MENCELAKAI KONSTITUSI

MENCELAKAI KONSTITUSI

Oleh Abdul Halim

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA);

Koordinator Regional SEAFish (Southeast Asia Fisheries for Justice Network)

Bombardir serangan asing mengoyak keteguhan institusi Pemerintah Republik Indonesia (baca: Kementerian Kelautan dan Perikanan) yang bertanggungjawab atas pengelolaan sumber daya kelautan, pesisir dan perikanan nasional. Imbasnya Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi panduan penyelenggaran bangsa dan negara diabaikan dan bahkan dicelakai dalam 10 tahun terakhir.

Dua penanda liberalisasi sumber daya kelautan, pesisir dan perikanan nasional bermuara pada usaha perikanan tangkap dan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dua aturan liberalis itu dikeluarkan kementerian negara yang bermarkas di seberang Stasiun Gambir, Jakarta.

Penanda pertama, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Di dalam aturan ini, Menteri Kelautan dan Perikanan secara sengaja meliberalisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil kepada pihak asing hingga 6 dekade dan kepemilikan saham mencapai 80 persen.

Sedikitnya tujuh perubahan yang terindikasi kuat berpotensi melanggar hak-hak nelayan tradisional dan masyarakat pesisir atas ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Tujuh perubahan tersebut antara lain: Pertama, dimasukkannya unsur masyarakat dalam mengusulkan rencana pengelolaanwilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang ‘disetarakan’ dengan pemerintah dan dunia usaha. Revisi tersebut menyalahi Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 dengan melakukan penyetaraan antara masyarakat nelayan tradisional dengan pihak swasta. Padahal sejak awal sudah berbeda subyeknya. Perlakuan diskriminatif ini juga terjadi secara serampangan dengan dimasukkannya nelayan tradisional dalam unsur Pemangku Kepentingan Utama dalam Pasal 1 angka 30 bersama dengan nelayan modern, pengusaha pariwisata, dan pengusaha perikanan. Sangat jelas, DPR bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menghendaki adanya persaingan bebas yang sudah tentu akan mendiskriminasi nelayan tradisional dan pembudidaya ikan kecil. Begitu pula mengenai hak keberatan terhadap rencana pengelolaan yang sudah diumumkan dalam jangka waktu tertentu. Undang-undang tidak menjelaskan Hak keberatan tersebut, bagaimana mekanismenya dan bagaimana ukuran keberatan serta jangka waktu tertentu tersebut.

Kedua, Pasal 21 dan Pasal 22 Revisi UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengecualikan wilayah ruang pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah dikelola masyarakat adat dari kewajiban untuk memiliki perizinan, baik lokasi maupun pengelolaan. Pasal 21 tersebut mengesankan adanya persyaratan bertingkat. Di satu sisi memberikan keleluasaan kepada masyarakat hukum adat untuk mengelola ruang penghidupannya, namun di sisi lain membenturkannya dengan frase “mempertimbangkan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan”. Juga tidak ditegaskan definisi kepentingan nasional di dalam Revisi UU Pesisir ini. Selain itu, masyarakat hukum adat diwajibkan untuk mendapatkan pengakuan status hukum dengan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengakuan status hukum masyarakat adat menjadi potensi masalah terkait dengan sifat pasif negara dalam melakukan pengakuan hukum. Terlebih Revisi UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tidak memandatkan kepada pemerintah untuk aktif melakukan pengakuan terhadap kesatuan hukum adat sebelum penerbitan perizinan. Kondisi ini sangat potensial untuk mengusir masyarakat adat dari wilayah atau ruang penghidupannya di pesisir dan pulau-pulau kecil tanpa mendapat pengakuan status hukum masyarakat adat.

Ketiga, dengan mengubah skema hak menjadi skema perizinan melalui dua tahap, yaitu izin lokasi dan izin pengelolaan, tetap berpotensi melanggar hak nelayan tradisional. Dalam revisi UU Pesisir, skema tersebut tidak memastikan hak persetujuan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir terhadap pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Tanpa hak tersebut, skema ini dapat dipastikan akan tetap melanggar Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang memandatkan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dimanfaatkan untuk ‘sebesar-besar kemakmuran rakyat’. Walaupun Revisi UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil telah mengakui hak akses atas wilayah yang telah diberikan izin lokasi dan izin pengelolaan,namun tidak ada sanksi atas pelanggaran hak-hak masyarakat tersebut. Sehingga undang-undang kembali lagi akan membiarkan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir yang telah tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara turun-temurun akan dilanggar haknya.

Selain itu, kewenangan pemberian perizinan dimiliki setiap tingkat pemerintahan dari kabupaten/kota, provinsi hingga pusat. Hal ini berpotensi melanggar syarat perizinan dan berimbas terhadap keluarnya perizinan secara mudah dan serampangan. Tidak ada pengawasan bertingkat yang dilakukan terhadap pemberian izin lokasi dan izin pengelolaan yang diterbitkan oleh daerah di tingkat lokal. Sehingga potensi terbitnya izin tanpa memenuhi persyaratan minimal dalam Undang-Undang Pesisir sangat besar terjadi.

