Keberpihakan Pemerintah kepada Petambak Garam Kunci Bebas Impor

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

www.kiara.or.id

 

Keberpihakan Pemerintah kepada Petambak Garam Kunci Bebas Impor

Maumere, 22 Desember 2014. Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama dengan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian tengah merumuskan peta jalan swasembada garam nasional. Salah satu target yang ingin dicapai adalah Indonesia bebas impor garam di tahun 2015.

Sedikitnya perwakilan petambak garam dari 5 kabupaten (Sikka, Ende, Ngada, Lembata dan Flores Timur) di Nusa Tenggara Timur mendesak keberpihakan pemerintah, dari hulu ke hilir. Desakan ini disampaikan di dalam Pertemuan Petambak Garam Nusa Tenggara Timur di Maumere, Kabupaten Sikka, pada tanggal 16-19 Desember 2014. Pertemuan ini merupakan tindaklanjut dari lokakarya di Sumenep, Madura, pada tanggal 15-18 September 2014 tentang Pengelolaan Garam Nasional yang Menyejahterakan Petambaknya.

Keberpihakan pemerintah menjadi kunci tercapainya target swasembada garam dan penutupan kran impor. Pusat Data dan Informasi KIARA (Desember 2014) mencatat jumlah impor garam dibandingkan dengan produksi nasional lebih dari 80% sejak tahun 2010 (lihat Tabel 1). Besarnya angka impor disebabkan oleh: (1) pengelolaan garam nasional yang terbagi ke dalam 3 kementerian (Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Kelautan dan Perikanan) beda kewenangan dan tanpa koordinasi; (2) pemberdayaan garam rakyat tidak dimulai dari hulu (tambak, modal, dan teknologi) hingga hilir (pengolahan, pengemasan, dan pemasaran); dan (3) lemahnya sinergi pemangku kebijakan di tingkat kabupaten/kota, provinsi dan pusat dengan masyarakat petambak garam skala kecil.

Tabel 1. Jumlah Produksi Nasional dan Impor Garam Tahun 2010 – 2014

No Tahun Produksi (Ton) Impor (Ton)
1 2010 1,621,338 2,080,000
2 2011 1,621,594 2,830,000
4 2012 2,473,716 2,310,000
5 2013 1,090,000 2,020,000
6 2014 2,190,000 1,950,000

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (Desember 2014)

Mendapati angka impor yang tinggi sejak tahun 2010, sudah semestinya pemerintah menjalankan kebijakan satu pintu dan payung hukum. Di India, pengelolaan garam nasional terpusat dikerjakan oleh Pemerintah Pusat dan lembaga independen, yakni Salt Commissioner’s Office (SCO). Mereka bertugas untuk: memastikan bahwa petambak garam mendapatkan asuransi (jiwa dan kesehatan); beasiswa sekolah anak mereka; tempat beristirahat, air bersih dan kamar mandi yang layak; kelengkapan alat keselamatan bekerja; jaminan harga; sepeda dan jalan menuju tambak garam yang bagus.

Apa yang dilakukan oleh Pemerintah India tidaklah sulit untuk diterapkan di Indonesia. Tidak diperlukan lembaga baru, asal ada kesungguhan politik pemerintah dan kesediaan bekerjasama dengan masyarakat petambak garam skala kecil sehingga kran impor bisa ditutup dan petambak garam mendapatkan kesejahteraannya.***

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA

di +62 815 53100 259

 

65,2 Persen Anggaran Kelautan dan Perikanan untuk Infrastruktur dan Belanja Barang dan Jasa, Bukan Pemberdayaan Nelayan

Siaran Pers Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

www.kiara.or.id

65,2 Persen Anggaran Kelautan dan Perikanan untuk Infrastruktur dan Belanja Barang dan Jasa, Bukan Pemberdayaan Nelayan

Maumere, 18 Desember 2014. Pemerintah bersama dengan DPR Republik Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2014 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2015 pada tanggal 14 Oktober 2014. APBN Kementerian Kelautan dan Perikanan di tahun 2015 meningkat dibandingkan dengan tahun 2014: dari Rp5.784,7 triliun menjadi Rp6.368,7 triliun.

Di dalam dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2015 dan Nota Keuangan APBN 2015,  dana yang dialokasikan untuk masyarakat dan pemerintah daerah di 34 provinsi hanya sebesar 34,8 persen dari Rp6.726.015.251.000 (Enam triliun tujuh ratus dua puluh enam miliar lima belas juta dua ratus lima puluh satu ribu rupiah). Dari prosentase di atas, 29,6 persen dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur dan pengadaan barang dan jasa. Sementara upaya pemberdayaan masyarakat berbentuk penyaluran dana tunai sebesar 5,2 persen untuk kelompok usaha garam, rumput laut, perikanan tangkap dan budidaya.

