RUU Kelautan, Celah Penyimpangan Cukup Lebar

RUU Kelautan

Celah Penyimpangan Cukup Lebar

JAKARTA, KOMPAS, Penyusunan RUU Kelautan yang sudah memasuki tahap final mendapat sorotan sejumlah kalangan di tengah rencana pemerintah menjadikan Indonesia sebagai poros maritim. RUU Kelautan dinilai menguatkan peran negara dalam mengelola kelautan. Namun, masih terbuka celah penyimpangan terkait anggaran dan pemanfaatan sektor kelautan.

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat, akhir pekan lalu, meminta dilakukan beberapa perbaikan terhadap aturan tersebut agar tidak membuka peluang penyimpangan. RUU Kelautan akan menyinergikan 21 undang-undang terkait kelautan serta menjadi dasar koordinasi bagi 17 kementerian dan lembaga dalam pengelolaan kelautan. RUU Kelautan dijadwalkan disetujui dalam Rapat Paripurna DPR, pekan ini.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Abdul Halim menilai, RUU Kelautan belum menegaskan keberpihakan anggaran pemerintah terhadap program kelautan. Pasal 15 menyebutkan, pemerintah wajib menyertakan luas wilayah laut sebagai daar pengalokasian anggaran pembangunan kelautan, Sumber anggaran berasal dari APBN ataupun APBD. Namun, tak ada ketentuan disinsentif berupa sanksi bagi pemerintah yang abai terhadap pengalokasian anggaran sektor kelautan.

RUU Kelautan juga dinilai masih mengandung pasal karet terkait penanganan pencemaran laut. Pasal 52 menyebutkan, proses penyelesaian sengketa dan penerapan sanksi pencemaran laut didasarkan pada prinsip pencemar membayar dan prinsip kehati-hatian. Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mendefinisikan prinsip pencemar membayar (polluter pays) sebagai pencemar harus menanggung biaya langkah-langkah mengurangi polusi.”Ketentuan itu dikhawatirkan membuka celah pembiaran terhadap pencemaran laut asal pencemar sanggup memberikan ganti rugi,” kata Halim.

Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Riza Damanik menilaim substansi RUU Kelautan memperbesar peran negara dalam mengelola dan memanfaatkan laut Indonesia serta harmonisasi perundangan dan kelembagaan untuk mengoptimalkan pembangunan kelautan. Meski demikian, masih terbuka beberapa celah penyimpangan.

Pasal 47 menegaskan mekanisme perizinan atau izin lokasi dalam persyaratan pemanfaatan laut. Ketentuan itu dinilai terlalu teknis untuk dibahas dalam RUU Kelautan yang sifatnya koordinatif. Apalagi, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil telah menegaskan adanya hak nelayan untuk melintasi, mengelola, dan memanfaatkan perairan dan sumber dayanya di seluruh Indonesia. Pasal 27 mengenai jasa maritim terkait reklamasi perlu dipertegaskan agar tak tumpang tindih.

Secara terpisah, Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan Sudirman Saad mengatakan, terdapat beberapa terobosan yang diatur dalam RUU Kelautan, yaitu pertama kalinya Indonesia menyatakan kiprah di laut lepas dalam hal konservasi laut dan pemanfaatan landas kontinen. Hal itu penting karena Malaysia dan Singapura telah lebih dulu mengklaim kiprahnya di landas kontinen di tingkat Internasional Seabed Authority.

Sumber: Kompas, Senen, 29 September 2014.

RUU Kelautan, Celah Penyimpangan Cukup Lebar

RUU Kelautan

Celah Penyimpangan Cukup Lebar

JAKARTA, KOMPAS, Penyusunan RUU Kelautan yang sudah memasuki tahap final mendapat sorotan sejumlah kalangan di tengah rencana pemerintah menjadikan Indonesia sebagai poros maritim. RUU Kelautan dinilai menguatkan peran negara dalam mengelola kelautan. Namun, masih terbuka celah penyimpangan terkait anggaran dan pemanfaatan sektor kelautan.

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat, akhir pekan lalu, meminta dilakukan beberapa perbaikan terhadap aturan tersebut agar tidak membuka peluang penyimpangan. RUU Kelautan akan menyinergikan 21 undang-undang terkait kelautan serta menjadi dasar koordinasi bagi 17 kementerian dan lembaga dalam pengelolaan kelautan. RUU Kelautan dijadwalkan disetujui dalam Rapat Paripurna DPR, pekan ini.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Abdul Halim menilai, RUU Kelautan belum menegaskan keberpihakan anggaran pemerintah terhadap program kelautan. Pasal 15 menyebutkan, pemerintah wajib menyertakan luas wilayah laut sebagai daar pengalokasian anggaran pembangunan kelautan, Sumber anggaran berasal dari APBN ataupun APBD. Namun, tak ada ketentuan disinsentif berupa sanksi bagi pemerintah yang abai terhadap pengalokasian anggaran sektor kelautan.

