Daya Saing Perikanan Menurun

KELAUTAN Daya Saing Perikanan Menurun

JAKARTA, KOMPAS- Daya saing perikanan Indonesia menunjukkan pelemahan. Selain perikanan tangkap yang cenderung stagnan, Indonesia dinilai belum mampu mengoptimalkan pengolahan ikan yang bernilai tambah.

Hal itu terungkap dalam Diskusi Visi Misi Kelautan dan Perikanan Calon Presiden 2014: Tantangan dan Peluang Nelayan Tradisional, di Jakarta, Kamis  (19/6).

Direktur Eksekutif Indonesia  for  Global Justice Riza Damanik mengemukakan, pengolahan produk perikanan terus menurun. Tahun 2008, kontribusi produk ikan olahan  tercatat  40 persen  dari  total produk  ikan nasional. Namun, pada tahun 2013,  produk  olahan ikan  menurun, yakni hanya 20-30 persen dari  total produksi  ikan. Total produksi  perikanan mencapai 18,8 juta ton meliputi  perikanan  tangkap 5,4 juta ton dan perikanan  budidaya 13 juta ton.

Ketertinggalan nilai  tambah perikanan menjadi  ironis mengingat  Indonesia merupakan  produsen  ikan terbesar dunia setelah Tiongkok. “Liberalisasi perikanan pada Masyarakat  Ekonomi ASEAN  2015 harus disikapi dengan mendorong kualitas  sumber daya manusia  dan  produk  bernilai tambah,“ kata  Riza.

Jumlah  tenaga kerja di sektor  pengolahan  juga  masih  tertinggal. Menurut  Riza, dari total 13,8 juta orang tenaga kerja di sektor perikanan, hanya 10 persen tenaga kerja di sektor pengolahan. Selebihnya,50,4 persen di sektor produksi dan 36 persen di pemasaran.

Daya saing lemah

Menurut  Riza, lemahnya daya saing  sektor  perikanan merupakan  ancaman dalam  menghadapi  MEA 2015. Di  tingkat  ASEAN, Indonesia  hanya di peringkat  ketiga dalam sektor  perikanan.

Sementara  itu konsumsi  ikan masyarakat  terus meningkat  seiring  pertumbuhan penduduk dan minat  makan  ikan. Di tingkat  nasional, tingkat konsumsi  ikan tahun 2013 mencapai 35,15 kilogram (kg) per kapita dan diprediksi  menjadi 40 kg per kapita dalam kurun 5 tahun.

Senada dengan itu, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Abdul Halim,mengemukakan,  sudah saatnya ekspor ikan dioptimalkan  dalam  bentuk  olahan.

Ia mencontohkan, Indonesia sebagai  produsen tuna terbesar  dunia  selama ini  mengedepankan  ekspor ikan dalam bentuk utuh atau  gelondongan. Ikan utuh yang diekspor kemudian  kembali masuk  ke Indonesia dalam bentuk  impor produk  olahan.

Terobosan  calon  pesiden  diharapkan mampu memperkuat nelayan, memberantas  pencuri  ikan,melakukan pembangunan pelabuhan  yang lebih merata, serta melakukan reformasi perbankan agar  mendukung  permodalan bagi nelayan.

Hingga kini Indonesia juga belum mampu memanfaatkan wilayah tangkap Zona Ekonomi Eksklusif  Indonesia (ZEEI) dan laut  lepas  yang kaya ikan. Dari total 2,3 juta nelayan di Tanah Air, sejumlah 99,5 persen kapal ikan menangkap ikan di perairan kepulauan. ZEEI hanya tersentuh oleh 0,5 persen dari jumlah kapal ikan nasional. Akibatnya, ZEEI menjadi sarang pencurian oleh kapal asing.

Presiden mendatang diharapkan melakukan  diplomasi maritim secara bilateral kepada negara-negara asalpencuri ikan, termasuk pengaturan bersama pemberantasan praktik  penangkapan ikan ilegal. Selain itu juga evaluasi izin kapal asing dan memboikot negara-negara tujuan ikan ilegal.(LKT)

Sumber: KOMPAS, Jumat, 20 Juni 2014, Halaman 18

Kiara Desak Diplomasi Maritim Atasi Pencurian Ikan

Kiara Desak Diplomasi Maritim Atasi Pencurian Ikan


Jakarta, (Antara) – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mendesak pemerintah lebih serius dalam melakukan diplomasi maritim dengan sejumlah negara guna mengatasi pencurian ikan di kawasan perairan Indonesia.

“Kami usulkan diplomasi maritim secara bilateral kepada negara-negara asal kapal pencuri ikan,” kata Sekjen Kiara Abdul Halim dalam diskusi tentang visi misi capres di sektor perikanan yang digelar di Jakarta, Kamis.

Menurut Abdul Halim, diplomasi maritim itu juga layak dilakukan dengan mengikutsertakan tentang negosiasi sengketa batas negara.

Ia berpendapat, negara asal kapal pencuri ikan di lautan Indonesia berasal dari beragam negara tetangga Indonesia.

“Negara asal kapal pencuri ikan di laut Indonesia berasal dari Tiongkok, Malaysia, Filipina, Korea, hailand, Vietnam dan Myanmar,” paparnya.

Selain diplomasi maritim secara bilateral, ujar dia, seharusnya Indonesia juga mengajukan diplomasi maritim secara multilateral melalui ASEAN dengan target penyusunan regulasi atas tindak pidana pencurian ikan.

Bila kedua diplomasi itu tidak berhasil, lanjutnya, maka bisa saja Indonesia mengambil cara unilateral.

“Unilateral antara lain dengan mengevaluasi izin kapal asing,” katanya.

Selain itu, menurut dia, bisa juga dengan pemerintah memboikot sejumlah pasar ikan di luar negeri yang menerima hasil tangkapan ikan dari kawasan perairan Indonesia.

Sekjen Kiara memahami bahwa saat ini sedang digodok perundangan terkait dengan “coast guard” atau lembaga pengamanan pantai dan laut.

Namun, ujar Abdul Halim, permasalahan utama dari masalah pengamanan adalah terdapat13 kementerian dan lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk mengawasi laut Indonesia.

“Alokasi anggaran mengatasi praktek pencurian ikan tersebar di 13 kementerian/lembaga tanpa koordinasi,” tegasnya.

Ia juga mengingatkan tentang persoalan ketersediaan kapal patroli yang minim dan leluasanya pihak asing dalam pengelolaan sumber daya kelautan Indonesia.(*/sun)

Sumber: http://m.antarasumbar.com/?dt=0&id=353849

Ingkar Janji, Petambak Dipasena Protes BRI

Foto: Ingkar Janji, Petambak Dipasena Protes BRI

 

Ratusan petambak dari tambak eks Dipasena, Lampung, hari ini, Senin (16/6) mendatangi kantor pusat BRI di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Mereka melakukan aksi unjuk rasa memprotes BRI yang mereka nilai telah ingkar janji dalam membantu melakukan restrukturisasi utang para petambak eks Dipasena di bank pelat merah itu. Dalam orasinya, Thowilun, Ketua Perhimpunan Petambak mengatakan, para petambak telah beri’tikad baik untuk membayar dan menyelesaikan utang kepada bank-bank terkait dengan pola pembayaran yang jelas.

