Kiara: Nelayan Kecil Belum Siap Hadapi MEA

Kiara: Nelayan Kecil Belum Siap Hadapi MEA

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyatakan pelaku perikanan seperti nelayan dan pembudidaya berskala kecil masih belum siap menghadapi pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015.

“Jika dibiarkan, nelayan, pembudidaya dan perempuan nelayan di Indonesia hanya akan menjadi buruh di tengah persaingan regional,” kata Sekjen Kiara Abdul Halim dalam keterangan tertulisnya kepada ROL, Rabu (20/8).

Menurut Abdul, klaim Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyikapi pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 harus dibuka ke hadapan publik, khususnya pemangku kepentingan kelautan dan perikanan nasional. Hal itu, ujar dia, karena pelaku perikanan skala kecil belum mendapatkan rencana kerja yang akan dilakukan oleh KKP dalam merespons tujuan ASEAN, padahal masa pemberlakuan MEA sudah semakin dekat.

Ia mengungkapkan, terdapat tujuan utama MEA terkait bidang perikanan antara lain meningkatkan perdagangan dan tingkat kompetisi produk/komoditas perikanan baik intra maupun ekstra ASEAN. Selain itu, lanjut Halim, mempromosikan kerja sama dan transfer teknologi dengan organisasi regional, internasional, dan sektor privat, serta memberikan keuntungan kepada pelaku perikanan skala kecil di kawasan Asia Tenggara.

“Dalam konteks ini, keterlibatan nelayan, pembudidaya dan perempuan nelayan menjadi sangat penting,” katanya. Untuk itu, Sekjen Kiara menegaskan, MEA Center yang dibangun KKP harus proaktif menjembatani masyarakat perikanan skala kecil agar kompetitif dalam mempersiapkan dan menghadapi dampak negatif MEA 2015.

 

Sumber:http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/mikro/14/08/20/nalenw-kiara-nelayan-kecil-belum-siap-hadapi-mea

 

Pembatasan BBM Subsidi Sengsarakan Nelayan

Pembatasan BBM Subsidi Sengsarakan Nelayan

Sektor Perikanan

Jakarta – Pembahasan Nota Keuangan dan RAPBN 2015 diisi dengan topik pemangkasan subsidi BBM. Hal ini seiring meningkatnya pembiayaan negara hingga 7 kali lipat untuk subsidi energi sejak 2010. Namun kebijakan pembatasan subsidi BBM jelas merugikan masyarakat nelayan. Hal itu disampaikan Abdul Halim, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), di Jakarta, Rabu (13/8).

“Seperti diketahui, komposisi subsidi BBM sebanyak 97% dialokasikan untuk transportasi darat dan 3% sisanya untuk laut. Dari nilai yang kecil inilah, 2% diperuntukkan kepada nelayan. Dengan alokasi tersebut, tak mengherankan jika nelayan kesulitan mendapatkan BBM. Padahal, untuk melaut nelayan mengeluarkan 60-70% dari biaya produksi. Apalagi kuotanya dikurangi hingga 20%. Dalam konteks ini, Surat Edaran BPH Migas Nomor 937/07/Ka BPH/2014 tanggal 24 Juli 2014 tentang Pengendalian Konsumsi BBM Bersubsidi tidak memihak dan cenderung menyengsarakan nelayan,” sebutnya.

Pusat Data dan Informasi KIARA (Agustus 2014) menemukan persoalan yang berulang dari tahun ke tahun menyangkut pengelolaan subsidi BBM bagi nelayan di Palu (Sulawesi Tengah), Langkat (Sumatera Utara), Konawe (Sulawesi Tenggara), Tarakan (Kalimantan Utara), dan Kendal (Jawa Tengah).

Pertama, tidak tersedianya fasilitas (SPBB/SPBN/SPDN/APMS). Hal ini memicu persaingan tidak sehat antara nelayan berkapal <30 GT dengan >30 GT. Kedua, kecilnya alokasi dan pasokan yang tidak reguler berakibat pada sulitnya nelayan mendapatkan BBM bersubsidi dengan harga yang dipatok pemerintah. Di 5 wilayah yang ditemui KIARA ini nelayan justru mendapatkan solar dengan kisaran harga Rp7.000 – Rp20.000. Bahkan, 80% nelayan tradisional di Langkat, Sumatera Utara, tidak dapat membeli solar di SPBN.

