Pasca Putusan Ringan MV Hai Fa, KKP Harus Sinergikan Penegakan Hukum Pencurian Ikan

Jumat, 27 Maret 2015

Pada Rabu (25/03/2015) kemarin, Pengadilan Perikanan Negeri Ambon memutuskan hanya mendenda Rp250 juta kepada kapal angkut MV Hai Fa yang terbukti melakukan pencurian ikan.

Menanggapi putusan terhadap kapal berbendera Panama yang ditangkap di Pelabuhan Umum Wanam, Kabupaten Merauke, Papua, pada Desember 2014 dan membawa 800.658 kilogram ikan dan 100.044 kg udang milik PT Avona Mina Lestari, berbagai pihak merasa kecewa.

Bahkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti akan melakukan banding terhadap putusan tersebut. “Kami akan melakukan banding. Kami tidak bisa membiarkan keputusan ini terjadi pada pelaku illegal fishing,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti di Jakarta pada Rabu (25/03/2015).

Kapal berbendera Malaysia diledakkan di Perairan     Belawan karena melakukan pencurian ikan di wilayah laut Indonesia. Foto:  Ayat S  Karokaro
Kapal berbendera Malaysia diledakkan di Perairan Belawan karena melakukan pencurian ikan di wilayah laut Indonesia. Foto: Ayat S Karokaro

Sedangkan Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (Kiara) melihat putusan tersebut merupakan gambaran lemahnya aparat penegak hukum dalam pemberantasan tindak pidana pencurian ikan.

“Sebetulnya ini cermin dari ego sektoral sehingga substansi tuntutan tergolong ringan dan mengenyampingkan ketentuan UU Perikanan dan belum adanya sinergi penegakan hukum khususnya pencurian ikan. Ini tidak sejalan dengan upaya pencegahan dan upaya serius pemberantasan pencurian ikan yang dilakukan oleh KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan),” kata Sekjen Kiara, Abdul Halim yang dihubungi Kamis (26/03/2015).

Padahal pemerintah sudah pernah mengeluarkan Permen KP No. PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Tindak Pidana Perikanan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Permen KP No. PER.18/MEN/2011.

Penuntutan jaksa sendiri hanya didasarkan pada Pasal 100 jo. Pasal 7 ayat (2) huruf m Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, kewajiban mematuhi ketentuan jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Negara Republik Indonesia.

Jaksa dari Kejaksaan Tinggi Maluku hanya mengancam nakhoda dan ABK dengan pidana penjara selama satu tahun atau denda maksimal sebesar Rp. 250 juta. Padahal dari dari KKP menyebutkan ikan yang diduga hasil curian mencapai bobot 900,702 ton. Total tersebut terdiri dari 800,658 ton ikan beku dan 100,44 ton udang beku serta 66 ton ikan Hiu Martil dan Hiu Koboi yang dilindungi dan dilarang untuk ditangkap dan diekspor ke luar negeri. Kerugian negara yang ditimbulkan mencapai Rp. 70 Miliar dengan penghitungan sejak 2014 telah 7 kali melakukan penangkapan ikan.

Kiara melihat telah sangat jelas terjadi pelanggaran Pasal 29 ayat (1) UU Perikanan yang hanya membolehkan warga negara Republik Indonesia atau badan hukum Indonesia dalam melakukan usaha perikanan di wilayah indonesia. Hanya kapal berbendera Indonesia yang diperbolehkan untuk menangkap ikan di zona perairan territorial dan kepulauan.

Sedangkan Kapal MV Hai Fa bernakhoda asing dari china yang bernama Zhu Nian Lee dan tanpa ada ABK asal Indonesia Indonesia. Kapal ini juga diduga telah melanggar ketentuan sistem pengawasan kapal (vessel monitoring system) dan tidak memiliki Surat Layak Operasi (SLO).

“SLO tidak dianggap persyaratan utama penangkapan ikan. Padahal UU perikanan  menyebutkan merupakan bagian yang harus dimiliki sebelum melakukan aktivitas penangkapan ikan di indonesia,” katanya.