RUU Kelautan juga dinilai masih mengandung pasal karet terkait penanganan pencemaran laut. Pasal 52 menyebutkan, proses penyelesaian sengketa dan penerapan sanksi pencemaran laut didasarkan pada prinsip pencemar membayar dan prinsip kehati-hatian. Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mendefinisikan prinsip pencemar membayar (polluter pays) sebagai pencemar harus menanggung biaya langkah-langkah mengurangi polusi.”Ketentuan itu dikhawatirkan membuka celah pembiaran terhadap pencemaran laut asal pencemar sanggup memberikan ganti rugi,” kata Halim.

Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Riza Damanik menilaim substansi RUU Kelautan memperbesar peran negara dalam mengelola dan memanfaatkan laut Indonesia serta harmonisasi perundangan dan kelembagaan untuk mengoptimalkan pembangunan kelautan. Meski demikian, masih terbuka beberapa celah penyimpangan.

Pasal 47 menegaskan mekanisme perizinan atau izin lokasi dalam persyaratan pemanfaatan laut. Ketentuan itu dinilai terlalu teknis untuk dibahas dalam RUU Kelautan yang sifatnya koordinatif. Apalagi, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil telah menegaskan adanya hak nelayan untuk melintasi, mengelola, dan memanfaatkan perairan dan sumber dayanya di seluruh Indonesia. Pasal 27 mengenai jasa maritim terkait reklamasi perlu dipertegaskan agar tak tumpang tindih.

Secara terpisah, Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan Sudirman Saad mengatakan, terdapat beberapa terobosan yang diatur dalam RUU Kelautan, yaitu pertama kalinya Indonesia menyatakan kiprah di laut lepas dalam hal konservasi laut dan pemanfaatan landas kontinen. Hal itu penting karena Malaysia dan Singapura telah lebih dulu mengklaim kiprahnya di landas kontinen di tingkat Internasional Seabed Authority.

Sumber: Kompas, Senen, 29 September 2014.

RUU Kelautan Harus Hilangkan Ego Sektoral

RUU Kelautan Harus Hilangkan Ego Sektoral

Perkuat Upaya Pencegahan Pencemaran Laut

 

NERACA

Jakarta- Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sudah menjadwalkan pengesahan RUU Kelautan menjadi Undang-Undang Kelautan. Intensi pengesahan RUU Kelautan tepat jika arahnya ingin mengatasi pengelolaan sumber daya laut yang selama ini sektoral. Dalam naskah RUU Kelautan tertanggal 15 Agustus 2014, pembangunan bidang kelautan difokuskan pada 7 (tujuh) sektor utama, yaitu perhubungan laut, industri maritim, perikanan, pariwisata bahari, energi dan sumber daya mineral, bangunan kelautan, dan jasa kelautan.

“Egosektoral di bidang kelautan adalah persoalan kronis yang harus dipastikan teratasi dengan lahirnya UU Kelautan. Namun disayangkan masih terdapat pasal karet yang melonggarkan praktek pencemaran laut dengan menyebut prinsip pencemar membayar (polluter pays) dan kehati-hatian di dalam Pasal 40 ayat (3). Semestinya RUU Kelautan ini memperkuat upaya melestarikan laut yang tidak diatur di UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH),” kata Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan), Minggu (28/9).

Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mendefinisikan prinsip pencemar membayar (polluter pays) sebagai “pencemar harus menanggung biaya langkah-langkah untuk mengurangi polusi sesuai dengan tingkat kerusakan yang dilakukan, baik kepada masyarakat atau melebihi dari tingkat yang dapat diterima (standard yang diatur oleh UU PPLH)”. Dengan perkataan lain, RUU Kelautan tidak menjawab persoalan pencemaran laut yang selama ini menjadi ancaman serius bagi laut dan masyarakat pesisir di Indonesia.

KIARA meminta DPR RI bersama dengan pemerintah untuk menuntaskan pembahasan RUU Kelautan terlebih dahulu, khususnya menyangkut pencemaran laut, dengan memastikan larangan dan sanksi berat bagi  pelaku pencemar laut, sebelum melakukan pengesahan. Karena hal tersebut menyangkut hajat hidup masyarakat nelayan dan mereka yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, seperti yang terjadi di Laut Timor.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Sjarief Widjaja di sela rapat panitia kerja RUU Kelautan di Hotel Century Senayan, Jakarta, Selasa (23/9, mengatakan, setelah menjaring aspirasi dan partisipasi publik di tingkat akademis beberapa waktu yang lalu, kini Rancangan Undang-undang (RUU) Kelautan akan dibahas di tingkat Panitia Kerja (Panja). Sesuai dengan mekanisme yang telah disepakati anggota panja terdiri dari separuh dari jumlah anggota Komisi IV DPR RI, Komisi II DPD RI dan unsur pemerintah. Rapat panitia kerja akan fokus membahas bagian Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang kemungkinan berubah secara substantif berdasarkan hasil masukan dari kalangan akademisi.