Pada mediasi penyelesaian di Komnas HAM pada 4 Mei 2014 lalu, pihak BRI telah berkomitmen melakukan restrukturisasi utang kredit petambak. “Namun hingga hari ini komitmen yang awalnya disambut positif oleh petambak kini seolah diabaikan,” kata Thowilun. Para petambak beranggapan bahwa BRI berperan penting menyelesaikan sengketa dan persoalan hukum yang dipaksakan oleh CPP grup ini.

BRI merupakan pemberi utang kepada petambak melalui perjanjian kredit yang menempatkan CPP grup sebagai avalis atau penjamin hutang. Sehingga jika BRI melakukan restrukturisasi maka dapat dipastikan bahwa sengketa di areal pertambakan yang kini berlarut-larut akan segera bisa diselesaikan. Sayangnya komitmen itu kini diragukan sehingga petambak kembali resah. Thowilun mengatakan, potensi besar pertambakan Dipasena akan memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia dalam bentuk sumbangan devisa negara, pembukaan lapangan kerja yang baik, dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Persoalan ini merupakan langkah penting bagi petambak untuk bangkit dan siap membangun model ekonomi kerakyatan yang sesuai dengan amanat konstitusi. (Foto: Dok. KIARA/Gresnews.com)

Sumber: http://www.gresnews.com/berita/potret/1730166-foto-ingkar-janji-petambak-dipasena-protes-bri/

Kiara: Kredit Petambak Udang Dipasena Mesti Dibantu

Kiara: Kredit Petambak Udang Dipasena Mesti Dibantu


REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mendesak agar penyelesaian kredit tambak udang di Dipasena, Lampung, mesti dibantu penyelesaiannya karena berdampak positif bagi perekonomian bangsa.

“Potensi besar pertambakan Dipasena akan memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia dalam bentuk sumbangan devisa negara, pembukaan lapangan kerja, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat,” kata Sekjen Kiara Abdul Halim dalam keterangan tertulisnya kepada ROL, Selasa (17/6).

Menurut Abdul Halim, persoalan penyelesaian kredit petambak dinilai merupakan langkah penting bagi petambak untuk bangkit dan siap membangun model ekonomi kerakyatan yang sesuai dengan amanat konstitusi. Ia menyesalkan bahwa sengketa pertambakan udang eks-Dipasena di Provinsi Lampung bakal kembali berlanjut dengan adanya Putusan Pengadilan Tinggi Tanjungkarang pada tanggal 20 Desember 2013.

“Pengadilan banding membebankan hutang kepada 385 petambak sebesar lebih dari Rp 26,8 miliar yang terdiri dari hutang kredit yang tidak pernah diketahui bahkan dinikmati oleh petambak,” katanya.

Selain itu, ujar dia, putusan tersebut mengancam ribuan petambak lainnya yang saat ini sedang bergeliat mandiri pasca hengkangnya PT Aruna Wijaya Sakti/Charoen Phokpand (AWS/CP). Lebih jauh Abdul memaparkan, sejak PT AWS/CP hengkang dari Dipasena secara de facto, petambak mulai menata pertambakan dengan melakukan budidaya secara mandiri dan berkomitmen menjalankan model ekonomi kerakyatan di bekas pertambakan udang terbesar di dunia itu.

Untuk itu, petambak Dipasena mendesak kepada Bank Rakyat Indonesia (BRI) sebagai salah satu bank yang memberikan fasilitas kredit kepada PT AWS/CP yang tidak menunjukkan iktikad baik untuk menyelesaikan sengketa. “BRI berperan penting untuk menyelesaikan sengketa pertambakan dan upaya hukum yang dipaksakan oleh PT AWS/CP saat ini,” katanya.

Ia menegaskan, bila BRI melakukan restrukturisasi utang dan mendorong adanya penyelesaian yang damai kepada petambak, maka dapat dipastikan sengketa pertambakan yang berlarut-larut akan segera bisa diselesaikan.

Red: Nidia Zuraya

Sumber: http://m.republika.co.id/berita/ekonomi/mikro/14/06/17/n7asqd-kiara-kredit-petambak-udang-dipasena-mesti-dibantu

Mendesak BNI Menuntaskan Komitmen dan Janjinya Restrukturisasi Utang Petambak Dan Tidak Berpihak Kepada Charoen Phokpand!

Siaran Pers Bersama

P3UW – KIARA – KAU – IHCS – YLBHI – WALHI – LS-ADI – SPI – KNTI – IGJ

 

Aksi Petambak Dipasena Hari II:

Mendesak BNI Menuntaskan Komitmen dan Janjinya Restrukturisasi Utang Petambak Dan Tidak Berpihak Kepada Charoen Phokpand!

Selasa, 17 Juni 2014. Sengketa pertambakan udang eks-Dipasena di Lampung kembali berlanjut dengan adanya Putusan Pengadilan Tinggi Tanjungkarang pada 20 Desember 2013. Pengadilan banding membebankan hutang kepada 385 Petambak sebesar lebih dari Rp. 26,8 miliar yang terdiri dari hutang kredit yang tidak pernah diketahui bahkan dinikmati oleh petambak. Putusan tersebut mengancam ribuan petambak lainnya yang saat ini sedang bergeliat mandiri pasca hengkangnya PT. Aruna Wijaya Sakti/Charoen Phokpand. Sejak PT AWS/CP hengkang dari Dipasena secara de facto, petambak mulai menata pertambakan dengan melakukan budidaya secara mandiri dan berkomitmen menjalankan model ekonomi kerakyatan di bekas pertambakan udang terbesar di dunia ini.

Dalam aksi hari kedua ini, Petambak Dipasena mendesak kepada Bank Negara Indonesia sebagai salah satu bank yang memberikan fasilitas kredit kepada PT AWS/CP. Sebanyak 1.461 petambak Bumi Dipasena telah dikelabui untuk melakukan akad kredit dengan pihak BNI untuk penyaluran Kredit Investasi dan Kredit Modal Kerja didasarkan atas perjanjian inti-plasma yang memperbudak petambak. BNI sama sekali tidak menunjukkan iktikad baik untuk menyelesaikan sengketa dengan menunjukkan ketertutupan untuk melakukan tindak lanjut pasca mediasi oleh Komnas HAM. BNI telah ingkar dari komitmennya untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi dengan melakukan restrukturisasi hutang kredit petambak.

