Archive for month: December, 2014
Mendongkrak Daya Saing Nelayan
/in IUU Fishing, Kampanye & Advokasi, Pengelolaan Pesisir & Pulau - Pulau Kecil, Reformasi Kebijakan /by adminkiaraMendongkrak Daya Saing Nelayan
Koran SINDO Indonesia merupakan negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Penduduk yang berada di garis pantai (pesisir) banyak didominasi oleh nelayan yang menggantungkan hidup sektor perikanan. Sayangnya, mereka belum bisa berkuasa atas lautnya sendiri. Luasnya laut Indonesia dan panjangnya garis pantai seharusnya bisa lebih dinikmati masyarakat pesisir. Namun, banyak warga yang berprofesi sebagai nelayan tidak menikmati potensi laut Indonesia karena keterbatasan yang mereka hadapi, mulai keterbatasan teknologi penangkapan, modal, pengangkutan hasil tangkapan, hingga pengolahan hasil tangkap. Para nelayan Indonesia kalah dibanding nelayan asing yang sudah mempunyai teknologi yang lebih baik dan mampu menangkap ikan di luar teritorial negara mereka. Bahkan, banyak nelayan asing yang menangkap ikan di laut Indonesia yang kaya. Direktur The National Maritime Institute (Namarin) Jakarta Siswanto Rusdi menyebutkan, perairan Indonesia sudah lama menjadi salah satu tempat favorit bagi kapal asing untuk melakukan penangkapan ikan ilegal. Perlu waktu yang cukup lama agar kegiatan illegal fishing ini benar-benar bisa diberantas. Siswanto menyebutkan, nelayan internasional sudah biasa melengkapi peralatan untuk melaut dengan teknologi yang mampu mengarungi samudera. Daerah-daerah yang banyak menjadi tujuan penangkapan ikan adalah laut yang masuk zona ekonomi eksklusif (ZEE) yang sangat luas. Untuk mencapai zona tersebut, mereka melengkapi kapal mereka dengan teknologi dan bahan bakar yang cukup. Kapal-kapal para nelayan internasional saat ini berbobot antara 200 GT (gros ton) hingga 500 GT. “Panjang kapal 200 GT saja berkisar 50–100 meter. Sementara, nelayan Indonesia masih menggunakan kapal tradisional yang umumnya kecil dan dengan teknologi yang terbatas,” jelas Siswanto. Pemerintah perlu memberikan perhatian pada sumberd aya nelayan, baik dari sisi teknologi dan modal. Peningkatan kapasitas nelayan selain akan menambah kesejahteraan mereka, juga bisa memfungsikan nelayan dalam melakukan pengawasan illegal fishing. Guna menerapkan strategi ini, nelayan Indonesia juga perlu dilengkapi dengan kapal besar dan teknologi yang lebih baik. Jika kapal nelayan sudah memenuhi standar, mereka akan sangat efektif untuk mengawasi laut Indonesia karena jumlah mereka cukup banyak. Bandingkan jika hanya mengandalkan kapal dan aparatur pemerintah yang sangat terbatas. Apalagi, para nelayan sudah menjadikan laut sebagai tempat kedua mereka. “Tidak ada yang meragukan kemampuan melaut para nelayan Indonesia, mereka sudah di tempat selama beradababad lamanya, namun kendala yang dihadapi mereka saat ini adalah teknologi. Jumlah mereka yang sangat besar, sangat efektif jika disinergikan untuk mencegah illegal fishing,” tambah Siswanto. Siswanto yakin, jika para nelayan dilengkapi dan dilatih menggunakan kapal dan teknologi yang cukup, kesejahteraan mereka juga akan terangkat. Selama ini nelayan Indonesia selalu terlilit utang. Banyak yang terjerat hutang yang salah satu syaratnya harus menjual hasil tangkapan pada pihak tertentu dengan harga murah. Jika kesejahteraan terangkat, maka akan mencegah illegal fishingsecara signifikan. Pemerintah memperkirakan kerugian yang dialami Indonesia akibat illegal fishingbisa mencapai Rp300 triliun setiap tahunnya. Baru-baru ini pemerintah terlihat melakukan