Menurut Sjarief, hal ini merupakan upaya strategis sebagai tindak lanjut atas berbagai masukan terkait substansi materi dan berbagai hal yang terkait dengan RUU Kelautan. Sehingga materinya diharapkan dapat sejalan dengan semangat semua elemen untuk melahirkan sebuah produk regulasi yang implementatif. Sebagaimana diharapkan banyak pihak, UU kelautan ini harus mampu menjamin tata kelola laut yang berkelanjutan dan mensehjaterakan. “Selain itu memberi prioritas pada pembangunan ekonomi berbasis kelautan dan kekuatan pertahanan keamanan nasional yang disegani,” ungkap Sjarief.

Pemerintah bersama Komisi IV DPR RI telah mempersiapkan mekanisme, jadwal dan rancangan DIM. Adapun daftar permasalahan yang telah di inventarisasi dan dimintakan persetujuan seluruhnya berjumlah 360 DIM. “Namun rumusan RUU yang akan dibahas di tingkat panja ini hanya berjumlah 110, berupa DIM perubahan dan usulan baru,” kata Sjarief.

Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil selaku Ketua Tim Perumus RUU Kelautan Sudirman Saad menambahkan bahwa pembahasan RUU ini menjadi sejarah dalam proses legislasi diIndonesia. Dimana untuk pertama kalinya sebuah RUU dibahas secara bersama antara Pemerintah, DPR, dan DPD RI. RUU ini juga telah melewati fase pembahasan yang panjang. “Termasuk dengan menyelenggarakan berbagai workshop  lintas  K/L  dan Forum Group Discussion, sebagai upaya mensosialisasikan mengenai urgensi UU Kelautan,” ujar Sudirman.

Sumber: http://www.neraca.co.id/article/45945/RUU-Kelautan-Harus-Hilangkan-Ego-Sektoral

RUU Kelautan Harus Hilangkan Ego Sektoral

RUU Kelautan Harus Hilangkan Ego Sektoral

Perkuat Upaya Pencegahan Pencemaran Laut

 

NERACA

Jakarta- Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sudah menjadwalkan pengesahan RUU Kelautan menjadi Undang-Undang Kelautan. Intensi pengesahan RUU Kelautan tepat jika arahnya ingin mengatasi pengelolaan sumber daya laut yang selama ini sektoral. Dalam naskah RUU Kelautan tertanggal 15 Agustus 2014, pembangunan bidang kelautan difokuskan pada 7 (tujuh) sektor utama, yaitu perhubungan laut, industri maritim, perikanan, pariwisata bahari, energi dan sumber daya mineral, bangunan kelautan, dan jasa kelautan.

“Egosektoral di bidang kelautan adalah persoalan kronis yang harus dipastikan teratasi dengan lahirnya UU Kelautan. Namun disayangkan masih terdapat pasal karet yang melonggarkan praktek pencemaran laut dengan menyebut prinsip pencemar membayar (polluter pays) dan kehati-hatian di dalam Pasal 40 ayat (3). Semestinya RUU Kelautan ini memperkuat upaya melestarikan laut yang tidak diatur di UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH),” kata Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan), Minggu (28/9).

Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mendefinisikan prinsip pencemar membayar (polluter pays) sebagai “pencemar harus menanggung biaya langkah-langkah untuk mengurangi polusi sesuai dengan tingkat kerusakan yang dilakukan, baik kepada masyarakat atau melebihi dari tingkat yang dapat diterima (standard yang diatur oleh UU PPLH)”. Dengan perkataan lain, RUU Kelautan tidak menjawab persoalan pencemaran laut yang selama ini menjadi ancaman serius bagi laut dan masyarakat pesisir di Indonesia.

