Lindungi Nelayan dan Perempuan Nelayan Tradisional

Siaran Pers Bersama

Komite Aksi Hari Perikanan Sedunia 2014

KIARA, KNTI, PPNI, SNI, IHCS, YLBHI, LBH Jakarta, SP, KRuHA

“Lindungi Nelayan dan Perempuan Nelayan Tradisional”

Jakarta, 21 November 2014. Masyarakat nelayan di dunia kembali merayakan Hari Perikanan Sedunia pada tanggal 21 November tiap tahunnya. Hari Perikanan Sedunia ini bermula pada keprihatinan masyarakat perikanan dunia yang berkumpul yang dimulai New Delhi India 17 tahun lalu. Keprihatinan ini didasari atas keberlanjutan sumber daya ikan yang memasuki titik eksploitasi berlebih serta upaya menyejahterakan nelayan.

Perikanan sebagai sektor pangan memerlukan pendekatan ekologis yang tidak hanya sekedar didasarkan stok sumber daya ikan sebagai komoditas yang akan eksploitatif. Tetapi, juga bagaimana perikanan dapat menyejahterakan nelayan, masyarakat pesisir laki-laki dan perempuan serta menjaga keberlanjutan sumber daya pesisir seperti hutan bakau, terumbu karang, padang lamun dan pulau-pulau kecil. Ekosistem tersebut akan mempengaruhi sumber daya perikanan.

Setidaknya pada tahun ini, terdapat empat isu strategis yang penting untuk digarisbawahi oleh pemerintahan hari ini. Pertama terkait dengan pengakuan dan perlindungan terhadap nelayan dan petambak tradisional baik Laki-Laki dan Perempuan. Pengakuan nelayan dan petambak akan terkait erat dengan bagaimana negara memenuhi hak-hak asasi. Baik haknya sebagai warga negara Indonesia yang telah diatur dalam konstitusi UUD 1945 serta aturan lain yang menegaskan hak-hak dasarnya sebagai warga negara. Serta juga haknya sebagai bagian dari pekerjaannya selama ini dalam perikanan yang meliputi dukungan dan perlindungan pemerintah dalam tahap pra produksi, saat produksi dan pasca produksi.

Kedua, nelayan menjadi korban pembangunan di pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal ini dapat dilihat dari proyek PLTU Batang serta Giant Sea Wall di Teluk Jakarta. Sedikitnya 10.961 nelayan tradisional Batang terancam kehilangan penghasilan dan 16.855 nelayan akan tergusur karena proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) proyek senilai 600 triliun Rupiah. Begitu pula pertambangan di pesisir dan pulau-pulau kecil tidak pernah ada upaya untuk menghentikan eksploitasi. Sebaliknya kriminalisasi berjalan dengan mudah sebagaimana yang dihadapi nelayan nelayan di Taman Nasional Ujung Kulon yang terancam 5 tahun penjara dan denda 100 juta hanya karena menangkap ikan dan kepiting.

Ketiga, BBM Subsidi untuk Nelayan Tradisional yang baru saja dinaikkan dari Rp. 5.500 menjadi Rp. 7.500. Nelayan tradisional dan petambak adalah sektor yang paling terpukul ketika ada pencabutan subsidi namun tidak ada upaya negara sebagai kompensasi untuk mengantisipasi dampak dari pengurangan subsidi BBM. Masalah distribusi bbm tidak pernah transparan, tidak terbuka dan terjadi kolusi dan nepotisme tidak pernah diselesaikan. Terlebih BBM subsidi dibuka aksesnya kepada kapal dengan ukuran di atas 30 GT dengan maksimal 25 (dua puluh lima) kilo liter/bulan. Yang sangat gamblang menggambarkan keberpihakan pemerintah terhadap pengusaha perikanan.

Keempat terkait dengan Pencurian Ikan dengan: 5 Agenda Prioritas yang perlu dilakukan pemerintah. Pertama, menyelesaikan tumpang tindih pengawasan; Kedua, memastikan sanksi pelanggaran kewajiban mempekerjakan nakhoda dan anak buah kapal yang berkewarganegaraan Indonesia di dalam kapal berbendera Indonesia; Ketiga, mewajibkan adanya peningkatan nilai hasil tangkapan dengan mewajibkan usaha perikanan skala besar membuat sarana unit pengolahan ikan; Keempat, menegaskan pelarangan jaring pukat trawl di seluruh perairan Indonesia; Kelima, memastikan hak partisipasi nelayan dalam pengawasan sumber daya perikanan.

Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi:

  1. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Selamet Daroyni di 0821 1068 3102
  2. Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (INTI), M. Taher di 081314814823
  3. Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), Habibab di 081210116937
  4. Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Budi Laksana di 0813 1971 6775
  5. Indonesia Human Rights Committee For Social Justice (IHCS), Ridwan Darmawan di 0812 8672 8337
  6. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Wahyu Nandang Herawan di 0857 2722 1793
  7. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Hendra Supriatna di 081222345610
  8. Solidaritas Perempuan (SP), Arieska di 081280564651
  9. Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHa), Reza di 081370601441

 

 

Lampiran

 

Kertas Posisi Hari Perikanan Sedunia 2014

“Lindungi Nelayan dan Perempuan Nelayan Tradisional”

Pengantar

Masyarakat nelayan di dunia kembali merayakan Hari Perikanan Sedunia pada tanggal 21 November tiap tahunnya. Hari Perikanan Sedunia ini bermula pada keprihatinan masyarakat perikanan dunia yang berkumpul yang dimulai New Delhi India 17 tahun lalu. Keprihatinan ini didasari atas keberlanjutan sumber daya ikan yang memasuki titik eksploitasi berlebih serta upaya menyejahterakan nelayan.

