Kawasan Konservasi Hanya Hambat Nelayan Tradisional

Kawasan Konservasi Hanya Hambat Nelayan Tradisional

 | Reja Hidayat

Pemerintah atau konsorsium perusahaan sering menggunakan alasan konservasi sebagai modus penghambat penangkapan ikan bagi nelayan tradisional di wilayah tertentu.

“Nelayan lebih tahu dari pada perusahaan kapan waktu menangkap ikan,” kata Sekretaris Jenderal Serikat Nelayan Indonesia, Budi Laksana, saat dihubungi Geotimes di Jakarta, Rabu [5/11].

SNI menuntut alasan konservasi itu tak digunakan lagi, karena mempengaruhi hasil tangkapan para nelayan tradisional.

“Ingat, kearifan lokal nelayan adat sudah turun-temurun di seluruh Indonesia sebelum adanya aturan-aturan privatisasi. Jadi mereka lebih melestarikan laut dibandingkan perusahaan,” katanya.

Dia mencontohkan, pemburuan paus di Lamalera, Nusa Tenggara Timur oleh nelayan tradisional sudah menjadi tradisi. Dalam pemburuan tersebut, nelayan dilarang menangkap paus betina karena spesies itu bisa punah.

Oleh karena itu, nelayan menangkap paus jantan dengan waktu tertentu untuk dibagikan kepada masyarakat sekitar, bukan seperti perusahaan yang mengejar untung sebesar-besarnya tanpa memperdulikan habitatnya.

Sementara itu, Koordinator Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Abdul Halim, mengatakan kawasan konservasi perairan yang ditetapkan semau-mau oleh pemerintah semata-mata untuk mendapatkan pinjaman asing dan citra positif di level internasional.

Pusat Data dan Informasi Kiara (Juni 2013) mencatat proyek konservasi di laut Indonesia yang didanai asing, di antaranya Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (Coremap II 2004-2011) mencapai lebih dari Rp1,3 triliun, sebagian besar bersumber dari utang Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB).

Berdasarkan Laporan BPK 2013, program konservasi terumbu karang justru tak efektif dan ada kebocoran dana. Kini, Kementerian Kelautan dan Perikanan melanjutkan proyek Coremap III periode 2014-2019 dengan menambah utang konservasi baru sebesar 80 juta dollar AS dari Bank Dunia dan ADB.

Upaya konservasi juga menjadi komitmen Indonesia melalui target 20 juta hektar kawasan konservasi laut pada 2020. Kini, luas kawasan baru sekitar 15 juta hektar.

Abdul mengkhawatirkan program ini mengesampingkan nelayan tradisional dan masyarakat adat serta mengubur kearifan lokal. Kiara mendesak pemerintah baru mengedepankan dan memastikan pengelolaan sumber daya laut berdasarkan kearifan lokal.

Pemerintah juga diminta mengevaluasi proyek konservasi laut yang terbukti membebani keuangan negara dan menghentikan skema pembiayaan konservasi laut berbasis utang.[*]

Sumber: http://geotimes.co.id/kebijakan/kelautan/11239-kawasan-konservasi-dinilai-hanya-untuk-hambat-nelayan-tradisional.html