Dairah: Perubahan Dimulai Dari Diri Sendiri
“Bekal melautnya banyak, tangkapannya sedikit. Mau dijual juga tidak cukup untuk modal lagi melaut,” kata Ibu Dairah.
Pada saat itu, pemerintah melalui dinas kelautan dan perikanan hanya mampu memberikan beras sebagai bekal nelayan dalam menghadapi cuaca ekstrem. Nelayan kian terlilit hutang dan bergantung pada tengkulak. Dairah sebagai seorang ibu dan seorang istri harus memikirkan jalan keluar agar anak-anaknya dapat terus melanjutkan sekolah. Terlebih lagi Dairah tidak lulus sekolah dasar dan tida bisa baca tulis. Menyadari kekurangannya, ia mulai mencari alternatif ekonomi yang bahan bakunya tak jauh darinya.“Saya hanya kepikiran ikan bisa diolah macam-macam. Lah, suami saya kalau pulang melaut bawa ikannya sedikit, jadi saya harus bisa bertahan hidup dengan ikan yang ada. Itulah kenapa akhirnya saya coba buat bakso ikan, kerupuk atau pepes,” kenang Dairah.
Pada tahun 2011, Ibu Dairah mulai berjualan bakso ikan dengan berkeliling kampung. Bakso ikannya pun mulai dikenal banyak orang dan hasil penjualan pun perlahan meningkat. Pengolahan bakso ikan Ibu Dairah saat itu masih menggunakan cara tradisional dan tanpa bantuan alat. Masyarakat pun mulai mengenal dan menyukai produk olahan Ibu Dairah. Dengan berbagi informasi kepada KPI, akhirnya Ibu Dairah dipertemukan dengan KOMPI (Koalisi Masyarakat Pesisir Indramayu). Ia mulai aktif dalam berbagai kegiatan di Lakpesdam NU. Pada satu kesempatan, Ibu Dairah pun didorong untuk menerima bantuan dari Lakpesdam NU. Ibu Dairah pun mendapat bantuan lemari pendingin dengan kapasitas cukup besar untuk menaruh stok ikan. Hal ini membuat Ibu Dairah semakin percaya diri untuk memasarkan produknya. Hasil produksinya pun bisa memenuhi kebutuhan pasar.“Kadang kalau lagi banyak ikannya, saya langsung beli dan masukkan ke dalam lemari es, soalnya sekarang ini stok ikan tidak tentu,” jelas Ibu Dairah.
Berjejaring sebagai kekuatan Pada tahun 2014, Ibu Dairah mulai terlibat di Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI). Ia pun terpilih sebagai bendahara di PPNI Kabupaten Indramayu.“Saya percaya kita harus berorganisasi dan membangun jaringan. Tidak bisa bekerja sendiri, harus punya tujuan yang kuat dan tim yang mau kerja,” kata Ibu Dairah.
Ibu Dairah tidak pernah enggan berbagi pengetahuan dan pengalamannya kepada perempuan nelayan lain. Ia menyadari bahwa semua perempuan nelayan mempunyai permasalahan yang sama: kemiskinan, ancaman KDRT, dan minimnya akses dan ruang keterlibatan. Permasalahan ekonomi sebagai dampak dari cuaca ekstrem tentu bukan hanya dialami oleh perempuan nelayan di Indramayu, Ibu Dairah percaya ini pun dialami oleh perempuan nelayan di seluruh Indonesia. Dalam setiap kesempatan, Ibu Dairah terus mendorong perempuan nelayan untuk mampu mandiri dan menjadi tangguh dalam menghadapi permasalahan yang ada. Kuncinya kemauan dari pribadi setiap orang untuk mau memulai perubahan.“Kalau mau berubah harus dimulai dari diri sendiri, kemudian mulai berbuat untuk memperbaiki hidup. Nah, untuk memperkuat apa yang sudah kita lakukan, kita butuh orang lain untuk bekerjasama,” imbuh Ibu Dairah berbagi pengalamannya.
Membaca kembali pengalaman Ibu Dairah dalam menghadapi cuaca ekstrem, Negara masih bersifat reaktif dalam menghadapi dampak perubahan iklim, yaitu dengan memberikan sumbangan beras atau pun sembako. Padahal, akar permasalahan yang memicu terjadinya perubahan iklim, seperti konversi hutan mangrove untuk apartemen dan kawasan wisata berbayar, dibiarkan terjadi dan menggusur masyarakat pesisir, termasuk nelayan dan perempuan nelayan. Untuk itu, pemerintah harus menyegerakan kehadirannya untuk memberikan jaminan perlindungan jiwa. Ibu Dairah mengajarkan kita satu hal, setiap orang bisa menjadi lebih baik, asal ia sendiri mau berubah menjadi lebih baik.*** (SH)