NASIB NELAYAN; Menjala Kesejahteraan

NASIB NELAYAN

Menjala Kesejahteraan

 

Konsumsi ikan terus meningkat. Di atas kertas, hal ini seharusnya menjadi sinyal positif untuk menggairahkan sektor perikanan tangkap dan mendorong peningkatan kesejahteraan nelayan. Namun, kenyataan berkata lain. Kesejahteraan nelayan justru menurun.

Menurut publikasi Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi ikan per kapita tahun 2009 tercatat 28 kilogram (kg) per kapita per tahun. Tahun 2013, jumlah ikan yang dimakan meningkat menjadi 35 kg per kapita. Jika dihitung, konsumsi ikan per kapita masyarakat Indonesia naik 5,7 persen per tahun sepanjang lima warsa terakhir.

Hasil jajak pendapat yang diselenggarakan Litbang Kompas pada Maret lalu juga menguatkan angka-angka dari BPS ini. Lebih dari 90 persen responden mengaku sering mengkonsumsi ikan. Satu dari dua peserta jajak pendapat lewat telepon ini memakan ikan beberapa kali dalam seminggu.

Peningkatan minat melahap ikan idealnya berbanding lurus dengan kesejahteraan nelayan di negeri ini lewat kenaikan permintaan pasar. Nelayan seharusnya mampu berproduksi lebih besar atau meningkatkan harga ikan seiring tingginya permintaan pasar. Sayangnya, kondisi di lapangan masih jauh dari kondisi ideal.

Tengok saja angka nilai tukar nelayan (NTN) Indonesia yang justru menyusut. Bulan Maret 2014, NTN di angka 103,38. Lebih rendah dari NTN bulan Maret 2013 sebesar 105,19.

Nilai NTN yang merupakan perbandingan antara pendapatan dari ikan hasil tangkapan dengan barang dan jasa yang di konsumsi rumah tangga nelayan menjadi indikator kesejahteraan. Nelayan semakin sejahtera jika nilai NTN semakin besar. Faktanya, nilai NTN malah makin mengecil. Kesejahteraan nelayan Indonesia secara umum makin terpuruk.

Penurunan kesejahteraan nelayan tak lepas dari sejumlah kendala. Salah satunya adalah keterbatasan kapal. Dari 627.000 nelayan, 63 persennya merupakan nelayan yang hanya mengoperasikan kapal berkapasitas maksimal 10 gros ton (GT). Bahkan, sekitar 90 persen nelayan di Laut Jawa mengoperasikan kapal kecil atau sama sekali tidak punya kapal. Dari sisi perolehan ikan, sebagian besar tangkapan di wilayah ini justru dihasilkan oleh aktifitas kapal pukat cincin skala besar berbobot mati di atas 1.000 ton.

Persoalan keterbatasan alat juga berimbas pada rendahnya pendapatan mereka. Nelayan sebenarnya mampu menangkap ikan dalam jumlah besar, hanya saja sistem pengawetan ikan yang bisa menjamin membawa ikan dalam kondisi segar menjadi kendala utama.

Pesoalan semacam ini dialami nelayan di sejumlah daerah, seperti Bengkulu, Aceh, dan Sulawesi Tengah, sampai sekarang. Sebagian nelayan di daerah-daerah itu pernah dengan sengaja membuang sekitar dua ton ikan hasil tangkapan mereka di tengah laut. Ikan senilai Rp 20 juta itu dibuang karena nelayan tak punya cukup es batu untuk mengawetkan ikan. Ada juga nelayan yang terpaksa tidak mengoperasikan kapalnya karena sulit memperoleh es batu. Ikan tangkapan pun harus harus dilepas dengan harga murah karena tak bisa disimpan terlalu lama.

Kebijakan pemerintah pun terkadang hanya berpihak kepada nelayan yang punya dana besar. Misalnya, pemerintah lewat Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30 Tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengolahan Perikanan Republik Indonesia membuka peluang bagi kapal pemodal besar melakukan ekspor langsung. Aktifitas perikanan tangkap antara pemodal dan nelayan serta sektor hulu dan hilir semakin timpang.

Program pemerintah di sektor perikanan sebaiknya tidak hanya memancing gairah nelayan pemodal besar. Pemerintah perlu mewujudkan program yang menyerupai jala sehingga bisa mengangkat semua pemain perikanan, khususnya nelayan kecil.

(BIMA BASKARA/LITBANG KOMPAS)

Sumber: Kompas, 30 April 2014