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA menegaskan bahwa, “Peningkatan produksi perikanan masih menjadi prioritas pemerintah. Tantangannya adalah selama ini kenaikan produksi tidak memberikan kesejahteraan kepada nelayan. Ditambah lagi daya saing produk perikanan dari kampung-kampung nelayan yang belum serius digarap. Ironisnya perluasan kawasan konservasi perairan juga dijadikan sebagai target pelaksanaan anggaran. Akibatnya, luasan wilayah tangkap nelayan menyempit, modal melaut dan harga jual hasil tangkapan ikan tidak sebanding. Dengan perkataan lain, politik anggaran Presiden Jokowi (lihat lampiran Tabel 1) belum menyasar upaya perlindungan dan pemberdayaan untuk kesejahteraan nelayan”.

Lebih parah lagi, pemerintah ikut terlibat dalam praktek pengrusakan ekosistem pesisir dan laut melalui reklamasi lahan di Kabupaten Kayong Utara (Kalimantan Barat) senilai Rp5 miliar dan lanjutan reklamasi kavling industri di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara sebesar Rp731.850.000.

Mendapati politik anggaran di atas, tahun 2015 masih menjadi masa suram pembangunan kelautan dan perikanan bagi masyarakat perikanan skala kecil (nelayan, perempuan nelayan, petambak garam dan budidaya).***

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA

di +62 815 53100 259 (SMS/BBM)

Lampiran

 

Tabel 1. Program, Indikator Kerja dan Target KKP 2015

No Program Indikator Kerja Target
1 Program pengembangan dan pengelolaan perikanan tangkap Jumlah laut teritorial dan perairan kepulauan

 

Jumlah pengembangan dan pembangunan pelabuhan perikanan UPT Pusat

 

Produksi perikanan tangkap

 

Jumlah penumbuhan dan pengembangan kelompok usaha bersama (KUB) yang mandiri (lokasi)

5

 

 

23

 

 

 

6,2 juta ton

 

2.000

2 Program pengelolaan sumber daya laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil (1) Produksi garam

 

(2) Gugus pulau yang dikembangkan sebagai sentra wisata bahari dan perikanan;

 

(3) jumlah kawasan konservasi perairan;

 

(4) pulau-pulau kecil terluar (PPKT) yang difasilitasi pengembangan ekonominya

2,5 juta ton

 

3

 

 

 

16,5 juta hektare

 

 

15 pulau

3 Program Peningkatan Produksi Perikanan Budidaya Jumlah produksi induk unggul (juta induk)

 

Jumlah unit pembudidayaan tersertifikat CBIB (unit; kumulatif)

 

Jumlah kawasan yang mempunyai data dukung dan pembangunan infrastruktur perikanan budidaya air tawar

10

 

8.000 unit

 

 

20 kawasan

4 Program Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Jumlah operasi kapal pengawas 116 operasi kapal
5 Program Peningkatan Daya Saing Usaha dan Produk Perikanan Lokasi pengembangan sarana prasarana pemasaran

 

Jumlah eksportir hasil perikanan berskala UKM yang dibina dalam rangka peningkatan kemampuan dan daya saing

10

 

 

60

6 Program Pengembangan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Jumlah Unit Pengolahan Ikan (UPI) dan hasil perikanan yang bersertifikat yang memenuhi persyaratan ekspor (unit)

 

Penolakan ekspor hasil perikanan pada negara mitra (kasus)

 

Persentase jumlah jenis penyakit ikan karantina yang dicegah penyebarannya antar zona melalui tindakan karantina di exit dan entry

point

 

Sertifikasi penerapan sistem jaminan mutu (sertifikat HACCP) di OPI

550

 

 

 

 

≤10

 

 

 

100%

 

 

 

 

 

 

1.130

Sumber: Nota Keuangan APBN 2015

Kiara: Program KKP Tidak Mensejahteraan Nelayan

Kiara: Program KKP Tidak Mensejahteraan Nelayan

“Peningkatan produksi perikanan masih menjadi prioritas pemerintah. Tantangannya adalah selama ini kenaikan produksi tidak memberikan kesejahteraan kepada nelayan,” kata Sekretaris Jenderal Kiara, Abdul Halim dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis (18/12).
Jakarta, Aktual.co — Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) meminta kenaikan produksi perikanan tidak dijadikan patokan utama dalam mengukur keberhasilan program karena tidak seiring dengan peningkatan kesejahteraan nelayan.

“Peningkatan produksi perikanan masih menjadi prioritas pemerintah. Tantangannya adalah selama ini kenaikan produksi tidak memberikan kesejahteraan kepada nelayan,” kata Sekretaris Jenderal Kiara, Abdul Halim dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis (18/12).

Menurut Abdul Halim, daya saing produk perikanan dari berbagai kampung nelayan di Tanah Air juga dinilai belum serius digarap. Ironisnya, perluasan kawasan konservasi perairan juga dijadikan sebagai target pelaksanaan anggaran. Akibatnya luasan wilayah tangkap nelayan menyempit, modal melaut dan harga jual hasil tangkapan ikan tidak sebanding.

“Dengan perkataan lain, politik anggaran Presiden Jokowi belum menyasar upaya perlindungan dan pemberdayaan untuk kesejahteraan nelayan,” kata Abdul Halim.

Sebelumnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan akan berupaya untuk meningkatkan kompetensi bisnis dan pemberdayaan nelayan, pembudi daya ikan, serta pengolah dan masyarakat pesisir lain guna memperkuat dan meningkatkan daya saing.