Perikanan sebagai sektor pangan memerlukan pendekatan ekologis yang tidak hanya sekedar didasarkan stok sumber daya ikan sebagai komoditas yang akan eksploitatif. Tetapi, juga bagaimana perikanan dapat menyejahterakan nelayan, masyarakat pesisir laki-laki dan perempuan serta menjaga keberlanjutan sumber daya pesisir seperti hutan bakau, terumbu karang, padang lamun dan pulau-pulau kecil. Ekosistem tersebut akan mempengaruhi sumber daya perikanan.

Indonesia adalah negara bahari dengan gugusan ribuan pulau yang menyebar dari ujung barat di Sabang hingga Merauke. Dua per tiga kawasannya adalah laut, terdiri dari 17.504 pulau dengan luas laut keseluruhan 5,8 juta km2. Perairan Indonesia memiliki potensi sumber daya perikanan tangkap lebih dari 5 juta ton per tahun. Semestinya laut Indonesia bisa menyejahterakan nelayan, petambak ikan dan udang, baik laki-laki maupun perempuan nelayan, masyarakat pesisir yang berada di kampung-kampung pesisir.

Pengakuan dan Perlindungan: Nelayan dan Petambak baik Laki-Laki dan Perempuan

Data BPS (2010) menyebutkan bahwa terdapat 10.639 desa pesisir yang tersebar di 300 kabupaten/kota dari total sekitar 524 kabupaten/kota se-Indonesia. Dari desa pesisir tersebut jumlah penduduk miskin di pesisir mencapai 7,87 juta jiwa atau 25,14% dari total penduduk miskin nasional yang berjumlah 31,02 juta jiwa. Situasi ini menjadi fakta yang dialami oleh Masyarakat Pesisir yang tersebar di ribuan pulau di Indonesia.

Kondisi buruk tersebut sejalan dengan fakta-fakta yang dialami nelayan. Dari 2,74 juta jiwa nelayan, 92% dari angka tersebut adalah nelayan dengan ciri tradisional namun tidak diakui dan dilindungai tanpa dukungan modal dan teknologi. Tidak ada perlindungan kepada nelayan dilihat dari angka nelayan yang hilang dan meninggal dunia di laut mencapai 255 jiwa (KIARA, Juni 2014) yang terus meningkat sejak tahun 2010 sebanyak 86 orang nelayan. Juga masalah yang dihadapi petambak baik ikan maupun penghasil olahan pesisir seperti garam yang terancam atas kebijakan importasi ikan dan garam.

Meski demikian, 75% pasokan pangan protein nasional merupakan kontribusi mereka. Sangat ironis, ditengah berlimpahnya sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil dan peluh keringat nelayan tradisional justru berbanding terbalik dengan tingkat kesejahteraan mereka. Sehingga nelayan merupakan kelompok masyarakat yang rentan dan wajib untuk dilindungi.

Nelayan sebagai Korban Pembangunan

Pembangunan infrastruktur di pesisir dan reklamasi merupakan pendorong utama meningkatnya ancaman bencana di pesisir. Pusat Data dan Informasi Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) tahun 2013 mendapati bahwa dalam 10 tahun terakhir, sedikitnya tercatat ada 19 kawasan pesisir yang direklamasi. Secara akumulatif telah terjadi pengkaplingan (penguasaan) wilayah pesisir yang dikonversi menjadi daratan hasil reklamasi seluas 5.775,3 ha. Dari angka tersebut, telah terjadi pengusiran sedikitnya  14.344 nelayan, sedikitnya 18.151 Kepala Keluarga (KK) di delapan kota pesisir dari ruang permukiman dan ruang wilayah penghidupannya (wilayah tangkap nelayan tradisional).

Dampak buruk reklamasi akan mengusir nelayan dan masyarakat pesisir dari ruang permukiman dan ruang penghidupannya (wilayah perikanan tangkap) juga menutup hak akses masyarakat untuk mengakses pantai sebagai ruang terbuka publik karena di privatisasi. Salah satu contoh rencana proyek reklamasi di wilayah pesisir terjadi di Bali yang mengancam Teluk Benoa yang merupakan salah satu ekosistem pesisir yang unik dan harus di konservasi.

Di tempat yang lain, yaitu di Batang Jawa Tengah, pemerintah sedang merencanakan membangun PLTU batubara. Masyarakat nelayan tradisional Kabupaten Batang telah meminta ke Presiden agar proyek ini di batalkan karena melanggar hak konstitusional warga, yakni akses ke laut dan mendapatkan lingkungan hidup dan perairan yang bersih dan sehat. Bila proyek PLTU berkapasitas 2.000 MW tetap dipaksakan, sedikitnya 10.961 nelayan tradisional Batang terancam kehilangan penghasilan. Demikian juga halnya nasib petani yang tersebar di enam desa, yaitu Ponowareng, Karanggeneng, Wonokerso, Ujungnegoro, Sengon (Roban Timur) dan Kedung Segog (Roban Barat) akan mengalami nasib yang sama. Pembangunan proyek ini sangat berseberangan dengan komitmen Pemerintah RI untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen pada tahun 2020.

Begitu pula di Ibukota Jakarta dengan proyek pembangunan Giant Sea Wall atau Tanggul Raksasa Laut yang kontroversial. Dengan tajuk National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) proyek senilai 600 triliun Rupiah akan potensial menggusur 16.855 nelayan Jakarta. Proyek ini seharusnya dihentikan karena tidak layak dari berbagai aspek antara lain aspek lingkungan, ekonomi dan sosial masyarakat. Tidak ada konsultasi publik kepada masyarakat pesisir Teluk Jakarta,  adanya keragu-raguan dari berbagai ahli mengenai proyek ini, adanya keraguan dari Ahok, tidak menjawab akar masalah Jakarta seperti banjir dan krisis air, bahkan tidak ada ijin lingkungan yang menjadi dasar hukum proyek tersebut. proyek ini akan mengancam penghidupan mereka baik karena ancaman penggusuran maupun rusaknya ekosistem pesisir sehingga mereka harus melaut lebih jauh lagi.

