Perubahan Harga BBM Tak Pengaruhi Kesejahteraan Nelayan

Perubahan Harga BBM Tak Pengaruhi Kesejahteraan Nelayan

Metrotvnews.com, Jakarta: Perubahan harga bahan bakar minyak (BBM) yang baru diumumkan pemerintahan Presiden Joko Widodo dinilai tidak akan mempengaruhi kesejahteraan nelayan tradisional, selama tata niaga secara
keseluruhan belum diubah. “Tidak berpengaruh sama sekali,” kata Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim di Jakarta, Rabu (31/12/2014).

Menurut Abdul Halim, problem yang ada sebenarnya bukan soal harga yang dinaikkan atau diturunkan, tetapi lebih kepada tata kelola secara keseluruhan dari hulu ke hilir. Dia mengingatkan, selama ini problem yang dihadapi nelayan tradisional adalah pasokan yang tidak reguler, serta stasiun pengisian bahan bakar untuk nelayan yang tidak ada dan tidak berfungsi.

Permasalahan lainnya adalah distribusi yang menyimpang dan harga BBM bersubsidi yang fluktuatif ketika pasokan kosong dan nelayan terpaksa membeli ke tempat lain. Karena itu, menurut dia, perlu ada pembenahan tata niaga termasuk alokasi BBM yang dipastikan dipasok secara reguler dan perbaikan fungsi Solar Packed Dealer Nelayan (SPDN).

Dia mengharapkan agar SPDN hanya melayani mereka yang berhak memperoleh, bukan pelaku perikanan skala besar, serta agar adanya jaminan harga yang tidak berubah-ubah.

Sebagaimana diberitakan, pemerintah telah memutuskan harga baru untuk BBM premium dan solar yang akan berlaku secara efektif sejak 1 Januari 2015 pukul 00.00 WIB. “Pemerintah merasa perlu ada pass through di masyarakat, dan peninjauan policy terhadap premium dan solar, untuk merespon perkembangan harga minyak dunia,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (31/12/2014).

Sofyan mengatakan kebijakan harga jual eceran baru per Januari 2015 ini ditentukan berdasarkan skema baru jenis BBM yang terbagi dalam tiga kategori dan akan dievaluasi oleh pemerintah setiap bulannya. Dengan demikian, harga terbaru premium premium RON 88 baik yang BBM khusus penugasan dan BBM umum nonsubsidi adalah Rp7.600 per liter, dan harga solar bersubsidi menjadi Rp7.250 per liter.

Penghitungan harga baru pada Januari 2015 ini dilakukan memakai asumsi rata-rata harga minyak ICP per bulan sebesar USD60 per bulan, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS rata-rata sebesar Rp12.380. (Antara)  WID

Sumber: http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2014/12/31/339057/perubahan-harga-bbm-tak-pengaruhi-kesejahteraan-nelayan

Mendongkrak Daya Saing Nelayan

Mendongkrak Daya Saing Nelayan

Koran SINDO

 

Indonesia merupakan negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Penduduk yang berada di garis pantai (pesisir) banyak didominasi oleh nelayan yang menggantungkan hidup sektor perikanan. Sayangnya, mereka belum bisa berkuasa atas lautnya sendiri.

Luasnya laut Indonesia dan panjangnya garis pantai seharusnya bisa lebih dinikmati masyarakat pesisir. Namun, banyak warga yang berprofesi sebagai nelayan tidak menikmati potensi laut Indonesia karena keterbatasan yang mereka hadapi, mulai keterbatasan teknologi penangkapan, modal, pengangkutan hasil tangkapan, hingga pengolahan hasil tangkap.

Para nelayan Indonesia kalah dibanding nelayan asing yang sudah mempunyai teknologi yang lebih baik dan mampu menangkap ikan di luar teritorial negara mereka. Bahkan, banyak nelayan asing yang menangkap ikan di laut Indonesia yang kaya. Direktur The National Maritime Institute (Namarin) Jakarta Siswanto Rusdi menyebutkan, perairan Indonesia sudah lama menjadi salah satu tempat favorit bagi kapal asing untuk melakukan penangkapan ikan ilegal.

Perlu waktu yang cukup lama agar kegiatan illegal fishing ini benar-benar bisa diberantas. Siswanto menyebutkan, nelayan internasional sudah biasa melengkapi peralatan untuk melaut dengan teknologi yang mampu mengarungi samudera. Daerah-daerah yang banyak menjadi tujuan penangkapan ikan adalah laut yang masuk zona ekonomi eksklusif (ZEE) yang sangat luas.

Untuk mencapai zona tersebut, mereka melengkapi kapal mereka dengan teknologi dan bahan bakar yang cukup. Kapal-kapal para nelayan internasional saat ini berbobot antara 200 GT (gros ton) hingga 500 GT. “Panjang kapal 200 GT saja berkisar 50–100 meter. Sementara, nelayan Indonesia masih menggunakan kapal tradisional yang umumnya kecil dan dengan teknologi yang terbatas,” jelas Siswanto.