KIARA meminta DPR RI bersama dengan pemerintah untuk menuntaskan pembahasan RUU Kelautan terlebih dahulu, khususnya menyangkut pencemaran laut, dengan memastikan larangan dan sanksi berat bagi  pelaku pencemar laut, sebelum melakukan pengesahan. Karena hal tersebut menyangkut hajat hidup masyarakat nelayan dan mereka yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, seperti yang terjadi di Laut Timor.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Sjarief Widjaja di sela rapat panitia kerja RUU Kelautan di Hotel Century Senayan, Jakarta, Selasa (23/9, mengatakan, setelah menjaring aspirasi dan partisipasi publik di tingkat akademis beberapa waktu yang lalu, kini Rancangan Undang-undang (RUU) Kelautan akan dibahas di tingkat Panitia Kerja (Panja). Sesuai dengan mekanisme yang telah disepakati anggota panja terdiri dari separuh dari jumlah anggota Komisi IV DPR RI, Komisi II DPD RI dan unsur pemerintah. Rapat panitia kerja akan fokus membahas bagian Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang kemungkinan berubah secara substantif berdasarkan hasil masukan dari kalangan akademisi.

Menurut Sjarief, hal ini merupakan upaya strategis sebagai tindak lanjut atas berbagai masukan terkait substansi materi dan berbagai hal yang terkait dengan RUU Kelautan. Sehingga materinya diharapkan dapat sejalan dengan semangat semua elemen untuk melahirkan sebuah produk regulasi yang implementatif. Sebagaimana diharapkan banyak pihak, UU kelautan ini harus mampu menjamin tata kelola laut yang berkelanjutan dan mensehjaterakan. “Selain itu memberi prioritas pada pembangunan ekonomi berbasis kelautan dan kekuatan pertahanan keamanan nasional yang disegani,” ungkap Sjarief.

Pemerintah bersama Komisi IV DPR RI telah mempersiapkan mekanisme, jadwal dan rancangan DIM. Adapun daftar permasalahan yang telah di inventarisasi dan dimintakan persetujuan seluruhnya berjumlah 360 DIM. “Namun rumusan RUU yang akan dibahas di tingkat panja ini hanya berjumlah 110, berupa DIM perubahan dan usulan baru,” kata Sjarief.

Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil selaku Ketua Tim Perumus RUU Kelautan Sudirman Saad menambahkan bahwa pembahasan RUU ini menjadi sejarah dalam proses legislasi diIndonesia. Dimana untuk pertama kalinya sebuah RUU dibahas secara bersama antara Pemerintah, DPR, dan DPD RI. RUU ini juga telah melewati fase pembahasan yang panjang. “Termasuk dengan menyelenggarakan berbagai workshop  lintas  K/L  dan Forum Group Discussion, sebagai upaya mensosialisasikan mengenai urgensi UU Kelautan,” ujar Sudirman.

Sumber: http://www.neraca.co.id/article/45945/RUU-Kelautan-Harus-Hilangkan-Ego-Sektoral

Kiara: Nelayan Masih Alami Kesulitan Perizinan Melaut

Metrotvnews.com, Jakarta: Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyatakan masih banyak nelayan yang mengalami kesulitan dalam mengurus perizinan untuk melaut. “Hingga hari ini nelayan masih mengalami kesulitan ketika mengurus
perizinan melaut,” kata Sekjen Kiara Abdul Halim dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu (20/7/2014).

Menurut Abdul Halim, birokrasi yang berbelit dan minimnya pengetahuan nelayan tradisional Indonesia dalam mengurus izin membuat nelayan menjadi rentan untuk dikriminalisasi.

Hal itu, ujar dia, secara langsung berdampak bagi kesejahteraan nelayan tradisional Indonesia dan mengakibatkan kemiskinan semakin merajalela di kampung nelayan di berbagai daerah di Tanah Air.

Dia menilai bahwa sampai masa bakti anggota DPR periode 2009-2014 akan berakhir belum ada upaya konkret untuk memberikan payung hukum bagi perlindungan dan pemberdayaan nelayan Indonesia.

“Nelayan masih dianggap masyarakat kelas dua, padahal kontribusi mereka dalam pemenuhan gizi bangsa bisa dirasakan setiap hari di piring-piring masyarakat Indonesia,” ujarnya.

Sebelumnya, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menginginkan pemerintah mendatang dapat menuntaskan permasalahan kemiskinan nelayan tradisional serta bisa mengangkat tingkat penghasilan masyarakat pesisir di berbagai daerah.

Ketua Dewan Pembina KNTI Riza Damanik mengatakan, dengan menanggulangi persoalan kelautan dan akar kemiskinan nelayan maka hal itu merupakan langkah awal yang diyakini membawa Indonesia sebagai negara kepulauan yang kuat kedepannya.

Selain itu, ujar dia, presiden terpilih juga diminta untuk berkomitmen melaksanakan Instrumen Internasional Perlindungan Nelayan Kecil (International Guidelines on Small Scale Fisheries/IGSSF) yang telah disahkan FAO pada Juni 2014.

Pemberdayaan nelayan tradisional juga dinilai perlu menjadi prioritas pembangunan nasional karena selama ini masih terpinggirkan dalam arus utama perencanaan pembangunan di Tanah Air.