Keempat, munculnya Pasal 26A yang akan mempermudah penguasaan asing atas pulau-pulau kecil. Pasal 26A mengatur pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya dalam skema investasi penanaman modal dengan dasar izin menteri. Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya wajib “mengutamakan kepentingan nasional”. Namun tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai definisi dari frase “mengutamakan kepentingan nasional”. Undang-undang tersebut seolah-olah ingin melindungi kepentingan rakyat, namun mustahil investor asing akan memprioritaskan kepentingan bangsa Indonesia dalam mengelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pada Pasal 26A ayat (4), terindikasi kuat adanya praktek jual-beli pulau oleh orang asing. Bahkan terdapat praktek di lapangan yang bertentangan, misalnya di Gili Sunut, Nusa Tenggara Barat. Sebanyak 109 KK tergusur karena investasi pulau kecil oleh PT Blue Ocean Resort asal Singapura.

Pasal 26A terkait erat dengan Pasal 23A yang mengatur pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya. Untuk kegiatan: a. konservasi; b. pendidikan dan pelatihan; c. penelitian dan pengembangan; d. budi daya laut; e. pariwisata; f. usaha perikanan dan kelautan serta industri perikanan secara lestari; g. pertanian organik; h. peternakan;  dan/atau i. pertahanan dan keamanan negara. Namun Pasal 26A yang mengatur investasi di pulau-pulau kecil dan perairan sekitarnya tidak mewajibkan adanya proses free prior informed consent(Persetujuan dengan Pemberian Informasi Awal/FPIC) yang dimandatkan Protokol Nagoya dari Konvensi Keanekaragaman Hayati yang telah diratifikasi melalui UU Nomor 10 tahun 2013. Oleh karena itu, Pasal 26A berpotensi menjadi salah satu celah untuk terjadi pembajakan keanekaragaman hayati (biopiracy).

Kelima, Revisi UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengakui adanya hak untuk mengusulkan wilayah penangkapan ikan secara tradisional dan wilayah Masyarakat Hukum Adat dalam RZWP-3K. Namun derajat hak tersebut turun dengan adanya kata “mengusulkan” yang menurunkan derajatnya menjadi ‘pertimbangan’ dalam penyusunan RZWP-3-K. Sehingga hak-hak tersebut potensial dipelintir dan dapat dilanggar dalam proses lebih lanjut. Ditambah lagi wilayah penangkapan nelayan tradisional dan wilayah masyarakat adat di perairan dengan kegiatan penangkapan ikan merupakan wilayah yang tidak bisa disamakan dengan daratan atau tanah karena sifat dari perairan yang dinamis. Sehingga tidak dapat dipastikan lebih lanjut wilayah penangkapan nelayan tradisional dan masyarakat adat dituangkan dalam peta-peta koordinat.

KeenamDalam Pasal 30 kewenangan menteri yang terlalu luas dengan kekuasaan untuk menetapkan perubahan peruntukan dan fungsi zona inti pada kawasan konservasi untuk eksploitasi. Hal ini berpotensi untuk memunculkan praktek tukar-guling kawasan konservasi yang pada akhirnya merugikan kepentingan masyarakat setempat, khususnya nelayan tradisional. Apalagi definisi nelayan tradisional di dalam Revisi UU Pesisir ini sangat sempit. Salah satu kasus yang terjadi adalah Kawasan Konservasi Ujungnegoro-Roban di Batang yang diubah karena adanya rencana pembangunan PLTU Batang. Selain itu, juga akan menjadikan proses konservasi menjadi sia-sia karena dengan mengubah zona inti sama saja mengubah upaya konservasi tersebut.

Ketujuh, Pasal 63 mewajibkan pemerintah dan pemerintah daerah didorong untuk memberdayakan masyarakat. Namun mengapa harus melibatkan orang/modal asing? Kenapa tidak membentuk BUMD yang bergerak di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil bersama masyarakat setempat? Pada titik ini, pemerintah dan wakil rakyat di DPR RI beranggapan bahwa masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil lemah, rendah, tidak mandiri, dan tidak berdaya sehingga tidak mampu mengelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk kesejahteraan bersama sebagaimana diamanahkan di dalam UUD 1945.

Pengesahan Undang-Undang ini pada tanggal 18 Desember 2013 dilakukan tanpa partisipasi masyarakat serta nelayan tradisional dan petambak secara terbuka dengan proses yang sejati dan sepenuhnya. Sebaliknya, komprador asing di Gambir memilih melakukannya secara terbatas dan tertutup dengan hanya melibatkan akademisi, pihak swasta dan cenderung dipercepat. Hal tersebut sejatinya mengakibatkan pelanggaran mendasar atas hak partisipasi setiap warga negara dalam perumusan kebijakan nasional.

Penanda kedua adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 26 Tahun 2013 yang merevisi Permen Nomor 30 Tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Tak jauh berbeda spiritnya dengan pengesahan Perubahan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Menteri Kelautan dan Perikanan bahkan membolehkan komoditas perikanan bernilai tinggi yang tersebar di perairan Indonesia, yakni tuna, ditangkap dan langsung didagangkan di pasar luar negeri.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 26/PERMEN-KP/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.30/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia tidak menyelesaikan permasalahan pencurian ikan di Indonesia. Bahkan berpotensi tetap melanggar Pasal 25B UU No. 45 Tahun 2009.