Petambak merasa dibohongi oleh komitmen BNI yang awalnya disambut positif oleh petambak beriktikad baik menyelesaikan kewajiban kepada pihak bank dengan syarat dilakukan dialog untuk menjelaskan posisi sebenarnya dari hutang-hutang petambak. BNI dan juga BRI telah mengabaikan surat petambak yang dikirim pada tanggal 9 Mei 2014 mengenai kesanggupan untuk menyelesaikan kewajiban dan meminta digelar forum untuk menyelesaikan persoalan kredit petambak.

BNI sebagai badan publik seharusnya dapat menyatakan keberpihakan kepada publik dan mendorong untuk melakukan penyelesaian sengketa pertambakan dan menghentikan upaya hukum yang dipaksakan oleh PT AWS/CP saat ini. Salah satu caranya adalah BRI yang telah menyatakan komitmen melakukan restrukrisasi hutang dan mendorong adanya penyelesaian yang damai kepada petambak. Dapat dipastikan sengketa pertambakan yang berlarut-larut akan segera bisa diselesaikan.

Potensi besar Pertambakan Dipasena akan memberikan dampak positif bagi perekonomian indonesia dalam bentuk sumbangan devisa negara, pembukaan lapangan kerja, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. Persoalan ini merupakan langkah penting bagi petambak untuk bangkit dan siap membangun model ekonomi kerakyatan yang sesuai dengan amanat konstitusi.

LAWAN KORPORASI ASING DAN ELIT POLITIK PENINDAS PETAMBAK. PETAMBAK DIPASENA SEJAHTERA, INDONESIA BANGKIT DAN HEBAT!

Untuk informasi selanjutnya dapat menghubungi:

  1. Thowilun (Petambak Dipasena) di +62812 7238 084
  2. Abdul Halim (Sekjen KIARA) di +62 815 53100 259

Gugatan Ditolak, Nelayan Jepara Kecewa

MANYARAN – Ratusan masyarakat yang tergabung dalam Forum Nelayan Jepara Utara (Fornel) kembali mendatangi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang di Jalan Abdulrahman Saleh Semarang, Rabu (11/6). Mereka menuntut pencabutan izin usaha penambangan pasir besi oleh PT Alam Mineral Lestari (AML) di Jepara.
Dengan menumpang lima bus, warga Kecamatan Donorojo Jepara itu tiba di lokasi sekitar pukul 11.00. Mereka sebenarnya ingin mengikuti sidang gugatan yang beragendakan putusan. Namun keinginan mereka kandas lantaran sidang telah digelar sekitar pukul 09.00. Hasilnya, gugatan mereka ditolak oleh majelis hakim yang diketuai Wahyuning Nurjayati, beserta dua anggota, yakni Bambang Soebiyantoro dan Pengki Nurpanji.
Ratusan warga akhirnya menggelar orasi dan doa bersama, di halaman pengadilan tata usaha negara (PTUN) Semarang, Rabu (11/). Bahkan, satu di antara mereka, Sudarni, tampak menitikkan air mata, tak kuasa menahan tangis. ”Kami sangat kecewa dan sedih, ini menyangkut kelangsungan hidup kami. Tambang telah merusak mata pencarian dan lingkungan tempat tinggal kami,” ungkap Sudarni sembari mengusap air matanya.
Lukman Hakim, salah satu anggota kuasa hukum Fornel mengatakan bahwa pihaknya akan tetap melawan terhadap adanya pertambangan pasir besi tersebut. Pasalnya keberadaan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diterbitkan Pemerintah Kabupaten Jepara melalui Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) bersifat ilegal. Sebab, tidak melibatkan warga yang terkena dampaknya.
”Majelis hakim hanya mempertimbangkan prosedur izin pertambangan. Tanpa mempertimbangkan fakta lainnya, bahwa perusahaan tidak pernah memberikan sosialisasi kepada warga. Selain itu, analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dari izin tambang ini cacat hukum,” bebernya.
Usai melakukan aksi di PTUN, mereka kemudian melakukan pengaduan atas kalahnya gugatan tersebut kepada pemerhati pesisir yang tengah menggelar Focus Discussion Group (FGD) di ruang seminar kampus Universitas Stikubank (Unisbank) Semarang. Acara yang juga dihadiri sejumlah nelayan dari Rembang, Pati, Kendal, Semarang, dan sejumlah LSM dan dosen Fakultas Hukum Unisbank membedah UU No 1 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (PWP-PPK).
Ketua BKBH Fakultas Hukum Unisbank, Sukarman mengatakan diskusi diselenggarakan sebagati bentuk respons untuk menelaah secara kritis bagaimana implikasi UU ini terhadap nelayan dan masyarakat pesisir. ”Seperti kita ketahui, UU ini lahir karena putusan Mahkamah Konstitusi terhadap uji materi yang dilakukan oleh 36 NGO dan perwakilan nelayan nusantara. Mereka menggugat UU No 27 Tahun 2007 tentang PWP-PPK karena mengatur Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) yang maknanya adalah komersialisasi pesisir dan menyingkirkan hak nelayan untuk mengakses sumber daya pesisir,” bebernya.
Dalam putusan MK tahun 2011 lalu, imbuh Sukarman, semua pasal yang terkait dengan HP3 bertentangan dengan UUD 45, khsususnya pasal 33. Putusan ini adalah kemenangan bagi perjuangan nelayan di seluruh nusantara. ”Sayangnya, UU no 1 Tahun 2014 tentang perubahan UU Pesisir kembali membuka ruang bagi investasi asing untuk mengeksploitasi sumber daya pesisir,” imbuhnya. (fai/ton/ce1)

http://www.kiara.or.id/gugatan-ditolak-nelayan-jepara-kecewa/

Nasib Dan Kesejahteraan Petani Semakin Terpuruk Harga Pangan Di Desa Dirasakan Lebih Mahal

RMOL. Menjelang berakhirnya pemerintahan SBY-Boediono, nasib dan kesejahteraan petani masih saja terpuruk. Kondisi ini terlihat dari Nilai Tukar Petani (NTP) yang menurun selama enam bulan terakhir. 

Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) bulan Juni ini, telah terjadi penurunan NTP tanaman pangan dari 98,20 menjadi 97,98. Sementara NTP secara umum sedikit meningkat dari 101,80 menjadi 101,88.

Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menyebutkan, penurunan NTP ini disebabkan tingginya indeks yang dibayar petani pangan daripada indeks yang diterimanya.

“Sebenarnya ada kenaikan indeks yang diterima petani, baik karena terjadi kenaikan harga gabah petani maupun kenaikan upah buruh tani. Namun, BPS mencatat kenaikan indeks yang dibayar untuk membeli seluruh elemen konsumsi menyebabkan hasil penjualan gabah petani dan kenaikan harga upah buruh tani tidak bisa mengangkat kesejahteraan mereka,” katanya dalam siaran pers yang diterima Rakyat Merdeka, kemarin.

