Archive for date: December 31st, 2014
Mendongkrak Daya Saing Nelayan
/in IUU Fishing, Kampanye & Advokasi, Pengelolaan Pesisir & Pulau - Pulau Kecil, Reformasi Kebijakan /by adminkiaraMendongkrak Daya Saing Nelayan
Koran SINDO Indonesia merupakan negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Penduduk yang berada di garis pantai (pesisir) banyak didominasi oleh nelayan yang menggantungkan hidup sektor perikanan. Sayangnya, mereka belum bisa berkuasa atas lautnya sendiri. Luasnya laut Indonesia dan panjangnya garis pantai seharusnya bisa lebih dinikmati masyarakat pesisir. Namun, banyak warga yang berprofesi sebagai nelayan tidak menikmati potensi laut Indonesia karena keterbatasan yang mereka hadapi, mulai keterbatasan teknologi penangkapan, modal, pengangkutan hasil tangkapan, hingga pengolahan hasil tangkap. Para nelayan Indonesia kalah dibanding nelayan asing yang sudah mempunyai teknologi yang lebih baik dan mampu menangkap ikan di luar teritorial negara mereka. Bahkan, banyak nelayan asing yang menangkap ikan di laut Indonesia yang kaya. Direktur The National Maritime Institute (Namarin) Jakarta Siswanto Rusdi menyebutkan, perairan Indonesia sudah lama menjadi salah satu tempat favorit bagi kapal asing untuk melakukan penangkapan ikan ilegal. Perlu waktu yang cukup lama agar kegiatan illegal fishing ini benar-benar bisa diberantas. Siswanto menyebutkan, nelayan internasional sudah biasa melengkapi peralatan untuk melaut dengan teknologi yang mampu mengarungi samudera. Daerah-daerah yang banyak menjadi tujuan penangkapan ikan adalah laut yang masuk zona ekonomi eksklusif (ZEE) yang sangat luas. Untuk mencapai zona tersebut, mereka melengkapi kapal mereka dengan teknologi dan bahan bakar yang cukup. Kapal-kapal para nelayan internasional saat ini berbobot antara 200 GT (gros ton) hingga 500 GT. “Panjang kapal 200 GT saja berkisar 50–100 meter. Sementara, nelayan Indonesia masih menggunakan kapal tradisional yang umumnya kecil dan dengan teknologi yang terbatas,” jelas Siswanto. Pemerintah perlu memberikan perhatian pada sumberd aya nelayan, baik dari sisi teknologi dan modal. Peningkatan kapasitas nelayan selain akan menambah kesejahteraan mereka, juga bisa memfungsikan nelayan dalam melakukan pengawasan illegal fishing. Guna menerapkan strategi ini, nelayan Indonesia juga perlu dilengkapi dengan kapal besar dan teknologi yang lebih baik. Jika kapal nelayan sudah memenuhi standar, mereka akan sangat efektif untuk mengawasi laut Indonesia karena jumlah mereka cukup banyak. Bandingkan jika hanya mengandalkan kapal dan aparatur pemerintah yang sangat terbatas. Apalagi, para nelayan sudah menjadikan laut sebagai tempat kedua mereka. “Tidak ada yang meragukan kemampuan melaut para nelayan Indonesia, mereka sudah di tempat selama beradababad lamanya, namun kendala yang dihadapi mereka saat ini adalah teknologi. Jumlah mereka yang sangat besar, sangat efektif jika disinergikan untuk mencegah illegal fishing,” tambah Siswanto. Siswanto yakin, jika para nelayan dilengkapi dan dilatih menggunakan kapal dan teknologi yang cukup, kesejahteraan mereka juga akan terangkat. Selama ini nelayan Indonesia selalu terlilit utang. Banyak yang terjerat hutang yang salah satu syaratnya harus menjual hasil tangkapan pada pihak tertentu dengan harga murah. Jika kesejahteraan terangkat, maka akan mencegah illegal fishingsecara signifikan. Pemerintah memperkirakan kerugian yang dialami Indonesia akibat illegal fishingbisa mencapai Rp300 triliun setiap tahunnya. Baru-baru ini pemerintah terlihat melakukan sejumlah upaya untuk mencegah illegal fishing, seperti penenggelaman beberapa kapal. Namun, masih banyak kapal asing yang menangkap ikan secara ilegal di perairan Indonesia. Sementara, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim menambahkan, masalah yang dihadapi nelayan cukup kompleks. Selain karena kemampuan menangkap ikan, mereka tidak kuasa menentukan harga hasil tangkapan karena tersandera oleh tengkulak. Para tengkulak biasanya adalah mereka yang memonopoli pembelian ikan dan juga berasal dari perusahaan pengolahan yang mempunyai modal besar. Masalah lain yang dihadapi para nelayan adalah integrasi perikanan, mulai dari penangkapan, distribusi hingga pengolahan. Selama ini sentra penangkapan banyak terdapat di wilayah tengah dan timur Indonesia, sementara sentra produksi banyak berada di Indonesia bagian barat. Akibatnya, banyak hasil produksi (baik tangkap maupun budi daya) yang tidak terserap industri pengolahan. “Jarak antara sentra produksi dan pengolahan yang jauh banyak membuat banyak ikan mati sebelum sampai ke sentra produksi yang membuat harganya anjlok,” kata Halim kepada KORAN SINDO. Saat ini menurut Halim, masalah