Pertama, kewajiban Vessel Monitoring System untuk kapal 30 GT dan asing dilonggarkan. Berdasarkan perubahan Pasal 19 persyaratan permohonan Surat Izin Penangkapan Ikan bagi kapal diatas 30 (tiga puluh) GT tidak diwajibkan memenuhi Surat Keterangan Pemasangan Transmitter vessel monitoring system. Surat keterangan pemasangan transmitter haruslah dikeluarkan oleh Pengawas Perikanan. Kewajiban memenuhi surat keterangan pemasangan transmitter awalanya ditegaskan dalam Permen KP No. 30 Tahun 2012 yang kemudian direvisi dengan Permen 26 Tahun 2013 yang melonggarkan kewajiban menjadi surat pernyataan kesanggupan memasang dan mengaktifkan transmiter sebelum kapal melakukan operasi penangkapan ikan.

Persyaratan tersebut selain kepada kapal penangkapan ikan diatas 30 GT juga kepada usaha perikanan tangkap yang menggunakan modal asing dan/atau tenaga kerja asing. Dengan tidak diwajibkannya pemasangan transmitter vessel monitoring system kepada usaha perikanan tangkap oleh asing akan meningkatkan pencurian ikan di perairan Indonesia. Karena kapal perikanan akan menangkap ikan di luar wilayah penangkapan yang ditetapkan izin yang diberikan. Permen Revisi Usaha Perikanan Tangkap tidak menjawab mandate UU Perikanan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan untuk menetapkan sistem pemantauan kapal perikanan berdasarkan Pasal 7 ayat (1) huruf e UU No. 45 Tahun 2009. Penangkapan ikan diluar daerah atau wilayah yang diberikan izin berarti melakukan pelanggaran terhadap Pasal 7 ayat (2) huruf e UU No. 45 Tahun 2009 yang mewajibkan penangkapan ikan di daerah yang ditetapkan.

Kedua, transhipment masih diperbolehkan. Pengaturan mengenai transhipment (alih muatan) dari antara kapal di atas perairan masih dimungkinkan dilakukan berdasarkan Permen 26 Tahun 2013. Perubahan pengaturan alih muatan tidak berbeda dengan peraturan yang sebelumnya, yang hanya dipindahkan pasalnya ke Pasal 37 ayat (7), ayat (8), ayat (9) dengan tambahan Pasal 37A, Pasal 37B, dan Pasal 37C yang mengatur persyaratan usaha pengangkutan ikan dengan pola kemitraan. Dengan masih diberikan kebebasan untuk melakukan alih muatan merupakan celah yang berisiko tetap terjadinya pencurian ikan. Terlebih dengan adanya pengecualian terhadap komoditas tuna segar untuk wajib diolah di dalam negeri.

Ketiga, komoditas tuna segar dikecualikan dari Unit Pengolahan Ikan. Pasal 44 ayat (1) Permen 26 Tahun 2013 mengatur setiap perusahaan yang menggunakan kapal penangkap ikan dengan jumlah kumulatif 200 (dua ratus) GT sampai dengan 2.000 (dua ribu) GT wajib bermitra dengan Unit Pengolah Ikan. Namun, berdasarkan Pasal 44 ayat (3a) Permen 26/2013 kewajiban usaha perikanan dengan jumlah kumulatif 200 (dua ratus) GT sampai dengan 2.000 (dua ribu) GT untuk bermitra dengan Unit Pengolah Ikan dikecualikan bagi komoditas tuna segar.

Sebagaimana diketahui bersama wilayah perairan Indonesia merupakan sebagian dari daerah penangkapan tuna (tuna fishing ground) dunia. Aturan Pasal 44 ayat (3a) yang mengecualikan penangkapan komoditas tuna segar tidak diwajibkan untuk diolah dalam negeri merupakan aturan yang akan merugikan sumber daya perikanan Indonesia. Berbagai kapal penangkap ikan tuna dari Jepang melakukan penangkapan ikan di perairan Indonesia dari yang terkecil sebesar 50 GT sampai berukuran lebih besar dari 300 GT. Sehingga pengecualian terhadap komoditas tuna merupakan pelanggaran terhadap Pasal 25B ayat (2) UU No. 45 Tahun 2009.

Pasal  25B ayat (2) UU No. 45 Tahun 2009 mewajibkan kepada pemerintah untuk memprioritaskan produksi dan pasokan ke dalam negeri untuk mencukupi kebutuhan konsumsi nasional. Pasal ini merupakan kebijakan penting mengenai “domestic obligation“ untuk memprioritaskan konsumsi protein bagi setiap warga negara Indonesia.