Pemerintah perlu memberikan perhatian pada sumberd aya nelayan, baik dari sisi teknologi dan modal. Peningkatan kapasitas nelayan selain akan menambah kesejahteraan mereka, juga bisa memfungsikan nelayan dalam melakukan pengawasan illegal fishing. Guna menerapkan strategi ini, nelayan Indonesia juga perlu dilengkapi dengan kapal besar dan teknologi yang lebih baik.

Jika kapal nelayan sudah memenuhi standar, mereka akan sangat efektif untuk mengawasi laut Indonesia karena jumlah mereka cukup banyak. Bandingkan jika hanya mengandalkan kapal dan aparatur pemerintah yang sangat terbatas. Apalagi, para nelayan sudah menjadikan laut sebagai tempat kedua mereka.

“Tidak ada yang meragukan kemampuan melaut para nelayan Indonesia, mereka sudah di tempat selama beradababad lamanya, namun kendala yang dihadapi mereka saat ini adalah teknologi. Jumlah mereka yang sangat besar, sangat efektif jika disinergikan untuk mencegah illegal fishing,” tambah Siswanto.

Siswanto yakin, jika para nelayan dilengkapi dan dilatih menggunakan kapal dan teknologi yang cukup, kesejahteraan mereka juga akan terangkat. Selama ini nelayan Indonesia selalu terlilit utang. Banyak yang terjerat hutang yang salah satu syaratnya harus menjual hasil tangkapan pada pihak tertentu dengan harga murah.

Jika kesejahteraan terangkat, maka akan mencegah illegal fishingsecara signifikan. Pemerintah memperkirakan kerugian yang dialami Indonesia akibat illegal fishingbisa mencapai Rp300 triliun setiap tahunnya. Baru-baru ini pemerintah terlihat melakukan sejumlah upaya untuk mencegah illegal fishing, seperti penenggelaman beberapa kapal. Namun, masih banyak kapal asing yang menangkap ikan secara ilegal di perairan Indonesia.

Sementara, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim menambahkan, masalah yang dihadapi nelayan cukup kompleks. Selain karena kemampuan menangkap ikan, mereka tidak kuasa menentukan harga hasil tangkapan karena tersandera oleh tengkulak.

Para tengkulak biasanya adalah mereka yang memonopoli pembelian ikan dan juga berasal dari perusahaan pengolahan yang mempunyai modal besar. Masalah lain yang dihadapi para nelayan adalah integrasi perikanan, mulai dari penangkapan, distribusi hingga pengolahan.

Selama ini sentra penangkapan banyak terdapat di wilayah tengah dan timur Indonesia, sementara sentra produksi banyak berada di Indonesia bagian barat. Akibatnya, banyak hasil produksi (baik tangkap maupun budi daya) yang tidak terserap industri pengolahan. “Jarak antara sentra produksi dan pengolahan yang jauh banyak membuat banyak ikan mati sebelum sampai ke sentra produksi yang membuat harganya anjlok,” kata Halim kepada KORAN SINDO.

Saat ini menurut Halim, masalah nelayan bertambah seiring kenaikan harga BBM. Selama ini modal penangkapan ikan lebih banyak dihabiskan untuk konsumsi BBM, sehingga ketika BBM naik biaya pun bertambah. “BBM menghabiskan sekitar 70% dari biaya nelayan. Harga yang naik ini tidak diikuti kenaikan harga ikan yang membuat nelayan semakin merana,”tambah Halim.

Halim meminta pemerintah bisa mengeluarkan kebijakan yang tepat bagi nelayan. Dalam kebijakan BBM misalnya, seharusnya nelayan bisa menikmati subsidi yang lebih besar dibanding yang lain. Dia meminta, jangan sampai alasan penyelewengan membuat harga BBM bagi nelayan naik, karena seharusnya pemerintah memberikan solusi pada distribusi, bukan menaikkan harga BBM.

 

Sumber:http://www.koran-sindo.com/read/940494/162/mendongkrak-daya-saing-nelayan

KIARA: Perluasan Tambak Udang, Rusak Ekosistem Mangrove dan Rugikan Masyarakat Pesisir

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

www.kiara.or.id

 

KIARA: Perluasan Tambak Udang,

Rusak Ekosistem Mangrove dan Rugikan Masyarakat Pesisir

Jakarta, 31 Desember 2014. Penambahan lahan untuk tambak udang seluas 60.000 hektare (ha) menjadi target Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) hingga tahun 2019. Jumlah ini terdiri dari 10.000 ha tambak intensif, 20.000 ha tambak semi-intensif, dan 30.000 ha tambak tradisional. Perluasan tambak udang ini untuk meningkatkan volume dan nilai produksi.

Pusat Data dan Informasi KIARA (Desember 2014) mencatat luas lahan budidaya tambak mengalami kenaikan: dari 618.251 hektare (2008) menjadi 650.509 hektare (2013). Peningkatan luas lahan budidaya tambak ini berbanding terbalik dengan volume dan nilai produksi tambak yang justru menurun dalam periode yang sama (lihat Tabel 1). Dengan perkataan lain, penambahan lahan untuk tambak udang tidak berkorelasi positif terhadap target produksi, baik dari sisi volume maupun nilai.

