Salmi Rodi: Peran dan Keberadaan Perempuan Nelayan Belum Diakui
“Kami gelisah melihat suami melaut di tengah cuaca yang tidak menentu. Dalam situasi itulah, kaum perempuan nelayan di Gresik tergerak mencari penghasilan untuk mencukupi kebutuhan keluarga, terutama pendidikan anak,” ujar Salmi Rodli, Koordinator Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) yang tinggal di Ujung Pangkah, Kabupaten Gresik. |
Desa Ujung Pangkah, Gresik, Jawa Timur tidak pernah senyap dari aktivitas warganya. Apalagi jika nelayan baru pulang melaut dan membawa hasil tangkapannya, perempuan nelayan dan penjual ikan akan berkerumun menyambut kapal-kapal yang datang.
Keterlibatan perempuan nelayan dalam aktivitas perikanan skala kecil di Desa Ujung Pangkah kian terasa saat mereka tidak sekadar memainkan peran sebagai orang yang membantu mempersiapkan kebutuhan nelayan melaut, namun juga tulang punggung perekonomian keluarga.
Salmi memulai harinya dengan mempersiapkan keperluan suaminya miyang (melaut). Sosoknya yang mungil tidak mengurangi kelihaiannya dalam mengurus segala kebutuhan melaut. Sore hari Salmi bergabung dengan perempuan nelayan lainnya, menunggu nelayan-nelayan datang dan mendaratkan kapal-kapalnya.
Ujung Pangkah juga disebut Estuari atau tempat bertemunya air tawar dan air laut, maka tidak heran jika pemijahan telur ikan dapat berkembang dengan baik. Di sisi lain, nelayan dari Demak, Rembang dan Lamongan acapkali melaut di Gresik.
Salmi Rodli, yang lahir pada tanggal 15 September 1972 merupakan pejuang hak-hak perempuan nelayan dari Ujung Pangkah. Keterlibatannya dalam gerakan perempuan nelayan dilatari keprihatinannya melihat kehidupan perempuan nelayan yang miskin dan terlilit hutang. Alasan lainnya adalah kondisi anak-anak balita yang tinggal di Ujung Pangkah berada dalam kondisi yang kurang baik. Kedua hal inilah yang mendorong Salmi untuk aktif dan terlibat di Posyandu.
Tergerak
Salmi selalu meyakini tempatnya memiliki potensi besar. Pada tahun 1997 daerahnya menjadi tempat penghasil ikan bandeng terbesar di Jawa Timur. Tahun itu menjadi masa cemerlang Ujung Pangkah, di mana penghasilan nelayan cukup baik. Namun, hal ini berubah drastis saat perusahaan datang dan mencemari laut. Kondisi ini membuat penghasilan mereka menurun dan alih profesi sebagai buruh pabrik.
“Miris saya, banyak yang terus jadi buruh pabrik, anak-anak juga jadi sering sakit,” ucap Salmi prihatin.
Kehadiran perusahaan pengeboran minyak di Desa Ujung Pangkah kian memburuk ketika cuaca ekstrem dan musim yang tidak menentu. Kondisi ini merugikan masyarakat nelayan.
Pada tahun 2007, Salmi aktif di dalam Organisasi Tanggung Renteng. Organisasi ini merupakan kumpulan dari 6 kelompok usaha industri rumah tangga. Keterlibatannya di organisasi inni tidak lantas membuat Salmi non-aktif sebagai kader PKK dan Posyandu.
“Saya mulai berbuat dengan hal sederhana, seperti membantu ibu-ibu nelayan mengolah hasil tangkapan suami atau membantu pengobatan anak-anak yang sakit. Sederhana saja, tapi bermanfaat bagi orang lain,” jelas Salmi sembari tersenyum.
Salmi kian aktif membantu perempuan nelayan yang mulai memproduksi dan menjual kerupuk udang, keripik teri, keripik udang, terasi dan ikan asap. Kreativitas perempuan nelayan di Ujung Pangkah semakin beragam, terlebih lagi dengan adanya produk pangan inovatif, seperti kepiting bumbu saus atau kepiting balado.
Banyaknya aktivitas perempuan nelayan di Ujung Pangkah belum terwadahi, misalnya melalui koperasi. Apalagi akses informasi dan harga di pasaran acapkali menjadi kendala dalam pemasaran produk olahan kelompok.
Pada tahun 2011, Salmi terlibat di dalam organisasi Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI). Beragam pelatihan dan pertukaran informasi telah ia ikuti, hasilnya perempuan nelayan di Ujung Pangkah kian paham pentingnya berorganisasi dan semakin giat mengembangkan potensi sumber daya perikanan yang ada.
“Perempuan nelayan juga menjadi tulang punggung keluarga. Mereka harus mendapat perlindungan dan pemberdayaan. Kami juga tidak hanya berperan di belakang suami. Negara harus mengakui peran dan keberadaan perempuan nelayan,” harap Salmi.
Oleh karena itu, PPNI tengah mendorong hadirnya RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan bersama dengan KIARA.
“Perempuan nelayan ibarat estuari”, kata Salmi. Simbol yang bukan sekadar tempat pertemuan air laut dan air tawar, menjadi sumber daya penopang kehidupan manusia. “Karena itu, peran dan keberadaan perempuan nelayan harus segera diakui dan didukung oleh Negara,” tegas Salmi mengulangi pernyataannya.
*** (SH)