nelayan bertambah seiring kenaikan harga BBM. Selama ini modal penangkapan ikan lebih banyak dihabiskan untuk konsumsi BBM, sehingga ketika BBM naik biaya pun bertambah. “BBM menghabiskan sekitar 70% dari biaya nelayan. Harga yang naik ini tidak diikuti kenaikan harga ikan yang membuat nelayan semakin merana,”tambah Halim. Halim meminta pemerintah bisa mengeluarkan kebijakan yang tepat bagi nelayan. Dalam kebijakan BBM misalnya, seharusnya nelayan bisa menikmati subsidi yang lebih besar dibanding yang lain. Dia meminta, jangan sampai alasan penyelewengan membuat harga BBM bagi nelayan naik, karena seharusnya pemerintah memberikan solusi pada distribusi, bukan menaikkan harga BBM. Sumber:http://www.koran-sindo.com/read/940494/162/mendongkrak-daya-saing-nelayanKIARA: Perluasan Tambak Udang, Rusak Ekosistem Mangrove dan Rugikan Masyarakat Pesisir
/in Siaran Pers /by adminkiara
Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan
www.kiara.or.id
Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (Desember 2014), diolah dari Kelautan Perikanan dalam Angka 2013 dan Statistik Perikanan Badan Pusat Statistik
Ditambah lagi, produksi udang nasional pada tahun 2008 dan 2013 justru menurun: dari 409.590 ton menjadi 320.000 ton. Pada konteks ini, penambahan lahan untuk tambak udang justru merusak ekosistem mangrove dan merugikan masyarakat pesisir. Di Langkat, Sumatera Utara, misalnya, hutan mangrove yang dikonversi mencapai 2.052,83 hektar selama 2003-2012. Dampaknya, pendapatan nelayan menurun hingga 51,37%. Rata-rata pendapatan nelayan per bulan pada tahun 2003 sebesar Rp.2.739.780, sementara pada tahun 2012 menurun menjadi Rp.1.407.637.
Dalam studinya The Royal Society memaparkan bahwa kerusakan mangrove akibat perluasan tambak tak sebanding dengan kesejahteraan masyarakat pesisir. Di Thailand, misalnya, tiap hektare luas tambak hanya memberikan keuntungan sebesar US$9,632. Keuntungan ini hanya dimiliki oleh segelintir orang. Sebaliknya, pemerintah Thailand harus menanggung biaya polusi sebesar US$1,000, biaya hilangnya fungsi-fungsi ekologis sebesar US$12,392, dan pemerintah harus memberi subsidi kepada masyarakat korban senilai US$8,412. Tak hanya itu, tetapi pemerintah juga harus mengalokasikan dana tambahan sebesar US$9,318 untuk merehabilitasi mangrove.
Pengalaman Thailand hendaknya memberikan panduan bagi pemerintah kita untuk tak sembarang menelurkan kebijakan terkait dengan eksploitasi ekosistem penting dan genting seperti ekosistem mangrove. Oleh karena itu, KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) mendesak Menteri Kelautan dan Perikanan untuk mengurungkan program penambahan lahan untuk tambak udang dan merehabilitasi kembali lahan tambak tidur menjadi kawasan hutan mangrove.***
Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:
Rifki Furqan, Koordinator Bidang Pengelolaan Pengetahuan KIARA
di +62 853 7062 7782
Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA
di +62 815 53100 259
KIARA: Perluasan Tambak Udang,
Rusak Ekosistem Mangrove dan Rugikan Masyarakat Pesisir
Jakarta, 31 Desember 2014. Penambahan lahan untuk tambak udang seluas 60.000 hektare (ha) menjadi target Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) hingga tahun 2019. Jumlah ini terdiri dari 10.000 ha tambak intensif, 20.000 ha tambak semi-intensif, dan 30.000 ha tambak tradisional. Perluasan tambak udang ini untuk meningkatkan volume dan nilai produksi. Pusat Data dan Informasi KIARA (Desember 2014) mencatat luas lahan budidaya tambak mengalami kenaikan: dari 618.251 hektare (2008) menjadi 650.509 hektare (2013). Peningkatan luas lahan budidaya tambak ini berbanding terbalik dengan volume dan nilai produksi tambak yang justru menurun dalam periode yang sama (lihat Tabel 1). Dengan perkataan lain, penambahan lahan untuk tambak udang tidak berkorelasi positif terhadap target produksi, baik dari sisi volume maupun nilai. Tabel 1. Luas Lahan Budidaya Tambak, Volume dan Nilai Produksi 2008 dan 2013No | Tahun | Luas Lahan Budidaya Tambak (Ha) | Volume (Ton) | Nilai (Ribu) |
1 | 2008 | 618.251 | 959.509 | 17,304,474,417 |
2 | 2013 | 650.509 | 896.886 | 14,690,785,188 |

Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan
Jl. Tebet Utara 1 C No.9 RT.08/RW.01, Kel. Tebet Timur, Kec. Tebet, Kota Jakarta Selatan. 12820, Indonesia. Tlp/Fax +62-21 22902055
Tentang KIARA
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) adalah organisasi non-pemerintah yang berdiri pada tanggal 6 april 2003. Organisasi nirlaba ini diinisiasi oleh WALHI, Bina Desa, JALA (Jaringan Advokasi untuk Nelayan Sumatera Utara), Federasi Serikat Nelayan Nusantara (FSNN), dan individu-individu yang menaruh perhatian terhadap isu kelautan dan perikanan.