Tabel 1. Luas Lahan Budidaya Tambak, Volume dan Nilai Produksi 2008 dan 2013

No Tahun Luas Lahan Budidaya Tambak (Ha) Volume (Ton) Nilai (Ribu)
1 2008 618.251 959.509 17,304,474,417
2 2013 650.509 896.886 14,690,785,188

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (Desember 2014), diolah dari Kelautan Perikanan dalam Angka 2013 dan Statistik Perikanan Badan Pusat Statistik

Ditambah lagi, produksi udang nasional pada tahun 2008 dan 2013 justru menurun: dari 409.590 ton menjadi 320.000 ton. Pada konteks ini, penambahan lahan untuk tambak udang justru merusak ekosistem mangrove dan merugikan masyarakat pesisir. Di Langkat, Sumatera Utara, misalnya, hutan mangrove yang dikonversi mencapai 2.052,83 hektar selama 2003-2012. Dampaknya, pendapatan nelayan menurun hingga  51,37%. Rata-rata pendapatan nelayan per bulan pada tahun 2003 sebesar Rp.2.739.780, sementara pada tahun 2012 menurun menjadi Rp.1.407.637.

Dalam studinya The Royal Society memaparkan bahwa kerusakan mangrove akibat perluasan tambak tak sebanding dengan kesejahteraan masyarakat pesisir. Di Thailand, misalnya, tiap hektare luas tambak hanya memberikan keuntungan sebesar US$9,632. Keuntungan ini hanya dimiliki oleh segelintir orang. Sebaliknya, pemerintah Thailand harus menanggung biaya polusi sebesar US$1,000, biaya hilangnya fungsi-fungsi ekologis sebesar US$12,392, dan pemerintah harus memberi subsidi kepada masyarakat korban senilai US$8,412. Tak hanya itu, tetapi pemerintah juga harus mengalokasikan dana tambahan sebesar US$9,318 untuk merehabilitasi mangrove.

Pengalaman Thailand hendaknya memberikan panduan bagi pemerintah kita untuk tak sembarang menelurkan kebijakan terkait dengan eksploitasi ekosistem penting dan genting seperti ekosistem mangrove. Oleh karena itu, KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) mendesak Menteri Kelautan dan Perikanan untuk mengurungkan program penambahan lahan untuk tambak udang dan merehabilitasi kembali lahan tambak tidur menjadi kawasan hutan mangrove.***

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Rifki Furqan, Koordinator Bidang Pengelolaan Pengetahuan KIARA

di +62 853 7062 7782

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA

di +62 815 53100 259

 

Kabar Bahari: Kepiting, Sertifikasi dan Nihilnya Peran Negara

Kepiting adalah hewan golongan krustasea yang termasuk ke dalam Ordo Decapoda, Subordo Pleocyemata, dan infraordo Brachyura, yang umumnya dicirikan dengan adanya tonjolon “ekor” yang sangat pendek (Latin: brachys = pendek, Oura = ekor), atau dengan ciri bagian abdomen yang mengecil yang seluruhnya terlindung di bawah dada (thorax).

Tubuh kepiting umumnya dilindungi oleh cangkang luar (eksoskeleton) yang tebal, dan memiliki sepasang senjata berupa cakar tunggal (chelae). Kepiting dapat ditemukan di seluruh lautan di dunia, sedangkan kepiting yang hidup di air tawar atau darat, kebanyakan hidup di daerah tropis. Kepiting dapat ditemukan dalam berbagai ukuran, mulai dari kepiting kacang (pea crab) yang memiliki ukuran lebar hanya beberapa milimeter saja, sampai dengan kepiting laba-laba Jepang, yang memiliki rentangan kaki sampai dengan 4 meter.

Kepiting memiliki jenis sekitar 850 spesies, di antaranya kepiting air tawar, kepiting darat atau kepiting semi-terestrial. Mereka dapat ditemukan di seluruh wilayah tropis maupun sub-tropis.

Kepiting seringkali menunjukkan tanda-tanda seksual dimorfisme. Kepiting jantan seringkali memiliki cakar yang lebih besar, suatu kecenderungan yang sering terjadi pada kepiting Uca (Fiddler Crab) Genus Ocypodidae. Kepiting Uca jantan memiliki satu cakar yang tumbuh sangat besar, yang digunakan untuk berkomunikasi, khususnya untuk menarik perhatian kepiting betina. Perbedaan lain yang mencolok adalah bentuk perut (pleon). Pada hampir semua kepiting Uca jantan memiliki pleon yang sempit dan berbentuk segitiga, sementara pada kepiting betina memiliki pleon yang lebih lebar dan berbentuk bulat. Hal ini menunjukkan bahwa kepiting betina mengerami telur-telurnya yang telah dibuahi di pleopod.

Ikuti informasi terkait buletin kabar bahari >>KLIK DISINI<<

Nurhidayah: Melawan KDRT, Menggerakkan Ekonomi Perempuan Nelayan

Terlahir sebagai anak seorang nelayan, Nurhidayah memahami bahwa kehidupan nelayan masih lekat dengan cap miskin. Di usianya yang belia, perempuan nelayan yang biasa disapa Dayah ini dinikahkan dengan nelayan asal Morodemak. Sebagai istri nelayan, kegiatan Dayah tidak pernah lebih dari sekadar kanca wingking (teman belakang).