Henry bilang, di dalam indeks yang harus dibayar petani terdapat komponen biaya produksi pertanian. “Oleh karena itu kelangkaan pupuk yang menyebabkan kenaikan harga pupuk membuat biaya produksi pertanian jadi meningkat,” ujarnya. 

SPI mencatat, pupuk bersubsidi yang harganya berkisar Rp 70.000 per 50 kg ternyata dijual di pasaran seharga Rp 110.000 – Rp 170.000 per kg. Kenaikan nilai yang harus dibayar itu ditunjukkan pula dari adanya inflasi pedesaan sebesar 0,23 persen dengan komponen terbesar rata-rata untuk bahan makanan. 

“Sungguh memprihatinkan, pedesaan sebagai pusat pangan justru menjadi pusat pangan mahal. Tekanan kepada petani pun cenderung akan semakin tinggi menjelang bulan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri,” jelasnya.

Menurut Henry, langkah konkret yang harus dilakukan pemerintah adalah perbaikan dan pengawasan distribusi pupuk subsidi serta benih untuk jangka pendek dan menjadikan subsidi langsung kepada petani dalam jangka panjang.
 
“Demikian juga perbaikan distribusi pangan seperti memperpendek jaringan distribusi dan perbaikan infrastruktur, sehingga harga pangan yang ada di pasar-pasar pedesaan tidak mengalami kenaikan yang drastis,” terang Henry.

Sebelumnya, pemantauan BPS terhadap harga di pedesaan di 33 provinsi pada Mei 2014, menunjukkan NTP secara nasional naik 0,08 persen dibandingkan April 2014, yaitu dari 101,80 menjadi 101,88. 

“Kenaikan NTP Mei 2014 disebabkan kenaikan indeks harga hasil produksi pertanian relatif lebih tinggi jika dibandingkan kenaikan indeks harga barang dan jasa yang dikonsumsi oleh rumah tangga maupun untuk keperluan produksi pertanian,” jelas Kepala BPS Suryamin di Jakarta, kemarin.

Suryamin menjelaskan, NTP adalah yang diperoleh dari perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani. NTP juga merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan/daya beli petani di perdesaan. 

“NTP juga menunjukkan daya tukar dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi. Semakin tinggi NTP, secara relatif semakin kuat pula tingkat kemampuan atau daya beli petani,” katanya. 

Pemerintahan Baru Diminta Bentuk UU Perlindungan & Pemberdayaan Nelayan 
Pelaku Perikanan Sering Jadi Korban Perompak & Tengkulak Di Tengah Laut

Selama 10 tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), para nelayan bekerja tanpa perlindungan yang setara dengan Undang-Undang (UU). Atas dasar itu, aktivis mendesak pemerintahanan baru mendatang membuat UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan.

“Sedikitnya 14,7 juta jiwa pelaku perikanan, mulai dari sektor perikanan tangkap, budidaya, pengolahan dan pemasaran di Indonesia bekerja tanpa kebijakan politik perlindungan dan pemberdayaan setingkat undang-undang. Akibatnya, pengalokasian anggarannya pun minim. Karena rezim SBY nggak sanggup, maka ini harus menjadi Pekerjaan Rumah (PR) pemerintahan selanjutnya,” ujar Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim kepada Rakyat Merdeka, kemarin. 

Halim menyatakan, ketiadaan UU itu telah berimbas pada bertumpuknya persoalan dari hulu (pra-produksi dan produksi) ke hilir (pengolahan dan pemasaran). Hal ini melemahkan daya saing Indonesia dalam kompetisi regional dan global, di antaranya Masyarakat Ekonomi ASEAN yang akan mulai berlaku 2015. 

“Sudah bukan zamannya negara kelautan terbesar di dunia tidak memastikan perlindungan dan pemberdayaan nelayan melalui kebijakan politik dan penganggarannya. Dalam hal ini, Presiden terpilih Juli 2014 nanti harus menyegerakan pekerjaan rumah ini,” tegas Halim.

“Tanpa politik pengakuan negara, pelaku perikanan nasional hanya akan menjadi penonton di Tanah Airnya sendiri saat Masyarakat Ekonomi ASEAN berlangsung,” imbuhnya.

Bekerja sama dengan Serikat Nelayan Indonesia, kata Halim, Kiara mendapat berbagai temuan klasik dari hulu ke hilir yang dialami pelaku perikanan skala kecil/tradisional. 

Dalam tahap pra-produksi misalnya, mereka menemukan kalau nelayan kesulitan mengakses BBM, kesulitan mendapat es untuk penyimpanan ikan, tidak ada alternatif pekerjaan saat cuaca ekstrem, keterbatasan modal dan sulitnya mengakses permodalan. Serta tidak ada informasi mengenai wilayah dan potensi sebaran ikan yang diterima oleh nelayan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kota/Kabupaten/Provinsi.

Kemudian dalam tahap produksi, pengolahan dan pemasaran, menurutnya, nelayan juga mengalami kesulitan serius.

“Misalnya beroperasinya kapal besar di wilayah pesisir (1-12 mil), perompakan di laut, beroperasinya tengkulak/bakul di tengah laut dan memaksa nelayan menjual hasil tangkapannya dengan harga murah. Serta tidak tersedianya alat/fasilitas pengolahan hasil tangkapan agar  bernilai tinggi,” terang Halim.

Sekjen Serikat Nelayan Indonesia Budi Laksana menyatakan, temuan itu tidak terlepas dari tak adanya aturan perlindungan dan pemberdayaan nelayan. Untuk itu, pihaknya mendesak agar dalam waktu enam bulan, temuan di desa-desa pesisir itu ditangani dengan segera oleh pemerintah.

Langkah awal yang harus dilakukan, saran Budi, yaitu  membuka ruang dialog dengan masyarakat nelayan dan perempuan nelayan di 10.666 desa pesisir.

 Sebab, hanya dengan cara itu bisa ditemukan kesamaan pandangan dan rekomendasi yang harus  ditindaklanjuti bersama.

“Dengan demikian, upaya perbaikan dan pembuatan Rancangan Undang Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan menjadi maksimal. Sehingga hasilnya pun bisa memberikan manfaat yang optimas kepada para nelayan,” katanya. 

KPAI Heran Kok Pemerintah Telat Deportasi Guru JIS
Sudah Lama Palsukan Izin Tinggal 
 
Rencana pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) akan mendeportasi 26 guru Taman Kanak-kanak (TK) Jakarta International School (JIS), dipertanyakan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). KPAI menilai langkah itu terlambat.

“KPAI menghargai rencana Kemenkumham yang akan mendeportasi 26 guru JIS. Padahal, banyak yang sudah lama bermasalah,” kata Susanto di Jakarta, kemarin.