“Pelaku usaha kelautan dan perikanan khususnya nelayan harus mulai dididik untuk mengenal bisnis sehingga bisa menjadi pelaku usaha yang andal dan bukan hanya sebagai obyek semata,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dalam siaran pers KKP yang diterima di Jakarta, Senin (8/12).

Menurut Susi, dengan kompetensi bisnis yang dimiliki setiap pelaku usaha dapat memanfaatkan potensi sumber daya kelautan dan perikanan yang tersedia secara optimal dan berkelanjutan, seperti nelayan tradisional diharapkan mampu memanfaatkan perairan Indonesia menjadi sumber kehidupan dan peningkatan kesejahteraan.

Selain itu, ujar dia, pembudidaya ikan mampu memanfaatkan lautan dan menghasilkan produk perikanan budidaya yang berkualitas secara efisien.

Kemudian, para pengolah mampu meningkatkan nilai tambah produk perikanan sehingga mampu bersaing di pasar global. “Sedangkan masyarakat pesisir lainnya diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan dengan memanfaatkan potensi kelautan dan perikanan yang kita miliki,” katanya.

Pemerintah juga akan terus berupaya memberikan perlindungan usaha dan kesempatan berusaha antara lain dengan menjamin kemudahan dalam akses permodalan ke perbankan, sertifikasi hak atas tanah bagi nelayan dan pembudidaya.

Untuk itu, Menteri Kelautan dan Perikanan juga mengemukakan pentingnya sinergi antarsektoral sehingga KKP akan menjalin komunikasi, integrasi dan koordinasi dengan kementerian atau lembaga lain yang terkait.

Sumber: http://www.aktual.co/ekonomibisnis/kiara-program-kkp-tidak-mensejahteraan-nelayan

Politik Anggaran KKP Lupakan Pemberdayaan Nelayan

Politik Anggaran KKP Lupakan Pemberdayaan Nelayan

Nelayan Tradisional (ANTARA)

JAKARTA, GRESNEWS.COM – Kementerian Kelautan dan Perikanan ternyata selama ini lebih banyak menghamburkan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk program di luar urusan pemberdayaan nelayan. Dalam catatan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), sekitar 65,2 persen anggaran KKP dipergunakan untuk Infrastruktur dan Belanja Barang dan Jasa.

Anggaran KKP tahun ini memang naik dari sebelumnya sebesar Rp5,78 triliun di tahun 2014 menjadi sekitar Rp6,36 triliun di tahun 2015. Berdasarkan dokumen APBN KKP tahun 2015, dari jumlah dana itu, hanya sekitar 34,8 persen saja yang digunakan untuk masyarakat dan pemerintah daerah di 34 provinsi.

Dari jumlah itupun sebagian besar yaitu 29,6 persen kembali dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur dan pengadaan barang dan jasa. Sementara upaya pemberdayaan masyarakat berbentuk penyaluran dana tunai hanya dialokasikan sebesar 5,2 persen untuk kelompok usaha garam, rumput laut, perikanan tangkap dan budidaya.

Sekretaris Jenderal KIARA Abdul Halim mengatakan, peningkatan produksi perikanan masih menjadi prioritas pemerintah. “Tantangannya adalah selama ini kenaikan produksi tidak memberikan kesejahteraan kepada nelayan,” katanya dalam siaran pers yang diterimaGresnews.com, Kamis (18/12).

Tabel: Program, Indikator Kerja dan Target KKP 2015

No Program Indikator kerja Target
1 Program pengembangan dan pengelolaan perikanan tangkap Jumlah laut teritorial dan perairan kepulauan

Jumlah pengembangan dan pembangunan pelabuhan perikanan UPT Pusat

Produksi perikanan tangkap

Jumlah penumbuhan dan pengembangan kelompok usaha bersama (KUB) yang mandiri (lokasi

5

23

6,2 juta ton

2 Program pengelolaan sumber daya laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil (1) Produksi garam

(2) Gugus pulau yang dikembangkan sebagai sentra wisata bahari dan perikanan;

(3) jumlah kawasan konservasi perairan;

(4) pulau-pulau kecil terluar (PPKT) yang difasilitasi pengembangan ekonominya

2,5 juta ton

3

16,5 juta hektare

15 pulau

3 Program Peningkatan Produksi Perikanan Budidaya umlah produksi induk unggul (juta induk)

Jumlah unit pembudidayaan tersertifikat CBIB (unit; kumulatif)

Jumlah kawasan yang mempunyai data dukung dan pembangunan infrastruktur perikanan budidaya air tawar

10

20 kawasan

4 Program Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Jumlah operasi kapal pengawas 116 operasi kapal
5 Program Peningkatan Daya Saing Usaha dan Produk Perikanan Lokasi pengembangan sarana prasarana pemasaran

Jumlah eksportir hasil perikanan berskala UKM yang dibina dalam rangka peningkatan kemampuan dan daya saing

10

60

6 Program Pengembangan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Jumlah Unit Pengolahan Ikan (UPI) dan hasil perikanan yang bersertifikat yang memenuhi persyaratan ekspor (unit)

Penolakan ekspor hasil perikanan pada negara mitra (kasus)

Persentase jumlah jenis penyakit ikan karantina yang dicegah penyebarannya antar zona melalui tindakan karantina di exit dan entrypoint

Sertifikasi penerapan sistem jaminan mutu (sertifikat HACCP) di OPI

550

≤10

100%

Sumber: Nota Keuangan APBN 2015

Ditambah lagi, kata Halim, daya saing produk perikanan dari kampung-kampung nelayan yang belum serius digarap. Ironisnya perluasan kawasan konservasi perairan juga dijadikan sebagai target pelaksanaan anggaran.
Akibatnya, luasan wilayah tangkap nelayan menyempit, modal melaut dan harga jual hasil tangkapan ikan tidak sebanding.