Dari pernikahannya, Dayah dan suaminya dikaruniai 4 orang anak: 1 laki-laki dan 3 perempuan. Seiring waktu, pernikahan Dayah menemui titik nadir. Bertahun-tahun Dayah menjadi korban KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Hal ini diperburuk oleh minimnya pengetahuan perempuan nelayan tentang KDRT.

“Saya nrimo saja awalnya, karena saya pikir itu bentuk pengabdian. Sampai puncaknya saya sering babak belur karena dipukuli suami,” kenang Dayah.

KDRT yang acap kali terjadi diperburuk oleh minimnya pengetahuan kaum perempuan dalam memahami apa saja bentuk kekerasan. Seperti yang terjadi pada Dayah, ia hanya menganggap kekerasan sebagai ‘kewajaran’ dan ‘pengabdian’.

“Sampai akhirnya bergabung dengan kelompok perempuan nelayan Puspita Bahari, bertemu dengan LBH Apik dan LBH Semarang, saya mendapatkan motivasi untuk mengubah diri dan anak-anak,” imbuh Dayah.

Tekad untuk berubah diwujudkan Dayah dengan membuat Gerakan Berani Jujur. Gerakan ini mendorong kaum perempuan yang mengalami KDRT untuk membuka diri. Saat menerima laporan, Dayah akan mengadukannya kepada pihak berwajib.

“Awalnya saya tidak bersedia, tapi saya lihat diri saya yang babak belur. Masa saya mau begini selamanya, saya juga takut anak saya meniru hal yang kurang baik seperti ini,” kenangnya.

Tindakan Dayah mendapat perlawanan dari lingkungan sekitar. Budaya patriarki yang kental membuat Dayah diasingkan. Namun berkat dukungan dari Masnu’ah (Ketua Dewan Pembina Puspita Bahari), Dayah mendapatkan dukungan untuk terus memperjuangkan hak kaum perempuan dan memberanikan diri berbicara tentang pengalamannya kepada orang-orang sekitar.

Muara Indah

Dua tahun berlalu, perubahan mulai dirasakan Dayah. Energi positif mulai ia tatap sebagai tujuan hidupnya. Mimpi dan motivasi Dayah kini hanyalah membuat keempat anaknya dapat bersekolah tinggi guna memperbaiki hidup dan lepas dari kemiskinan.

Dayah semakin giat dalam mendorong kemandirian perempuan nelayan di kampungnya. Ia mulai mengajak perempuan nelayan lainnya untuk mengolah hasil laut menjadi makanan kaya gizi dan mempunyai nilai ekonomi tinggi.

Dari Puspita Bahari, Dayah belajar membuat kerupuk ikan. Ia pun terlibat aktif bersama koperasi dan memperkuat peran koperasi di kampungnya. Dayah sadar, permasalahan ekonomi menjadi pemicu terbesar dalam kasus-kasus KDRT di kampungnya.

“Sederhana saja, kalau suami sedang kena musim rendeng (cuaca ekstrem) tidak bisa melaut, tidak ada uang rokok, tidak ada uang jajan anak, pasti emosian. Perempuan yang sering dipukuli, dimaki atau paling umum disuruh cari hutangan,” ujar Dayah.

Dayah terus berjuang untuk membangkitkan ekonomi perempuan nelayan di kampungnya. Ia membentuk kelompok perempuan nelayan yang dinamainya Muara Indah dan bekerjasama dengan Puspita Bahari.
Beragam pelatihan telah ia ikuti dan bersama kelompoknya, beragam produk olahan khas pesisir telah ia hasilkan. Dayah terus memotivasi perempuan nelayan lainnya untuk mandiri dan tangguh. Dalam dirinya, Dayah berharap hadirnya keadilan sosial di kampung-kampung pesisir.

“Saya maunya tidak ada yang menindas dan tertindas. Hidup lurus sejalan, saling menghormati. Perempuan juga harusnya bisa lebih pintar, biar tidak sekadar dijadikan kanca wingking,” pesan Dayah kepada kaum perempuan nelayan lainnya.

Dayah kini menjadikan Muara Indah sebagai proyeksi harapannya terhadap kemandirian perempuan nelayab di Kabupaten Demak. Ia acapkali dianggap sebagai perempuan nelayan yang terlalu berani melawan arus. Di benak Dayah, melawan masih lebih terhormat dari pada sekadar ikut-ikutan. “Perbaikan nasib harus dijemput, bukan ditunggu,” tutup dayah penuh semangat.*** (SH)

Keberpihakan Pemerintah Kunci Swasembada Garam

Keberpihakan Pemerintah Kunci Swasembada Garam

 

NERACA

Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama dengan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian tengah merumuskan peta jalan swasembada garam nasional. Salah satu target yang ingin dicapai adalah Indonesia bebas impor garam di tahun 2015. Hal itu disampaikan Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Abdul Halim kepada Neraca di Jakarta, Senin (22/12).