sejumlah upaya untuk mencegah illegal fishing, seperti penenggelaman beberapa kapal. Namun, masih banyak kapal asing yang menangkap ikan secara ilegal di perairan Indonesia. Sementara, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim menambahkan, masalah yang dihadapi nelayan cukup kompleks. Selain karena kemampuan menangkap ikan, mereka tidak kuasa menentukan harga hasil tangkapan karena tersandera oleh tengkulak. Para tengkulak biasanya adalah mereka yang memonopoli pembelian ikan dan juga berasal dari perusahaan pengolahan yang mempunyai modal besar. Masalah lain yang dihadapi para nelayan adalah integrasi perikanan, mulai dari penangkapan, distribusi hingga pengolahan. Selama ini sentra penangkapan banyak terdapat di wilayah tengah dan timur Indonesia, sementara sentra produksi banyak berada di Indonesia bagian barat. Akibatnya, banyak hasil produksi (baik tangkap maupun budi daya) yang tidak terserap industri pengolahan. “Jarak antara sentra produksi dan pengolahan yang jauh banyak membuat banyak ikan mati sebelum sampai ke sentra produksi yang membuat harganya anjlok,” kata Halim kepada KORAN SINDO. Saat ini menurut Halim, masalah nelayan bertambah seiring kenaikan harga BBM. Selama ini modal penangkapan ikan lebih banyak dihabiskan untuk konsumsi BBM, sehingga ketika BBM naik biaya pun bertambah. “BBM menghabiskan sekitar 70% dari biaya nelayan. Harga yang naik ini tidak diikuti kenaikan harga ikan yang membuat nelayan semakin merana,”tambah Halim. Halim meminta pemerintah bisa mengeluarkan kebijakan yang tepat bagi nelayan. Dalam kebijakan BBM misalnya, seharusnya nelayan bisa menikmati subsidi yang lebih besar dibanding yang lain. Dia meminta, jangan sampai alasan penyelewengan membuat harga BBM bagi nelayan naik, karena seharusnya pemerintah memberikan solusi pada distribusi, bukan menaikkan harga BBM. Sumber:http://www.koran-sindo.com/read/940494/162/mendongkrak-daya-saing-nelayanKIARA: Perluasan Tambak Udang, Rusak Ekosistem Mangrove dan Rugikan Masyarakat Pesisir
/in Siaran Pers /by adminkiaraKIARA: Perluasan Tambak Udang,
Rusak Ekosistem Mangrove dan Rugikan Masyarakat Pesisir
Jakarta, 31 Desember 2014. Penambahan lahan untuk tambak udang seluas 60.000 hektare (ha) menjadi target Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) hingga tahun 2019. Jumlah ini terdiri dari 10.000 ha tambak intensif, 20.000 ha tambak semi-intensif, dan 30.000 ha tambak tradisional. Perluasan tambak udang ini untuk meningkatkan volume dan nilai produksi. Pusat Data dan Informasi KIARA (Desember 2014) mencatat luas lahan budidaya tambak mengalami kenaikan: dari 618.251 hektare (2008) menjadi 650.509 hektare (2013). Peningkatan luas lahan budidaya tambak ini berbanding terbalik dengan volume dan nilai produksi tambak yang justru menurun dalam periode yang sama (lihat Tabel 1). Dengan perkataan lain, penambahan lahan untuk tambak udang tidak berkorelasi positif terhadap target produksi, baik dari sisi volume maupun nilai. Tabel 1. Luas Lahan Budidaya Tambak, Volume dan Nilai Produksi 2008 dan 2013No | Tahun | Luas Lahan Budidaya Tambak (Ha) | Volume (Ton) | Nilai (Ribu) |
1 | 2008 | 618.251 | 959.509 | 17,304,474,417 |
2 | 2013 | 650.509 | 896.886 | 14,690,785,188 |
Kabar Bahari: Kepiting, Sertifikasi dan Nihilnya Peran Negara
/in Buletin /by adminkiara
Nurhidayah: Melawan KDRT, Menggerakkan Ekonomi Perempuan Nelayan
/in Uncategorized /by adminkiara“Saya nrimo saja awalnya, karena saya pikir itu bentuk pengabdian. Sampai puncaknya saya sering babak belur karena dipukuli suami,” kenang Dayah.
