Aceh Tak Perhatikan Sektor Perikanan Laut

Aceh Tak Perhatikan Sektor Perikanan Laut

Kapal trawl asing sering masuk curi ikan.

 

BANDA ACEH – Pemerintah Aceh hingga saat ini belum memperhatikan pengembangan perikanan dan kelautan. Dibandingkan bidang perikanan dan kelautan, pemerintah Aceh lebih sibuk mengurus pengelolaan minyak dan gas (migas) di wilayah 12 mil sampai 200 mil Laut Aceh.

Sekjen Jaringan Koalisi untuk Advokasi Laut Aceh (Kuala), Marzuki, Jumat (28/11), mengatakan hingga saat ini, pengembangan bidang kelautan dan perikanan belum menjadi prioritas pemerintah Aceh. Bahkan, pengelolaan perikanan dan kelautan di provinsi paling barat Indonesia itu dibiarkan semrawut.

“Pemerintah Aceh selama ini lebih fokus atau lebih memprioritaskan pengelolaan migas di wilayah kewenangan 12 mil sampai ke 200 mil Laut Aceh, dengan pembagian hasil 70:30, yang sekarang lagi panas-panasnya dibahas pemerintah Aceh dan pemerintah pusat. Sementara itu, bidang perikanan dan kelautan dibiarkan terbengkalai,” ujar Marzuki.

Marzuki menyebutkan, perikanan dan kelautan merupakan tempat sebagian besar masyarakat Aceh menggantungkan hidup. Jika dikelola dengan baik, akan meningkatkan pendapatan Provinsi Aceh. “Sebagian besar masyarakat Aceh mencari nafkah di laut, baik dengan menggunakan kapal 5 GT sampai 40 GT,” ucapnya.

Marzuki menyatakan, akibat pengelolaan perikanan dan kelautan yang tidak serius, menyebabkan banyak pencurian ikan yang terjadi di Laut Aceh. Tidak hanya itu, penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap ilegal juga sangat marak terjadi di Laut Aceh. “Pihak yang menangkap ikan secara ilegal, baik itu menggunakan trawl atau pukat harimau dan bom, tidak dilakukan nelayan lokal, tapi nelayan luar Aceh, baik dari Sumatera Utara, maupun kapal asing dari Thailand dan beberapa negara lainnya,” kata Marzuki.

Ia menambahkan, kapal trawl milik asing, khususnya dari Thailand, masuk ke perairan Aceh dengan menyamar menjadi nelayan lokal. Kapal tersebut mengganti bendera mereka dengan bendera Indonesia dan mengubah nama kapal seperti nama kapal nelayan lokal. “Umumnya mereka beroperasi pada malam hari sehingga tidak mudah ditangkap aparat keamanan.

Namun, jika dalam operasi melibatkan nelayan lokal, nelayan pasti mudah mengenali kapal negara lain karena bentuknya berbeda dengan kapal nelayan lokal,” tutur Marzuki.

Sejumlah nelayan di Provinsi Aceh juga menyebutkan hal yang sama. Hingga saat ini, banyak kapal nelayan asing masih mencuri ikan di perairan Aceh. Selain itu, kapal nelayan asing merusak Laut Aceh dengan pukat harimau atau trawl. Bustami, salah satu nelayan di Idi Rayeuk, Kabupaten Aceh Timur, Provinsi Aceh, meminta Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menangkap kapal asing tersebut. Hal itu karena akibat kegiatan mereka, Laut Aceh telah rusak. Penghasilan nelayan lokal pun mulai berkurang.

“Kapal trawl asing yang masuk ke perairan Aceh umumnya berasal dari Thailand. Akibat ulah mereka, terumbu karang di lautan Aceh rusak. Kami meminta menteri kelautan dan perikanan segera menindak pencuri ikan dari negara asing tersebut,” ucap Bustami.

Penangkapan ikan dengan menggunakan kapal trawl tidak hanya terjadi di perairan wilayah timur Aceh. Di pantai barat dan selatan Aceh, seperti Kabupaten Singkil, Simeulu, Aceh Selatan, dan Nagan Raya juga sering didatangi nelayan asal Sumatera Utara yang memakai pukat harimau. Nelayan Singkil Utara, Dedi menyebutkan, kapal trawl yang sering mencuri ikan di perairan Singkil dan sekitarnya berasal dari Sibolga, Provinsi Sumatera Utara.

 

Sumber: http://sinarharapan.co/news/read/141129033/aceh-tak-perhatikan-sektor-perikanan-laut