“Dengan perkataan lain, politik anggaran Presiden Jokowi belum menyasar upaya perlindungan dan pemberdayaan untuk kesejahteraan nelayan,” tambah Halim.

Lebih parah lagi, pemerintah ikut terlibat dalam praktik perusakan ekosistem pesisir dan laut melalui reklamasi lahan seperti di Kabupaten Kayong Utara (Kalimantan Barat) senilai Rp5 miliar. Selain itu ada pula program lanjutan reklamasi kavling industri di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara sebesar Rp731,8 juta.

“Mendapati politik anggaran di atas, tahun 2015 masih menjadi masa suram pembangunan kelautan dan perikanan bagi masyarakat perikanan skala kecil yaitu nelayan, perempuan nelayan, petambak garam dan budidaya,” kata Halim.

 

Redaktur : Muhammad Agung Riyadi
 
Sumber:http://www.gresnews.com/mobile/berita/sosial/21301812-politik-anggaran-kkp-lupakan-pemberdayaan-nelayan/

Kiara: Kenaikan Produksi Tidak Seiring Kesejahteraan Nelayan

Kiara: Kenaikan Produksi Tidak Seiring Kesejahteraan Nelayan

Jakarta, (Antara) – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) meminta kenaikan produksi perikanan tidak dijadikan patokan utama dalam mengukur keberhasilan program karena tidak seiring dengan peningkatan kesejahteraan nelayan.

“Peningkatan produksi perikanan masih menjadi prioritas pemerintah. Tantangannya adalah selama ini kenaikan produksi tidak memberikan kesejahteraan kepada nelayan,” kata Sekretaris Jenderal Kiara, Abdul Halim dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.

Menurut Abdul Halim, daya saing produk perikanan dari berbagai kampung nelayan di Tanah Air juga dinilai belum serius digarap.

Ironisnya, ujar dia, perluasan kawasan konservasi perairan juga dijadikan sebagai target pelaksanaan anggaran.

Akibatnya, ia berpendapat luasan wilayah tangkap nelayan menyempit, modal melaut dan harga jual hasil tangkapan ikan tidak sebanding.

“Dengan perkataan lain, politik anggaran Presiden Jokowi belum menyasar upaya perlindungan dan pemberdayaan untuk kesejahteraan nelayan,” kata Abdul Halim.

Sebelumnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan akan berupaya untuk meningkatkan kompetensi bisnis dan pemberdayaan nelayan, pembudi daya ikan, serta pengolah dan masyarakat pesisir lain guna memperkuat dan meningkatkan daya saing.

“Pelaku usaha kelautan dan perikanan khususnya nelayan harus mulai dididik untuk mengenal bisnis sehingga bisa menjadi pelaku usaha yang andal dan bukan hanya sebagai obyek semata,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dalam siaran pers KKP yang diterima di Jakarta, Senin (8/12).

Menurut Susi, dengan kompetensi bisnis yang dimiliki setiap pelaku usaha dapat memanfaatkan potensi sumber daya kelautan dan perikanan yang tersedia secara optimal dan berkelanjutan, seperti nelayan tradisional diharapkan mampu memanfaatkan perairan Indonesia menjadi sumber kehidupan dan peningkatan kesejahteraan.

Selain itu, ujar dia, pembudidaya ikan mampu memanfaatkan lautan dan menghasilkan produk perikanan budidaya yang berkualitas secara efisien.

Kemudian, para pengolah mampu meningkatkan nilai tambah produk perikanan sehingga mampu bersaing di pasar global. “Sedangkan masyarakat pesisir lainnya diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan dengan memanfaatkan potensi kelautan dan perikanan yang kita miliki,” katanya.

Pemerintah juga akan terus berupaya memberikan perlindungan usaha dan kesempatan berusaha antara lain dengan menjamin kemudahan dalam akses permodalan ke perbankan, sertifikasi hak atas tanah bagi nelayan dan pembudidaya.

Untuk itu, Menteri Kelautan dan Perikanan juga mengemukakan pentingnya sinergi antarsektoral sehingga KKP akan menjalin komunikasi, integrasi dan koordinasi dengan kementerian atau lembaga lain yang terkait. (*/jno)

Sumber: http://www.antarasumbar.com/berita/nasional/d/0/379203/kiara-kenaikan-produksi-tidak-seiring-kesejahteraan-nelayan.html

KIARA: Livelihoods Fund adalah Proyek Tukar Guling Karbon di Indonesia

KIARA: Livelihoods Fund adalah Proyek Tukar Guling Karbon di Indonesia

KIARA menilai, Inisiatif Karbon Biru yang dihasilkan negosiasi perubahan iklim ke-20 di Lima, Peru, 1- 12 Desember 2014, hanya wahana mentransformasikan ekosistem pesisir dan laut menjadi barang dagangan; bukan solusi mengatasi perubahan iklim.