Ketiga, pola melaut yang berbeda-beda dan dikesampingkan dalam kebijakan pengelolaan BBM bersubsidi berimbas pada menganggurnya nelayan. Mendapati fakta ini, mestinya ada kebijakan khusus dalam penyaluran BBM bersubsidi untuk nelayan, di antaranya bekerjasama dengan organisasi nelayan/perempuan nelayan.

“Berpatok pada ketiga hal di atas, Presiden Yudhoyono dan Presiden Terpilih 2014  Jokowi harus mengevaluasi kebijakan pengelolaan subsidi energi yang terlampau berorientasi ke daratan, khususnya BBM untuk nelayan, agar benar-benar tepat sasaran,” tuntutnya.

Pada sebuah keterangan resmi, menurut Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif C. Sutardjo, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengambil langkah cepat terkait dengan pengendalian subsidi BBM untuk nelayan. Diantaranya, meminta BPH MIGAS untuk konsisten terhadap pengurangan BBM subsidi untuk nelayan sebesar 4,17%, proporsional dengan penurunan nasional.

Menurut Sharif, penetapan penurunan kuota secara nasional dari 48 juta KL menjadi 46 juta KL atau sebesar 4,17%, sedangkan alokasi kuota untuk nelayan turun sebesar 20%. Jika pengurangan 20% diterapkan akan menimbulkan keresahan, karena tidak ada kejelasan berapa batasan alokasi per kapal. Apalagi, BBM merupakan input produksi yang mempunyai peranan sangat penting bagi kelangsungan usaha penangkapan ikan.

Hal ini karena berdasarkan hasil identifikasi dan supervisi di beberapa pusat kegiatan nelayan, ternyata komponen biaya BBM berkisar antara 60–70% dari seluruh biaya operasi penangkapan ikan per tripnya. Sementara dari sisi pasar, harga jual ikan hasil tangkapan yang diorientasikan untuk pangsa pasar dalam negeri relatif tidak mengalami kenaikan. “Dampak kenaikan BBM yang relative cukup tinggi dirasakan sangat memberatkan nelayan. Apalagi kondisi atau musim penangkapan ikan yang masih sulit diprediksi mengakibatkan ketidakberdayaan nelayan untuk melaut,” ujar Sharif.

Sharif menegaskan, kebijakan tersebut memang sangat mempengaruhi sektor kelautan dan perikanan. Hal ini tentu sangat berdampak terhadap kehidupan para nelayan. Pasokan di pasar ikan dan tempat pelelangan ikan akan menurun drastis karena kemampuan melaut para nelayan yang berkurang akibat harga solar yang tidak terjangkau. Dengan jumlah pasokan ikan yang menurun, menyebabkan para nelayan tidak bisa menaikkan harga ikan.

Dengan demikian, biaya operasional akan melambung tinggi. Untuk itu, para pelaku usaha, khususnya pelaku usaha perikanan tangkap memerlukan bantuan dari berbagai pihak khususnya penyediaan BBM yang bersubsidi. “Walaupun jumlahnya masih sangat terbatas, namun bantuan tersebut telah dapat memberikan semangat para pelaku usaha untuk tetap bertahan termasuk meraih keuntungan usahanya,” katanya.

KKP, tandas Sharif, mengupayakan pengurangan BBM nelayan hanya tidak drastis. Namun, jika  penurunan  sampai 20%, maka KKP minta BPH MIGAS menjamin kebutuhan sebesar 940.366 KL untuk nelayan < 30 GT dan sisanya dibagi secara proporsional per kapal ukuran > 30 GT maksimum 20 KL/kapal/bulan  atau turun dari 25 KL/kapal/bulan sebelumnya. KKP juga meminta BPH Migas agar penyaluran BBM bersubsidi untuk sektor kelautan dan perikanan dialokasikan secara khusus yang dipisahkan transportasi laut, dengan nomenklatur khusus BBM bersubsidi untuk nelayan. KKP juga meminta kepada Pemda Provinsi/Kab/Kota untuk mempertajam penerima tepat sasaran melalui identifikasi nelayan berdasarkan kapal dan trip penangkapan.

“Sedangkan untuk menghemat penggunaan BBM, KKP telah mendorong pengalihmuatan (transhipment) hasil tangkapan ke kapal lain sesuai dengan Permen KP 26/2014 tentang Usaha Penangkapan Ikan,” tandasnya.

