasi hutan mangrove yang sebelumnya dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Dari jumlah tersebut, sebanyak 4.500 jiwa berprofesi sebagai nelayan. Lokasi hutan mangrove yang mereka selamatkan berada di Register 8/L Kecamatan Brandan Barat.
Tajruddin Hasibuan, Presidium KNTI Wilayah Sumatera mengatakan, ada perkembangannya, masyarakat pesisir 3 kecamatan di atas telah menyelamatkan kawasan ekosistem mangrove seluas 1.200 hektare yang sebelumnya dikonversi untuk perkebunan kelapa sawit oleh UD Harapan Sawita. Dari jumlah itu, lahan mangrove yang sudah berhasil direhabilitasi sedikitnya mencapai 525 hektare.
“Tak hanya itu, seluas 292 hektar kawasan hutan mangrove juga telah dikembalikan fungsinya setelah sebelumnya dikonversi untuk perkebunan kelapa sawit oleh PT Pelita Nusantara Sejahtera sejak tahun 2009,” ujarnya.
Keberhasilan yang telah dicapai oleh masyarakat nelayan dan perempuan nelayan di atas bukan tanpa halangan. Perusahaan sawit terus berupaya untuk menggagalkan inisiatif masyarakat tersebut. Oleh karena itu, selain melakukan rehabilitasi mangrove dan mendorong penegakan hukum, KIARA bersama KNTI memperkuat kapasitas masyarakat untuk mengolah mangrove menjadi aneka produk ekonomi, seperti makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetik.
Redaktur : Muhammad Agung Riyadi