Direktur Pusat Studi Oseanografi dan Teknologi Kelautan Universitas Surya Alan F Koropitan mengingatkan bahwa Indonesia ketika merdeka hanya memiliki luas perairan laut sekitar 100 ribu kilometer persegi, namun dengan adanya Deklarasi Djuanda dan diakui secara internasional maka total luas perairan laut Indonesia menjadi sekitar 5,8 juta kilometer persegi.

Jadi, lanjut dia, luas perairan laut mencapai 70 persen dari total wilayah kedaulatan RI, namun total pekerja di sektor laut dan pesisir hanya berkisar 5,6 juta orang yang terbagi atas 2,3 juta nelayan dan 3,3 juta petambak di Tanah Air. 

Kiara: Nelayan Masih Alami Kesulitan Perizinan Melaut

Metrotvnews.com, Jakarta: Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyatakan masih banyak nelayan yang mengalami kesulitan dalam mengurus perizinan untuk melaut. “Hingga hari ini nelayan masih mengalami kesulitan ketika mengurus
perizinan melaut,” kata Sekjen Kiara Abdul Halim dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu (20/7/2014).

Menurut Abdul Halim, birokrasi yang berbelit dan minimnya pengetahuan nelayan tradisional Indonesia dalam mengurus izin membuat nelayan menjadi rentan untuk dikriminalisasi.

Hal itu, ujar dia, secara langsung berdampak bagi kesejahteraan nelayan tradisional Indonesia dan mengakibatkan kemiskinan semakin merajalela di kampung nelayan di berbagai daerah di Tanah Air.

Dia menilai bahwa sampai masa bakti anggota DPR periode 2009-2014 akan berakhir belum ada upaya konkret untuk memberikan payung hukum bagi perlindungan dan pemberdayaan nelayan Indonesia.

“Nelayan masih dianggap masyarakat kelas dua, padahal kontribusi mereka dalam pemenuhan gizi bangsa bisa dirasakan setiap hari di piring-piring masyarakat Indonesia,” ujarnya.

Sebelumnya, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menginginkan pemerintah mendatang dapat menuntaskan permasalahan kemiskinan nelayan tradisional serta bisa mengangkat tingkat penghasilan masyarakat pesisir di berbagai daerah.

Ketua Dewan Pembina KNTI Riza Damanik mengatakan, dengan menanggulangi persoalan kelautan dan akar kemiskinan nelayan maka hal itu merupakan langkah awal yang diyakini membawa Indonesia sebagai negara kepulauan yang kuat kedepannya.

Selain itu, ujar dia, presiden terpilih juga diminta untuk berkomitmen melaksanakan Instrumen Internasional Perlindungan Nelayan Kecil (International Guidelines on Small Scale Fisheries/IGSSF) yang telah disahkan FAO pada Juni 2014.

Pemberdayaan nelayan tradisional juga dinilai perlu menjadi prioritas pembangunan nasional karena selama ini masih terpinggirkan dalam arus utama perencanaan pembangunan di Tanah Air.

Direktur Pusat Studi Oseanografi dan Teknologi Kelautan Universitas Surya Alan F Koropitan mengingatkan bahwa Indonesia ketika merdeka hanya memiliki luas perairan laut sekitar 100 ribu kilometer persegi, namun dengan adanya Deklarasi Djuanda dan diakui secara internasional maka total luas perairan laut Indonesia menjadi sekitar 5,8 juta kilometer persegi.

Jadi, lanjut dia, luas perairan laut mencapai 70 persen dari total wilayah kedaulatan RI, namun total pekerja di sektor laut dan pesisir hanya berkisar 5,6 juta orang yang terbagi atas 2,3 juta nelayan dan 3,3 juta petambak di Tanah Air. 

Mau Melaut Harus Urus 19 Izin, Nelayan Rentan Kriminalisasi

NEFOSNEWS, Jakarta – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyatakan, birokrasi berbelit dan minimnya pengetahuan nelayan dalam mengurus izin membuat membuat nelayan rentan dikriminalisasi.

Untuk bisa melaut, seorang nelayan harus mengurus sederet perizinan yang jika ditotal jumlahnya mencapai sekitar 19 sampai 21 item izin. Izin ini tidak hanya berlaku bagi nelayan kapal besar, nelayan sopek atau kapal kecil bermesin temple juga harus minta izin.

Parahnya lagi, tiap perizinan mesti diurus di berbagai instansi pemerintah, bukan lewat satu atap. Masa berlaku semua perizinan juga berbeda-beda. Jadi untuk urusan birokrasi ini saja, nelayan harus membuang banyak waktu dan energi.