Sharif menambahkan, persediaan BBM bersubsidi memang sangat terbatas. Bahkan hingga Juli 2014, persediaan premium tinggal 42 persen dan solar bersubsidi tinggal 40 persen dari kuota tahun ini. Untuk premium diperkirakan akan habis pada 19 Desember 2014 dan solar bersubsidi pada 30 November 2014. Selain itu berdasarkan UU 12/2014 tentang Perubahan UU 23/2013 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2014 (APBNP 2014) telah ditetapkan perubahan kuota nasional jenis BBM tertentu dari 48 Juta KL menjadi 46 Juta KL

“Menindaklanjuti hal tersebut maka  BPH mengeluarkan Surat Edaran Nomor 937/07/Ka.BPH/2014 tanggal 24 Juli 2014 perihal Pengendalian Konsumsi BBM Tertentu Tahun 2014. Diantaranya, BBM jenis minyak solar (Gas Oil) mulai 4 Agustus 2014 dilayani jam 08.00 – 18.00, “ ujarnya.

Sumber: http://www.neraca.co.id/article/44326/Pembatasan-BBM-Subsidi-Sengsarakan-Nelayan

 

Kiara Inginkan Evaluasi Subsidi Energi Memihak Nelayan

Kiara Inginkan Evaluasi Subsidi Energi Memihak Nelayan

Jakarta (Metrobali.com)-Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menginginkan evaluasi pengelolaan subsidi energi agar tidak memihak serta tidak menyengsarakan kalangan nelayan tradisional di berbagai daerah.

“Evaluasi kebijakan pengelolaan subsidi energi yang terlampau berorientasi ke daratan, khususnya BBM untuk nelayan, agar benar-benar tepat sasaran,” kata Sekjen Kiara Abdul Halim di Jakarta, Rabu (13/8).

Menurut Abdul Halim, kebijakan yang saat ini terkait pemangkasan atau pembatasan subsidi BBM jelas merugikan masyarakat nelayan.

Ia mengingatkan, komposisi subsidi BBM sebanyak 97 persen dialokasikan untuk transportasi darat dan 3 persen sisanya untuk laut.

“Dari nilai yang kecil inilah, 2 persen diperuntukkan kepada nelayan,” katanya.

Dengan alokasi tersebut, ujar dia, tak mengherankan jika nelayan kesulitan mendapatkan BBM.

Padahal, kata Abdul Halim, untuk melaut nelayan mengeluarkan 60-70 persen dari biaya produksi.

Pusat Data dan Informasi KIARA per Agustus 2014 menemukan persoalan yang berulang dari tahun ke tahun menyangkut pengelolaan subsidi BBM bagi nelayan di Palu (Sulawesi Tengah), Langkat (Sumatera Utara), Konawe (Sulawesi Tenggara), Tarakan (Kalimantan Utara), dan Kendal (Jawa Tengah).

Persoalan itu antara lain tidak tersedianya fasilitas pendistribusian BBM bersubsidi sehingga memicu persaingan tidak sehat antara nelayan berkapal kecil dan kapal besar.

Persoalan lainnya adalah kecilnya alokasi dan pasokan yang tidak reguler berakibat pada sulitnya nelayan mendapatkan BBM bersubsidi dengan harga yang dipatok pemerintah.

Terakhir, pola melaut yang berbeda-beda dan dikesampingkan dalam kebijakan pengelolaan BBM bersubsidi berimbas pada menganggurnya nelayan.

“Mendapati fakta ini, mestinya ada kebijakan khusus dalam penyaluran BBM bersubsidi untuk nelayan, di antaranya bekerjasama dengan organisasi nelayan/perempuan nelayan,” ujarnya. AN-MB 

Sumber: http://metrobali.com/2014/08/13/kiara-inginkan-evaluasi-subsidi-energi-memihak-nelayan/

 

Pengelolan BBM Subsidi Tidak Memihak Nelayan

 