Selain itu, pertambangan di pesisir dan pulau-pulau kecil seperti di Teluk Lontar di Serang, Provinsi Banten, Pulau Bangka di Sulawesi Utara dan Pulau Nusakambangan Jawa Tengah dipastikan akan meminggirkan ruang penghidupan nelayan tradisional. Upaya protes dan hingga berlanjut ke sarana hukum melalui pengadilan telah dilalui namun upaya tersebut tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah sehingga nelayan terus menerus menjadi korban dalam pembangaunan. Namun sebaliknya kriminalisasi sangat mudah dilakukan oleh pemerintah ketika berhadapan dengan nelayan. Seperti yang saat ini dihadapi oleh nelayan di Taman Nasional Ujung Kulon yang terancam 5 tahun penjara dan denda 100 juta hanya karena menangkap ikan dan kepiting.

BBM Subsidi untuk Nelayan Tradisional

Baru-baru ini melalui Permen ESDM No. 34 Tahun 2014 harga BBM Solar bersubsidi dinaikkan dari Rp. 5.500 menjadi Rp. 7.500. Asumsi yang dibangun dari kebijakan ini bahwa subsidi anggaran BBM dianggap tidak tepat sasaran sehingga dianggap perlu untuk dialihkan kepada bentuk-bentuk yang produktif dan tepat sasaran. Asumsi ini sangat umum dan berdasarkan fakta-fakta di lapangan, terjadi kondisi sebaliknya, BBM solar adalah kebutuhan primer dan utama bagi nelayan.

Sejak era Pemerintahan Yudhoyono hingga Pemerintahan Jokowi hari ini, pemerintah telah melakukan seringkali melakukan pencabutan subsidi BBM yang memberikan dampak ekonomi yang sangat luas. Bahan bakar minyak merupakan salah satu input utama dalam proses produksi di sektor perikanan yang mencapai 60-70 % dari total biaya produksi sehingga kenaikan harga BBM jelas akan menaikkan biaya produksi secara signifikan.

Fakta di lapangan, pencabutan subsidi sebesar Rp.2000 mendongkrak kenaikan Rp.3000 hingga Rp.6000 per liternya. Kenaikan harga beli BBM jenis Solar di kampung nelayan & petambak bervariasi berdasarkan informasi dari nelayan (KNTI, 18/11/2014). Di Jawa Timur seperti Surabaya, Gresik, Lamongan, Madura dan sekitarnya harga BBM jenis solar mencapai Rp.8500, di kepulauan sapeken kab sumenep Rp.10.000 dan Kepulaan Mesalembo Kab Sumenep Rp.11.000 per liternya. Di Rawajitu, Lampung mencapai Rp 8500-Rp 9000, di Tanjung Balai dan Langkat, Sumatera Utara Rp.7800-8500, di Kendal dan Demak Jawa Tengah masing-masing Rp 7800 dan Rp 8000, di Lombok Timur Rp 9000, dan Lamalera, NTT Rp.12.500. Namun di beberapa tempat terjadi kelangkaan BBM bersubsidi seperti di Tarakan, Kalimantan Utara yang tidak ada sama sekali BBM subsidi.

Dari fakta harga dan ketersediaan BBM bersubsidi, nelayan tradisional dan petambak adalah sektor yang paling terpukul ketika ada pencabutan subsidi. Persoalan distribusi yang menjadi masalah kelangkaan tidak pernah diantisipasi oleh pemerintah. Distribusi BBM tidak pernah transparan, tidak terbuka untuk nelayan tradisional dan terjadi kolusi dan nepotisme. Ditambah lagi akses sumber ikan yang terjadi penurunan jumlah stok ikan membuat wilayah tangkap lebih jauh mengakibatkan konsumsi BBM meningkat. Di sisi lain, BBM subsidi dapat diakses oleh kapal-kapal besar. Dengan aturan yang sangat longgar, kapal dengan ukuran di atas 30 GT yang terdaftar di instansi pemerintahan dapat mengakses bbm bersubsidi dengan pemakaian paling banyak 25 (dua puluh lima) kilo liter/bulan. Walaupun melalui verifikasi dan surat rekomendasi dari Pelabuhan Perikanan atau Kepala SKPD Provinsi/Kabupaten/Kota.

Dapat dipastikan telah terjadi diskriminasi akses BBM subsidi kepada nelayan tradisional dengan membuka akses kepada pengusaha perikanan dengan kapal 30 GT keatas. Selain itu, klaim pemerintah bahwa pencabutan subsidi BBM tidak berdampak buruk bagi nelayan & petambak adalah kesalahan. Ditambah lagi tidak ada upaya negara sebagai kompensasi untuk mengantisipasi dampak dari pengurangan subsidi BBM.

Pencurian Ikan: 5 Agenda Prioritas

Kondisi sumber daya perikanan yang saat ini mengalami over eksploitas, disebabkan banyak faktor. Pertama, sebagai sumber daya terbuka dengan prinsip open access, telah menyebabkan tingginya tingkat penangkapan ikan sehingga terjadi penurunan jumlah stok dari tahun ke tahun. Kedua, masalah pencurian ikan di laut Indonesia menjadi masalah yang tidak dapat diselesaikan walaupun telah ada will (niat) pemerintah dengan dukungan anggaran yang besar.

Penangkapan ikan yang melanggar hukum yang paling umum terjadi adalah pencurian ikan oleh kapal penangkap ikan berbendera asing dengan berkedok kapal ex-asing, dengan wilayah operasi bukan hanya perairan ZEE Indonesia, melainkan masuk sampai ke perairan kepulauan Indonesia bahkan masuk dalam perairan teritorial. Pada umumnya, jenis alat penangkapan ikan yang digunakan berupa purse seine dan trawl, yang merupakan alat-alat tangkap ikan yang paling eksploitatif dan merusak ekosistem.

