Archive for date: June 30th, 2014
Restrukturisasi Hutang Belum Jelas, Petambak Eks-Dipasena Tagih Komitmen BRI dan BNI
/in Kampanye & Advokasi, Pertambakan dan Mangrove, Reformasi Kebijakan /by adminkiaraRestrukturisasi Hutang Belum Jelas, Petambak Eks-Dipasena Tagih Komitmen BRI dan BNI
Jakarta, JMOL ** Ribuan petambak udang eks-Dipasena Lampung terpaksa menandatangani perjanjian akad kredit dengan BNI dan BRI. Status hutang kredit tersebut menjadi beban petambak, meski mereka tidak pernah menguasai secara langsung dan tidak pernah mendapatkan status laporan hutang. Padahal, setiap panen udang mereka dipotong 20 persen dari sisa hasil usaha, untuk melunasi hutang. “Koperasi Bumi Dipa yang menaungi lebih dari 7.512 petambak udang eks-Dipasena mengirimkan surat kepada PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Surat tersebut sebagai pernyataan kembali komitmen petambak untuk menyelesaikan permasalahan mengenai Kredit Investasi dan Kredit Modal Kerja,” rilis Siaran Pers Bersama Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW) Lampung, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Koalisi Anti Utang (KAU), Indonesia Human Right Committee for Social Justice (IHCS), Indonesia for Global Justice (IGJ), hari ini, Selasa (13/5), kepada JMOL. Surat petambak merupakan tindak lanjut mediasi Komnas HAM pada 4 Mei 2012 yang dihadiri petambak, pihak bank, dan PT Aruna Wijaya Sakti/Charoen Phokpand Group (PT AWS/CPP). Pada mediasi tersebut, petambak menyatakan komitmennya untuk menyelesaikan permasalahan kredit yang disambut kesediaan pihak BRI dan BNI untuk melakukan restrukturisasi hutang petambak. Akan tetapi hingga saat ini, belum ada langkah konkret pihak BRI maupun BNI untuk menindaklanjuti hasil mediasi. Kondisi ini tentu saja menimbulkan ketidakpastian bagi petambak. PT AWS/CPP dinilai gagal melaksanakan kewajiban revitalisasi pertambakan udang eks-Dipasena sebagaimana yang diperjanjikan dalam penjualan aset eks-Dipasena oleh PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA). Kegagalan revitalisasi menimbulkan kekecewaan petambak yang berujung pada polemik pemutusan hubungan kemitraan. Merespons hal ini, secara sepihak, PT AWS/CPP menggugat 385 orang petambak dengan dalil telah ingkar janji (wanprestasi) dengan salah satunya, karena tidak beriktikad melunasi hutang kredit yang tidak pernah jelas statusnya. Kredit tersebut pada dasarnya tidak dinikmati secara langsung oleh petambak, namun dikuasai oleh PT AWS/CPP. PT AWS/CPP menjadi penerima dan penjamin (avalis) kredit tersebut sebagai konsekuensi perjanjian kemitraan inti-plasma yang menjadi modal revitalisasi, namun tidak pernah dilaksanakan. Pasca-berakhirnya hubungan kemitraan dengan PT AWS/CPP, kegiatan usaha budidaya pertambakan udang di Bumi Dipasena telah berjalan normal. Untuk mendukung kegiatan budidaya, telah dibentuk badan usaha koperasi bernama Koperasi Petambak Bumi Dipasena (KPBD) yang berfungsi sebagai wadah ekonomi petambak melakukan budidaya udang secara lebih adil dan baik. Petambak juga melakukan rehabilitasi sarana dan prasarana pertambakan secara swadaya di bawah ‘Program Revitalisasi Mandiri’. Editor: Arif Giyanto Sumber:http://jurnalmaritim.com/2014/8/1149/restrukturisasi-hutang-belum-jelas-petambak-eks-dipasena-tagih-komitmen-bri-dan-bniRevisi UU Perikanan Penting untuk Pengakuan Peran dan Perlindungan Perempuan Nelayan
