Nelayan Indonesia Jangan Jadi Penonton Terpinggirkan

Nelayan Indonesia Jangan Jadi Penonton Terpinggirkan

Jakarta (Antara Babel) – Nelayan tradisional di Indonesia masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan sehingga pemberdayaan nelayan dinilai banyak pihak perlu menjadi prioritas pembangunan nasional.

“Pemberdayaan nelayan termasuk petambak memang harus dimulai setelah sekian lama tidak mendapat prioritas dalam pembangunan nasional,” kata Direktur Pusat Studi Oseanografi dan Teknologi Kelautan Universitas Surya Alan F Koropitan, PhD di Jakarta, Kamis (19/6).

Alan mengingatkan bahwa Indonesia ketika merdeka hanya memiliki luas perairan laut sekitar 100.000 kilometer persegi, namun dengan adanya Deklarasi Djuanda dan diakui secara internasional maka total luas perairan laut Indonesia menjadi sekitar 5,8 juta kilometer persegi.

Jadi, ujar dia, luas perairan laut mencapai 70 persen dari total wilayah kedaulatan RI, namun total pekerja di sektor laut dan pesisir hanya berkisar 5,6 juta orang yang terbagi atas 2,3 juta nelayan dan 3,3 juta petambak di Tanah Air.

“Dengan kondisi lahan yang ada sekarang sekitar 120 ribu hektare, maka total lahan budidaya laut jika diekspansi akan mencapai 500 ribu hektare. Ini akan menyamai total lahan budidaya laut Vietnam,” paparnya.

Ia juga mengingatkan dengan adanya pertambahan penduduk dunia maka kebutuhan makanan laut khususnya ikan segar akan mengalami kenaikan besar hingga 45 persen per tahun, tapi pangsa pasar Indonesia masih 3,57 persen.

Sebelumnya, Dirjen Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Gellwynn Jusuf mengatakan, persoalan masih digunakannya cara-cara tradisional berpotensi menghambat kemajuan nelayan kecil.

“Indonesia masih menghadapi persoalan dengan sisi tradisional dan budaya yang kadangkala menghambat nelayan untuk maju,” kata Gellwynn Jusuf di Jakarta, Selasa (10/6).

Menurut Gellwynn, contoh dari persoalan tradisional tersebut antara lain adat istiadat yang kurang terbuka serta masih belum fasihnya dalam hal menerapkan manajemen keuangan.

Padahal, ujar dia, nelayan memiliki risiko kerja yang tinggi di laut, ketergantungan dengan faktor alam dan bahan bakar minyak (BBM) sebagai komponen utama usaha yang juga berkontribusi menghambat.

“Serta masih sering terjadinya konflik antarkelompok nelayan yang mengakibatkan rentannya profesi nelayan oleh tekanan eksternal,” kata Dirjen Perikanan Tangkap KKP.

Ia juga mengingatkan masalah lainnya adalah masih lemahnya akses nelayan terhadap sumber-sumber pembiayaan, penerapan teknologi dan penetrasi pasar

Instrumen Internasional
Untuk membantu nelayan, Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) M Riza Damanik mengatakan, pengadopsian Instrumen Internasional Perlindungan Nelayan Kecil dapat membantu kebijakan dalam sektor kelautan dan perikanan di Indonesia.

KNTI memandang VGSSF (Instrumen Internasional Perlindungan Nelayan Kecil) akan mempercepat koreksi kebijakan dan prioritas pemerintah RI sekaligus membantu pemerintah dalam menyusun kebijakan yang tepat untuk melindungi nelayan.

Sebagaimana diketahui, Sidang ke-31 Komite Perikanan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) di Roma, Italia, 9-13 Juni 2014, berhasil mengadopsi Instrumen Internasional Perlindungan Nelayan Skala Kecil atau “Voluntary Guidelines on Small-scale Fisheries” (VGSSF).

Menurut Riza, dengan instrumen tersebut maka ke depannya tidak akan ada lagi hambatan baik birokrasi maupun politik dari pemerintah dan DPR pascapemilu 2014 untuk melindungi nelayan tradisional.

Ia juga mengingatkan bahwa secara domestik, Mahkamah Konstitusi RI telah menjabarkan hak-hak konstitusional nelayan tradisional Indonesia.