Halim mencatat, sedikitnya perwakilan petambak garam dari 5 kabupaten (Sikka, Ende, Ngada, Lembata dan Flores Timur) di Nusa Tenggara Timur mendesak keberpihakan pemerintah, dari hulu ke hilir. Desakan ini disampaikan di dalam Pertemuan Petambak Garam Nusa Tenggara Timur di Maumere, Kabupaten Sikka, pada tanggal 16-19 Desember 2014. Pertemuan ini merupakan tindaklanjut dari lokakarya di Sumenep, Madura, pada tanggal 15-18 September 2014 tentang Pengelolaan Garam Nasional yang Menyejahterakan Petambaknya.

Menurut dia, keberpihakan pemerintah menjadi kunci tercapainya target swasembada garam dan penutupan kran impor. Pusat Data dan Informasi KIARA (Desember 2014) mencatat jumlah impor garam dibandingkan dengan produksi nasional lebih dari 80% sejak tahun 2010. Sekedar contoh, pada 2010, produksi garam sebesar 1,621,338 ton, impor 2,080,000 ton. Sementara pada 2014 sebesar 2,190,000 ton, impor 1,950,000 ton.

KIARA menyebut, besarnya angka impor disebabkan oleh, pertama, pengelolaan garam nasional yang terbagi ke dalam 3 kementerian (Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Kelautan dan Perikanan) beda kewenangan dan tanpa koordinasi. Kedua, pemberdayaan garam rakyat tidak dimulai dari hulu (tambak, modal, dan teknologi) hingga hilir (pengolahan, pengemasan, dan pemasaran); dan ketiga lemahnya sinergi pemangku kebijakan di tingkat kabupaten/kota, provinsi dan pusat dengan masyarakat petambak garam skala kecil

“Mendapati angka impor yang tinggi sejak tahun 2010, sudah semestinya pemerintah menjalankan kebijakan satu pintu dan payung hukum. Di India, pengelolaan garam nasional terpusat dikerjakan oleh Pemerintah Pusat dan lembaga independen, yakni Salt Commissioner’s Office (SCO). Mereka bertugas untuk: memastikan bahwa petambak garam mendapatkan asuransi (jiwa dan kesehatan); beasiswa sekolah anak mereka; tempat beristirahat, air bersih dan kamar mandi yang layak; kelengkapan alat keselamatan bekerja; jaminan harga; sepeda dan jalan menuju tambak garam yang bagus,” kata Halim.

Dia menjelaskan, apa yang dilakukan oleh Pemerintah India tidaklah sulit untuk diterapkan di Indonesia. Tidak diperlukan lembaga baru, asal ada kesungguhan politik pemerintah dan kesediaan bekerjasama dengan masyarakat petambak garam skala kecil sehingga kran impor bisa ditutup dan petambak garam mendapatkan kesejahteraannya.

Sementara itu, pada kesempatan sebelumnya, KIARA mencatat, 65,2 persen anggaran kelautan dan perikanan untuk infrastruktur dan belanja barang dan jasa, bukan pemberdayaan nelayan. “Pemerintah bersama dengan DPR Republik Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2014 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2015 pada tanggal 14 Oktober 2014. APBN Kementerian Kelautan dan Perikanan di tahun 2015 meningkat dibandingkan dengan tahun 2014, dari Rp5.784,7 triliun menjadi Rp6.368,7 triliun,” ujar Halim.

Di dalam dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2015 dan Nota Keuangan APBN 2015,  dana yang dialokasikan untuk masyarakat dan pemerintah daerah di 34 provinsi hanya sebesar 34,8 persen dari Rp6.726.015.251.000 (Enam triliun tujuh ratus dua puluh enam miliar lima belas juta dua ratus lima puluh satu ribu rupiah).

“Dari prosentase di atas, 29,6 persen dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur dan pengadaan barang dan jasa. Sementara upaya pemberdayaan masyarakat berbentuk penyaluran dana tunai sebesar 5,2 persen untuk kelompok usaha garam, rumput laut, perikanan tangkap dan budidaya,” sebutnya.

“Peningkatan produksi perikanan masih menjadi prioritas pemerintah. Tantangannya adalah selama ini kenaikan produksi tidak memberikan kesejahteraan kepada nelayan. Ditambah lagi daya saing produk perikanan dari kampung-kampung nelayan yang belum serius digarap. Ironisnya perluasan kawasan konservasi perairan juga dijadikan sebagai target pelaksanaan anggaran. Akibatnya, luasan wilayah tangkap nelayan menyempit, modal melaut dan harga jual hasil tangkapan ikan tidak sebanding. Dengan perkataan lain, politik anggaran Presiden Jokowi) belum menyasar upaya perlindungan dan pemberdayaan untuk kesejahteraan nelayan,” jelas Halim.

Lebih parah lagi, lanjut Halim, pemerintah ikut terlibat dalam praktek pengrusakan ekosistem pesisir dan laut melalui reklamasi lahan di Kabupaten Kayong Utara (Kalimantan Barat) senilai Rp5 miliar dan lanjutan reklamasi kavling industri di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara sebesar Rp731.850.000. “Mendapati politik anggaran di atas, tahun 2015 masih menjadi masa suram pembangunan kelautan dan perikanan bagi masyarakat perikanan skala kecil (nelayan, perempuan nelayan, petambak garam dan budidaya),” tutur Halim.