/in Kampanye & Advokasi, Pengelolaan Pesisir & Pulau - Pulau Kecil, Reformasi Kebijakan /by adminkiaraNelayan Indonesia Jangan Jadi Penonton Terpinggirkan
/in IUU Fishing, Kampanye & Advokasi, Pengelolaan Pesisir & Pulau - Pulau Kecil, Reformasi Kebijakan /by adminkiaraSulyati: Sarjana Pendidikan di Kampung Nelayan
/in Uncategorized /by adminkiara
“Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang,” demikian pesan Bung Karno yang mengilhami Sulyati, perempuan bertubuh mungil dari Desa Gempolsewu, Kecamatan Rowosari, Kabupaten Kendal. Ia bermimpi, suatu hari nanti akan ada anak nelayan yang bisa lulus kuliah dan menjadi sarjana. Pasalnya, pendidikan tinggi di kampung-kampung nelayan masih dianggap ‘barang’ mahal. Cap buruk tentang kebodohan pun masih melekat di kampung-kampung nelayan. |

“Banyak yang putus sekolah, biaya sekolah mahalnya minta ampun. Nelayan Gempolsewu banyak yang hidup miskin, musim rendeng semakin membuat nelayan hidup sulit. Apalagi sekarang anak-anak suka main hape, sekolah bukan hal penting. Jadi banyak juga dari mereka pengen cepat kerja, jadi buruh-buruh supaya bisa beli hape itu,” cerita Mbak Sul sambil tersenyum.
Melihat angka putus sekolah yang kian tinggi menggerakkan Mbak Sul mendobrak stigma buruk tentang kebodohan. Ia dan suaminya bekerja keras bersama agar bisa meraih gelar sarjana. Mulanya Mbak Sul mulai mengajar di tahun 2001 sebagai guru TK yang bergaji Rp.20.000 per bulan. Gaji yang diterima Mbak Sul tentu tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Namun dedikasinyalah yang terus membuat Mbak Sul terus mengajar. Hingga akhirnya ia harus berhenti menjadi guru TK untuk mengurus anaknya yang sakit. Mbak Sul kembali mengajar mengajar anak-anak TK baru dilanjutkan pada tahun 2005, setelah anaknya pulih dari sakit flek yang dideritanya.“Waktu mulai mengajar lagi tahun 2005 gajinya sudah naik jadi Rp. 50.00 per bulan,” katanya penuh semangat.
Hingga di tahun 2012 impian Mbak Sul untuk melanjutkan ke jenjang kuliah tidak tertahankan. Ia ingin membuktikan bahwa istri nelayan pun bisa bermimpi menjadi sarjana dan perlahan meraihnya.“Ndak mudah mendapatkan gelar, pinjam uang sana sini untuk bayar SPP. Apalagi waktu mulai kuliah saya baru melahirkan anak ketiga, kalau saya kuliah anak saya titipkan ke saudara-saudari. Nah kalau pulang itu baru saya ambil. Kadang sudah pada tidur saya gendong bawa pulang,” kenang Mbak Sul.
Masa-masa kuliah konon menjadi masa paling sulit bagi Mbak Sul. Suaminya harus menjadi TKI untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kehidupan nelayan belum mampu menutupi kebutuhan sehari-hari Mbak Sul dan keluarga kala itu. Praktis ia yang mengurus anak-anaknya sembari kuliah. Namun, perjuangannya membawa hasil, Mbak Sul menjadi sarjana dan mendapat gelar S.Pd (Sarjana Pendidikan). Sanitasi Gempolsewu Apa yang kita bayangkan ketika mengukur seseorang itu kaya atau tidak? Uang, jabatan, titel, atau berbatas materi? Bagi Mbak Sul, di tengah kampungnya Gempolsewu, kekayaan seseorang dinilai dari apakah rumahnya memiliki WC atau tidak.“Orang kaya di kampung kami itu artinya punya WC sendiri di rumah, ndak perlu repot lari-lari ke jamban dan antri,” ujar Mbak Sul sembari tertawa.