Jakarta, JMOL ** Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menilai, konsep The Blue Carbon Initiative (Inisiatif Karbon Biru) yang dihasilkan negosiasi perubahan iklim ke-20 di Lima, Peru, 1- 12 Desember 2014, hanya wahana mentransformasikan ekosistem pesisir dan laut menjadi barang dagangan; bukan solusi mengatasi perubahan iklim.

“Negosiasi perubahan iklim yang dilaksanakan beberapa hari terakhir berjalan tanpa hasil. Padahal, delegasi Pemerintah Indonesia turut hadir dalam konvensi tersebut,” ujar Sekjen KIARA Abdul Halim, dalam siaran persnya, Jumat (12/12/2014).

Menurut Halim, perdebatan antara negara berkembang dengan negara maju mengenai langkah bersama yang harus dilakukan untuk mengatasi dampak perubahan iklim, berjalan di tempat. Sementara dampak perubahan iklim, di antaranya permukaan air laut yang naik dan banjir rob di pesisir yang terus meluas hingga menenggelamkan rumah tinggal nelayan, seperti terjadi di pesisir Semarang.

Sementara itu, jelas Halim, the International Union for Conservation of Nature (IUCN) dan The Intergovernmental Oceanographic Commission of UNESCO (IOC-UNESCO) malah mendorong Inisiatif Karbon Biru, yakni program global di luar mekanisme PBB untuk mitigasi dampak perubahan iklim melalui restorasi dan pemanfaatan ekosistem laut dan pesisir yang berkelanjutan. Inisiatif ini fokus kepada mangrove dan padang lamun. Padahal, laju restorasi atau konservasi ekosistem pesisir, khususnya mangrove, tidak dapat mengimbangi laju emisi yang diproduksi oleh negara-negara maju.

“Inisiatif Karbon Biru hanya mentransformasikan ekosistem pesisir dan laut menjadi barang dagangan. Bukan solusi untuk mengatasi dampak perubahan iklim,” katanya.

Bukan Solusi Atasi Perubahan Iklim

Sedikitnya ada tiga alasan mengapa KIARA menyebut Inisiatif Karbon Biru bukan solusi atasi dampak perubahan iklim. Pertama, kalkulasi karbon yang dikampanyekan semata-mata untuk mengeruk keuntungan bagi sebagian individu/kelompok. Sementara peran dan keberadaan masyarakat pesisir dalam melestarikan dan memanfaatkan mangrove sebagai bahan utama membuat makanan, minuman, obat-obatan, dan kosmetik diabaikan.

Kedua, dikatakan bahwa salah satu penyebab perubahan iklim adalah rusaknya mangrove akibat pengelolaan yang buruk. Di Indonesia, Guatemala, Kenya, dan Brasil, kerusakan mangrove disebabkan oleh reklamasi pantai untuk pembangunan hotel, apartemen dan kawasan rekreasi berbayar, tambak budidaya, dan perluasan kebun kelapa sawit,” tuturnya.

Padahal, menghancurkan 1 hektare (ha) hutan mangrove, emisinya setara dengan menebang 3-5 ha hutan tropis (Ocean and Coastal Policy Program Duke University, Amerika Serikat). Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pelaku perusakan hutan mangrove adalah buah kolaborasi antara oknum pemerintah dan pengusaha.

Ketiga, Inisiatif Karbon Biru tidak mampu mengubah perilaku perusahaan dalam pengelolaan emisi karbonnya. Sebaliknya, hanya menjadi sarana tukar guling karbon (carbon offset). Praktik ini sudah berlangsung di Senegal, India, dan Indonesia. Di Tanah Air, proyek tukar guling karbon ini berlangsung sejak tahun 2011 melalui investasi yang dinamai Livelihoods Fund,” ungkapnya.

Program ini didanai Danone, Schneider Electric, Credit Agricole, Hermès International, Voyageurs du Monde, La Poste Group, CDC Climat and SAP-Germany. Program berlangsung selama 20 tahun dan investor (pelaku industri) akan menerima kredit karbon dari mangrove yang ditanam oleh masyarakat pesisir di negara berkembang.

Dengan jalan ini, lanjut Halim, mereka mengklaim telah berkontribusi dalam pengurangan emisi karbon dunia. Padahal, ekosistem pesisir memiliki karakteristik yang unik dan sangat rentan. Pesisir merupakan wilayah transisi antara daratan dan lautan. Tekanan, baik dari alam maupun manusia, sangat nyata terjadi di wilayah pesisir.