Sumber: http://www.neraca.co.id/industri/48891/Keberpihakan-Pemerintah-Kunci-Swasembada-Garam

Kiara: Tunjukkan Keberpihakan Kepada Petambak Garam Rakyat

Kiara: Tunjukkan Keberpihakan Kepada Petambak Garam Rakyat

 

Jakarta (Antara) – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menghendaki pemerintah benar-benar menunjukkan keberpihakan kepada petambak garam rakyat sebagai langkah utama menuju Indonesia bebas impor garam.

“Keberpihakan pemerintah menjadi kunci tercapainya target swasembada garam dan penutupan keran impor,” kata Sekretaris Jenderal Kiara Abdul Halim dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin.

Abdul Halim mengungkapkan, Pusat Data dan Informasi Kiara per Desember 2014 mencatat jumlah impor garam dibandingkan dengan produksi nasional lebih dari 80 persen sejak tahun 2010.

Ia mengemukakan, besarnya angka impor itu disebabkan antara lain pengelolaan garam nasional yang terbagi ke dalam tiga kementerian, yaitu Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Hal tersebut mengakibatkan terjadinya beda kewenangan tanpa koordinasi, serta pemberdayaan garam rakyat yang tidak dimulai dari hulu (tambak, modal, dan teknologi) hingga hilir (pengolahan, pengemasan, dan pemasaran).

Selain itu, ujar dia, permasalahan lainnya adalah lemahnya sinergi pemangku kebijakan di tingkat kabupaten/kota, provinsi dan pusat dengan masyarakat petambak garam skala kecil.

Mendapati angka impor yang tinggi sejak tahun 2010, Kiara mendesak agar sudah semestinya pemerintah menjalankan kebijakan satu pintu dan payung hukum.

“Di India, pengelolaan garam nasional terpusat dikerjakan oleh Pemerintah Pusat dan lembaga independen, yakni Salt Commissioner¿s Office (SCO),” katanya.

Abdul Halim memaparkan, SCO di India bertugas memastikan bahwa petambak garam mendapatkan asuransi (jiwa dan kesehatan); beasiswa sekolah anak mereka; tempat beristirahat, air bersih dan kamar mandi yang layak; kelengkapan alat keselamatan bekerja; jaminan harga; sepeda dan akses jalan menuju tambak garam yang bagus.

Sebagaimana diketahui, Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama dengan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian tengah merumuskan peta jalan swasembada garam nasional dengan salah satu target adalah Indonesia bebas impor garam di tahun 2015.(ab)

Sumber: https://id.berita.yahoo.com/kiara-tunjukkan-keberpihakan-kepada-petambak-garam-rakyat-104956470–finance.html

Kurangi Impor, Pemerintah Harus Berpihak Pada Petambak Garam

Kurangi Impor, Pemerintah Harus Berpihak Pada Petambak Garam

JAKARTA, GRESNEWS.COM – Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama dengan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian tengah merumuskan peta jalan swasembada garam nas

ional. Salah satu target yang ingin dicapai adalah Indonesia bebas impor garam di tahun 2015.

Terkait kebijakan itu, sedikitnya perwakilan petambak garam dari 5 kabupaten di Nusa Tenggara Timur (Sikka, Ende, Ngada, Lembata dan Flores Timur) di Nusa Tenggara Timur mendesak keberpihakan pemerintah, dari hulu ke hilir. Desakan ini disampaikan di dalam Pertemuan Petambak Garam Nusa Tenggara Timur di Maumere, Kabupaten Sikka, pada tanggal 16-19 Desember 2014.

Pertemuan ini merupakan tindaklanjut dari lokakarya di Sumenep, Madura, pada tanggal 15-18 September 2014 tentang Pengelolaan Garam Nasional yang Menyejahterakan Petambaknya. Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Abdul Halim mengatakan, keberpihakan pemerintah menjadi kunci tercapainya target swasembada garam dan penutupan keran impor.

Pusat Data dan Informasi KIARA (Desember 2014) mencatat jumlah impor garam dibandingkan dengan produksi nasional lebih dari 80% sejak tahun 2010 (lihat tabel). Besarnya angka impor ini, menurut Halim disebabkan oleh beberapa hal. Pertama adalah pengelolaan garam nasional yang terbagi ke dalam tiga kementerian yaitu Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.

“Hal ini menimbulkan kebingungan karena ada beda kewenangan dan tanpa koordinasi,” kata Halim dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, Senin (22/12).

Kedua, adalah terkait pemberdayaan garam rakyat tidak dimulai dari hulu (tambak, modal, dan teknologi) hingga hilir (pengolahan, pengemasan, dan pemasaran). Ketiga, lemahnya sinergi pemangku kebijakan di tingkat kabupaten/kota, provinsi dan pusat dengan masyarakat petambak garam skala kecil.