KDRT yang acap kali terjadi diperburuk oleh minimnya pengetahuan kaum perempuan dalam memahami apa saja bentuk kekerasan. Seperti yang terjadi pada Dayah, ia hanya menganggap kekerasan sebagai ‘kewajaran’ dan ‘pengabdian’.“Sampai akhirnya bergabung dengan kelompok perempuan nelayan Puspita Bahari, bertemu dengan LBH Apik dan LBH Semarang, saya mendapatkan motivasi untuk mengubah diri dan anak-anak,” imbuh Dayah.
Tekad untuk berubah diwujudkan Dayah dengan membuat Gerakan Berani Jujur. Gerakan ini mendorong kaum perempuan yang mengalami KDRT untuk membuka diri. Saat menerima laporan, Dayah akan mengadukannya kepada pihak berwajib.“Awalnya saya tidak bersedia, tapi saya lihat diri saya yang babak belur. Masa saya mau begini selamanya, saya juga takut anak saya meniru hal yang kurang baik seperti ini,” kenangnya.
Tindakan Dayah mendapat perlawanan dari lingkungan sekitar. Budaya patriarki yang kental membuat Dayah diasingkan. Namun berkat dukungan dari Masnu’ah (Ketua Dewan Pembina Puspita Bahari), Dayah mendapatkan dukungan untuk terus memperjuangkan hak kaum perempuan dan memberanikan diri berbicara tentang pengalamannya kepada orang-orang sekitar. Muara Indah Dua tahun berlalu, perubahan mulai dirasakan Dayah. Energi positif mulai ia tatap sebagai tujuan hidupnya. Mimpi dan motivasi Dayah kini hanyalah membuat keempat anaknya dapat bersekolah tinggi guna memperbaiki hidup dan lepas dari kemiskinan. Dayah semakin giat dalam mendorong kemandirian perempuan nelayan di kampungnya. Ia mulai mengajak perempuan nelayan lainnya untuk mengolah hasil laut menjadi makanan kaya gizi dan mempunyai nilai ekonomi tinggi. Dari Puspita Bahari, Dayah belajar membuat kerupuk ikan. Ia pun terlibat aktif bersama koperasi dan memperkuat peran koperasi di kampungnya. Dayah sadar, permasalahan ekonomi menjadi pemicu terbesar dalam kasus-kasus KDRT di kampungnya.“Sederhana saja, kalau suami sedang kena musim rendeng (cuaca ekstrem) tidak bisa melaut, tidak ada uang rokok, tidak ada uang jajan anak, pasti emosian. Perempuan yang sering dipukuli, dimaki atau paling umum disuruh cari hutangan,” ujar Dayah.
Dayah terus berjuang untuk membangkitkan ekonomi perempuan nelayan di kampungnya. Ia membentuk kelompok perempuan nelayan yang dinamainya Muara Indah dan bekerjasama dengan Puspita Bahari. Beragam pelatihan telah ia ikuti dan bersama kelompoknya, beragam produk olahan khas pesisir telah ia hasilkan. Dayah terus memotivasi perempuan nelayan lainnya untuk mandiri dan tangguh. Dalam dirinya, Dayah berharap hadirnya keadilan sosial di kampung-kampung pesisir.“Saya maunya tidak ada yang menindas dan tertindas. Hidup lurus sejalan, saling menghormati. Perempuan juga harusnya bisa lebih pintar, biar tidak sekadar dijadikan kanca wingking,” pesan Dayah kepada kaum perempuan nelayan lainnya.