Dengan adanya klausul Pasal 44 ayat (3a), revisi permen tersebut telah mengelabui tekanan publik terhadap kebijakan pengelolaan perikanan Indonesia. Setelah sebelumnya Pasal 69 ayat (3) dan Pasal 88 Permen KP No. 30 Tahun 2012 memperbolehkan kapal penangkap ikan yang menggunakan alat penangkapan ikan purse seine berukuran diatas 1000 (seribu) GT yang dioperasikan secara tunggal untuk membawa langsung ikan hasil tangkapannya keluar negeri telah dihapuskan. Aturan ini telah dihapus dan ditambahkan dengan kewajiban melaporkan ke syahbandar untuk melakukan perbaikan/docking ke luar negeri. Dihapusnya peraturan Pasal 69 ayat (3) dan Pasal 88 seolah-olah hanya ilusi pengelolaan pangan untuk berdaulat namun kenyataannya hanya menjadi komoditas ekspor tanpa memenuhi hak masyarakat untuk mendapatkan pangan perikanan yang berkualitas.

Dua penanda di atas jelas mencelakai amanah konstitusi: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tak pelak, pekerjaan rumah Presiden 2014-2019 mengoreksi kedua aturan ini dan mengembalikan kedaulatan rakyat dalam mengelola sumber daya perikanan dan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil demi sebesar-besar kemakmuran rakyat melalui koperasi, kerjasama BUMD dan masyarakat pesisir, termasuk di dalamnya nelayan, petambak dan perempuan nelayan skala kecil/tradisional. Sudah saatnya negeri ini berdaulat, Bung!***

Sumber: Majalah Samudra Edisi Juli 2014

Restrukturisasi Hutang Belum Jelas, Petambak Eks-Dipasena Tagih Komitmen BRI dan BNI

Restrukturisasi Hutang Belum Jelas, Petambak Eks-Dipasena Tagih Komitmen BRI dan BNI

Jakarta, JMOL ** Ribuan petambak udang eks-Dipasena Lampung terpaksa menandatangani perjanjian akad kredit dengan BNI dan BRI. Status hutang kredit tersebut menjadi beban petambak, meski mereka tidak pernah menguasai secara langsung dan tidak pernah mendapatkan status laporan hutang. Padahal, setiap panen udang mereka dipotong 20 persen dari sisa hasil usaha, untuk melunasi hutang.

“Koperasi Bumi Dipa yang menaungi lebih dari 7.512 petambak udang eks-Dipasena mengirimkan surat kepada PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Surat tersebut sebagai pernyataan kembali komitmen petambak untuk menyelesaikan permasalahan mengenai Kredit Investasi dan Kredit Modal Kerja,” rilis Siaran Pers Bersama Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW) Lampung, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Koalisi Anti Utang (KAU), Indonesia Human Right Committee for Social Justice (IHCS), Indonesia for Global Justice (IGJ), hari ini, Selasa (13/5), kepada JMOL.

Surat petambak merupakan tindak lanjut mediasi Komnas HAM pada 4 Mei 2012 yang dihadiri petambak, pihak bank, dan PT Aruna Wijaya Sakti/Charoen Phokpand Group (PT AWS/CPP). Pada mediasi tersebut, petambak menyatakan komitmennya untuk menyelesaikan permasalahan kredit yang disambut kesediaan pihak BRI dan BNI untuk melakukan restrukturisasi hutang petambak.

Akan tetapi hingga saat ini, belum ada langkah konkret pihak BRI maupun BNI untuk menindaklanjuti hasil mediasi. Kondisi ini tentu saja menimbulkan ketidakpastian bagi petambak.

PT AWS/CPP dinilai gagal melaksanakan kewajiban revitalisasi pertambakan udang eks-Dipasena sebagaimana yang diperjanjikan dalam penjualan aset eks-Dipasena oleh PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA).

Kegagalan revitalisasi menimbulkan kekecewaan petambak yang berujung pada polemik pemutusan hubungan kemitraan. Merespons hal ini, secara sepihak, PT AWS/CPP menggugat 385 orang petambak dengan dalil telah ingkar janji (wanprestasi) dengan salah satunya, karena tidak beriktikad melunasi hutang kredit yang tidak pernah jelas statusnya.

Kredit tersebut pada dasarnya tidak dinikmati secara langsung oleh petambak, namun dikuasai oleh PT AWS/CPP.

PT AWS/CPP menjadi penerima dan penjamin (avalis) kredit tersebut sebagai konsekuensi perjanjian kemitraan inti-plasma yang menjadi modal revitalisasi, namun tidak pernah dilaksanakan.

Pasca-berakhirnya hubungan kemitraan dengan PT AWS/CPP, kegiatan usaha budidaya pertambakan udang di Bumi Dipasena telah berjalan normal. Untuk mendukung kegiatan budidaya, telah dibentuk badan usaha koperasi bernama Koperasi Petambak Bumi Dipasena (KPBD) yang berfungsi sebagai wadah ekonomi petambak melakukan budidaya udang secara lebih adil dan baik.

Petambak juga melakukan rehabilitasi sarana dan prasarana pertambakan secara swadaya di bawah ‘Program Revitalisasi Mandiri’.

