Utamakan pelestarian lingkungan, dan selaraskan dengan HAM.
Menurut Direktur Advokasi YLBHI, Bahrain, Koalisi berharap pembangunan poros maritim dan tol laut ramah lingkungan dan memanusiakan manusia. Sebab, selama ini sering terlihat kepentingan masyarakat kecil tersingkir atas nama pembangunan. Pelanggaran HAM itu semakin meningkat sejak pemerintah SBY menggulirkan kebijakan MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia).
Untuk itu koalisi mengingatkan agar pemerintah baru memperbaiki kebijakan tersebut. “Kami mengingatkan agar pembagunan yang dijalankan pemerintah baru harus mengutamakan perlindungan ekologi dan HAM. Kami harapkan pembangunan berbasis HAM,” kata Bahrain dalam jumpa pers di kantor YLBHI di Jakarta, Selasa (23/9).
Bahrain curiga poros maritim dan tol laut tidak ditujukan untuk kepentingan rakyat, tapi para pengusaha. Jika itu terjadi eksploitasi SDA terus berlangsung, dan keuntungannya lebih dinikmati negara lain.
Menambahkan Bahrain Kepala Greenpeace Indonesia, Longgena Ginting, mengatakan secara geografis dan geopolitik Indonesia adalah poros maritim dunia. Sehingga segala kondisi yang terjadi di laut Indonesia mempengaruhi keadaan regional Asia Tenggara dan dunia. Untuk itu poros maritim dan tol laut yang digagas Jokowi-JK harus memperhatikan pelestarian lingkungan dan HAM.
Ginting berpendapat Indonesia butuh tol laut untuk menghubungkan wilayah yang ada di Indonesia. Namun banyak masalah yang harus dibenahi, seperti kasus pencurian ikan, pencemaran dan dampak perubahan iklim. Karena itu, harap Longgena, pembangunan poros maritim dan tol laut jangan hanya menekankan pada eksploitasi SDA.
“Kami minta pemerintahan Jokowi-JK merancang konsep itu secara transparan dan partisipatif. Utamakan HAM dan kepentingan rakyat diatas kepentingan bisnis,” ujar Ginting.
Koordinator pendidikan dan penguatan jaringan Kiara, Selamet Daroyni, menekankan agar pemerintah Jokowi-JK jangan meneruskan program MP3EI. Program ini dia yakini merusak lingkungan dan menyebabkan bencana. Seperti yang terjadi pada pembangunan PLTU Batang dan reklamasi Teluk Benoa.
Dalam mengimplementasikan poros maritim dan tol laut, Selamet mencatat ada banyak kebijakan yang harus direvisi. Misalnya, UU No.1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Wet ini membuka peluang korporasi asing menguasai SDA yang ada di laut Indonesia.
Padahal, untuk membangun poros maritim, yang utama adalah menyejahterakan nelayan dan penduduk di pesisir dan pulau kecil. “Kami tegaskan kalau mau menjadikan Indonesia poros maritim, pemerintah harus mengutamakan bagaimana menyejahterakan nelayan. Itu yang harus diprioritaskan,” tukasnya.
Manager Kampanye Walhi, Edo Rakhman, mengusulkan agar poros maritim dan tol laut jangan ditujukan untuk distribusi hasil tambang seperti batubara. Karena menyebabkan pencemaran lingkungan di jalur yang dilewatinya. Walhi mencatat tiga sungai besar di Indonesia tercemar karena digunakan sebagai jalur distribusi batubara.
“Tol laut jangan digunakan untuk distribusi barang tambang, tapi meratakan pembangunan dari barat ke timur. Kita harus jaga agar laut kita tidak semakin tercemar,” usul Edo.