Terlebih lagi di kampungnya tidak ada tempat pembuangan sampah, semua dibuang ke sungai yang berakhir ke laut. Tanpa dipungkiri, kondisi kampung Gempolsewu kian kumuh dan masyarakatnya rentan penyakit. Jika banjir rob datang, semua sampah dan isi dari sungai masuk ke rumah-rumah nelayan. Anak-anak kecil banyak yang terserang penyakit. Pada tahun 2012 seorang anak kecil yang merupakan murid didik Mbak Sul meninggal dunia karena terkena DBD (Demam Berdarah). Mbak Sul dan kawan-kawan menjadi motor penggerak melakukan aksi untuk meminta fogging (Penyemprotan jentik-jentik nyamuk) di kampungnya.“Saya kehilangan dan sedih, rasanya sulit sekali meminta pemerintah peduli kepada kesehatan nelayan,” harap Mbak Sul.
Hingga hari ini, warga sekitar Gempolsewu selalu datang ke rumah Mbak Sul jika keluarganya sedang sakit dan membutuhkan informasi fasilitas kesehatan dari pemerintah. Namun, kebutuhan dasar untuk mendapatkan fasilitas kesehatan, lingkungan dan sanitasi bersih masih menjadi hal mahal untuk didapat oleh nelayan Gempolsewu.“Kebanyakan nelayan ndak ngerti harus kemana dan gimana kalau mereka sakit, mereka punya kartu nelayan tapi ndak ada fungsi,” kesal Mbak Sul.
Sekar Wilujeng Nelayan Gempolsewu pun harus terus berhadapan dengan perubahan iklim yang semakin tidak menentu. Musim rendeng atau musim paceklik kerap membuat nelayan terjebak pada lintah darat. Melihat banyaknya nelayan yang terjebak hutang, Mbak Sul mulai melakukan perubahan melalui Sekar Wilujeng, kelompok perempuan nelayan yang beranggotakan 50 orang perempuan nelayan. Mbak Sul bersama kelompoknya mulai mengembangkan tabungan rendeng. Tabungan yang dapat digunakan oleh nelayan jika musim paceklik tiba. Melalui tabungan inilah anggotanya mulai perlahan-lahan terlepas dari lintah darat. Terpenting budaya menabung sudah tumbuh dan membuat kelompok Sekar Wilujeng kian bersemangat untuk lepas dari lilitan hutang. Tidak sampai di situ, Mbak Sul pun mulai menggerakan perempuan nelayan untuk membuat hasil olahan laut, seperti kerupuk, ikan asin, dan terasi. Hasil produknya dijual di sekitar kampung dan pasar terdekat. Mbak Sul menilai panganan sehat hanya berasal dari olahan sendiri, bukan dari tradisi membeli makanan cepat saji ataupun instan.“Sulit menemukan pasar yang mau menerima produk kami, karena memang kemasannya masih tradisional dan sederhana. Tapi kelompok Sekar Wilujeng selalu semangat dan ndak pernah menyerah,” imbuh Mbak Sul.
Pada tahun 2012, Mbak Sul bergabung dalam PPNI atau Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia. Mimpinya telah tergabung bersama kelompok perempuan nelayan dari seluruh Indonesia adalah perempuan nelayan haruslah sejahtera.“Perempuan nelayan itu tahu, mampu dan mau—ia harus mendapatkan keadilan dalam hak dan akses terhadap sumber daya alam yang bersih, sehat dan berkelanjutan untuk hidup mereka yang lebih sejahtera. Ini seperti mimpi, tapi mimpi yang harus jadi kenyataan,” tutup Sulyati, sarjana pendidikan.*** (SH)

Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan
Jl. Tebet Utara 1 C No.9 RT.08/RW.01, Kel. Tebet Timur, Kec. Tebet, Kota Jakarta Selatan. 12820, Indonesia. Tlp/Fax +62-21 22902055
Tentang KIARA
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) adalah organisasi non-pemerintah yang berdiri pada tanggal 6 april 2003. Organisasi nirlaba ini diinisiasi oleh WALHI, Bina Desa, JALA (Jaringan Advokasi untuk Nelayan Sumatera Utara), Federasi Serikat Nelayan Nusantara (FSNN), dan individu-individu yang menaruh perhatian terhadap isu kelautan dan perikanan.