Editor: Arif Giyanto

Sumber:http://jurnalmaritim.com/2014/8/1149/restrukturisasi-hutang-belum-jelas-petambak-eks-dipasena-tagih-komitmen-bri-dan-bni

Revisi UU Perikanan Penting untuk Pengakuan Peran dan Perlindungan Perempuan Nelayan

Revisi UU Perikanan Penting untuk Pengakuan Peran dan Perlindungan Perempuan Nelayan

JAKARTA, GRESNEWS.COM – Peran perempuan nelayan di dunia sudah diakui sangat penting. Di seluruh dunia, sedikitnya 56 juta orang secara langsung terlibat di dalam aktivitas perikanan, dimana di dalamnya termasuk perempuan nelayan yang memainkan peranan penting dalam pengolahan dan pemasaran hasil tangkapan ikan. Jika dihitung, sebanyak 660 sampai dengan 880 juta orang atau 12 persen dari jumlah populasi dunia bergelut dan atau bergantung di sektor ini.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Abdul Halim mengatakan, FAO yang menjadi himpunan 189 negara sudah mengakui pentingnya keberadaan dan peran perempuan nelayan dalam aktivitas perikanan skala kecil/tradisional. “Hal ini dibuktikan dengan prioritas rekomendasi dilakukannya penelitian secara mendalam mengenai jumlah, sebaran dan peran perempuan nelayan di dunia pasca perundingan Komisi Perikanan FAO tentang perdagangan ikan di Norwegia Februari 2014 lalu,” ujarnya kepada Gresnews.com, Minggu (18/5).

Sayangnya dalam praktiknya, pengakuan itu belumlah diimplementasikan dalam bentuk jaminan kepastian hukum kepada perempuan nelayan. Di Indonesia misalnya perlindungan terhadap perempuan nelayan belum ditegaskan dalam UU Perikanan. Karena itu, kata Halim, hal pertama yang harus dilakukan pemerintah untuk mengimplementasikan perlindungan tesebut adalah dengan merevisi UU Perikanan.

Kedua, mendorong hadirnya negara dalam pengelolaan sumber daya ikan yang menghubungkan sisi hulu-hilir di kampung-kampung (perempuan) nelayan agar bisa bersaing di dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. “Ketiga, memprioritaskan kebijakan anggaran nasional dan daerah untuk menyejahterakan dan melindungi perempuan nelayan,” kata Halim.

Ketua Presidium PPNI Jumiati mengatakan, krusialnya peran perempuan nelayan juga terlihat dari sisi konsumsi ikan. Ikan, kata dia, menjadi menu yang banyak dipilih oleh populasi dunia hingga 17 persen dan bahkan di beberapa negara mencapai lebih dari 50 persen. Tingginya tingkat konsumsi ikan ini dikontribusikan oleh perempuan nelayan.

Di negara-negara Afrika Barat, misalnya, ikan menjadi menu utama, seperti Senegal sebesar 43 persen, 72 persen di Sierra Leone, dan 55 persen di Gambia dan Ghana. Bagaimana di Asia? Tak jauh berbeda, tingkat konsumsi protein dari ikan juga tinggi. Contohnya, 70 persen di Maladewa, 60 persen di Kamboja, 57 persen di Bangladesh, 55 persen di Sri Lanka, dan Indonesia sebesar 54 persen.

Sebanyak 47 persen perempuan nelayan bekerja di sektor perikanan, utamanya di bagian pengolahan dan pemasaran hasil tangkapan ikan. Dalam konteks ini, sebanyak 48 persen pendapatan keluarga nelayan dikontribusikan oleh perempuan nelayan. Sayangnya, meski berkontribusi besar, nelayan perempuan masih kerap menjadi korban kejahatan karena masih minimnya perlindungan negara.

FAO menemukan fakta di beberapa negara bahwa perempuan nelayan menjadi korban transaksi seks di sektor perikanan. “Dalam konteks ini, Pemerintah Indonesia harus memberikan perlindungan dari ancaman kekerasan, baik psikis, fisik dan seksual,” kata Jumiati.

Hal ini ditegaskan dalam Konferensi Rio+20 dimana dilahirkan kesepakatan yang menegaskan pentingnya komitmen negara-negara yang menandatangani untuk bersungguh-sungguh mendalami jumlah, sebaran dan peran perempuan (nelayan). “Indonesia yang turut serta dalam pertemuan itu, sampai dengan hari ini belum memberikan pengakuan dan perlindungan kepada perempuan nelayan,”ujar Jumiati.

Redaktur : Muhammad Agung Riyadi

Sumber: http://www.gresnews.com/berita/sosial/170185-revisi-uu-perikanan-penting-untuk-pengakuan-peran-dan-perlindungan-perempuan-nelayan/

Nelayan Indonesia Jangan Jadi Penonton Terpinggirkan

Nelayan Indonesia Jangan Jadi Penonton Terpinggirkan

Jakarta (Antara Babel) – Nelayan tradisional di Indonesia masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan sehingga pemberdayaan nelayan dinilai banyak pihak perlu menjadi prioritas pembangunan nasional.

“Pemberdayaan nelayan termasuk petambak memang harus dimulai setelah sekian lama tidak mendapat prioritas dalam pembangunan nasional,” kata Direktur Pusat Studi Oseanografi dan Teknologi Kelautan Universitas Surya Alan F Koropitan, PhD di Jakarta, Kamis (19/6).