Mengenai masalah pencurian ikan terdapat beberapa agenda prioritas yang bisa dilakukan oleh pemerintah. Pertama, menyelesaikan tumpang tindih pengawasan, Pengawasan perikanan Indonesia tidak optimal disebabkan adanya tumpang tindih antar kementerian sektoral sehingga pencurian ikan tidak akan pernah bisa berkurang. Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) bersifat koordinasi 13 kementerian dan lembaga sehingga tidak dapat efektif dalam melakukan pengawasan. Ditambah lagi berdasarkan mandat Peraturan Pemerintah Tentang pengawasan perikanan, keikutsertaan masyarakat dalam membantu pengawasan perikanan berdasarkan Pasal 70 UU No. 31 Tahun 2004 tentang perikanan yang selambat-lambatnya satu tahun sejak diundangkan.

Kedua, memastikan sanksi pelanggaran kewajiban mempekerjakan nakhoda dan anak buah kapal yang berkewarganegaraan Indonesia di dalam kapal berbendera Indonesia tertuang sebagaimana diatur dalam Pasal 35A ayat (1) UU Perikanan No. 45 Tahun 2009, yang berbunyi: “Kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia wajib menggunakan nakhoda dan anak buah kapal berkewarganegaraan Indonesia.” Oleh karena rendahnya kualitas penindakan kejahatan perikanan, kepada para pelanggar Pasal 35A ayat (1) tersebut tidak ada sanksi yang kuat baik denda administratif maupun pidana. Juga terhadap oknum di internal yang bebas

Ketiga,  mewajibkan adanya peningkatan nilai hasil tangkapan dengan mewajibkan usaha perikanan skala besar membuat sarana unit pengolahan ikan. Serta melakukan pemberdayaan nelayan dengan meningkatkan kapasitas pengetahuan dan teknologi dalam pengolahan.

Keempat, menegaskan pelarangan jaring pukat trawl di seluruh perairan Indonesia dengan mencabut Permen KP 2 Tahun 2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan. Permen tersebut malah melegalisasikan pemilikan trawl padahal telah dilarang berdasarkan UU No. 45 Tahun 2009. Permen ini juga telah melanggar Keputusan Presiden No. 39 Tahun 1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl di seluruh perairan Indonesia.

Kelima, memastikan hak partisipasi nelayan dalam pengawasan sumber daya perikanan. Hal ini penting untuk menutupi kelemahan sarana infrastruktur pengawasan dengan berbasiskan laporan nelayan tradisional. Sehingga hak partisipasi nelayan untuk penegakan hukum pengawasan dipenuhi oleh negara. Sehingga peluang adanya kolusi dalam pembebasan pencurian ikan dapat diselesaikan.

Akui dan Lindungi Nelayan Dan Petambak Baik Laki-Laki dan Perempuan

Perikanan adalah kegiatan yang mencakup tiga tahap utama yaitu pra produksi, saat produksi dan pasca produksi. Tiap tahap tersebut melibatkan banyak pihak baik laki-laki maupun perempuan dengan peran yang berbeda-beda dan signifikan dalam tiap tahapan. Sehingga penting untuk mengakui setiap pihak yang terlibat dalam tahapan kegiatan perikanan baik laki-laki maupun perempuan terkhusus kepada kelompok yang rentan dan terpinggirkan. Termasuk pengakuan terhadap organisasi nelayan dan petambak yang benar-benar tumbuh dan berkembang dari, oleh dan untuk kepentingan nelayan dan petambak. Sebagaimana amanat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 87/PUU-XI/2013 sebagai hak kebebasan dan berserikat.

Pengakuan nelayan dan petambak akan terkait erat dengan bagaimana negara memenuhi hak-hak asasi. Baik haknya sebagai warga negara Indonesia yang telah diatur dalam konstitusi UUD 1945 serta aturan lain yang menegaskan hak-hak dasarnya sebagai warga negara. Serta juga haknya sebagai bagian dari pekerjaannya selama ini dalam perikanan yang meliputi dukungan dan perlindungan pemerintah dalam tahap pra produksi, saat produksi dan pasca produksi.

Dunia telah bersepakat bahwa nelayan tradisional dan petambak skala kecil berkontribusi besar terhadap pemenuhan ketahanan pangan. Hal ini yang mendasari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa telah memfasilitasi Pedoman Internasional tentang Perlindungan Perikanan Skala Kecil Berkelanjutan (International Guidelines On Securing Sustainable Smallscale Fisheries/IGSSSF) pada Juni 2014. Dokumen IGSSF menjadi bagian dari Tata Laksana Perikanan yang Bertanggung Jawab FAO 1995 (FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries/CCRF) yang menegaskan pentingnya perikanan artisanal dan perikanan skala kecil terhadap kesempatan kerja, pendapatan dan ketahanan pangan. Serta memastikan adanya perlindungan terhadap hak para nelayan dan pekerja perikanan, terutama bagi mereka yang terlibat dalam perikanan “subsisten”, skala kecil dan “artisanal”, dan memastikan hak atas akses istimewa ke daerah penangkapan dan sumberdaya tradisional di dalam perairan dibawah yuridiksi mereka.

Di level nasional, RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan menjadi salah satu prioritas pengesahan dalam Program Legislasi Nasional DPR RI Tahun 2010-2014. Namun tidak pernah ada tindak lanjut untuk melakukan pembahasan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan. Setiap masa prolegnas tahunan, RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan selalu ditunda hingga habis masa periode Anggota DPR RI 2009-2014.

Saat ini terbuka peluang Pemerintahan Jokowi JK untuk melakukan perlindungan kepada nelayan dan petambak dengan mendorong adanya UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan. Hal ini dapat menjadi salah satu indikator positif Pemerintahan Jokowi-JK dalam meneguhkan ideologi kedaulatan pangan.

Komite Aksi Hari Perikanan Sedunia 2014

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (INTI), Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Indonesia Human Rights Committee For Social Justice (IHCS), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Solidaritas Perempuan (SP), Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHa).