MV Hai Fa juga mengangkut ikan hiu martil (Scalloped Hammerhead / Sphyrna lewini) dan hiu koboi (oceanic whitetip shark/Carcharhinus longimatus) yang melanggar Pasal 21 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya, dengan ancaman pidana penjara paling lama lima tahun dan denda Rp100 juta.

Kapal itu juga memasuki wilayah teritorial Indonesia sehingga melanggar kedaulatan negara sebagaimana diatur di  dalam Konvensi Hukum Laut Internasional PBB yang telah diratifikasi melalui UU No. 17 Tahun 1985.

Halim mengatakan upaya yang perlu dilakukan KKP adalah dengan mengajukan banding pada tingkat pengadilan kedua dan melakukan sinergi langkah secara intensif dengan aparat penegak hukum, terutama kejaksaan

Oleh karena itu, Kiara mendesak kepada pemerintah untuk melakukan penuntutan dengan tidak hanya berdasarkan pelanggaran administratif, tetapi mendasarkan pada tindak kejahatan (tindak pidana) atas perbuatan menangkap ikan secara bertentangan dan melanggar hukum.

Selain itu, tuntutan tidak boleh hanya berhenti kepada pelaku di lapangan, tetapi juga harus menjerat perusahaan di belakang layar yang diduga dilakukan oleh  PT. Avona Mina Lestari dan Menteri Kelautan dan Perikanan harus segera memberikan sanksi yang berat kepada pejabat yang memberikan ijin (SIUP) kepada PT. Avona Mina Lestari dan SIPI kepada kapal MV Hai Fa serta syahbandar yang telah lalai mengeluarkan surat persetujuan berlayar.

“Evaluasi dan perbaiki hubungan kelembagaan antara Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan aparat penegak hukum, baik dari Kejaksaan maupun Mahakamah Agung. Tujuannya untuk memperbaiki maslah koordinasi dan komunikasi antar-lembaga demi pemberantasan pencurian ikan yang sinergis dan berkeadilan,” kata Halim.

Sedangkan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menyayangkan keputusan pengadilan terhadap MV Hai fa.

“Seharusnya penuntut umum mendasarkan tuntutan bahwa kejahatan pencurian ikan adalah suatu kejahatan luar biasa (extraordinary crime).  Illegal, unreported and unregulated (IUU) Fishing berdampak luas tidak terbatas pada devisa negara dan sumber daya alam tetapi juga hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat Indonesia yang akan merugi akibat dari IUU Fishing,” kata Ketua KNTI, Riza Damanik.

Lemahnya penegakan hukum terhadap MV Hai Fa akan berdampak tersanderanya proses penegakan hukum terhadap kapal ikan asing yang mencuri di perairan Indonesia di kemudian hari. “Hakim dapat mengambil keputusan yang adil dan memberikan efek jera, termasuk dengan menyita kapal MV Hai Fa,” tambahnya.

Ketua Satuan Tugas Pencegahan dan Pemberantasan Pencurian Ikan (IUU Fishing) Mas Achmad Santosa mengatakan mengatakan kapal-kapal eks asing buatan Cina dengan ABK asing Cina itu pandai memanipulasi dengan menggunakan bendera Indonesia. Kadang malah menggunakan bendera ganda (double flagging). Sedangkan pemahaman aparat penegak hukum TNI, Polair dan KKP bahwa yang boleh ditenggelamkan hanyalah kapal asing.

“Satgas berpendapat kalau ABK-nya asing, apalagi pemindahtanganan kepemilikan kapalnya (deletion of certificate) tidak jelas maka layak ditenggelamkan atau dimusnahkan. Penenggelaman bisa dilakukan pada kapal-kapal bukan berbendera asing, sekalipun masih pada tahap penyidikan. Ternyata ada pasal dlm UU Perikanan membolehkan untuk dimusnahkan/ditenggelamkan tanpa mensyaratkan bahwa kapal tersebut adalah berbendera asing,” kata Mas Achmad Santosa yang lebih akrab dipanggil Ota kepada Mongabay.

Dia mengatakan Menteri KKP dan dan Satgas Gahtas IUUF sekarang sedang memproses penenggelaman lapal eks Cina yang ada di Merauke dan Ambon. “Sekarang 10 kapal eks Cina diatas 200 GT sedang diproses secara hukum. Kapal-kapal eks Cina ini, tidak hanya dikenakan pasal-pasal pidana perikanan yang menyangkut pelaku fisik/lapangan seperti nakhoda dan fishing master,  akan tetapi pidana korporasi yaitu pengenaan ancaman hukuman terhadap pengurus korporsi dengan menghukum penjara pengurus korporasi,” katanya.