Dayah kini menjadikan Muara Indah sebagai proyeksi harapannya terhadap kemandirian perempuan nelayab di Kabupaten Demak. Ia acapkali dianggap sebagai perempuan nelayan yang terlalu berani melawan arus. Di benak Dayah, melawan masih lebih terhormat dari pada sekadar ikut-ikutan. “Perbaikan nasib harus dijemput, bukan ditunggu,” tutup dayah penuh semangat.*** (SH)Keberpihakan Pemerintah Kunci Swasembada Garam
/in Kampanye & Advokasi, Pertambakan dan Mangrove /by adminkiaraKiara: Tunjukkan Keberpihakan Kepada Petambak Garam Rakyat
/in Pertambakan dan Mangrove, Reformasi Kebijakan /by adminkiaraKurangi Impor, Pemerintah Harus Berpihak Pada Petambak Garam
/in Kampanye & Advokasi, Pertambakan dan Mangrove, Reformasi Kebijakan /by adminkiaraNo | Tahun | Produksi (Ton) | Impor (Ton) |
1 | 2010 | 1,621,338 | 2,080,000 |
2 | 2011 | 1,621,594 | 2,830,000 |
4 | 2012 | 2,473,716 | 2,310,000 |
5 | 2013 | 1,090,000 | 2,020,000 |
6 | 2014 | 2,190,000 | 1,950,000 |
Pemberian izin kapal Vietnam di Indonesia dikecam
/in IUU Fishing, Kampanye & Advokasi, Reformasi Kebijakan /by adminkiaraPemberian izin kapal Vietnam di Indonesia dikecam
Pemerintah Indonesia memberi izin kepada hampir 2.000 kapal nelayan Vietnam untuk berlindung di perairan Indonesia. Namun langkah tersebut dikecam oleh pegiat lingkungan hidup.Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti membenarkan telah memberi izin kepada para nelayan Vietnam tersebut untuk berlindung selama tidak mencuri ikan Indonesia.
“Kita kan juga mau diplomasi baik, but it doesn’t mean we’re gonna let them do it. Jadi surat resmi (pemberian izin) saya layangkan,” kata Susi Pudjiastuti kepada wartawan BBC Indonesia Rizki Washarti.
Pemberian izin ini bermula ketika pemerintah Provinsi Ba Ria-Vung Tau, Vietnam, melalui Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Ho Chi Minh City meminta izin kepada pemerintah Indonesia agar hampir 2.000 kapal nelayan Vietnam dapat berlindung di perairan Indonesia akibat cuaca buruk.
“Kita menerima nota diplomatik (permohonan berlindung) itu. Lalu atas arahan dari bapak Konsul Jenderal, nota diplomatik itu kita teruskan kepada pemerintah pusat, kepada Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Kelautan dan Perikanan,” kata juru bicara KJRI Ho Chi Minh City, Desy Nurmala Sari, Jumat (19/12).
Cuaca
Alasan pemerintah Vietnam soal cuaca buruk ditanggapi Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Andi Eka Sakya. Dia mengatakan memang ada kemungkinan gelombang setinggi di atas tiga meter di sekitar pulau Natuna, pekan depan.
Namun, lepas dari adanya kemungkinan cuaca buruk, pemerintah Indonesia semestinya bisa menempuh jalan lain.
Dengan memberikan izin kepada nelayan Vietnam untuk berlindung di Indonesia, tidak ada yang bisa menjamin mereka tidak mencuri ikan Indonesia, kata pegiat dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Abdul Halim.
“Mestinya pemberian izin itu ditunda terlebih dahulu dan berkomunikasi langsung dengan Kedutaan Besar Vietnam di Jakarta untuk meminta upaya penyelamatan dan pemulangan nelayan-nelayan Vietnam tersebut,” kata pegiat dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim.
Pemberian izin kepada nyaris 2.000 kapal Vietnam untuk berlindung di perairan Indonesia mengemuka dua pekan setelah Angkatan Laut Indonesia menenggelamkan tiga kapal asal Vietnam pelaku penangkapan ikan secara ilegal di perairan Kepulauan Riau. Sumber: http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2014/12/141219_kapal_vietnam_berlindung?SThisFB
Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan
Jl. Tebet Utara 1 C No.9 RT.08/RW.01, Kel. Tebet Timur, Kec. Tebet, Kota Jakarta Selatan. 12820, Indonesia. Tlp/Fax +62-21 22902055
Tentang KIARA
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) adalah organisasi non-pemerintah yang berdiri pada tanggal 6 april 2003. Organisasi nirlaba ini diinisiasi oleh WALHI, Bina Desa, JALA (Jaringan Advokasi untuk Nelayan Sumatera Utara), Federasi Serikat Nelayan Nusantara (FSNN), dan individu-individu yang menaruh perhatian terhadap isu kelautan dan perikanan.