 

Lindungi Nelayan dan Perempuan Nelayan Tradisional

Siaran Pers Bersama

Komite Aksi Hari Perikanan Sedunia 2014

KIARA, KNTI, PPNI, SNI, IHCS, YLBHI, LBH Jakarta, SP, KRuHA

“Lindungi Nelayan dan Perempuan Nelayan Tradisional”

Jakarta, 21 November 2014. Masyarakat nelayan di dunia kembali merayakan Hari Perikanan Sedunia pada tanggal 21 November tiap tahunnya. Hari Perikanan Sedunia ini bermula pada keprihatinan masyarakat perikanan dunia yang berkumpul yang dimulai New Delhi India 17 tahun lalu. Keprihatinan ini didasari atas keberlanjutan sumber daya ikan yang memasuki titik eksploitasi berlebih serta upaya menyejahterakan nelayan.

Perikanan sebagai sektor pangan memerlukan pendekatan ekologis yang tidak hanya sekedar didasarkan stok sumber daya ikan sebagai komoditas yang akan eksploitatif. Tetapi, juga bagaimana perikanan dapat menyejahterakan nelayan, masyarakat pesisir laki-laki dan perempuan serta menjaga keberlanjutan sumber daya pesisir seperti hutan bakau, terumbu karang, padang lamun dan pulau-pulau kecil. Ekosistem tersebut akan mempengaruhi sumber daya perikanan.

Setidaknya pada tahun ini, terdapat empat isu strategis yang penting untuk digarisbawahi oleh pemerintahan hari ini. Pertama terkait dengan pengakuan dan perlindungan terhadap nelayan dan petambak tradisional baik Laki-Laki dan Perempuan. Pengakuan nelayan dan petambak akan terkait erat dengan bagaimana negara memenuhi hak-hak asasi. Baik haknya sebagai warga negara Indonesia yang telah diatur dalam konstitusi UUD 1945 serta aturan lain yang menegaskan hak-hak dasarnya sebagai warga negara. Serta juga haknya sebagai bagian dari pekerjaannya selama ini dalam perikanan yang meliputi dukungan dan perlindungan pemerintah dalam tahap pra produksi, saat produksi dan pasca produksi.

Kedua, nelayan menjadi korban pembangunan di pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal ini dapat dilihat dari proyek PLTU Batang serta Giant Sea Wall di Teluk Jakarta. Sedikitnya 10.961 nelayan tradisional Batang terancam kehilangan penghasilan dan 16.855 nelayan akan tergusur karena proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) proyek senilai 600 triliun Rupiah. Begitu pula pertambangan di pesisir dan pulau-pulau kecil tidak pernah ada upaya untuk menghentikan eksploitasi. Sebaliknya kriminalisasi berjalan dengan mudah sebagaimana yang dihadapi nelayan nelayan di Taman Nasional Ujung Kulon yang terancam 5 tahun penjara dan denda 100 juta hanya karena menangkap ikan dan kepiting.

Ketiga, BBM Subsidi untuk Nelayan Tradisional yang baru saja dinaikkan dari Rp. 5.500 menjadi Rp. 7.500. Nelayan tradisional dan petambak adalah sektor yang paling terpukul ketika ada pencabutan subsidi namun tidak ada upaya negara sebagai kompensasi untuk mengantisipasi dampak dari pengurangan subsidi BBM. Masalah distribusi bbm tidak pernah transparan, tidak terbuka dan terjadi kolusi dan nepotisme tidak pernah diselesaikan. Terlebih BBM subsidi dibuka aksesnya kepada kapal dengan ukuran di atas 30 GT dengan maksimal 25 (dua puluh lima) kilo liter/bulan. Yang sangat gamblang menggambarkan keberpihakan pemerintah terhadap pengusaha perikanan.

Keempat terkait dengan Pencurian Ikan dengan: 5 Agenda Prioritas yang perlu dilakukan pemerintah. Pertama, menyelesaikan tumpang tindih pengawasan; Kedua, memastikan sanksi pelanggaran kewajiban mempekerjakan nakhoda dan anak buah kapal yang berkewarganegaraan Indonesia di dalam kapal berbendera Indonesia; Ketiga, mewajibkan adanya peningkatan nilai hasil tangkapan dengan mewajibkan usaha perikanan skala besar membuat sarana unit pengolahan ikan; Keempat, menegaskan pelarangan jaring pukat trawl di seluruh perairan Indonesia; Kelima, memastikan hak partisipasi nelayan dalam pengawasan sumber daya perikanan.

Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi:

  1. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Selamet Daroyni di 0821 1068 3102
  2. Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (INTI), M. Taher di 081314814823
  3. Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), Habibab di 081210116937
  4. Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Budi Laksana di 0813 1971 6775
  5. Indonesia Human Rights Committee For Social Justice (IHCS), Ridwan Darmawan di 0812 8672 8337
  6. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Wahyu Nandang Herawan di 0857 2722 1793
  7. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Hendra Supriatna di 081222345610
  8. Solidaritas Perempuan (SP), Arieska di 081280564651
  9. Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHa), Reza di 081370601441

 

 

Lampiran

 

Kertas Posisi Hari Perikanan Sedunia 2014

“Lindungi Nelayan dan Perempuan Nelayan Tradisional”

Pengantar

Masyarakat nelayan di dunia kembali merayakan Hari Perikanan Sedunia pada tanggal 21 November tiap tahunnya. Hari Perikanan Sedunia ini bermula pada keprihatinan masyarakat perikanan dunia yang berkumpul yang dimulai New Delhi India 17 tahun lalu. Keprihatinan ini didasari atas keberlanjutan sumber daya ikan yang memasuki titik eksploitasi berlebih serta upaya menyejahterakan nelayan.