“Bu Susi dan Satgas telah berkoordinasi dengan penegak hukum terkait untuk meminta penetapan pengadilan untuk penenggelaman sebagian atau seluruhnya kapal-kapal tersebut,” lanjutnya.

Wakil Ketua Satgas Gahtas IUUF-KKP Yunus Husein mengatakan penyidikan kapal-kapal Cina itu dilakukan oleh aparat dari Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Lantamal) IX dan lantamal XI TNI AL. “Jadi persuasi / koordinasi terus dilakukan oleh Menteri KKP dan Satgas dengan penyidik TNI AL dan Kejaksan RI,” kata Yunus.

Sedangkan MV Hai Fa didakwa tiga hal yaitu berlayar tanpa SLO, tidak mengaktifkan VMS dan mengangkut hiu martil untuk ekspor.  “Ketiga-tiganya menurut UU, ancaman hukumannya hanya sebatas denda pidana (criminal penalty),  bukan hukuman badan/ penjara. Itu sebabnya TNI AL sebagai penyidik tidak mau menenggelamkan MV Hai Fa karena yang terbukti hanya 3 jenis pelanggaran yg tergolong ringan tersebut. Kemarin tuntutan jaksa perikanan dari Kajati Ambon, dari 3 dakwaan hanya terbukti satu dakwaan saja yaitu pelanggaran mengangkut hiu martil,” jelas Yunus.

Satgas Gahtas IUUF menganggap tuntutan jaksa aneh, karena tuntutan ini melemahkan dakwaannya sendiri. Oleh karena itu, Yunus Husein langsung datang ke Ambon pada Jumat (20/03/2015) kemarin untuk melakukan klarifikasi, pantau dan melakukan verifikasi kejanggalan-kejanggalan itu.

“Satgas sudah mendiskusikan dengan Danlantamal IX minggu-minggu lalu untuk menenggelamkan kapal Hai Fa, atas izin bu Susi tentunya . Tapi menurut pendapat penyidik pelanggarannya masih ringan. Jadi penenggelaman Hai Fa dengan 3 jenis pelanggaran diatas masih belum layak dilakukan,” kata Yunus.

Dia mengatakan Pengadilan Perikanan juga diharapkan memberi putusan merampas barang bukti untuk diserahkan kepada negara untuk dimusnahkan atau dihibahkan kepada lembaga-lembaga pendidikan atau koperasi nelayan. “Bu Susi n Satgas tidak menyerah begitu saja terhadap fakta bahwa penegakan hukum belum mampu memberi efek gentar atau deterrent effect,”  tambah Yunus.

Reporter : Jay Fajar dan Tommy Apriando

Sumber: http://www.mongabay.co.id/2015/03/27/pasca-putusan-ringan-mv-hai-fa-kkp-harus-sinergikan-penegakan-hukum-pencurian-ikan/

MV Haifa Dituntut Ringan, Koordinasi KKP dan Kejaksaan Lemah

Jum’at, 27 Maret 2015

JAKARTA, GRESNEWS.COM – Tuntutan ringan yang diajukan jaksa kepada kapal MV Hai Fa berbendera Panama yang tertangkap basah mencuri ikan di perairan Indonesia disayangkan banyak pihak. Rendahnya tuntutan yang diberikan jaksa penuntut umum menggambaran lemahnya aparat penegak hukum dalam pemberantasan tindak pidana pencurian ikan.

Tuntutan tersebut hanya didasarkan pada Pasal 100 jo. Pasal 7 Ayat (2) huruf m Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, khususnya terkait kewajiban mematuhi ketentuan jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Negara Republik Indonesia.

Deputi Bidang Advokasi Hukum dan Kebijakan KIARA Marthin Hadiwinata mengatakan, selain lemahnya pemahaman jaksa, lemahnya penegakan hukum perikanan juga disebabkan oleh adanya ego sektoral antara Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan Kejaksaan. “Ini yang mengakibatkan substansi tuntutan tergolong ringan dan mengenyampingkan ketentuan UU Perikanan,” kata Marthin dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, Kamis (26/3).