“Di tingkat global, Indonesia sebagai anggota FAO juga sudah bersepakat dengan VGSSF,” kata Riza yang juga menjadi bagian delegasi RI di Roma.

Riza menyatakan VGSSF merupakan instrumen pertama di dunia yang secara khusus memberi kepastian atas kewajiban setiap negara melindungi nelayan kecil.

Sebelumnya, Riza juga telah mengingatkan nelayan kecil merupakan unsur yang penting guna memenuhi pasokan pangan mengingat semakin besarnya kebutuhan produksi perikanan baik nasional maupun global.

“Ada tiga alasan mendasar Indonesia perlu segera membenahi komitmennya melindungi nelayan kecil. Pertama, pasokan pangan dari perikanan semakin signifikan mengejar gap pemenuhan pangan domestik yang kian tumbuh sejalan pertumbuhan penduduk,” katanya.

Menurut dia, alasan kedua adalah perikanan telah masuk menjadi sektor yang akan diliberalisasi dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.

Sedangkan alasan ketiga, lanjutnya, adalah fakta bahwa seperempat dari total masyarakat miskin di Indonesia bertempat tinggal di perkampungan nelayan.

Ia memaparkan di Indonesia diperkirakan sekitar 13,8 juta orang menggantungkan langsung kehidupannya terhadap sektor perikanan, di mana 90 persen di antaranya adalah pelaku usaha skala kecil.

Wujudkan UU Perlindungan
Sementara itu, lembaga swadaya masyarakat yaitu Serikat Nelayan Indonesia (SNI) dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mendesak agar UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan segera diwujudkan dan dilaksanakan.

“Untuk memaksimalkan upaya perbaikan, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan menjadi sangat penting untuk diwujudkan,” kata Sekjen SNI Budi Laksana.

Menurut dia, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan penting karena didapati berbagai temuan klasik dari hulu ke hilir yang dialami oleh pelaku perikanan skala kecil atau tradisional.

Ia memaparkan sejumlah permasalahan itu antara lain nelayan kian sulit mendapatkan bahan bakar minyak (BBM) untuk melaut, sulit mendapatkan es batu untuk penyimpanan ikan, serta tidak ada alternatif pekerjaan saat cuaca ekstrem.

Selain itu, lanjut dia, nelayan kerap mengalami keterbatasan modal dan sulit mengakses permodalan, serta tidak ada informasi mengenai wilayah dan potensi sebaran ikan yang diterima nelayan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kota/Kabupaten/Provinsi.

Sedangkan dalam tahap melaut, cuaca ekstrem menjadi kendala terberat nelayan serta beroperasinya kapal besar di wilayah pesisir (1-12 mil) yang mengurangi tangkapan nelayan kecil.

“Pembiaran terhadap pemakaian alat tangkap trawl mengakibatkan rusaknya ekosistem pesisir dan hilangnya jaring nelayan,” ucapnya.

Berdasarkan data SNI dan Kiara, setidaknya terdapat sebanyak 14,7 juta jiwa pelaku perikanan, mulai dari sektor perikanan tangkap, budidaya, pengolahan dan pemasaran di Indonesia bekerja tanpa kebijakan politik perlindungan dan pemberdayaan setingkat undang-undang dan pengalokasian anggaran yang sesuai kebutuhan.

Sekjen Kiara Abdul Halim mengingatkan, hal tersebut akan melemahkan daya saing bangsa dalam kompetisi regional dan global, di antaranya Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.

“Sudah bukan zamannya negara kelautan terbesar di dunia tidak memastikan perlindungan dan pemberdayaan nelayan melalui kebijakan politik dan penganggarannya,” kata Abdul Halim.

Untuk itu, Sekjen Kiara mengingatkan bahwa presiden yang terpilih pada Pemilu Presiden 2014 mendatang harus segera memberlakukan UU itu.

“Tanpa politik pengakuan negara, pelaku perikanan nasional hanya akan menjadi penonton di Tanah Airnya,” ujarnya.

 

Sumber: http://www.antarababel.com/print/10895/nelayan-indonesia-jangan-jadi-penonton-terpinggirkan