Perikanan sebagai sektor pangan memerlukan pendekatan ekologis yang tidak hanya sekedar didasarkan stok sumber daya ikan sebagai komoditas yang akan eksploitatif. Tetapi, juga bagaimana perikanan dapat menyejahterakan nelayan, masyarakat pesisir laki-laki dan perempuan serta menjaga keberlanjutan sumber daya pesisir seperti hutan bakau, terumbu karang, padang lamun dan pulau-pulau kecil. Ekosistem tersebut akan mempengaruhi sumber daya perikanan.

Indonesia adalah negara bahari dengan gugusan ribuan pulau yang menyebar dari ujung barat di Sabang hingga Merauke. Dua per tiga kawasannya adalah laut, terdiri dari 17.504 pulau dengan luas laut keseluruhan 5,8 juta km2. Perairan Indonesia memiliki potensi sumber daya perikanan tangkap lebih dari 5 juta ton per tahun. Semestinya laut Indonesia bisa menyejahterakan nelayan, petambak ikan dan udang, baik laki-laki maupun perempuan nelayan, masyarakat pesisir yang berada di kampung-kampung pesisir.

Pengakuan dan Perlindungan: Nelayan dan Petambak baik Laki-Laki dan Perempuan

Data BPS (2010) menyebutkan bahwa terdapat 10.639 desa pesisir yang tersebar di 300 kabupaten/kota dari total sekitar 524 kabupaten/kota se-Indonesia. Dari desa pesisir tersebut jumlah penduduk miskin di pesisir mencapai 7,87 juta jiwa atau 25,14% dari total penduduk miskin nasional yang berjumlah 31,02 juta jiwa. Situasi ini menjadi fakta yang dialami oleh Masyarakat Pesisir yang tersebar di ribuan pulau di Indonesia.

Kondisi buruk tersebut sejalan dengan fakta-fakta yang dialami nelayan. Dari 2,74 juta jiwa nelayan, 92% dari angka tersebut adalah nelayan dengan ciri tradisional namun tidak diakui dan dilindungai tanpa dukungan modal dan teknologi. Tidak ada perlindungan kepada nelayan dilihat dari angka nelayan yang hilang dan meninggal dunia di laut mencapai 255 jiwa (KIARA, Juni 2014) yang terus meningkat sejak tahun 2010 sebanyak 86 orang nelayan. Juga masalah yang dihadapi petambak baik ikan maupun penghasil olahan pesisir seperti garam yang terancam atas kebijakan importasi ikan dan garam.

Meski demikian, 75% pasokan pangan protein nasional merupakan kontribusi mereka. Sangat ironis, ditengah berlimpahnya sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil dan peluh keringat nelayan tradisional justru berbanding terbalik dengan tingkat kesejahteraan mereka. Sehingga nelayan merupakan kelompok masyarakat yang rentan dan wajib untuk dilindungi.

Nelayan sebagai Korban Pembangunan

Pembangunan infrastruktur di pesisir dan reklamasi merupakan pendorong utama meningkatnya ancaman bencana di pesisir. Pusat Data dan Informasi Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) tahun 2013 mendapati bahwa dalam 10 tahun terakhir, sedikitnya tercatat ada 19 kawasan pesisir yang direklamasi. Secara akumulatif telah terjadi pengkaplingan (penguasaan) wilayah pesisir yang dikonversi menjadi daratan hasil reklamasi seluas 5.775,3 ha. Dari angka tersebut, telah terjadi pengusiran sedikitnya  14.344 nelayan, sedikitnya 18.151 Kepala Keluarga (KK) di delapan kota pesisir dari ruang permukiman dan ruang wilayah penghidupannya (wilayah tangkap nelayan tradisional).

Dampak buruk reklamasi akan mengusir nelayan dan masyarakat pesisir dari ruang permukiman dan ruang penghidupannya (wilayah perikanan tangkap) juga menutup hak akses masyarakat untuk mengakses pantai sebagai ruang terbuka publik karena di privatisasi. Salah satu contoh rencana proyek reklamasi di wilayah pesisir terjadi di Bali yang mengancam Teluk Benoa yang merupakan salah satu ekosistem pesisir yang unik dan harus di konservasi.

Di tempat yang lain, yaitu di Batang Jawa Tengah, pemerintah sedang merencanakan membangun PLTU batubara. Masyarakat nelayan tradisional Kabupaten Batang telah meminta ke Presiden agar proyek ini di batalkan karena melanggar hak konstitusional warga, yakni akses ke laut dan mendapatkan lingkungan hidup dan perairan yang bersih dan sehat. Bila proyek PLTU berkapasitas 2.000 MW tetap dipaksakan, sedikitnya 10.961 nelayan tradisional Batang terancam kehilangan penghasilan. Demikian juga halnya nasib petani yang tersebar di enam desa, yaitu Ponowareng, Karanggeneng, Wonokerso, Ujungnegoro, Sengon (Roban Timur) dan Kedung Segog (Roban Barat) akan mengalami nasib yang sama. Pembangunan proyek ini sangat berseberangan dengan komitmen Pemerintah RI untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen pada tahun 2020.

Begitu pula di Ibukota Jakarta dengan proyek pembangunan Giant Sea Wall atau Tanggul Raksasa Laut yang kontroversial. Dengan tajuk National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) proyek senilai 600 triliun Rupiah akan potensial menggusur 16.855 nelayan Jakarta. Proyek ini seharusnya dihentikan karena tidak layak dari berbagai aspek antara lain aspek lingkungan, ekonomi dan sosial masyarakat. Tidak ada konsultasi publik kepada masyarakat pesisir Teluk Jakarta,  adanya keragu-raguan dari berbagai ahli mengenai proyek ini, adanya keraguan dari Ahok, tidak menjawab akar masalah Jakarta seperti banjir dan krisis air, bahkan tidak ada ijin lingkungan yang menjadi dasar hukum proyek tersebut. proyek ini akan mengancam penghidupan mereka baik karena ancaman penggusuran maupun rusaknya ekosistem pesisir sehingga mereka harus melaut lebih jauh lagi.