Alan mengingatkan bahwa Indonesia ketika merdeka hanya memiliki luas perairan laut sekitar 100.000 kilometer persegi, namun dengan adanya Deklarasi Djuanda dan diakui secara internasional maka total luas perairan laut Indonesia menjadi sekitar 5,8 juta kilometer persegi.

Jadi, ujar dia, luas perairan laut mencapai 70 persen dari total wilayah kedaulatan RI, namun total pekerja di sektor laut dan pesisir hanya berkisar 5,6 juta orang yang terbagi atas 2,3 juta nelayan dan 3,3 juta petambak di Tanah Air.

“Dengan kondisi lahan yang ada sekarang sekitar 120 ribu hektare, maka total lahan budidaya laut jika diekspansi akan mencapai 500 ribu hektare. Ini akan menyamai total lahan budidaya laut Vietnam,” paparnya.

Ia juga mengingatkan dengan adanya pertambahan penduduk dunia maka kebutuhan makanan laut khususnya ikan segar akan mengalami kenaikan besar hingga 45 persen per tahun, tapi pangsa pasar Indonesia masih 3,57 persen.

Sebelumnya, Dirjen Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Gellwynn Jusuf mengatakan, persoalan masih digunakannya cara-cara tradisional berpotensi menghambat kemajuan nelayan kecil.

“Indonesia masih menghadapi persoalan dengan sisi tradisional dan budaya yang kadangkala menghambat nelayan untuk maju,” kata Gellwynn Jusuf di Jakarta, Selasa (10/6).

Menurut Gellwynn, contoh dari persoalan tradisional tersebut antara lain adat istiadat yang kurang terbuka serta masih belum fasihnya dalam hal menerapkan manajemen keuangan.

Padahal, ujar dia, nelayan memiliki risiko kerja yang tinggi di laut, ketergantungan dengan faktor alam dan bahan bakar minyak (BBM) sebagai komponen utama usaha yang juga berkontribusi menghambat.

“Serta masih sering terjadinya konflik antarkelompok nelayan yang mengakibatkan rentannya profesi nelayan oleh tekanan eksternal,” kata Dirjen Perikanan Tangkap KKP.

Ia juga mengingatkan masalah lainnya adalah masih lemahnya akses nelayan terhadap sumber-sumber pembiayaan, penerapan teknologi dan penetrasi pasar

Instrumen Internasional
Untuk membantu nelayan, Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) M Riza Damanik mengatakan, pengadopsian Instrumen Internasional Perlindungan Nelayan Kecil dapat membantu kebijakan dalam sektor kelautan dan perikanan di Indonesia.

KNTI memandang VGSSF (Instrumen Internasional Perlindungan Nelayan Kecil) akan mempercepat koreksi kebijakan dan prioritas pemerintah RI sekaligus membantu pemerintah dalam menyusun kebijakan yang tepat untuk melindungi nelayan.

Sebagaimana diketahui, Sidang ke-31 Komite Perikanan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) di Roma, Italia, 9-13 Juni 2014, berhasil mengadopsi Instrumen Internasional Perlindungan Nelayan Skala Kecil atau “Voluntary Guidelines on Small-scale Fisheries” (VGSSF).

Menurut Riza, dengan instrumen tersebut maka ke depannya tidak akan ada lagi hambatan baik birokrasi maupun politik dari pemerintah dan DPR pascapemilu 2014 untuk melindungi nelayan tradisional.

Ia juga mengingatkan bahwa secara domestik, Mahkamah Konstitusi RI telah menjabarkan hak-hak konstitusional nelayan tradisional Indonesia.

“Di tingkat global, Indonesia sebagai anggota FAO juga sudah bersepakat dengan VGSSF,” kata Riza yang juga menjadi bagian delegasi RI di Roma.

Riza menyatakan VGSSF merupakan instrumen pertama di dunia yang secara khusus memberi kepastian atas kewajiban setiap negara melindungi nelayan kecil.

Sebelumnya, Riza juga telah mengingatkan nelayan kecil merupakan unsur yang penting guna memenuhi pasokan pangan mengingat semakin besarnya kebutuhan produksi perikanan baik nasional maupun global.

“Ada tiga alasan mendasar Indonesia perlu segera membenahi komitmennya melindungi nelayan kecil. Pertama, pasokan pangan dari perikanan semakin signifikan mengejar gap pemenuhan pangan domestik yang kian tumbuh sejalan pertumbuhan penduduk,” katanya.

Menurut dia, alasan kedua adalah perikanan telah masuk menjadi sektor yang akan diliberalisasi dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.

Sedangkan alasan ketiga, lanjutnya, adalah fakta bahwa seperempat dari total masyarakat miskin di Indonesia bertempat tinggal di perkampungan nelayan.

Ia memaparkan di Indonesia diperkirakan sekitar 13,8 juta orang menggantungkan langsung kehidupannya terhadap sektor perikanan, di mana 90 persen di antaranya adalah pelaku usaha skala kecil.

Wujudkan UU Perlindungan
Sementara itu, lembaga swadaya masyarakat yaitu Serikat Nelayan Indonesia (SNI) dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mendesak agar UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan segera diwujudkan dan dilaksanakan.