Hal ini, kata dia, dapat dilihat dari pernyataan Humas Kejaksaan Tinggi Maluku pada tanggal 25 Maret 2015 di beberapa media cetak nasional. Terhadap pelanggaran tersebut, Jaksa Penuntut Umum “hanya” mengancam nakhoda dan ABK dengan pidana penjara selama satu tahun atau denda maksimal sebesar Rp. 250 juta.

Padahal ikan yang diduga hasil curian mencapai bobot sebesar 900,702 ton. Total tersebut terdiri dari 800,658 ton ikan beku dan 100,44 ton udang beku serta 66 ton ikan Hiu Martil dan Hiu Koboi yang dilindungi dan dilarang untuk ditangkap dan diekspor ke luar negeri. Kerugian negara yang ditimbulkan ditaksir mencapai Rp70 Miliar dengan penghitungan sejak 2014 kapal tersebut telah 7 kali melakukan penangkapan ikan.

Karena itu, kata Marthin, KIARA berpandangan telah sangat jelas terjadi pelanggaran Pasal 29 Ayat (1) UU Perikanan yang hanya membolehkan warga negara Republik Indonesia atau badan hukum Indonesia dalam melakukan usaha perikanan di wilayah indonesia. “Hanya kapal berbendera Indonesia yang diperbolehkan untuk menangkap ikan di zona perairan teritorial dan kepulauan,” tegas Marthin.

Kapal MV Hai Fa juga melakukan pelanggaran penggunaan nakhoda asing dari China yang bernama Zhu Nian Lee dan tanpa ada ABK asal Indonesia sebagaimana ditegaskan Pasal 35 Ayat (1) UU Perikanan. “Kapal ini juga diduga telah melanggar ketentuan sistem pengawasan kapal (vessel monitoring system) dan tidak memiliki Surat Layak Operasi (SLO),” ujarnya.

Ditambah lagi dengan adanya pelanggaran Pasal 21 Ayat (2) UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya karena adanya penangkapan ikan hiu martil (Scalloped Hammerhead/Sphyrna lewini) dan hiu koboi (oceanic whitetip shark/Carcharhinus longimatus). Terhadap kejahatan ini, Pasal 40 Ayat (2) UU Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya mengancam lebih berat dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Selain itu, terjadi pelanggaran serius terhadap kedaulatan negara sebagaimana diatur di dalam Konvensi Hukum Laut Internasional PBB yang telah diratifikasi melalui UU No. 17 Tahun 1985. “Kapal MV Hai Fa memasuki wilayah teritorial Indonesia dan melakukan pelanggaran dengan menangkap ikan secara ilegal, baik perairan kepulauan maupun perairan teritorial,” kata Marthin.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal KIARA Abdul Halim mengatakan, permasalahan klasik hubungan antara lembaga negara merupakan persoalan akut yang tidak akan dapat terselesaikan dengan adanya ego sektoral masing-masing lembaga. Padahal pemerintah sudah pernah mengeluarkan Permen KP No. PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Tindak Pidana Perikanan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Permen KP No. PER.18/MEN/2011.

“Untuk itu, perlu dievaluasi ulang sehingga tidak terjadi lagi permasalahan lemahnya penegakan hukum terhadap tindak pidana pencurian ikan,” kata Halim.

Dia menegaskan, terkait berbagai permasalahan di atas, KIARA mendesak kepada pemerintah khususnya kementerian dan instansi penegak hukum, seperti Kepolisian, TNI AL, Kejaksaan dan Mahkamah Agung) untuk melakukan beberapa hal. Pertama adalah melakukan penuntutan dengan tidak hanya berdasarkan pelanggaran administratif, tetapi mendasarkan pada tindak kejahatan (tindak pidana) atas perbuatan menangkap ikan secara bertentangan dan melanggar hukum.