Selain itu, pertambangan di pesisir dan pulau-pulau kecil seperti di Teluk Lontar di Serang, Provinsi Banten, Pulau Bangka di Sulawesi Utara dan Pulau Nusakambangan Jawa Tengah dipastikan akan meminggirkan ruang penghidupan nelayan tradisional. Upaya protes dan hingga berlanjut ke sarana hukum melalui pengadilan telah dilalui namun upaya tersebut tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah sehingga nelayan terus menerus menjadi korban dalam pembangaunan. Namun sebaliknya kriminalisasi sangat mudah dilakukan oleh pemerintah ketika berhadapan dengan nelayan. Seperti yang saat ini dihadapi oleh nelayan di Taman Nasional Ujung Kulon yang terancam 5 tahun penjara dan denda 100 juta hanya karena menangkap ikan dan kepiting.

BBM Subsidi untuk Nelayan Tradisional

Baru-baru ini melalui Permen ESDM No. 34 Tahun 2014 harga BBM Solar bersubsidi dinaikkan dari Rp. 5.500 menjadi Rp. 7.500. Asumsi yang dibangun dari kebijakan ini bahwa subsidi anggaran BBM dianggap tidak tepat sasaran sehingga dianggap perlu untuk dialihkan kepada bentuk-bentuk yang produktif dan tepat sasaran. Asumsi ini sangat umum dan berdasarkan fakta-fakta di lapangan, terjadi kondisi sebaliknya, BBM solar adalah kebutuhan primer dan utama bagi nelayan.

Sejak era Pemerintahan Yudhoyono hingga Pemerintahan Jokowi hari ini, pemerintah telah melakukan seringkali melakukan pencabutan subsidi BBM yang memberikan dampak ekonomi yang sangat luas. Bahan bakar minyak merupakan salah satu input utama dalam proses produksi di sektor perikanan yang mencapai 60-70 % dari total biaya produksi sehingga kenaikan harga BBM jelas akan menaikkan biaya produksi secara signifikan.

Fakta di lapangan, pencabutan subsidi sebesar Rp.2000 mendongkrak kenaikan Rp.3000 hingga Rp.6000 per liternya. Kenaikan harga beli BBM jenis Solar di kampung nelayan & petambak bervariasi berdasarkan informasi dari nelayan (KNTI, 18/11/2014). Di Jawa Timur seperti Surabaya, Gresik, Lamongan, Madura dan sekitarnya harga BBM jenis solar mencapai Rp.8500, di kepulauan sapeken kab sumenep Rp.10.000 dan Kepulaan Mesalembo Kab Sumenep Rp.11.000 per liternya. Di Rawajitu, Lampung mencapai Rp 8500-Rp 9000, di Tanjung Balai dan Langkat, Sumatera Utara Rp.7800-8500, di Kendal dan Demak Jawa Tengah masing-masing Rp 7800 dan Rp 8000, di Lombok Timur Rp 9000, dan Lamalera, NTT Rp.12.500. Namun di beberapa tempat terjadi kelangkaan BBM bersubsidi seperti di Tarakan, Kalimantan Utara yang tidak ada sama sekali BBM subsidi.

Dari fakta harga dan ketersediaan BBM bersubsidi, nelayan tradisional dan petambak adalah sektor yang paling terpukul ketika ada pencabutan subsidi. Persoalan distribusi yang menjadi masalah kelangkaan tidak pernah diantisipasi oleh pemerintah. Distribusi BBM tidak pernah transparan, tidak terbuka untuk nelayan tradisional dan terjadi kolusi dan nepotisme. Ditambah lagi akses sumber ikan yang terjadi penurunan jumlah stok ikan membuat wilayah tangkap lebih jauh mengakibatkan konsumsi BBM meningkat. Di sisi lain, BBM subsidi dapat diakses oleh kapal-kapal besar. Dengan aturan yang sangat longgar, kapal dengan ukuran di atas 30 GT yang terdaftar di instansi pemerintahan dapat mengakses bbm bersubsidi dengan pemakaian paling banyak 25 (dua puluh lima) kilo liter/bulan. Walaupun melalui verifikasi dan surat rekomendasi dari Pelabuhan Perikanan atau Kepala SKPD Provinsi/Kabupaten/Kota.

Dapat dipastikan telah terjadi diskriminasi akses BBM subsidi kepada nelayan tradisional dengan membuka akses kepada pengusaha perikanan dengan kapal 30 GT keatas. Selain itu, klaim pemerintah bahwa pencabutan subsidi BBM tidak berdampak buruk bagi nelayan & petambak adalah kesalahan. Ditambah lagi tidak ada upaya negara sebagai kompensasi untuk mengantisipasi dampak dari pengurangan subsidi BBM.

Pencurian Ikan: 5 Agenda Prioritas

Kondisi sumber daya perikanan yang saat ini mengalami over eksploitas, disebabkan banyak faktor. Pertama, sebagai sumber daya terbuka dengan prinsip open access, telah menyebabkan tingginya tingkat penangkapan ikan sehingga terjadi penurunan jumlah stok dari tahun ke tahun. Kedua, masalah pencurian ikan di laut Indonesia menjadi masalah yang tidak dapat diselesaikan walaupun telah ada will (niat) pemerintah dengan dukungan anggaran yang besar.

Penangkapan ikan yang melanggar hukum yang paling umum terjadi adalah pencurian ikan oleh kapal penangkap ikan berbendera asing dengan berkedok kapal ex-asing, dengan wilayah operasi bukan hanya perairan ZEE Indonesia, melainkan masuk sampai ke perairan kepulauan Indonesia bahkan masuk dalam perairan teritorial. Pada umumnya, jenis alat penangkapan ikan yang digunakan berupa purse seine dan trawl, yang merupakan alat-alat tangkap ikan yang paling eksploitatif dan merusak ekosistem.