Tabel: Jumlah Produksi Nasional dan Impor Garam Tahun 2010-2014

No Tahun Produksi (Ton) Impor (Ton)
1 2010 1,621,338 2,080,000
2 2011 1,621,594 2,830,000
4 2012 2,473,716 2,310,000
5 2013 1,090,000 2,020,000
6 2014 2,190,000 1,950,000

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (Desember 2014)

Karena itulah, kata Halim, angka impor garam menjadi tidak terkendali. Mendapati angka impor yang tinggi sejak tahun 2010, dia menyarankan, sudah semestinya pemerintah menjalankan kebijakan satu pintu dan payung hukum.

Di India, kata Halim, pengelolaan garam nasional terpusat dikerjakan oleh Pemerintah Pusat dan lembaga independen, yakni Salt Commissioner’s Office (SCO). Mereka bertugas untuk memastikan petambak garam mendapatkan asuransi (jiwa dan kesehatan), beasiswa sekolah anak mereka, dan tempat beristirahat.

“Selain itu komisi ini juga memastikan petambak mendapatkan akses air bersih dan kamar mandi yang layak, kelengkapan alat keselamatan bekerja, jaminan harga, bahkan sepeda dan jalan menuju tambak garam yang bagus,” ujar Halim.

Apa yang dilakukan oleh Pemerintah India tidaklah sulit untuk diterapkan di Indonesia. “Tidak diperlukan lembaga baru, asal ada kesungguhan politik pemerintah dan kesediaan bekerjasama dengan masyarakat petambak garam skala kecil sehingga kran impor bisa ditutup dan petambak garam mendapatkan kesejahteraannya,” kata Halim.

Sebelumnya Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengaku resah melihat fenomena impor garam yang masih berlangsung hingga saat ini. Susi menilai aktivitas impor garam menjadi salah satu penyebab utama jebolnya devisa negara selama ini.

Terkait pembahasan soal garam, Susi mengatakan sudah ada rapat koordinasi bersama dengan Kementerian Perdagangan. “Kemarin sudah digelar rakor bersama dan kita meminta stop impor garam. Kan sayang devisa negara kita terbuang hanya untuk impor garam saja,” tegas Susi usai menggelar konferensi pers di Gedung Mina Bahari I, Jakarta.

Susi mengaku geram sekaligus mengkritik kebijakan yang dilakukan Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang sampai saat ini dinilai belum mampu memutus rantai impor garam.

Kritik Susi tersebut cukup beralasan pasalnya, di tahun depan, program swasembada garam akan digenjot KKP. Proyek itu menurut Susi, membutuhkan kucuran dana yang lumayan besar mengingat cakupan pendanaannya sudah termasuk dengan sektor kesejahteraan para petambak garam.

Terkait hal itu, Susi berharap ada kesamaan visi dan semangat lintas kementerian untuk bersama-sama membangun produktivitas dan kemandirian garam dalam negeri.

Pada kesempatan berbeda, pernyataan Susi direspon positif oleh Wakil Menteri Perindustrian Alex Retraubun. Alex mengaku optimis target swasembada garam nasional dapat dicapai apabila pemerintah segera tancap gas mengelola sentra produksi garam diseluruh wilayah Indonesia.

Alex menjelaskan, akumulasi kemampuan produksi garam Indonesia terletak di Jawa Timur (Madura) dan di Kabupaten Nagekeo (Nusa Tenggara Timur). Menurut Alex, sudah waktunya NTT masuk sebagai basis garam nasional karena disana terdapat ladang garam seluas 90 hektare yang belum tergarap secara maksimal.

“Potensi garam di NTT sangat luar biasa. Kita kalkulasi saja misalnya di Pulau Jawa masa produksi garam yang hanya berlangsung empat bulan saja sudah mampu produksi 70 ton per hektar per tahun. Sementara di NTT 8 bulan tidak turun hujan. Dengan periode waktu kemarau yang panjang ini, artinya NTT bisa memproduksi garam 2 kali lipat minimal 140 ton per hektar per tahun,” ungkap Alex.

Redaktur : Muhammad Agung Riyadi

 

Sumber: http://www.gresnews.com/berita/detail-print.php?seo=102312-kurangi-impor-pemerintah-harus-berpihak-pada-petambak-garam

Pemberian izin kapal Vietnam di Indonesia dikecam

Pemberian izin kapal Vietnam di Indonesia dikecam

Pemerintah Indonesia memberi izin kepada hampir 2.000 kapal nelayan Vietnam untuk berlindung di perairan Indonesia. Namun langkah tersebut dikecam oleh pegiat lingkungan hidup.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti membenarkan telah memberi izin kepada para nelayan Vietnam tersebut untuk berlindung selama tidak mencuri ikan Indonesia.

“Kita kan juga mau diplomasi baik, but it doesn’t mean we’re gonna let them do it. Jadi surat resmi (pemberian izin) saya layangkan,” kata Susi Pudjiastuti kepada wartawan BBC Indonesia Rizki Washarti.

Pemberian izin ini bermula ketika pemerintah Provinsi Ba Ria-Vung Tau, Vietnam, melalui Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Ho Chi Minh City meminta izin kepada pemerintah Indonesia agar hampir 2.000 kapal nelayan Vietnam dapat berlindung di perairan Indonesia akibat cuaca buruk.