“Untuk memaksimalkan upaya perbaikan, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan menjadi sangat penting untuk diwujudkan,” kata Sekjen SNI Budi Laksana.

Menurut dia, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan penting karena didapati berbagai temuan klasik dari hulu ke hilir yang dialami oleh pelaku perikanan skala kecil atau tradisional.

Ia memaparkan sejumlah permasalahan itu antara lain nelayan kian sulit mendapatkan bahan bakar minyak (BBM) untuk melaut, sulit mendapatkan es batu untuk penyimpanan ikan, serta tidak ada alternatif pekerjaan saat cuaca ekstrem.

Selain itu, lanjut dia, nelayan kerap mengalami keterbatasan modal dan sulit mengakses permodalan, serta tidak ada informasi mengenai wilayah dan potensi sebaran ikan yang diterima nelayan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kota/Kabupaten/Provinsi.

Sedangkan dalam tahap melaut, cuaca ekstrem menjadi kendala terberat nelayan serta beroperasinya kapal besar di wilayah pesisir (1-12 mil) yang mengurangi tangkapan nelayan kecil.

“Pembiaran terhadap pemakaian alat tangkap trawl mengakibatkan rusaknya ekosistem pesisir dan hilangnya jaring nelayan,” ucapnya.

Berdasarkan data SNI dan Kiara, setidaknya terdapat sebanyak 14,7 juta jiwa pelaku perikanan, mulai dari sektor perikanan tangkap, budidaya, pengolahan dan pemasaran di Indonesia bekerja tanpa kebijakan politik perlindungan dan pemberdayaan setingkat undang-undang dan pengalokasian anggaran yang sesuai kebutuhan.

Sekjen Kiara Abdul Halim mengingatkan, hal tersebut akan melemahkan daya saing bangsa dalam kompetisi regional dan global, di antaranya Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.

“Sudah bukan zamannya negara kelautan terbesar di dunia tidak memastikan perlindungan dan pemberdayaan nelayan melalui kebijakan politik dan penganggarannya,” kata Abdul Halim.

Untuk itu, Sekjen Kiara mengingatkan bahwa presiden yang terpilih pada Pemilu Presiden 2014 mendatang harus segera memberlakukan UU itu.

“Tanpa politik pengakuan negara, pelaku perikanan nasional hanya akan menjadi penonton di Tanah Airnya,” ujarnya.

 

Sumber: http://www.antarababel.com/print/10895/nelayan-indonesia-jangan-jadi-penonton-terpinggirkan

Sulyati: Sarjana Pendidikan di Kampung Nelayan

“Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang,” demikian pesan Bung Karno yang mengilhami Sulyati, perempuan bertubuh mungil dari Desa Gempolsewu, Kecamatan Rowosari, Kabupaten Kendal. Ia bermimpi, suatu hari nanti akan ada anak nelayan yang bisa lulus kuliah dan menjadi sarjana. Pasalnya, pendidikan tinggi di kampung-kampung nelayan masih dianggap ‘barang’ mahal. Cap buruk tentang kebodohan pun masih melekat di kampung-kampung nelayan.

sulyati OKIa biasa dipanggil Mbak Sul, istri nelayan dan ibu dari tiga anak yang hingga hari ini melawan kebodohan dan kemiskinan di kampungnya.

Sarjana Pendidikan

Di kebanyakan kampung nelayan, pendidikan bukan hal yang diprioritaskan. Angka putus sekolah yang terjadi di kampung nelayan pun kian meningkat setiap tahunnya. Mbak Sul memperkirakan di kampungnya saja tiap tahun sekitar 20 anak nelayan putus sekolah. Biaya hidup yang kian tinggi dan biaya pendidikan yang kian mahal menjadikan pendidikan seperti barang eksklusif.

Banyak yang putus sekolah, biaya sekolah mahalnya minta ampun. Nelayan Gempolsewu banyak yang hidup miskin, musim rendeng semakin membuat nelayan hidup sulit. Apalagi sekarang anak-anak suka main hape, sekolah bukan hal penting. Jadi banyak juga dari mereka pengen cepat kerja, jadi buruh-buruh supaya bisa beli hape itu,” cerita Mbak Sul sambil tersenyum.

Melihat angka putus sekolah yang kian tinggi menggerakkan Mbak Sul mendobrak stigma buruk tentang kebodohan. Ia dan suaminya bekerja keras bersama agar bisa meraih gelar sarjana. Mulanya Mbak Sul mulai mengajar di tahun 2001 sebagai guru TK yang bergaji Rp.20.000 per bulan. Gaji yang diterima Mbak Sul tentu tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Namun dedikasinyalah yang terus membuat Mbak Sul terus mengajar. Hingga akhirnya ia harus berhenti menjadi guru TK untuk mengurus anaknya yang sakit. Mbak Sul kembali mengajar mengajar anak-anak TK baru dilanjutkan pada tahun 2005, setelah anaknya pulih dari sakit flek yang dideritanya.

“Waktu mulai mengajar lagi tahun 2005 gajinya sudah naik jadi Rp. 50.00 per bulan,” katanya penuh semangat.