Susanto juga mempertanyakan kinerja Direktorat Keimigrasian. Pasalnya, Imigrasi tidak bertindak sebelum kasus sodomi di JIS mencuat ke permukaan. 
“Saya curiga, jangan-jangan aturan pelaporan berkala visa kerja cuma di atas kertas. Soalnya keberadaan William Vahey saja baru dapat info dari media,” sesalnya.

KPAI menyarankan agar pemerintah melakukan monitoring berkala terhadap guru asing. Yang dimonitoring tak hanya terkait izin keimigrasian. Profile review guru dan kualitas pembelajaran juga harus diamati. “Hal yang juga perlu dipastikan adalah guru yang direkrut tidak berpotensi sebagai predator anak. Jangan sampai kasus William di JIS terulang lagi,” ingatnya.

Menurutnya, negara tidak boleh kalah dengan segala bentuk pelanggaran. Termasuk dugaan pelanggaran pemalsuan izin tinggal. KPAI minta semua pihak untuk ikut memantau kasus JIS dari berbagai aspek.

“Baik aspek administrasi, Imigrasi, tenaga pendidik dan pendidikannya, aspek izin sekolah, aspek dugaan pelanggaran anak, dan aspek lainnya,” kata Susanto.

Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin, mengatakan, 26 guru TK JIS terancam dideportasi karena memalsukan izin tinggal. Mereka telah melakukan pelanggaran, karena memalsukan keterangan dalam izin tinggal.
 
Menurut Amir, TK JIS juga dipastikan tak akan dibuka kembali karena tak mendapatkan izin dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.  

Pegawai Honorer Tagih Janji Menteri Azwar
Menunggu Diangkat Jadi PNS

Sebanyak ratusan pegawai honorer Katagori dua (K-2) yang gagal tes CPNS kembali mendatangi Kantor Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) di Jakarta, kemarin.

Mereka yang tergabung dalam Forum Honorer K2 Indonesia (FHK2I) ini, menagih janji Menpan-RB Azwar Abubakar untuk mengangkat seluruh honorer K2 yang asli, meski gagal tes, menjadi CPNS. Menpan didesak segera menerbitkan surat edaran yang bisa dijadikan acuan bagi Pemerintah Daerah (Pemda) untuk pengangkatan honorer K2 murni jadi CPNS.

”Untuk kesekian kalinya kami datang ke sini menagih janji pak menteri. Ini sudah masuk Juni, kapan surat edaran itu ada?” kata Ketua FHK2I Titi Purwaningsih saat berorasi di depan 100-an honorer K2 perwakilan tujuh provinsi ini.

Menurut Titi, FHK2I akan tetap bertahan di Kantor Kemenpan-RB sebelum bertemu Azwar. Pasalnya, Azwar menjanjikan akan mengganti honorer bodong dengan yang asli. Itu sebabnya akan dikeluarkan surat edaran agar daerah melakukan verval kepada honorer K2 asli yang tidak lulus tes.

“Kalau pak menteri tidak mau menemui kita di sini, kita akan menunggu sampai kami diterima. Kami butuh kejelasan akan nasib. Mana janji pak menteri kami akan diangkat CPNS dan mengganti yang bodong,” tandasnya.

Badan Kepegawaian Negara (BKN) sudah menerbitkan Nomor Induk Pegawai (NIP) untuk honorer K2 yang lulus tes. Posisinya sekarang berada di masing-masing instansi untuk dituangkan dalam SK pengangkatannya sebagai CPNS. 

“Dari 6.635 usulan yang masuk, sudah sekitar 75 persen atau 4976 honorer K2 yang sudah diberi NIP. Itu meliputi honorer K2 pusat dan daerah,” ungkap Kepala Biro Humas dan Protokol BKN Tumpak Hutabarat kepada JPNN, kemarin.

Sedangkan sisanya, lanjut Tumpak, sedang dalam proses pemeriksaan dokumen. Namun, dia memastikan, prosesnya tidak akan lama, paling lambat 21 hari. Itupun jika datanya sangat banyak. “Karena datanya yang masuk tidak terlalu banyak, prosesnya sekitar sepekan lah,” ujarnya. ***

http://www.rmol.co/read/2014/06/04/158062/Nasib-Dan-Kesejahteraan-Petani-Semakin-Terpuruk-

Nasib Dan Kesejahteraan Petani Semakin Terpuruk Harga Pangan Di Desa Dirasakan Lebih Mahal

RMOL. Menjelang berakhirnya pemerintahan SBY-Boediono, nasib dan kesejahteraan petani masih saja terpuruk. Kondisi ini terlihat dari Nilai Tukar Petani (NTP) yang menurun selama enam bulan terakhir. 

Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) bulan Juni ini, telah terjadi penurunan NTP tanaman pangan dari 98,20 menjadi 97,98. Sementara NTP secara umum sedikit meningkat dari 101,80 menjadi 101,88.

Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menyebutkan, penurunan NTP ini disebabkan tingginya indeks yang dibayar petani pangan daripada indeks yang diterimanya.

“Sebenarnya ada kenaikan indeks yang diterima petani, baik karena terjadi kenaikan harga gabah petani maupun kenaikan upah buruh tani. Namun, BPS mencatat kenaikan indeks yang dibayar untuk membeli seluruh elemen konsumsi menyebabkan hasil penjualan gabah petani dan kenaikan harga upah buruh tani tidak bisa mengangkat kesejahteraan mereka,” katanya dalam siaran pers yang diterima Rakyat Merdeka, kemarin.

Henry bilang, di dalam indeks yang harus dibayar petani terdapat komponen biaya produksi pertanian. “Oleh karena itu kelangkaan pupuk yang menyebabkan kenaikan harga pupuk membuat biaya produksi pertanian jadi meningkat,” ujarnya. 

SPI mencatat, pupuk bersubsidi yang harganya berkisar Rp 70.000 per 50 kg ternyata dijual di pasaran seharga Rp 110.000 – Rp 170.000 per kg. Kenaikan nilai yang harus dibayar itu ditunjukkan pula dari adanya inflasi pedesaan sebesar 0,23 persen dengan komponen terbesar rata-rata untuk bahan makanan. 

“Sungguh memprihatinkan, pedesaan sebagai pusat pangan justru menjadi pusat pangan mahal. Tekanan kepada petani pun cenderung akan semakin tinggi menjelang bulan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri,” jelasnya.

Menurut Henry, langkah konkret yang harus dilakukan pemerintah adalah perbaikan dan pengawasan distribusi pupuk subsidi serta benih untuk jangka pendek dan menjadikan subsidi langsung kepada petani dalam jangka panjang.
 
“Demikian juga perbaikan distribusi pangan seperti memperpendek jaringan distribusi dan perbaikan infrastruktur, sehingga harga pangan yang ada di pasar-pasar pedesaan tidak mengalami kenaikan yang drastis,” terang Henry.