Mengenai masalah pencurian ikan terdapat beberapa agenda prioritas yang bisa dilakukan oleh pemerintah. Pertama, menyelesaikan tumpang tindih pengawasan, Pengawasan perikanan Indonesia tidak optimal disebabkan adanya tumpang tindih antar kementerian sektoral sehingga pencurian ikan tidak akan pernah bisa berkurang. Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) bersifat koordinasi 13 kementerian dan lembaga sehingga tidak dapat efektif dalam melakukan pengawasan. Ditambah lagi berdasarkan mandat Peraturan Pemerintah Tentang pengawasan perikanan, keikutsertaan masyarakat dalam membantu pengawasan perikanan berdasarkan Pasal 70 UU No. 31 Tahun 2004 tentang perikanan yang selambat-lambatnya satu tahun sejak diundangkan.

Kedua, memastikan sanksi pelanggaran kewajiban mempekerjakan nakhoda dan anak buah kapal yang berkewarganegaraan Indonesia di dalam kapal berbendera Indonesia tertuang sebagaimana diatur dalam Pasal 35A ayat (1) UU Perikanan No. 45 Tahun 2009, yang berbunyi: “Kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia wajib menggunakan nakhoda dan anak buah kapal berkewarganegaraan Indonesia.” Oleh karena rendahnya kualitas penindakan kejahatan perikanan, kepada para pelanggar Pasal 35A ayat (1) tersebut tidak ada sanksi yang kuat baik denda administratif maupun pidana. Juga terhadap oknum di internal yang bebas

Ketiga,  mewajibkan adanya peningkatan nilai hasil tangkapan dengan mewajibkan usaha perikanan skala besar membuat sarana unit pengolahan ikan. Serta melakukan pemberdayaan nelayan dengan meningkatkan kapasitas pengetahuan dan teknologi dalam pengolahan.

Keempat, menegaskan pelarangan jaring pukat trawl di seluruh perairan Indonesia dengan mencabut Permen KP 2 Tahun 2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan. Permen tersebut malah melegalisasikan pemilikan trawl padahal telah dilarang berdasarkan UU No. 45 Tahun 2009. Permen ini juga telah melanggar Keputusan Presiden No. 39 Tahun 1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl di seluruh perairan Indonesia.

Kelima, memastikan hak partisipasi nelayan dalam pengawasan sumber daya perikanan. Hal ini penting untuk menutupi kelemahan sarana infrastruktur pengawasan dengan berbasiskan laporan nelayan tradisional. Sehingga hak partisipasi nelayan untuk penegakan hukum pengawasan dipenuhi oleh negara. Sehingga peluang adanya kolusi dalam pembebasan pencurian ikan dapat diselesaikan.

Akui dan Lindungi Nelayan Dan Petambak Baik Laki-Laki dan Perempuan

Perikanan adalah kegiatan yang mencakup tiga tahap utama yaitu pra produksi, saat produksi dan pasca produksi. Tiap tahap tersebut melibatkan banyak pihak baik laki-laki maupun perempuan dengan peran yang berbeda-beda dan signifikan dalam tiap tahapan. Sehingga penting untuk mengakui setiap pihak yang terlibat dalam tahapan kegiatan perikanan baik laki-laki maupun perempuan terkhusus kepada kelompok yang rentan dan terpinggirkan. Termasuk pengakuan terhadap organisasi nelayan dan petambak yang benar-benar tumbuh dan berkembang dari, oleh dan untuk kepentingan nelayan dan petambak. Sebagaimana amanat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 87/PUU-XI/2013 sebagai hak kebebasan dan berserikat.

Pengakuan nelayan dan petambak akan terkait erat dengan bagaimana negara memenuhi hak-hak asasi. Baik haknya sebagai warga negara Indonesia yang telah diatur dalam konstitusi UUD 1945 serta aturan lain yang menegaskan hak-hak dasarnya sebagai warga negara. Serta juga haknya sebagai bagian dari pekerjaannya selama ini dalam perikanan yang meliputi dukungan dan perlindungan pemerintah dalam tahap pra produksi, saat produksi dan pasca produksi.

Dunia telah bersepakat bahwa nelayan tradisional dan petambak skala kecil berkontribusi besar terhadap pemenuhan ketahanan pangan. Hal ini yang mendasari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa telah memfasilitasi Pedoman Internasional tentang Perlindungan Perikanan Skala Kecil Berkelanjutan (International Guidelines On Securing Sustainable Smallscale Fisheries/IGSSSF) pada Juni 2014. Dokumen IGSSF menjadi bagian dari Tata Laksana Perikanan yang Bertanggung Jawab FAO 1995 (FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries/CCRF) yang menegaskan pentingnya perikanan artisanal dan perikanan skala kecil terhadap kesempatan kerja, pendapatan dan ketahanan pangan. Serta memastikan adanya perlindungan terhadap hak para nelayan dan pekerja perikanan, terutama bagi mereka yang terlibat dalam perikanan “subsisten”, skala kecil dan “artisanal”, dan memastikan hak atas akses istimewa ke daerah penangkapan dan sumberdaya tradisional di dalam perairan dibawah yuridiksi mereka.

Di level nasional, RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan menjadi salah satu prioritas pengesahan dalam Program Legislasi Nasional DPR RI Tahun 2010-2014. Namun tidak pernah ada tindak lanjut untuk melakukan pembahasan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan. Setiap masa prolegnas tahunan, RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan selalu ditunda hingga habis masa periode Anggota DPR RI 2009-2014.

Saat ini terbuka peluang Pemerintahan Jokowi JK untuk melakukan perlindungan kepada nelayan dan petambak dengan mendorong adanya UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan. Hal ini dapat menjadi salah satu indikator positif Pemerintahan Jokowi-JK dalam meneguhkan ideologi kedaulatan pangan.

Komite Aksi Hari Perikanan Sedunia 2014

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (INTI), Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Indonesia Human Rights Committee For Social Justice (IHCS), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Solidaritas Perempuan (SP), Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHa).