Pemerintahan SBY Dianggap Gagal Wujudkan Kedaulatan Pangan
Pemerintahan SBY Dianggap Gagal Wujudkan Kedaulatan Pangan
Jakarta – Menjelang akhir masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kondisi pangan Indonesia dianggap tidak kunjung membaik, bahkan terperosok ke dalam darurat pangan.
Menurut Koordinator Nasional Aliansi untuk Desa Sejahtera Tejo Wahyu Jatmiko, kegagalan SBY ditandai dengan menurunnya jumlah rumah tangga petani sebesar 5 juta rumah tangga (sensus pertanian 2013). Lalu lahan pangan menghilang sekitar 110.000 ha/tahun.
Selain itu, kata Tejo, meningkatnya impor pangan, menurunnya luasan produksi pangan rata-rata 110.000 ha, produksi pangan yang stagnan, dan meningkatnya jumlah penduduk, juga menjadi catatan dari kegagalan pemerintah.
“Pemerintah SBY juga tidak mempunyai kebijakan nasional untuk membangun kedaulatan pangan serta memberikan perlindungan bagi produsen pangan skala kecil,” kata Tejo di Jakarta, Selasa (29/4).
Tejo mengatakan, kegagalan pemimpin negara ini mewujudkan kedaulatan pangan, berawal dari ketidakpahaman penyelenggara negara dan ketidaksinkronan antara Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025 dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2009-2014.
Ia menerangkan pernyataan di dalam RPJP adalah pertanian bersama pertambangan menjadi tulang punggung perekonomian bangsa.
Sayangnya, Tejo melanjutkan visi-misi Presiden yang berwujud RPJMN 2009-2014 hanya menempatkan pangan sebagai prioritas nomor 5.
“Akibatnya, memaksa eksekutif dan legislatif hanya bisa memberikan budget sekitar 6%-7% dari total APBN,” ujar dia.
Tejo menjelaskan, alokasi anggaran tersebut sangat jauh dari apa yang disarankan Food and Agriculture Organization (FAO) yang menyatakan bahwa negara hendaknya menyisihkan 20% anggarannya untuk memenuhi hak atas pangan rakyatnya di tengah situasi pangan global yang bergejolak.
Prioritas rendah ini, aku dia, juga mengakibatkan lemahnya implementasi kebijakan pangan di lapangan.
“Perlindungan terhadap produsen pangan skala kecil yang meliputi lahan, sarana, prasarana serta tata niaganya sangat sedikit upayanya,” ujar dia.
Tidak hanya dari sisi produsen saja, dari sisi konsumen juga tidak dibangun upaya yang sistematis dan serius sehingga mereka menjadi pelindung pertanian.
“Alih-alih membangun kedaulatan pangan, kebijakan pemerintahan SBY malah mengandalkan pangan impor dengan membuka kran impor sebesar-besarnya. Semestinya semua harus berbasis pada lokalitas dan produsen pangan skala kecil kita,” ujar Tejo.
Di tempat yang sama, Koordinator Pokja Perikanan Abdul Halim menjelaskan sektor perikanan jiga tidak dianggap sebagai sumber produk pangan strategis, melainkan hanya difokuskan pada peningkatan produksi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
“Alih-alih masyarakat Indonesia mendapatkan sumber protein bermutu dari lokal, justru malah dipaksa menjadi penonton karena hasil tangkapan diekspor,” ujar Abdul.
Ia mengatakan kebijakan tersebut menggerus bahan baku ikan yang pada akhirnya memaksa perusahaan dan konsumen domestik untuk bergantung pada produk perikanan impor.
“Padahal jelas dalam UU nomor 45 tahun 2009 mengamanatkan untuk mengutamakan pasokan dalam negeri. Kebijakan seperti ini mustahil bisa mensejahterahkan nelayan,” ucap Abdul.