Sebelumnya, pemantauan BPS terhadap harga di pedesaan di 33 provinsi pada Mei 2014, menunjukkan NTP secara nasional naik 0,08 persen dibandingkan April 2014, yaitu dari 101,80 menjadi 101,88. 

“Kenaikan NTP Mei 2014 disebabkan kenaikan indeks harga hasil produksi pertanian relatif lebih tinggi jika dibandingkan kenaikan indeks harga barang dan jasa yang dikonsumsi oleh rumah tangga maupun untuk keperluan produksi pertanian,” jelas Kepala BPS Suryamin di Jakarta, kemarin.

Suryamin menjelaskan, NTP adalah yang diperoleh dari perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani. NTP juga merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan/daya beli petani di perdesaan. 

“NTP juga menunjukkan daya tukar dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi. Semakin tinggi NTP, secara relatif semakin kuat pula tingkat kemampuan atau daya beli petani,” katanya. 

Pemerintahan Baru Diminta Bentuk UU Perlindungan & Pemberdayaan Nelayan 
Pelaku Perikanan Sering Jadi Korban Perompak & Tengkulak Di Tengah Laut

Selama 10 tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), para nelayan bekerja tanpa perlindungan yang setara dengan Undang-Undang (UU). Atas dasar itu, aktivis mendesak pemerintahanan baru mendatang membuat UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan.

“Sedikitnya 14,7 juta jiwa pelaku perikanan, mulai dari sektor perikanan tangkap, budidaya, pengolahan dan pemasaran di Indonesia bekerja tanpa kebijakan politik perlindungan dan pemberdayaan setingkat undang-undang. Akibatnya, pengalokasian anggarannya pun minim. Karena rezim SBY nggak sanggup, maka ini harus menjadi Pekerjaan Rumah (PR) pemerintahan selanjutnya,” ujar Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim kepada Rakyat Merdeka, kemarin. 

Halim menyatakan, ketiadaan UU itu telah berimbas pada bertumpuknya persoalan dari hulu (pra-produksi dan produksi) ke hilir (pengolahan dan pemasaran). Hal ini melemahkan daya saing Indonesia dalam kompetisi regional dan global, di antaranya Masyarakat Ekonomi ASEAN yang akan mulai berlaku 2015. 

“Sudah bukan zamannya negara kelautan terbesar di dunia tidak memastikan perlindungan dan pemberdayaan nelayan melalui kebijakan politik dan penganggarannya. Dalam hal ini, Presiden terpilih Juli 2014 nanti harus menyegerakan pekerjaan rumah ini,” tegas Halim.

“Tanpa politik pengakuan negara, pelaku perikanan nasional hanya akan menjadi penonton di Tanah Airnya sendiri saat Masyarakat Ekonomi ASEAN berlangsung,” imbuhnya.

Bekerja sama dengan Serikat Nelayan Indonesia, kata Halim, Kiara mendapat berbagai temuan klasik dari hulu ke hilir yang dialami pelaku perikanan skala kecil/tradisional. 

Dalam tahap pra-produksi misalnya, mereka menemukan kalau nelayan kesulitan mengakses BBM, kesulitan mendapat es untuk penyimpanan ikan, tidak ada alternatif pekerjaan saat cuaca ekstrem, keterbatasan modal dan sulitnya mengakses permodalan. Serta tidak ada informasi mengenai wilayah dan potensi sebaran ikan yang diterima oleh nelayan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kota/Kabupaten/Provinsi.

Kemudian dalam tahap produksi, pengolahan dan pemasaran, menurutnya, nelayan juga mengalami kesulitan serius.

“Misalnya beroperasinya kapal besar di wilayah pesisir (1-12 mil), perompakan di laut, beroperasinya tengkulak/bakul di tengah laut dan memaksa nelayan menjual hasil tangkapannya dengan harga murah. Serta tidak tersedianya alat/fasilitas pengolahan hasil tangkapan agar  bernilai tinggi,” terang Halim.

Sekjen Serikat Nelayan Indonesia Budi Laksana menyatakan, temuan itu tidak terlepas dari tak adanya aturan perlindungan dan pemberdayaan nelayan. Untuk itu, pihaknya mendesak agar dalam waktu enam bulan, temuan di desa-desa pesisir itu ditangani dengan segera oleh pemerintah.

Langkah awal yang harus dilakukan, saran Budi, yaitu  membuka ruang dialog dengan masyarakat nelayan dan perempuan nelayan di 10.666 desa pesisir.

 Sebab, hanya dengan cara itu bisa ditemukan kesamaan pandangan dan rekomendasi yang harus  ditindaklanjuti bersama.

“Dengan demikian, upaya perbaikan dan pembuatan Rancangan Undang Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan menjadi maksimal. Sehingga hasilnya pun bisa memberikan manfaat yang optimas kepada para nelayan,” katanya. 

KPAI Heran Kok Pemerintah Telat Deportasi Guru JIS
Sudah Lama Palsukan Izin Tinggal 
 
Rencana pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) akan mendeportasi 26 guru Taman Kanak-kanak (TK) Jakarta International School (JIS), dipertanyakan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). KPAI menilai langkah itu terlambat.

“KPAI menghargai rencana Kemenkumham yang akan mendeportasi 26 guru JIS. Padahal, banyak yang sudah lama bermasalah,” kata Susanto di Jakarta, kemarin.

Susanto juga mempertanyakan kinerja Direktorat Keimigrasian. Pasalnya, Imigrasi tidak bertindak sebelum kasus sodomi di JIS mencuat ke permukaan. 
“Saya curiga, jangan-jangan aturan pelaporan berkala visa kerja cuma di atas kertas. Soalnya keberadaan William Vahey saja baru dapat info dari media,” sesalnya.

KPAI menyarankan agar pemerintah melakukan monitoring berkala terhadap guru asing. Yang dimonitoring tak hanya terkait izin keimigrasian. Profile review guru dan kualitas pembelajaran juga harus diamati. “Hal yang juga perlu dipastikan adalah guru yang direkrut tidak berpotensi sebagai predator anak. Jangan sampai kasus William di JIS terulang lagi,” ingatnya.

Menurutnya, negara tidak boleh kalah dengan segala bentuk pelanggaran. Termasuk dugaan pelanggaran pemalsuan izin tinggal. KPAI minta semua pihak untuk ikut memantau kasus JIS dari berbagai aspek.

“Baik aspek administrasi, Imigrasi, tenaga pendidik dan pendidikannya, aspek izin sekolah, aspek dugaan pelanggaran anak, dan aspek lainnya,” kata Susanto.

Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin, mengatakan, 26 guru TK JIS terancam dideportasi karena memalsukan izin tinggal. Mereka telah melakukan pelanggaran, karena memalsukan keterangan dalam izin tinggal.
 