“Inisiatif Karbon Biru membuka peluang bagi elite pemerintah untuk menggadaikan dan menerima keuntungan atas nama perubahan iklim. Sementara karena kerentanannya, ekosistem pesisir akan terus rusak akibat pembangunan yang bias daratan dan dampak perubahan iklim. Pada akhirnya, masyarakat pesisir di negara berkembang tetap menjadi korban karbon,” ujarnya menandaskan.

Sumber: http://jurnalmaritim.com/2014/12/kiara-livelihoods-fund-adalah-proyek-tukar-guling-karbon-di-indonesia/

Surat untuk Presiden Jokowi Menuntut Keadilan Iklim Berkeadilan Gender

Surat untuk Presiden Jokowi Menuntut Keadilan Iklim Berkeadilan Gender

 

Kepada YTH.
Bapak Joko Widodo
Presiden Republik Indonesia
Di Tempat

Kami, masyarakat sipil Indonesia yang memperjuangkan keadilan gender, sosial dan ekologi, baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional menyatakan keprihatinan kami atas perkembangan situasi dan respon perubahan iklim, baik di tingkat global maupun nasional. Perubahan iklim telah menimbulkan dampak  signifikan bagi kehidupan manusia di seluruh dunia, terutama masyarakat di negara-negara berkembang yang selama ini sudah dimiskinkan dengan berbagai aksi dan kebijakan yang merampas ruang dan sumber-sumber kehidupan mereka. Namun, dampak dari perubahan iklim ternyata tidak netral gender, permasalahannya bisa saja sama, tapi pengalaman yang dialami perempuan dan laki-laki berbeda. Sistem dan budaya patriarki mengkonstruksikan peran gender yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, serta terampasnya akses dan kontrol perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam yang membuat hilangnya peran sosial perempuan, menyebabkan kekuatan politik perempuan dalam pengambilan keputusan menjadi semakin minim. Dampak dan solusi perubahan iklim hadir di tengah-tengah sistem relasi sosial yang timpang, tidak adil dan mensubordinasi perempuan. Perubahan iklim kemudian semakin meningkatkan beban dan ketidakadilan gender bagi perempuan. Sehingga, dibutuhkan upaya dan aksi nyata dalam mewujudkan keadilan gender bagi perempuan, terutama dalam menghadapi perubahan iklim.

Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Tingginya bencana alam yang terjadi di Indonesia seperti banjir, tanah longsor, Kekeringan, badai  adalah fakta atas kerentanan tersebut. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa selama 1982-2012 telah terjadi banjir (4,121), tanah longsor (1,983), Badai (1,903) dan kekeringan (1,414), sebagai dampak dari fenomena perubahan iklim (BNPB, 2013). KIARA juga mencatat, periode 2010-2014 nelayan yang hilang dan meninggal dunia di laut akibat dampak perubahan iklim dalam bentuk meningkatnya cuaca ekstrem telah mencapai 856 orang. Pada tahun 2010 nelayan Hilang dan meninggal dan hilang di laut mencapai 86, tahun 2011 naik menjadi 149, tahun 2012 meningkat menjadi 186, dan pada tahun 2013 meningkat drastis menjadi 255 orang, dan hingga Oktober 2014 telah mencapai 210 orang. Bencana-benanca iklim ini telah memberikan dampak yang sangat berat bagi perempuan dan anak karena harus menanggung beban ekonomi keluarga sementara negara belum secara serius memberikan perhatian terhadap keluarga korban dampak bencana iklim.

Situasi ini jelas menunjukkan tingginya kebutuhan Indonesia untuk beradaptasi dan meningkatkan ketahanannya atas dampak perubahan iklim, termasuk kebutuhan pendanaannya. Estimasi kebutuhan pendanaan untuk adaptasi perubahan iklim di Indonesia dalam RAN-API, mencapai hingga Rp. 840 triliun, jauh lebih tinggi daripada kegiatan mitigasi yang tertuang dalam RAN GRK, yang mencapai Rp. 225 triliun (Bappenas, 2013). Namun, prinsip dan pendekatan yang inklusif, sensitif dan responsif gender belum terintegrasi di dalam rencana aksi perubahan iklim yang dibuat oleh Pemerintah dan upaya pengarusutamaan gender juga belum maksimal dilakukan.

Di tengah kebutuhan yang tinggi untuk upaya adaptasi,  Indonesia  justru  menyatakan komitmennya mengurangi emisi hingga 26% pada tahun 2020 dengan usaha sendiri atau 41% dengan bantuan internasional. Komitmen ini diterjemahkan dengan pengembangan kebijakan dan proyek percontohan untuk pengurangan emisi dengan mekanisme REDD+, yang dikembangkan untuk masuk ke dalam skema perdagangan karbon internasional atau menggunakan mekanisme pasar. Beberapa pengalaman menunjukkan kegagalan proyek percontohan REDD di Indonesia yang berdampak pada pembatasan akses dan kontrol masyarakat di sekitar hutan dan memunculkan konflik di masyarakat akibat mekanisme yang tidak transparan dan akuntabel.

