KIARA: Evaluasi Pengelolaan Subsidi Energi agar Memihak dan Tidak Menyengsarakan Nelayan
Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan
KIARA: Evaluasi Pengelolaan Subsidi Energi agar Memihak dan Tidak Menyengsarakan Nelayan
Jakarta, 13 Agustus 2014. Pembahasan Nota Keuangan dan RAPBN 2015 diisi dengan topik pemangkasan subsidi BBM. Hal ini seiring meningkatnya pembiayaan negara hingga 7 kali lipat untuk subsidi energi sejak 2010 (lihat Tabel 1). Namun kebijakan pembatasan subsidi BBM jelas merugikan masyarakat nelayan.
Tabel 1. Tahun dan Jumlah Anggaran untuk Pengelolaan Subsidi
No | Tahun Anggaran | Jumlah |
1 | 2010 | Rp68.726.700.000.000 |
2 | 2011 | Rp95.914.180.000.000 |
3 | 2012 | Rp123.599.674.000.000 |
4 | 2013 | Rp193.805.213.000.000 |
5 | 2014 | Rp403.035.574.566.000 |
Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (Agustus 2014), disarikan dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia
Seperti diketahui, komposisi subsidi BBM sebanyak 97% dialokasikan untuk transportasi darat dan 3% sisanya untuk laut. Dari nilai yang kecil inilah, 2% diperuntukkan kepada nelayan. Dengan alokasi tersebut, tak mengherankan jika nelayan kesulitan mendapatkan BBM. Padahal, untuk melaut nelayan mengeluarkan 60-70% dari biaya produksi. Apalagi kuotanya dikurangi hingga 20%. Dalam konteks ini, Surat Edaran BPH Migas Nomor 937/07/Ka BPH/2014 tanggal 24 Juli 2014 tentang PengendalianKonsumsi BBM Bersubsidi tidak memihak dan cenderung menyengsarakan nelayan.
Pusat Data dan Informasi KIARA (Agustus 2014) menemukan persoalan yang berulang dari tahun ke tahun menyangkut pengelolaan subsidi BBM bagi nelayan di Palu (Sulawesi Tengah), Langkat (Sumatera Utara), Konawe (Sulawesi Tenggara), Tarakan (Kalimantan Utara), dan Kendal (Jawa Tengah). Pertama, tidak tersedianya fasilitas (SPBB/SPBN/SPDN/APMS). Hal ini memicu persaingan tidak sehat antara nelayan berkapal <30 GT dengan >30 GT.
Kedua, kecilnya alokasi dan pasokan yang tidak reguler berakibat pada sulitnya nelayan mendapatkan BBM bersubsidi dengan harga yang dipatok pemerintah. Di 5 wilayah yang ditemui KIARA ini nelayan justru mendapatkan solar dengan kisaran harga Rp7.000 – Rp20.000. Bahkan, 80 persen nelayan tradisional di Langkat, Sumatera Utara, tidak dapat membeli solar di SPBN.
Ketiga, pola melaut yang berbeda-beda dan dikesampingkan dalam kebijakan pengelolaan BBM bersubsidi berimbas pada menganggurnya nelayan. Mendapati fakta ini, mestinya ada kebijakan khusus dalam penyaluran BBM bersubsidi untuk nelayan, di antaranya bekerjasama dengan organisasi nelayan/perempuan nelayan.
Berpatok pada ketiga hal di atas, Presiden Yudhoyono dan Presiden Terpilih 2014 Jokowi harus mengevaluasi kebijakan pengelolaan subsidi energi yang terlampau berorientasi ke daratan, khususnya BBM untuk nelayan, agar benar-benar tepat sasaran.***
Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:
Daniel, Ketua Serikat Nelayan Teluk Palu
di +62 8524 1289 749
Sopuan, Ketua Paguyuban Nelayan Lestari Kendal
di +62 8139 0579 138
Rustan, Ketua Paguyuban Nelayan Kecil Tarakan
Daksan, Nelayan Konawe, Sulawesi Tenggara
Tajruddin Hasibuan, Ketua Presidium KNTI Sumatera
di +62 8137 0931 995
Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA
di +62 8155 3100 259