Hingga di tahun 2012 impian Mbak Sul untuk melanjutkan ke jenjang kuliah tidak tertahankan. Ia ingin membuktikan bahwa istri nelayan pun bisa bermimpi menjadi sarjana dan perlahan meraihnya.

“Ndak mudah mendapatkan gelar, pinjam uang sana sini untuk bayar SPP. Apalagi waktu mulai kuliah saya baru melahirkan anak ketiga, kalau saya kuliah anak saya titipkan ke saudara-saudari. Nah kalau pulang itu baru saya ambil. Kadang sudah pada tidur saya gendong bawa pulang,” kenang Mbak Sul.

Masa-masa kuliah konon menjadi masa paling sulit bagi Mbak Sul. Suaminya harus menjadi TKI untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kehidupan nelayan belum mampu menutupi kebutuhan sehari-hari Mbak Sul dan keluarga kala itu. Praktis ia yang mengurus anak-anaknya sembari kuliah. Namun, perjuangannya membawa hasil, Mbak Sul menjadi sarjana dan mendapat gelar S.Pd (Sarjana Pendidikan).

Sanitasi Gempolsewu

Apa yang kita bayangkan ketika mengukur seseorang itu kaya atau tidak? Uang, jabatan, titel, atau berbatas materi? Bagi Mbak Sul, di tengah kampungnya Gempolsewu, kekayaan seseorang dinilai dari apakah rumahnya memiliki WC atau tidak.

“Orang kaya di kampung kami itu artinya punya WC sendiri di rumah, ndak perlu repot lari-lari ke jamban dan antri,” ujar Mbak Sul sembari tertawa.

Terlebih lagi di kampungnya tidak ada tempat pembuangan sampah, semua dibuang ke sungai yang berakhir ke laut. Tanpa dipungkiri, kondisi kampung Gempolsewu kian kumuh dan masyarakatnya rentan penyakit. Jika banjir rob datang, semua sampah dan isi dari sungai masuk ke rumah-rumah nelayan.

Anak-anak kecil banyak yang terserang penyakit. Pada tahun 2012 seorang anak kecil yang merupakan murid didik Mbak Sul meninggal dunia karena terkena DBD (Demam Berdarah). Mbak Sul dan kawan-kawan menjadi motor penggerak melakukan aksi  untuk meminta fogging (Penyemprotan jentik-jentik nyamuk) di kampungnya.

“Saya kehilangan dan sedih, rasanya sulit sekali meminta pemerintah peduli kepada kesehatan nelayan,” harap Mbak Sul.

Hingga hari ini, warga sekitar Gempolsewu selalu datang ke rumah Mbak Sul jika keluarganya sedang sakit dan membutuhkan informasi fasilitas kesehatan dari pemerintah. Namun, kebutuhan dasar untuk mendapatkan fasilitas kesehatan, lingkungan dan sanitasi bersih masih menjadi hal mahal untuk didapat oleh nelayan Gempolsewu.

“Kebanyakan nelayan ndak ngerti harus kemana dan gimana kalau mereka sakit, mereka punya kartu nelayan tapi ndak ada fungsi,” kesal Mbak Sul.

Sekar Wilujeng

Nelayan Gempolsewu pun harus terus berhadapan dengan perubahan iklim yang semakin tidak menentu. Musim rendeng atau musim paceklik kerap membuat nelayan terjebak pada lintah darat. Melihat banyaknya nelayan yang terjebak hutang, Mbak Sul mulai melakukan perubahan melalui Sekar Wilujeng, kelompok perempuan nelayan yang beranggotakan 50 orang perempuan nelayan.

Mbak Sul bersama kelompoknya mulai mengembangkan tabungan rendeng. Tabungan yang dapat digunakan oleh nelayan jika musim paceklik tiba. Melalui tabungan inilah anggotanya mulai perlahan-lahan terlepas dari lintah darat. Terpenting budaya menabung sudah tumbuh dan membuat kelompok Sekar Wilujeng kian bersemangat untuk lepas dari lilitan hutang.

Tidak sampai di situ, Mbak Sul pun mulai menggerakan perempuan nelayan untuk membuat hasil olahan laut, seperti kerupuk, ikan asin, dan terasi. Hasil produknya dijual di sekitar kampung dan pasar terdekat. Mbak Sul menilai panganan sehat hanya berasal dari olahan sendiri, bukan dari tradisi membeli makanan cepat saji ataupun instan.

“Sulit menemukan pasar yang mau menerima produk kami, karena memang kemasannya masih tradisional dan sederhana. Tapi kelompok Sekar Wilujeng selalu semangat dan ndak pernah menyerah,” imbuh Mbak Sul.

Pada tahun 2012, Mbak Sul bergabung dalam PPNI atau Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia. Mimpinya telah tergabung bersama kelompok perempuan nelayan dari seluruh Indonesia adalah perempuan nelayan haruslah sejahtera.

“Perempuan nelayan itu tahu, mampu dan mau—ia harus mendapatkan keadilan dalam hak dan akses terhadap sumber daya alam yang bersih, sehat dan berkelanjutan untuk hidup mereka yang lebih sejahtera. Ini seperti mimpi, tapi mimpi yang harus jadi kenyataan,” tutup Sulyati, sarjana pendidikan.*** (SH)