“Hingga hari ini nelayan masih mengalami kesulitan ketika mengurus perizinan melaut,” kata Sekjen Kiara, Abdul Halim, di Jakarta, Minggu (20/7/14).

Kondisi ini secara langsung berdampak bagi kesejahteraan nelayan tradisional Indonesia dan mengakibatkan kemiskinan semakin merajalela di kampung nelayan di berbagai daerah di Tanah Air.

Kiara sangat kecewa, sebab DPR tidak bisa memenuhi janjinya mengesahkan UU Kelautan sebagai upaya konkret untuk memberikan payung hukum bagi perlindungan dan pemberdayaan nelayan Indonesia.

DPR lebih mementingkan urusan lain seperti membahas UU MD3 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang sangat kontroversial, dibanding mengurusi nelayan yang jumlahnya sangat banyak.

“Nelayan masih dianggap masyarakat kelas dua, padahal kontribusi mereka dalam pemenuhan gizi bangsa bisa dirasakan setiap hari di piring-piring masyarakat Indonesia.”

Sementara itu, Ketua Dewan Pembina KNTI, Riza Damanik, meminta presiden terpilih nantinya mau menuntaskan persoalan nelayan. Tidak sekedar menjadikan program nelayan sebagai agenda kampanye.

“Presiden terpilih untuk mempertimbangkan atau tidak mengulang kesalahan persoalan mendasar kelautan dan akar kemiskinan nelayan,” kata Riza.

Dengan menanggulangi persoalan kelautan, maka KNTI yakin hal itu merupakan langkah awal untuk membawa Indonesia sebagai negara kepulauan yang kuat di masa mendatang. (anila)

RUU Kelautan Harus Hilangkan Ego-Sektoral dan Perkuat Upaya Pencegahan Pencemaran Laut

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

www.kiara.or.id

 

RUU Kelautan Harus Hilangkan Ego-Sektoral dan Perkuat Upaya Pencegahan Pencemaran Laut

 

Jakarta, 26 September 2014. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menjadwalkan pengesahan RUU Kelautan menjadi Undang-Undang Kelautan pada Jumat (26/09) ini. Intensi pengesahan RUU Kelautan tepat jika arahnya ingin mengatasi pengelolaan sumber daya laut yang selama ini sektoral.

Dalam naskah RUU Kelautan tertanggal 15 Agustus 2014, pembangunan bidang kelautan difokuskan pada 7 (tujuh) sektor utama, yaitu (i) perhubungan laut, (ii) industri maritim, (iii) perikanan, (iv) pariwisata bahari, (v) energi dan sumber daya mineral, (vi) bangunan kelautan, dan (vii) jasa kelautan.

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA mengatakan bahwa, “Egosektoral di bidang kelautan adalah persoalan kronis yang harus dipastikan teratasi dengan lahirnya UU Kelautan. Namun disayangkan masih terdapat pasal karet yang melonggarkan praktek pencemaran laut dengan menyebut prinsip pencemar membayar (polluter pays) dan kehati-hatian di dalam Pasal 40 ayat (3). Semestinya RUU Kelautan ini memperkuat upaya melestarikan laut yang tidak diatur di UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)”.

Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mendefinisikan prinsip pencemar membayar (polluter pays) sebagai “pencemar harus menanggung biaya langkah-langkah untuk mengurangi polusi sesuai dengan tingkat kerusakan yang dilakukan, baik kepada masyarakat atau melebihi dari tingkat yang dapat diterima (standard yang diatur oleh UU PPLH)”. Dengan perkataan lain, RUU Kelautan tidak menjawab persoalan pencemaran laut yang selama ini menjadi ancaman serius bagi laut dan masyarakat pesisir di Indonesia.

Tabel 1. Klausul mengenai Pencemaran Laut UU PPLH dan RUU Kelautan

UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH RUU Kelautan
Pasal 20 ayat (3)

Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup dengan persyaratan: a. memenuhi baku mutu lingkungan hidup; dan

b. mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan

 

Pasal 60

Setiap orang dilarang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin.

 

Pasal 61

(1) Dumping sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 hanya dapat dilakukan dengan izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

 

(2) Dumping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di lokasi yang telah ditentukan.

 

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan dumping limbah atau bahan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 40

(1)      Pencemaran laut meliputi:

a.       pencemaran yang berasal dari daratan; dan

b.       pencemaran yang berasal dari kegiatan di laut.

(2)      Pencemaran laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat terjadi:

a.       di perairan yurisdiksi Indonesia;

b.       dari luar perairan yurisdiksi Indonesia; atau

c.       dari dalam perairan yurisdiksi Indonesia keluar perairan yurisdiksi Indonesia.