Kedua, tuntutan tidak boleh hanya berhenti kepada pelaku di lapangan, tetapi juga harus menjerat perusahaan di belakang layar yang diduga dilakukan oleh PT Avona Mina Lestari. Ketiga, Menteri Kelautan dan Perikanan harus segera memberikan sanksi yang berat kepada pejabat yang memberikan izin (SIUP) kepada PT Avona Mina Lestari dan SIPI kepada kapal MV Hai Fa serta syahbandar yang telah lalai mengeluarkan surat persetujuan berlayar.

Keempat, melakukan evaluasi dan perbaikan hubungan kelembagaan antara Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan aparat penegak hukum, baik dari Kejaksaan maupun Mahakamah Agung. “Tujuannya untuk memperbaiki masalah koordinasi dan komunikasi antar-lembaga demi pemberantasan pencurian ikan yang sinergis dan berkeadilan,” tegas Halim.

Redaktur : Muhammad Agung Riyadi

Sumber: http://www.gresnews.com/berita/detail-print.php?seo=20273-mv-haifa-dituntut-ringan-koordinasi-kkp-dan-kejaksaan-lemah

Indonesian, Japanese Maritime Forum Should Be Maximized

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — The Maritime Forum that will be established by the Indonesian and Japanese governments should be maximized to realize the concept of transforming the nation into the world maritime axis.

“(The Indonesian-Japanese Maritime Forum) should be maximized to support the world maritime axis vision,” General Secretary of the People’s Coalition for Fisheries Justice (KIARA), Abdul Halim, said here on Tuesday.

Halim affirmed that Japan was interested in establishing the Maritime Forum because some 70 percent of the supply of energy resources in Japan pass through Indonesian sea territory.

Moreover, the Indonesian government has committed to accelerating infrastructure development, especially in various fields related to the maritime sector.

“The government is expediting the development of water resources infrastructure, including maritime resources,” Public Works and Public Housing Minister Basuki Hadimuljono stated.

So the government is speeding up the development of infrastructure to improve productivity, efficiency, and the national logistics system to strengthen the nation’s competitiveness in the international level.

Earlier, the governments of the two countries had agreed to review the Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJ-EPA) to derive mutual benefits, according to a press release from the Ministry of Foreign Affairs received by Antara here on Tuesday.

The review of the IJ-EPA was agreed during a bilateral meeting between President Joko Widodo and Japanese Prime Minster Shinzoe Abe.

The review aims to balance the bilateral trade between the countries.

Japan is Indonesia’s third-largest trading partner, with trade value reaching US$40.2 billion in 2014.

The bilateral meeting also approved discussions on the renegotiation of the Double Taxation Avoidance Agreement.

In terms of investment, Japan is the second-largest investor in Indonesia, with its investment valued at US$2.7 billion in 2014.

In the context of investment, President Joko Widodo delivered a development plan in Indonesia, particularly in relation to infrastructure.

The president stressed that there were several opportunities for Japanese investors to invest in various sectors in Indonesia, such as power plants, the construction of 24 ports, the manufacture and repair of highways, the construction of 15 new airports and the renovation of the old airports, the construction of the Mass Rapid Transport (MRT) system in metropolitan cities and major cities in Indonesia, and the development of special economic zones outside the Java island.

Both the president and prime minister welcomed the plan of establishing ties in the development of the MRT system in Jakarta, as well as the Java-Sumatra train line and transmission interconnection projects.

The leaders also launched the Indonesia-Japan Export and Investment Promotion Initiative to boost trade and promote cooperation.

With regard to maritime cooperation, Indonesia and Japan have agreed to form a maritime cooperation forum, particularly to discuss maritime security, maritime infrastructure (marine highway program), and to improve field work and the fishing industry.

These are in line with the Indonesian government’s efforts to realize the vision of a maritime axis.

Red: Julkifli Marbun

Sumber: http://m.republika.co.id/berita/en/international/15/03/24/nlptif-indonesian-japanese-maritime-forum-should-be-maximized

RAKYAT MENANG! SWASTANISASI AIR DIHAPUS PN JAKARTA PUSAT

Jakarta, Villagerspost.com – Setelah beberapa kali tertunda, keputusan yang dinanti-nanti warga DKI Jakarta akhirnya datang juga. Hari ini, Senin (24/3), Majelis Hakim PN Jakarta Pusat yang diketuai oleh Iim Nurohim, S.H memutuskan untuk mengabulkan gugatan warga negara terkait privatisasi air jakarta.