Komitmen tersebut   telah mengundang berbagai pendanaan iklim untuk masuk ke Indonesia. Pada tahun 2011, komitmen pendanaan iklim ke Indonesia mencapai USD 4,4 milyar, berbentuk utang, hibah, campuran utang dan hibah, serta bantuan teknis, bersumber dari negara industri, lembaga keuangan internasional dan swasta, yang ditujukan untuk aktifitas mitigasi perubahan iklim (Overseas Development Institute, 2011). Sedangkan, sumber pendanaan untuk adaptasi perubahan iklim masih mengandalkan dana APBN (Bappenas, 2013), namun upaya Pemerintah dalam merespon dampak perubahan iklim dan meningkatkan ketahanan masyarakat atas perubahan iklim tidak diperhitungkan sebagai bagian dari kontribusi Indonesia dalam merespon perubahan iklim dalam arena perundingan internasional. Selain itu, walaupun kebutuhan saat ini, negara berkembang juga harus berkontribusi dalam melakukan upaya mitigasi untuk memenuhi ambang batas emisi global, namun tidak kemudian harus diterjemahkan dengan skema dan mekanisme yang mendukung agenda kepentingan negara industri maju yang ingin mengalihkan beban tanggung jawab pengurangan emisi ke negara berkembang. Upaya mitigasi yang dilakukan seharusnya tidak semakin menghilangkan akses dan kontrol masyarakat atas sumber daya alamnya, tidak menimbulkan konflik baru dan melanggar HAM, serta tidak menciptakan utang baru bagi negara.

Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) telah mengakui dan menyepakati bahwa negara maju bertanggung jawab secara historis atas situasi perubahan iklim yang terjadi saat ini. Akibat pembangunan dan perkembangan industrinya, negara maju telah mendapatkan peningkatan signifikan dalam peradaban, perkembangan teknologi, dan kekuatan ekonomi, dan oleh karenanya berkewajiban untuk memperbaiki dampak dari aktivitas mereka selama beratus-ratus tahun melakukan eksploitasi sumber daya alam dan pengrusakan lingkungan, termasuk di negara berkembang, telah mengakibatkan peningkatan gas emisi rumah kaca sebagai penyebab pemanasan global dan perubahan iklim. Oleh karena itu, tanggung jawab atas situasi ini, haruslah berbeda antara negara maju dengan negara berkembang. Negara maju harus memiliki langkah dan aksi yang tegas dalam pengurangan emisi gas rumah kaca melalui upaya domestik, menyediakan pendanaan, melakukan transfer teknologi dan pengembangan kapasitas bagi negara berkembang dalam menghadapi perubahan iklim. Walaupun berbagai komitmen telah dikeluarkan oleh negara-negara industri maju, salah satunya yang dituangkan dalam Kyoto Protocol, yang seharusnya mengikat. Namun dalam perkembangannya, masih terdapat gap yang sangat besar antara komitmen, target dan realita yang terjadi hingga kini. Komitmen pendanaan USD 9,3 milyar yang dinyatakan dalam Pertemuan Tingkat Tinggi Dana Iklim Hijau (GCF) yang merupakan pendanaan iklim global pada November 2014 ini di Berlin pun masih jauh dari kemampuan negara industri dari target USD 100 milyar per tahun hingga 2020.

COP 20 di Lima-Peru pada Desember 2014 ini, menjadi titik yang krusial bagi negara berkembang, karena akan membahas mengenai perjanjian yang akan disepakati pada COP 21 di Paris tahun 2015 nanti yang akan menentukan komitmen dan langkah pasca tahun 2020. Adalah penting untuk memastikan agar kesepakatan mengikat yang akan terjadi tidak hanya focus pada upaya mitigasi dan konstribusi ditentukan oleh masing-masing negara (Intended nationally determined contribution), yang mana akan menghilangkan kewajiban bagi negara maju untuk upaya mitigasi sesuai target dan ambang batas emisi mereka, serta kewajiban untuk adaptasi, pendanaan, pengembangan kapasitas dan transfer teknologi bagi negara berkembang dalam menghadapi perubahan iklim. Pemerintah Indonesia harus turut memastikan kepentingan nasional Indonesia terakomodir di dalam perundingan internasional tersebut. Namun, tidak ada konsultasi publik yang partisipatif maupun keterbukaan informasi terkait agenda pemerintah Indonesia pada COP 20 tersebut yang menjangkau semua pemangku kepentingan yang akan terkena dampak dari kebijakan iklim di Indonesia.

Pada Sembilan Agenda Prioritas Jokowi-Kalla yang disebut NAWA CITA, menyatakan bahwa Pemerintahan ke depan antara lain akan mengedepankan identitas Indonesia sebagai negara kepulauan dalam pelaksanaan diplomasi dan membangun kerja sama Internasional serta akan meningkatkan peran global, dengan memberi prioritas pada permasalahan yang secara langsung berkaitan dengan kepentingan bangsa dan rakyat Indonesia, salah satunya dilakukan dengan meningkatkan kerja sama Selatan-Selatan sebagai bagian dari perjuangan membangun kerjasama internasional dan tatanan dunia yang lebih adil, sejajar dan saling menguntungkan.