Menurut Amir, TK JIS juga dipastikan tak akan dibuka kembali karena tak mendapatkan izin dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.  

Pegawai Honorer Tagih Janji Menteri Azwar
Menunggu Diangkat Jadi PNS

Sebanyak ratusan pegawai honorer Katagori dua (K-2) yang gagal tes CPNS kembali mendatangi Kantor Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) di Jakarta, kemarin.

Mereka yang tergabung dalam Forum Honorer K2 Indonesia (FHK2I) ini, menagih janji Menpan-RB Azwar Abubakar untuk mengangkat seluruh honorer K2 yang asli, meski gagal tes, menjadi CPNS. Menpan didesak segera menerbitkan surat edaran yang bisa dijadikan acuan bagi Pemerintah Daerah (Pemda) untuk pengangkatan honorer K2 murni jadi CPNS.

”Untuk kesekian kalinya kami datang ke sini menagih janji pak menteri. Ini sudah masuk Juni, kapan surat edaran itu ada?” kata Ketua FHK2I Titi Purwaningsih saat berorasi di depan 100-an honorer K2 perwakilan tujuh provinsi ini.

Menurut Titi, FHK2I akan tetap bertahan di Kantor Kemenpan-RB sebelum bertemu Azwar. Pasalnya, Azwar menjanjikan akan mengganti honorer bodong dengan yang asli. Itu sebabnya akan dikeluarkan surat edaran agar daerah melakukan verval kepada honorer K2 asli yang tidak lulus tes.

“Kalau pak menteri tidak mau menemui kita di sini, kita akan menunggu sampai kami diterima. Kami butuh kejelasan akan nasib. Mana janji pak menteri kami akan diangkat CPNS dan mengganti yang bodong,” tandasnya.

Badan Kepegawaian Negara (BKN) sudah menerbitkan Nomor Induk Pegawai (NIP) untuk honorer K2 yang lulus tes. Posisinya sekarang berada di masing-masing instansi untuk dituangkan dalam SK pengangkatannya sebagai CPNS. 

“Dari 6.635 usulan yang masuk, sudah sekitar 75 persen atau 4976 honorer K2 yang sudah diberi NIP. Itu meliputi honorer K2 pusat dan daerah,” ungkap Kepala Biro Humas dan Protokol BKN Tumpak Hutabarat kepada JPNN, kemarin.

Sedangkan sisanya, lanjut Tumpak, sedang dalam proses pemeriksaan dokumen. Namun, dia memastikan, prosesnya tidak akan lama, paling lambat 21 hari. Itupun jika datanya sangat banyak. “Karena datanya yang masuk tidak terlalu banyak, prosesnya sekitar sepekan lah,” ujarnya. ***

http://www.rmol.co/read/2014/06/04/158062/Nasib-Dan-Kesejahteraan-Petani-Semakin-Terpuruk-

Pengelolaan Kawasan Pesisir Dapat Angin Segar

Bisnis.com, JAKARTA — Pengelolaan kawasan pesisir, dan pulau-pulau kecil di Indonesia, negara dengan jumlah pulau mencapai 17.504, mulai mendapat angin segar meski diterpa badai pro-kontra terkait investasi yang mengucur ke area tersebut.

Seolah tidak peduli dengan semua mata yang mengarah, baik dari kalangan ekonom kelautan, komunitas nelayan dan aktivis lingkungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah meneken kontrak yang nilainya mencapai Rp5,5 triliun dengan dua perusahaan domestik untuk mengelola pulau Nipah, Batam, Kepulauan Riau.

Ketika ditemui dalam suatu seminar di Jakarta pada Rabu (4/6/2014), Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil KKP Sudirman Saad mengungkapkan, kontrak tersebut telah diteken pada pertengahan April tahun ini. Adapun, tujuan pengelolaan pulau adalah untuk dijadikan gudang minyak (oil storage).

“Untuk nama perusahaannya saya lupa, yang jelas ada dua perusahaan dan bentuknya konsorsium,” katanya saat itu sembari menunggu acara makan siang.

Dia menambahkan, kontrak tersebut memiliki jangka waktu mencapai 30 tahun. Meski jangka waktu tersebut terbilang lama, dia tidak khawatir akan terjadi perusakan. Alasannya, pihaknya telah menetapkan persyaratan yang cukup ketat terkait pengelolaan pulau tersebut.

“Kami juga berkoordinasi dengan Kementerian Pertahanan terkait keamanan pulau tersebut,” ungkapnya.

Sekedar informasi, berdasarkan catatan Bisnis, sebelumnya tiga perusahaan swasta nasional telah mengajukan permohonan pembangunan gudang penyimpanan bahan bakar minyak untuk memfasilitasi kapal yang akan keluar masuk menuju Singapura melalui Pulau Nipah sejak tahun lalu.

Adapun skema pembangunan gudang diperkirakan mencapai 3 tahun, dengan total efektif hingga seluruh infrastruktur siap digunakan dapat membutuhkan waktu sampai 5 tahun. Cukup lama karena pembangunan dermaga diperkirakan memakan banyak waktu dengan alasan dipersiapkan bagi kapal besar.

Lebih lanjut, Sudirman juga mengungkapkan saat ini pihaknya sedang menjajaki pendataan pengelola pulau yang memiliki kewarganegaraan asing. Tujuannya, untuk membahas legalisasi usaha agar bisa termasuk Penanaman Modal Asing (PMA).

Dia membeberkan, kebanyakan pengelolaan pulau masih bersifat individu dan belum dibentuk perseroan terbatas (PT). Kami ingin pengelolaan pengelolaan pulau oleh warga negara asing dibentuk PT agar legal dan dapat masuk ke kategori PMA.

Alasan lainnya, lanjut Sudirman, agar nantinya pengelolaan pulau tersebut dapat didata dan diawasi secara komprehensif. Selain itu, pihak pengelola pulau juga bakal mendapat kejelasan usaha secara hukum, dan efeknya bakal mendapat perlindungan.

“Agak sulit memang, karena kami belum sempat bertemu dengan semuanya. Baru beberapa pengelola saja,” ujarnya.

Dirinya menargetkan, pada tahun ini sudah ada kesepakatan untuk hal tersebut. Sudirman menjelaskan, pulau yang dikelola WNA memang lebih banyak mendatangkan wisatawan asing.

Di sisi lain, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Abdul Halim mengatakan sejak adanya pembaruan UU Pesisir, arus investasi terhadap kawasan pesisir dan pulau pulau kecil semakin deras.

“Namun, perlu dilihat dahulu, apakah investasi tersebut memiliki manfaat bagi masyarakat sekitar? Kemudian, adalah jajak pendapat sebelum proses investasi di kawasan tersebut?” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (4/6).