(3)      Proses penyelesaian sengketa dan penerapan sanksi pencemaran laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan berdasarkan prinsip pencemar membayar dan prinsip kehati-hatian.

(4)      Ketentuan lebih lanjut mengenai proses penyelesaian dan sanksi terhadap pencemaran laut dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (September 2014), diolah dari Naskah RUU Kelautan tertanggal 15 Agustus 2014 dan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH

Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa ada pembolehan membuang limbah ke media lingkungan, termasuk laut, dengan seizin pemerintah, tanpa partisipasi masyarakat melalui prinsip FPIC (freepriorinformconsent).

Bertolak dari hal di atas, KIARA meminta DPR RI bersama dengan pemerintah untuk menuntaskan pembahasan RUU Kelautan terlebih dahulu, khususnya menyangkut pencemaran laut, dengan memastikan larangan dan sanksi berat bagi  pelaku pencemar laut, sebelum melakukan pengesahan. Karena hal tersebut menyangkut hajat hidup masyarakat nelayan dan mereka yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, seperti yang terjadi di Laut Timor.***

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA

di +62 815 53100 259

 

 

RUU Kelautan Harus Hilangkan Ego-Sektoral dan Perkuat Upaya Pencegahan Pencemaran Laut

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

www.kiara.or.id

 

RUU Kelautan Harus Hilangkan Ego-Sektoral dan Perkuat Upaya Pencegahan Pencemaran Laut

 

Jakarta, 26 September 2014. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menjadwalkan pengesahan RUU Kelautan menjadi Undang-Undang Kelautan pada Jumat (26/09) ini. Intensi pengesahan RUU Kelautan tepat jika arahnya ingin mengatasi pengelolaan sumber daya laut yang selama ini sektoral.

Dalam naskah RUU Kelautan tertanggal 15 Agustus 2014, pembangunan bidang kelautan difokuskan pada 7 (tujuh) sektor utama, yaitu (i) perhubungan laut, (ii) industri maritim, (iii) perikanan, (iv) pariwisata bahari, (v) energi dan sumber daya mineral, (vi) bangunan kelautan, dan (vii) jasa kelautan.

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA mengatakan bahwa, “Egosektoral di bidang kelautan adalah persoalan kronis yang harus dipastikan teratasi dengan lahirnya UU Kelautan. Namun disayangkan masih terdapat pasal karet yang melonggarkan praktek pencemaran laut dengan menyebut prinsip pencemar membayar (polluter pays) dan kehati-hatian di dalam Pasal 40 ayat (3). Semestinya RUU Kelautan ini memperkuat upaya melestarikan laut yang tidak diatur di UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)”.

Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mendefinisikan prinsip pencemar membayar (polluter pays) sebagai “pencemar harus menanggung biaya langkah-langkah untuk mengurangi polusi sesuai dengan tingkat kerusakan yang dilakukan, baik kepada masyarakat atau melebihi dari tingkat yang dapat diterima (standard yang diatur oleh UU PPLH)”. Dengan perkataan lain, RUU Kelautan tidak menjawab persoalan pencemaran laut yang selama ini menjadi ancaman serius bagi laut dan masyarakat pesisir di Indonesia.

Tabel 1. Klausul mengenai Pencemaran Laut UU PPLH dan RUU Kelautan

UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH RUU Kelautan
Pasal 20 ayat (3)

Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup dengan persyaratan: a. memenuhi baku mutu lingkungan hidup; dan

b. mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan

 

Pasal 60

Setiap orang dilarang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin.

 

Pasal 61

(1) Dumping sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 hanya dapat dilakukan dengan izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

 

(2) Dumping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di lokasi yang telah ditentukan.

 

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan dumping limbah atau bahan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 40

(1)      Pencemaran laut meliputi:

a.       pencemaran yang berasal dari daratan; dan

b.       pencemaran yang berasal dari kegiatan di laut.

(2)      Pencemaran laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat terjadi:

a.       di perairan yurisdiksi Indonesia;

b.       dari luar perairan yurisdiksi Indonesia; atau

c.       dari dalam perairan yurisdiksi Indonesia keluar perairan yurisdiksi Indonesia.

(3)      Proses penyelesaian sengketa dan penerapan sanksi pencemaran laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan berdasarkan prinsip pencemar membayar dan prinsip kehati-hatian.

(4)      Ketentuan lebih lanjut mengenai proses penyelesaian dan sanksi terhadap pencemaran laut dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (September 2014), diolah dari Naskah RUU Kelautan tertanggal 15 Agustus 2014 dan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH

Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa ada pembolehan membuang limbah ke media lingkungan, termasuk laut, dengan seizin pemerintah, tanpa partisipasi masyarakat melalui prinsip FPIC (freepriorinformconsent).