Untuk itu, Kami, masyarakat sipil Indonesia, demi keadilan iklim berkeadilan gender, menuntut Presiden Republik Indonesia untuk:

  1. Menginformasikan secara pro aktif kepada publik Indonesia mengenai agenda Pemerintah Indonesia pada COP 20 di Lima
  2. Mengawal secara aktif Tim Negosiator Indonesia pada COP 20 agar benar-benar mewakili kepentingan Rakyat Indonesia, dan bukan mengikuti agenda kepentingan negara Industri maupun kepentingan pasar global
  3. Memastikan Pemerintah Indonesia untuk memperkuat posisi Indonesia dengan mendesakkan dan mengutamakan kepentingan nasional dan negara berkembang lainnya di dalam perundingan-perundingan internasional terkait perubahan iklim yang berorientasi pada kepentingan rakyat Selatan, antara lain dengan mendesakkan seluruh elemen adaptasi, mitigasi, pendanaan, pengembangan kapasitas, transfer teknologi sebagai bagian dari kesepakatan yang mengikat (legally binding agreement)
  4. Menuntut negara-negara industri untuk mengurangi emisi mereka melalui upaya domestik dan berhenti melakukan upaya lepas dari tanggung jawab membayar utang iklim dengan memberikan pengembangan kapasitas dan transfer teknologi tanpa hambatan hak kekayaan intelektual serta pendanaan iklim tanpa syarat, namun tunduk pada prinsip dan standar HAM Internasional,  dan tidak menciptakan utang baru bagi negara berkembang, terutama untuk adaptasi dalam upaya meningkatkan kemampuan dan daya tahan dalam menghadapi perubahan iklim
  5. Mengubah paradigma pembangunan di Indonesia yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi berbasis investasi asing serta investasi dalam negeri yang berwatak eksploitatif menuju pembangunan berkelanjutan yang adil dan berorientasi pada kepentingan rakyat Indonesia dan bukan kepentingan sekelompok elit dan bisnis skala besar, antara lain dengan menghentikan perluasan pertambangan energi fosil dan mengkaji ulang izin-izin perusahaan perkebunan, hutan produksi dan tambang skala besar yang melakukan pengrusakan lingkungan, menyebabkan konflik agraria dan pelanggaran HAM.
  6. Memastikan dan merevisi kebijakan pengelolaan sumber daya agraria dan penanganan krisis iklim agar sejalan dengan pemenuhan hak dasar atas sumber-sumber agraria serta lilngkungan hidup yang sehat, sebagaimana dimandatkan oleh konstitusi, Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 dan UU PLH, sehingga jaminan hak dan perlindungan sumber daya agraria yang sejalan dengan penegakan HAM adalah hal yang pokok, bukan semata-semata untuk kepentingan investasi atau bisnis; serta memberikan perlindungan thdp wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang rentan terhadap dampak perubahan iklim
  7. Menolak dan menghentikan segala bentuk solusi perubahan iklim yang mengkomodifikasi sumber daya alam, berbasis pasar dan mengancam akses dan kontrol masyarakat, perempuan dan laki-laki, atas sumber daya alam dan lingkungan serta membahayakan kehidupan komunitas masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam, termasuk proyek geothermal, energi terbarukan yang rakus lahan dan air, dan program pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan yang dikembangkan dan diimplementasikan di Indonesia
  8. Melakukan tindakan nyata dalam pembuatan kebijakan yang terintegrasi dalam RPJPN-RPJMN, RPJPD-RPJMD dan penganggaran negara APBN dan APBD yang lebih berorientasi kepada upaya adaptasi perubahan iklim terutaman terhadap kelompok rentan seperti Nelayan, petani, perempuan, ibu dan anak.
  9. Melakukan tindakan nyata untuk mewujudkan keadilan gender dalam upaya menangani dan mengatasi perubahan iklim, antara lain dengan menetapkan kebijakan, rencana aksi dan kerangka pengaman gender/gender safeguard yang berlandaskan prinsip inklusif, sensitif dan responsif gender dalam memastikan akses dan kontrol perempuan atas sumber daya alam dan lingkungan, serta memperkuat inisiatif berbasis kearifan lokal dan pengetahuan tradisional perempuan dalam pengelolaannya, serta memastikan akses perempuan atas informasi dan partisipasi penuh perempuan dalam setiap proses pengambilan keputusan mengenai kebijakan, rencana aksi, program serta proyek pembangunan dan perubahan iklim.

Jakarta, 5  Desember 2014

Hormat kami,
Yang bertanda tangan,

  1. Wahidah Rustam, Solidaritas Perempuan
  2. Risma Umar, AKSI – for Gender, Social and Ecological Justice (AKSI!),
  3. Muhammad Reza, Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA),
  4. Jefri Saragih, Sawit Watch,
  5. Mida Saragih, Forum Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Iklim (CSF CJI),
  6. Y.L. Franky, Yayasan PUSAKA
  7. Dani Setiawan, Koalisi Anti Utang (KAU)
  8. Abdul Halim, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
  9. Rio Ismail, The Ecological Justice
  10. Iwan Nurdin, Konsorsium Pembaharuan Agraria
  11. Abetnego Tarigan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)

 

 

Sumber: http://www.tribunnews.com/tribunners/2014/12/07/surat-untuk-presiden-jokowi-menuntut-keadilan-iklim-berkeadilan-gender