Susi Pudjiastuti Diminta tak Melunak Terkait Larangan Transhipment
Selasa, 10 Februari 2015 WIB
JAKARTA, GRESNEWS.COM – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) diminta tak melunakkan sikapnya terkait larangan melakukan kegiatan alih muatan di tengah laut atau transhipment. Sekretaris Jenderal KIARA Abdul Halim menegaskan, pengelolaan perikanan di Indonesia jelas diarahkan untuk memajukan pembangunan perikanan nasional dan menyejahterakan para pelaku dalam negeri, khususnya nelayan dan perempuan nelayan.
Pembolehan kembali alih muatan di tengah laut, kata Halim, jelas mencederai amanat Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Sebagaimana diketahui, Pasal 41 Ayat (3) UU Perikanan menyebutkan: “Setiap kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan harus mendaratkan ikan tangkapan di pelabuhan perikanan yang ditetapkan”.
Sementara pada Pasal Pasal 25 Ayat (1) ditegaskan: “Usaha perikanan dilaksanakan dalam sistem bisnis perikanan, meliputi praproduksi, produksi, pengolahan dan pemasaran”.
Halim menyayangkan rencana Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti untuk menyusun petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan alih muatan di tengah laut. Juknis itu diperkirakan akan melonggarkan ketentuan-ketentuan di dalam Peraturan Menteri Nomor 57 Tahun 2014 tentang tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
“Mengacu pada klausul-klausul di atas, sudah semestinya Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak membuka peluang sedikitpun terhadap praktik alih muatan di tengah laut,” kata Halim kepada Gresnews.com, Senin (9/2).
Dia mengatakan, Pusat Data dan Informasi KIARA (Februari 2015) menemukan fakta bahwa transhipment berakibat fatal pada pengelolaan perikanan di Indonesia. Pertama, menghilangnya pemasukan negara akibat hilangnya pendapatan bukan pajak di Kementerian Kelautan dan Perikanan seperti diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2006, misalnya jasa pelabuhan perikanan.
“Dalam hal ini, masyarakat pelaku perikanan skala kecil dan industri dalam negeri kehilangan kesempatan untuk ikut mengolah bahan mentah,” tegas Halim.
Kedua, pelabuhan pangkalan dalam negeri dianggap tidak berkualitas dibandingkan pelabuhan di negara lain untuk pendaratan hasil tangkapan ikan. “Hal ini merugikan Negara akibat selisih harga jual dalam mata rantai perdagangan produk perikanan, khususnya upaya negara untuk meningkatkan nilai tambah produk perikanan sebelum diekspor,” ujar Halim lagi.
Ketiga, volume hasil tangkapan ikan yang dialih-muatkan di tengah laut tidak bisa terdata dengan pasti oleh otoritas negara. Hal ini menyulitkan pengambil kebijakan untuk mengevaluasi dan merevisi stok ikan yang masih tersedia.
Pengalaman buruk inilah yang dialami oleh negara-negara di Kepulauan Pasifik berkenaan dengan pengelolaan ikan tuna yang tidak didaratkan ke pelabuhan pangkalan. Diantaranya di Kepulauan Solomon sebanyak 2.201 ton, Republik Kepulauan Mikronesia (2.017 ton), Palau (1.758 ton), Kiribati (1.701 ton), Vanuatu (1.600 ton), Niue (126 ton), Tonga (82 ton), dan Kepulauan Cook (3 ton).
Kerugian negara yang tergambar dan pengalaman negara-negara lain di atas semestinya menjadi pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia, khususnya Menteri Kelautan dan Perikanan. “Sudah saatnya Republik ini mengakhiri kutukan sumber daya alam yang tidak menyejahterakan warganya,” tutup Halim.
Sebelumnya, Susi mengatakan, transshipment berdampak langsung pada industri perikanan. Pengiriman ikan ke luar negeri menjadi terhambat. Khususnya pada mereka yang secara langsung tidak melakukan penangkapan ikan.
“Kita buat larangan transshipment 2014, memukul beberapa pemain perikanan yang sebetulnya tidak melakukan transshipment luar negeri,” ucap Susi dalam konferensi pers di Kantornya, Jakarta, Senin (2/2) pekan lalu.
Karena itu Susi kemudian merancang petunjuk teknis (juknis) untuk kondisi tertentu melakukan transshipment. Dalam juknis itu, Susi memberi kelonggaran bagi pelaku industri agar boleh bongkar muat ikan di fishing ground tengah laut.
“Kita tidak cabut pelarangan, tapi buat juknis untuk para pelaku penangkap untuk membawa hasilnya dari fishing ground ke pelabuhan, diperbolehkan dengan ketentuan mengikat diberi sanksi jika itu diselewengkan,” tegas Susi.
Adapun juknis yang dimaksud salah satunya soal pemberian vessel monitoring system (VMS) dan pendataan kapal yang boleh melakukan transhipment. “Juknis tadi akan dilengkapi restriksi, VMS, data kapal, dan sebaginya ,” tutupnya. (*)
Redaktur : Muhammad Agung Riyadi