“Kita menerima nota diplomatik (permohonan berlindung) itu. Lalu atas arahan dari bapak Konsul Jenderal, nota diplomatik itu kita teruskan kepada pemerintah pusat, kepada Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Kelautan dan Perikanan,” kata juru bicara KJRI Ho Chi Minh City, Desy Nurmala Sari, Jumat (19/12).

Cuaca

Alasan pemerintah Vietnam soal cuaca buruk ditanggapi Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Andi Eka Sakya. Dia mengatakan memang ada kemungkinan gelombang setinggi di atas tiga meter di sekitar pulau Natuna, pekan depan.

Namun, lepas dari adanya kemungkinan cuaca buruk, pemerintah Indonesia semestinya bisa menempuh jalan lain.

Dengan memberikan izin kepada nelayan Vietnam untuk berlindung di Indonesia, tidak ada yang bisa menjamin mereka tidak mencuri ikan Indonesia, kata pegiat dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Abdul Halim.

“Mestinya pemberian izin itu ditunda terlebih dahulu dan berkomunikasi langsung dengan Kedutaan Besar Vietnam di Jakarta untuk meminta upaya penyelamatan dan pemulangan nelayan-nelayan Vietnam tersebut,” kata pegiat dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim.

Pemberian izin kepada nyaris 2.000 kapal Vietnam untuk berlindung di perairan Indonesia mengemuka dua pekan setelah Angkatan Laut Indonesia menenggelamkan tiga kapal asal Vietnam pelaku penangkapan ikan secara ilegal di perairan Kepulauan Riau.

 

Sumber: http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2014/12/141219_kapal_vietnam_berlindung?SThisFB

Keberpihakan Pemerintah kepada Petambak Garam Kunci Bebas Impor

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

www.kiara.or.id

 

Keberpihakan Pemerintah kepada Petambak Garam Kunci Bebas Impor

Maumere, 22 Desember 2014. Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama dengan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian tengah merumuskan peta jalan swasembada garam nasional. Salah satu target yang ingin dicapai adalah Indonesia bebas impor garam di tahun 2015.

Sedikitnya perwakilan petambak garam dari 5 kabupaten (Sikka, Ende, Ngada, Lembata dan Flores Timur) di Nusa Tenggara Timur mendesak keberpihakan pemerintah, dari hulu ke hilir. Desakan ini disampaikan di dalam Pertemuan Petambak Garam Nusa Tenggara Timur di Maumere, Kabupaten Sikka, pada tanggal 16-19 Desember 2014. Pertemuan ini merupakan tindaklanjut dari lokakarya di Sumenep, Madura, pada tanggal 15-18 September 2014 tentang Pengelolaan Garam Nasional yang Menyejahterakan Petambaknya.

Keberpihakan pemerintah menjadi kunci tercapainya target swasembada garam dan penutupan kran impor. Pusat Data dan Informasi KIARA (Desember 2014) mencatat jumlah impor garam dibandingkan dengan produksi nasional lebih dari 80% sejak tahun 2010 (lihat Tabel 1). Besarnya angka impor disebabkan oleh: (1) pengelolaan garam nasional yang terbagi ke dalam 3 kementerian (Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Kelautan dan Perikanan) beda kewenangan dan tanpa koordinasi; (2) pemberdayaan garam rakyat tidak dimulai dari hulu (tambak, modal, dan teknologi) hingga hilir (pengolahan, pengemasan, dan pemasaran); dan (3) lemahnya sinergi pemangku kebijakan di tingkat kabupaten/kota, provinsi dan pusat dengan masyarakat petambak garam skala kecil.

Tabel 1. Jumlah Produksi Nasional dan Impor Garam Tahun 2010 – 2014

No Tahun Produksi (Ton) Impor (Ton)
1 2010 1,621,338 2,080,000
2 2011 1,621,594 2,830,000
4 2012 2,473,716 2,310,000
5 2013 1,090,000 2,020,000
6 2014 2,190,000 1,950,000

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (Desember 2014)

Mendapati angka impor yang tinggi sejak tahun 2010, sudah semestinya pemerintah menjalankan kebijakan satu pintu dan payung hukum. Di India, pengelolaan garam nasional terpusat dikerjakan oleh Pemerintah Pusat dan lembaga independen, yakni Salt Commissioner’s Office (SCO). Mereka bertugas untuk: memastikan bahwa petambak garam mendapatkan asuransi (jiwa dan kesehatan); beasiswa sekolah anak mereka; tempat beristirahat, air bersih dan kamar mandi yang layak; kelengkapan alat keselamatan bekerja; jaminan harga; sepeda dan jalan menuju tambak garam yang bagus.

Apa yang dilakukan oleh Pemerintah India tidaklah sulit untuk diterapkan di Indonesia. Tidak diperlukan lembaga baru, asal ada kesungguhan politik pemerintah dan kesediaan bekerjasama dengan masyarakat petambak garam skala kecil sehingga kran impor bisa ditutup dan petambak garam mendapatkan kesejahteraannya.***

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA

di +62 815 53100 259