Pengelolan BBM Subsidi Tidak Memihak Nelayan

PENGELOLAAN subsidi energi diminta memihak dan tidak menyengsarakan nelayan. Selama ini porsi subsidi energi untuk nelayan kecil hanya dua persen dari subsidi yang disediakan untuk transportasi laut. Itupun harus dikurangin lagi jatahnya sebanyak 20 persen karena ada kebijakan penghematan solar bersubsidi.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan dan Perikanan (KIARA), Abdul Halim mengatakan beban subsidi memang terus membengkak setiap tahunnya. Dalam RAPBN 2015 beban subsidi melonjak 7 kali lipat dibandingkan tahun 2010 lalu. Namun dalam kompososi pengelolaan subsidi BBM, kebijakan tak menguntungkan nelayan. Komposisinya selama ini adalah 97 persen untuk transportasi darat dan 3 persen untuk transportasi laut. Nelayan sendiri hanya mendapat jatah 2 persen dari subsidi energi transportasi laut. “Dengan alokasi itu tak heran jika nelayan kesulitan mendapatkan BBM,” katanya dalam rilis di Jakarta, Rabu (13/8).

Padahal komponen BBM mengambil porsi hingga 70 persen dari seluruh biaya operasional melaut. Belum lagi ada kebijakan pengurangan 20 persen jatah solar nelayan seperti yang diputuskan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas). “Ini tidak memihak dan cenderung menyengsarakan nelayan,” katanya.

Dalam catatan KIARA, setiap tahunnya pasti ada masalah penyaluran BBM untuk nelayan. Misalnya penyaluran solar kepada nelayan ke beberapa wilayah seperti Palu, Langkat, Konawe, Tarakan, dan Kendal. Ada beberapa penyebab tersendatnya penyaluran ini. Pertama karena tidak adanya fasilitas stasiun pengisian bahan bakar khusus bagi nelayan seperti SPBB, SPBN, SPDN, atau APMS. “Ini memicu persaingan tak sehat antara nelayan berkapal di bawah 30 gross ton (GT) dan di atas 30 GT,” kata Halim.

Penyebab kedua adalah kecilnya alokasi dan pasokan BBM yang tidak reguler. Ini membuat nelayan sulit mendapatkan bahan bakar bersubsidi untuk melaut. Pada lima wilayah yang ditemui, solar dijual pada kisaran harga Rp7.000 hingga Rp20.000. Di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara nekayan bahkan tidak dapat membeli solar dari stasiun pengisian bahan bakar nelayan (SPBN). Penyeba ketiga adalah pola melaut yang berbeda-beda yang dikesampingkan dalam kebijakan pengelolaan BBM bersubsidi. Ini berimbas pada menganggurnya nelayan. Atas fakta ini, KIARA mengusulkan agar kebijakan penyaluran BBM bersubsidi bekerjasama dengan organisasi nelayan. Presiden terpilih nantinya diharapkan bisa mengevaluasi pengelolaan penyaluran BBM bersubsidi ini yang terlampu beroreintasi pada daratan dan mengenyampingkan nelayan.

 

Reporter : Suriyanto
Redaktur : Luther Sembiring

 

Sumber: http://m.jurnas.com/news/145815/Pengelolan-BBM-Subsidi-Tidak-Memihak-Nelayan–2014/1/Ekonomi/Ekonomi/

 

Harga Anjlok, Petani Garam di Sumenep Merugi

Harga Anjlok, Petani Garam di Sumenep Merugi

Syaiful Islam

 

SUMENEP – Sejumlah petani garam di Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur (Jatim) merugi. Pasalnya, harga jual garam hasil panen dibeli di bawah harga pokok penjualan (HPP) yang ditetapkan pemerintah.

Para petani tidak bisa berbuat banyak atas persoalan tersebut. Sebab, jika tidak dijual kerugian yang diderita petani garam semakin besar. Di mana garam milik petani dihargai Rp350 per kilogram (kg).

Padahal, sesuai HPP harga garam untuk kualitas 1 (K1) dipatok Rp750 per kg, kualitas 2 (K2) senilai Rp550 per kg, dan untuk garam kualitas tiga (K3) ditetapkan Rp450 per kg. Kondisi itu membuat para petani garam menjerit.

Para petani meminta pemerintah supaya turun tangan untuk mengatasi persoalan tersbeut. Jika tidak, maka petani yang akan menjadi korban. Sebab, garam milik petani dihargai di bawah ketentuan yang ada.

“Harga garam hasil panen kami selama ini kurang bagus. Karena para pengusaha membeli di bawah harga yang ditetapkan pemerintah,” terang salah seorang petani garam di Desa Nambakor, Kecamatan Saronggi, Muhammad, Jumat (15/8/2014).

Menurutnya, garam laku terjual dengan harga Rp350 per kg. Padahal harga terendah yang ditetapkan pemerintah yakni Rp450 per kg. Petani garam tidak bisa berbuat banyak, dirinya terpaksa menjual garam dengan harga murah, dibandingkan tidak laku terjual.

“Alasan pengusaha mengaku stok garam sudah banyak atau sudah membeli garam, sedangkan petani yang panen masih sedikit. Artinya, ini ada sesuatu permainan. Kami berharap pemerintah bisa melakukan langkah konkret supaya garam petani dibeli sesuai HPP,” tandasnya.

 

Sumber: http://ekbis.sindonews.com/read/891509/34/harga-anjlok-petani-garam-di-sumenep-merugi

 

Habibah: Inspiring fisherwoman from Marunda

Habibah: Inspiring fisherwoman from Marunda

Nani Afrida, The Jakarta Post, Jakarta | People

She is a fisherwoman and along with her two companions — who are also women — she sails out to sea in the hope of catching fish. As they only use a small boat, they cannot be too far from the coast, so their hauls are not as large as the fishermen’s.

“We just catch the nearby fish. We sell the fish to help our husbands,” Habibah, the fisherwoman, told The Jakarta Post, smiling.

Recently, Habibah was selected as one of seven female food resilience heroines from Indonesia. The heroines are working to build a movement for good food — food that is grown well and shared fairly.

The event was supported by Oxfam and Aliansi Desa Sejahtera (ADS) to show that women play important role in the supply of food to family and community.

People in Marunda know Habibah as a multi-tasking woman. She can be a fisherwoman, scallop seeker, a fish trader and a shrimp paste maker. Habibah’s income is even higher than her fisherman husband, who depends on monsoons.

The 50-year-old fisherwoman lives in Marunda Kepu, Cilincing subdistrict, North Jakarta. She comes from a long line of fisherman who lived and plied Marunda’s shores and seas for generations.

After marrying Ghobang, 50, Habibah helped her husband to support the family. Habibah is the perfect portrait of woman from the north coast of Jakarta.

Koran Tempo daily recently reported that a study from the People’s Coalition for Fisheries Justice (Kiara) revealed that women living in north coast area in Jakarta spend 17 hours every day making money to support their families. It also showed that 48 percent of a family’s income was from the fisherwomen’s economic activities.

Habibah still remembers her youth and shared that although her parents were poor, they still could find fish or other sea creatures and so survived.

“In that time the sea water was clean and we had heavy mangrove areas. There were abundant fishes and crabs near us, so we did not need to sail far away from the coast,” Habibah shared.

The situation has changed dramatically as Habibah grew up and started her own family. The sea is now polluted. The massive sea reclamation and depletion of mangrove areas means that fisherwomen like herself face great difficulties when trying to catch fish or other sea creatures nearby.

Meanwhile, fishermen, like her husband, must sail very far from the coast just to find fish and their hauls usually are only small. The situation only gets worse during the west monsoon when no fishermen can sail.

Another problem Habibah faces is that she can no longer depend on her shrimp paste production anymore. In 1980 to 2000, Habibah was able to produce at least 50 kilograms of shrimp paste every day, thanks to the huge amount of shrimps bought home by her husband.

But now, she just produces only 5 kilograms of shrimp paste a day because it is difficult to find shrimp.

“I was thinking how do I help my husband? His income is less than Rp 30,000 (US$3) a day, so, I became a scallop seeker and began scavenging to support our family,” Habibah said.

Along with her children, Habibah seeks ontay (clam) on the sand beach after tides. One bucket of clams sells for Rp 10,000. Usually they get two and a half buckets of clam everyday during west monsoon.

Habibah’s family will consume half of the clams they find and sell the rest of it.

Besides ontay, she is a seeker for flat-footed scallop, locally known as kacho. This kind of scallop is easily found on the coast, but collectors must be careful because of its sharp shell.

From kacho Habibah earns Rp 70,000 everyday. “Ontay and kacho contain calcium that is good for teeth and bones,” she said.

Her effort to seek kacho and ontay inspired other women, frustrated with polluted sea water and unpredictable weather in Marunda, to follow suit.

“I encourage the women in my area to do something rather than nothing,” she said, adding that she gathers all the kachos found by Marunda’s women to sell.

She acknowledged that lessons from NGOs like WALHI and Kiara inspired her to established a womens group in Marunda called Mekar Baru.  As many as 20 women are members.

Six months ago, Habibah established a cooperative with her group to prevent loan sharks.

Marunda is just like other poverty area, loan sharks often make the fishermen’s life harder.  Habibah said her colleagues often borrowed money from loan sharks thst they had to pay back with a high interest rate.

“Today we have only Rp 4.5 million of capital in our cooperative, but I am sure it will increase,” Habibah, who is active in Persatuan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), said.

Habibah is optimistic about the future of her coastal project.

“I want to establish a shrimp paste factory with my group as well as a free medical clinic for the fishermen here,” Habibah, who didn’t even finish elementary school, said.

 

sumber: http://www.thejakartapost.com/news/2013/03/15/habibah-inspiring-fisherwoman-marunda.html

 

KIARA: Pelaku Perikanan Skala Kecil Belum Siap Hadapi ASEAN Economic Community 2015

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

www.kiara.or.id

 

KIARA: Pelaku Perikanan Skala Kecil Belum Siap Hadapi ASEAN Economic Community 2015

Manila, 20 Agustus 2014. Klaim Kementerian Kelautan dan Perikanan menyikapi pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 harus dibuka ke hadapan publik, khususnya pemangku kepentingan kelautan dan perikanan nasional. Dalam konteks ini, keterlibatan nelayan, pembudidaya dan perempuan nelayan menjadi sangat penting.

Seperti diketahui bahwa terdapat 3 tujuan utama Masyarakat Ekonomi ASEAN di bidang perikanan yang masuk ke dalam sub-topik pangan, pertanian dan kehutanan, yakni (1) meningkatkan perdagangan dan tingkat kompetisi produk/komditas perikanan, baik intra maupun ekstra ASEAN; (2) mempromosikan kerjasama dan transfer teknologi dengan organisasi regional, internasional, dan sektor privat; dan (3) mempromosikan kerjasamanya antarkoperasi pertanian sebagai medium penguatan dan peningkatan akses pasar produk-produk pertanian dan memberikan keuntungan kepada pelaku perikanan skala kecil di kawasan Asia Tenggara. Ketiga tujuan ini disertai dengan rencana aksi ASEAN sejak 2008-2015.

Menyangkut ketiga hal ini, pelaku perikanan skala kecil belum mendapatkan rencana kerja yang akan dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan merespons ketiga tujuan ASEAN tersebut. Padahal masa pemberlakuan MEA sudah semakin dekat. “Jika dibiarkan, nelayan, pembudidaya dan perempuan nelayan di Indonesia hanya akan menjadi buruh di tengah persaingan regional,” tegas Halim.

MEA Center yang dibangun oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan harus proaktif menjembatani masyarakat perikanan skala kecil agar kompetitif dalam mempersiapkan dan menghadapi dampak negatif MEA 2015, termasuk di dalamnya Rancangan Instruksi Presiden (Inpres) tentang Peningkatan Daya Saing Nasional dalam menghadapi MEA Sektor Kelautan dan Perikanan yang akan disahkan oleh Presiden SBY.

“Klaim Kementerian Kelautan dan Perikanan telah siap menghadapi MEA 2015 dengan menyusun Tim Pokja Pelaksanaan Komitmen Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN Sektor Kelautan dan Perikanan untuk masa kerja 2014–2015 harus disampaikan kepada pelaku perikanan nasional, khususnya nelayan, pembudidaya dan perempuan nelayan, untuk mendapatkan masukan. Karena hal ini menyangkut hajat hidup bangsa. Contohnya, rencana pemberlakuan sertifikasi untuk produk budidaya oleh ASEAN pasca harmonisasi kebijakan di level masing-masing negara anggota. Setelah dicek di lapangan, nyatanya Pemerintah Indonesia belum melakukan apa-apa untuk meningkatkan daya saing dan perluasan akses pasar pelaku perikanan skala kecil. Padahal sudah memiliki Keputusan Menteri Nomor 2 Tahun 2007 tentang Cara Berbudidaya Ikan yang Baik (CBIB). Hal-hal seperti inilah yang harus dikoreksi,” tutup Halim, Sekretaris Jenderal KIARA yang tengah menghadiri pertemuan perikanan Asia Tenggara di Manila, Filipina.***

 

Informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Abdul Halim, Sekjen KIARA/Koordinator Regional SEAFish (Southeast Asia Fisheries for Justice Network)

di +62 815 53100 259