Bertolak dari hal di atas, KIARA meminta DPR RI bersama dengan pemerintah untuk menuntaskan pembahasan RUU Kelautan terlebih dahulu, khususnya menyangkut pencemaran laut, dengan memastikan larangan dan sanksi berat bagi  pelaku pencemar laut, sebelum melakukan pengesahan. Karena hal tersebut menyangkut hajat hidup masyarakat nelayan dan mereka yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, seperti yang terjadi di Laut Timor.***

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA

di +62 815 53100 259

 

 

Utamakan pelestarian lingkungan, dan selaraskan dengan HAM.

Utamakan pelestarian lingkungan, dan selaraskan dengan HAM.
Kebijakan poros maritim dan pembangunan tol laut yang didengungkan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) mendapat sorotan koalisi organisasi masyarakat sipil. Koalisi yang terdiri dari Walhi, KIARA, YLBHI, Greenpeace, JATAM dan Change.org itu khawatir kebijakan tersebut akan mempercepat perusakan lingkungan dan meningkatkan konflik sosial.

Menurut Direktur Advokasi YLBHI, Bahrain, Koalisi berharap pembangunan poros maritim dan tol laut ramah lingkungan dan memanusiakan manusia. Sebab, selama ini sering terlihat kepentingan masyarakat kecil tersingkir atas nama pembangunan. Pelanggaran HAM itu semakin meningkat sejak pemerintah SBY menggulirkan kebijakan MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia).

Untuk itu koalisi mengingatkan agar pemerintah baru memperbaiki kebijakan tersebut. “Kami mengingatkan agar pembagunan yang dijalankan pemerintah baru harus mengutamakan perlindungan ekologi dan HAM. Kami harapkan pembangunan berbasis HAM,” kata Bahrain dalam jumpa pers di kantor YLBHI di Jakarta, Selasa (23/9).

Bahrain curiga poros maritim dan tol laut tidak ditujukan untuk kepentingan rakyat, tapi para pengusaha. Jika itu terjadi eksploitasi SDA terus berlangsung, dan keuntungannya lebih dinikmati negara lain.

Menambahkan Bahrain Kepala Greenpeace Indonesia, Longgena Ginting, mengatakan secara geografis dan geopolitik Indonesia adalah poros maritim dunia. Sehingga segala kondisi yang terjadi di laut Indonesia mempengaruhi keadaan regional Asia Tenggara dan dunia. Untuk itu poros maritim dan tol laut yang digagas Jokowi-JK harus memperhatikan pelestarian lingkungan dan HAM.

Ginting berpendapat Indonesia butuh tol laut untuk menghubungkan wilayah yang ada di Indonesia. Namun banyak masalah yang harus dibenahi, seperti kasus pencurian ikan, pencemaran dan dampak perubahan iklim. Karena itu, harap Longgena, pembangunan poros maritim dan tol laut jangan hanya menekankan pada eksploitasi SDA.
“Kami minta pemerintahan Jokowi-JK merancang konsep itu secara transparan dan partisipatif. Utamakan HAM dan kepentingan rakyat diatas kepentingan bisnis,” ujar Ginting.

Koordinator pendidikan dan penguatan jaringan Kiara, Selamet Daroyni, menekankan agar pemerintah Jokowi-JK jangan meneruskan program MP3EI. Program ini dia yakini merusak lingkungan dan menyebabkan bencana. Seperti yang terjadi pada pembangunan PLTU Batang dan reklamasi Teluk Benoa.

Dalam mengimplementasikan poros maritim dan tol laut, Selamet mencatat ada banyak kebijakan yang harus direvisi. Misalnya, UU No.1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Wet ini membuka peluang korporasi asing menguasai SDA yang ada di laut Indonesia.

Padahal, untuk membangun poros maritim, yang utama adalah menyejahterakan nelayan dan penduduk di pesisir dan pulau kecil. “Kami tegaskan kalau mau menjadikan Indonesia poros maritim, pemerintah harus mengutamakan bagaimana menyejahterakan nelayan. Itu yang harus diprioritaskan,” tukasnya.

Manager Kampanye Walhi, Edo Rakhman, mengusulkan agar poros maritim dan tol laut jangan ditujukan untuk distribusi hasil tambang seperti batubara. Karena menyebabkan pencemaran lingkungan di jalur yang dilewatinya. Walhi mencatat tiga sungai besar di Indonesia tercemar karena digunakan sebagai jalur distribusi batubara.

“Tol laut jangan digunakan untuk distribusi barang tambang, tapi meratakan pembangunan dari barat ke timur. Kita harus jaga agar laut kita tidak semakin tercemar,” usul Edo.

sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54211ef7f1087/aktivis-lingkungan-bersuara-untuk-poros-maritim-jokowi