Abdul menambahkan, perlu ditilik juga lebih lanjut terkait struktur kepemilikan dari pihak swasta yang berencana berinvestasi tersebut. Meski dibilang domestik, belum tentu tidak ada kepemilikan asing yang rentan dengan liberalisme.

“Apalagi ada rencana perubahan UU Pesisir yang bakal menetapkan investasi domestik dibatasi maksimal 20% saja. Yang ditakutkan nantinya sumber daya alam kita bisa jadi sarana eksploitasi berlebihan,” bebernya.  

Berkaca dari Undang Undang Dasar (UUD)1945, yang menjadi acuan utama perundangan di Indonesia, masalah penggunaan sumber daya alam didasarkan dalam ekonomi kekeluargan dengan tujuan utama kesejahteraan rakyat.

Sekedar mengingatkan, Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 menyatakan, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Dalam sejarahnya, Wilopo, ketua Konstituante pada 1955-1959, pernah menafsirkan pasal 33 UUD 1945. Menurutnya, azas kekeluargaan dalam pasal 33 UUD 1945 berarti penentangan keras terhadap liberalisme.

“Liberalisme merupakan sebuah sistem yang, telah menimbulkan praktik-praktik penghisapan manusia oleh manusia serta kesenjangan ekonomi,” ungkapnya dalam sebuah simposium di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada 1955.

http://m.bisnis.com/quick-news/read/20140605/78/233518/pengelolaan-kawasan-pesisir-dapat-angin-segar

Pengelolaan Kawasan Pesisir Dapat Angin Segar

Bisnis.com, JAKARTA — Pengelolaan kawasan pesisir, dan pulau-pulau kecil di Indonesia, negara dengan jumlah pulau mencapai 17.504, mulai mendapat angin segar meski diterpa badai pro-kontra terkait investasi yang mengucur ke area tersebut.

Seolah tidak peduli dengan semua mata yang mengarah, baik dari kalangan ekonom kelautan, komunitas nelayan dan aktivis lingkungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah meneken kontrak yang nilainya mencapai Rp5,5 triliun dengan dua perusahaan domestik untuk mengelola pulau Nipah, Batam, Kepulauan Riau.

Ketika ditemui dalam suatu seminar di Jakarta pada Rabu (4/6/2014), Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil KKP Sudirman Saad mengungkapkan, kontrak tersebut telah diteken pada pertengahan April tahun ini. Adapun, tujuan pengelolaan pulau adalah untuk dijadikan gudang minyak (oil storage).

“Untuk nama perusahaannya saya lupa, yang jelas ada dua perusahaan dan bentuknya konsorsium,” katanya saat itu sembari menunggu acara makan siang.

Dia menambahkan, kontrak tersebut memiliki jangka waktu mencapai 30 tahun. Meski jangka waktu tersebut terbilang lama, dia tidak khawatir akan terjadi perusakan. Alasannya, pihaknya telah menetapkan persyaratan yang cukup ketat terkait pengelolaan pulau tersebut.

“Kami juga berkoordinasi dengan Kementerian Pertahanan terkait keamanan pulau tersebut,” ungkapnya.

Sekedar informasi, berdasarkan catatan Bisnis, sebelumnya tiga perusahaan swasta nasional telah mengajukan permohonan pembangunan gudang penyimpanan bahan bakar minyak untuk memfasilitasi kapal yang akan keluar masuk menuju Singapura melalui Pulau Nipah sejak tahun lalu.

Adapun skema pembangunan gudang diperkirakan mencapai 3 tahun, dengan total efektif hingga seluruh infrastruktur siap digunakan dapat membutuhkan waktu sampai 5 tahun. Cukup lama karena pembangunan dermaga diperkirakan memakan banyak waktu dengan alasan dipersiapkan bagi kapal besar.

Lebih lanjut, Sudirman juga mengungkapkan saat ini pihaknya sedang menjajaki pendataan pengelola pulau yang memiliki kewarganegaraan asing. Tujuannya, untuk membahas legalisasi usaha agar bisa termasuk Penanaman Modal Asing (PMA).

Dia membeberkan, kebanyakan pengelolaan pulau masih bersifat individu dan belum dibentuk perseroan terbatas (PT). Kami ingin pengelolaan pengelolaan pulau oleh warga negara asing dibentuk PT agar legal dan dapat masuk ke kategori PMA.

Alasan lainnya, lanjut Sudirman, agar nantinya pengelolaan pulau tersebut dapat didata dan diawasi secara komprehensif. Selain itu, pihak pengelola pulau juga bakal mendapat kejelasan usaha secara hukum, dan efeknya bakal mendapat perlindungan.

“Agak sulit memang, karena kami belum sempat bertemu dengan semuanya. Baru beberapa pengelola saja,” ujarnya.

Dirinya menargetkan, pada tahun ini sudah ada kesepakatan untuk hal tersebut. Sudirman menjelaskan, pulau yang dikelola WNA memang lebih banyak mendatangkan wisatawan asing.

Di sisi lain, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Abdul Halim mengatakan sejak adanya pembaruan UU Pesisir, arus investasi terhadap kawasan pesisir dan pulau pulau kecil semakin deras.

“Namun, perlu dilihat dahulu, apakah investasi tersebut memiliki manfaat bagi masyarakat sekitar? Kemudian, adalah jajak pendapat sebelum proses investasi di kawasan tersebut?” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (4/6).

Abdul menambahkan, perlu ditilik juga lebih lanjut terkait struktur kepemilikan dari pihak swasta yang berencana berinvestasi tersebut. Meski dibilang domestik, belum tentu tidak ada kepemilikan asing yang rentan dengan liberalisme.

“Apalagi ada rencana perubahan UU Pesisir yang bakal menetapkan investasi domestik dibatasi maksimal 20% saja. Yang ditakutkan nantinya sumber daya alam kita bisa jadi sarana eksploitasi berlebihan,” bebernya.  

Berkaca dari Undang Undang Dasar (UUD)1945, yang menjadi acuan utama perundangan di Indonesia, masalah penggunaan sumber daya alam didasarkan dalam ekonomi kekeluargan dengan tujuan utama kesejahteraan rakyat.

Sekedar mengingatkan, Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 menyatakan, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Dalam sejarahnya, Wilopo, ketua Konstituante pada 1955-1959, pernah menafsirkan pasal 33 UUD 1945. Menurutnya, azas kekeluargaan dalam pasal 33 UUD 1945 berarti penentangan keras terhadap liberalisme.

“Liberalisme merupakan sebuah sistem yang, telah menimbulkan praktik-praktik penghisapan manusia oleh manusia serta kesenjangan ekonomi,” ungkapnya dalam sebuah simposium di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada 1955.

http://m.bisnis.com/quick-news/read/20140605/78/233518/pengelolaan-kawasan-pesisir-dapat-angin-segar