Gugatan itu sendiri dilayangkan Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ). KMMSAJ sendiri adalah gabungan dari beberapa organisasi diantaranya, Koalisi Rakyat Untuk Hak Atas Air (KRuHa), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Solidaritas Perempuan dan Indonesia Corruption Watch (ICW).

Sementara para tergugatnya adalah Presiden, Wapres, Menkeu, MenPU, DPRD DKI, PAM Jaya. Dua perusahaan swasta pengelola air bersih di jakarta, Palyja dan Aetra menjadi turut tergugat.

Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan para tergugat telah lalai memberikan hak atas air yang merupakan hak asasi manusia. “Para tergugat melakukan perbuatan melawan hukum dengan membuat Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang merugikan negara dan warga Jakarta,” demikian diucapkan Hakim Ketua Iim Nurohim di persidangan.

Selain itu, majelis hakim juga menyatakan PKS antara PAM dan Turut Tergugat (Palyja dan Aetra) batal dan tidak berlaku. Majelis hakim memerintahkan para tergugat untuk menghentikan swastanisasi air di Jakarta.

“Mengembalikan pengelolaan air minum ke Pemprov DKI Jakarta. Melaksanakan pemenuhan hak atas air sesuai prinsip hak atas air dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya serta Komentar Umum tentang Hak Atas Air,” putus majelis hakim.

Majelis hakim juga memerintahkan untuk mencabut surat Gubernur DKI dan Surat Menteri Keuangan RI yang mendukung swastanisasi. “Ini adalah kemenangan untuk rakyat Jakarta,” kata Sekjen KIARA Abdul Halim kepada Villagerspost.com, Senin (24/3).

Sementara itu, kuasa hukum KMMSAJ Arif Maulana menegaskan, dengan putusan tersebut, maka otomatis perjanjian kontrak antara PAM Jaya dengan PT PAM Lyonnaise dan PT Aetra Air Jakarta batal demi hukum. “Perjanjian itu merugikan rakyat, kini perjanjian itu sudah tidak berlaku lagi, pemerintah harus segera mengusir Palyja dan Aetra dari tata kelola air Jakarta,” ujarnya.

Kasus gugatan ini memang sangat berlarut-larut penyelesaiannya. KMMSAJ telah melayangkan gugatan tersebut sejak masa Fauzi Bowo menjabat sebagai Gubernur DKI. Pihak yang digugat adalah Presiden dan Wakil Persiden RI, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Keuangan, Gubernur DKI Jakarta, PDAM, dan DPRD Provinsi DKI Jakarta. Sementara itu, PT PAM Lyonnaise dan PT Aetra Air Jakarta didudukkan sebagai turut tergugat.

KMMSAJ melayangkan gugatan warga negara atau citizen lawsuit kepada PDAM DKI Jakarta karena dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum karena pemerintah terus melanjutkan swastanisasi pengelolaan layanan air di Provinsi DKI Jakarta. Ini mengacu pada pengelolaan air di Jakarta yang diserahkan kepada PT Palyja dan PT Aetra Air Jakarta. Perjanjian ini akan terus berlanjut hingga 2023.

Menurut pihak KMMSAJ, perjanjian swastanisasi air antara PDAM Jakarta dengan dua swasta asing, PT Palyja dan Aetra telah melanggar konstitusi dan peraturan perundang-undangan terkait pengelolaan air. Dampak riilnya sangat merugikan masyarakat dan pelanggan air minum diJakarta, sepanjang kontrak ini masih berlangsung warga miskin Jakarta akan kesulitan mendapatkan pelayanan air minum.

Dalam kontrak privatisasi air Jakarta memang PAM JAYA selaku BUMD milik Pemerintah Provinsi harus menutup selisih tarif air masyarakat berpenghasilan rendah yang Rp1.050-Rp3.500 per meter kubik dengan harga air yang dipatok swasta yang sebesar kurang lebih Rp7.000 per meter kubik. Selisih ini harus bisa ditutup oleh PAM JAYA dan jika tidak maka akan menjadi utang PAM JAYA.

Semakin banyak air yang disalurkan kemasyarakat miskin, menurut pihak koalisi, dipastikan selisih yang harus ditanggung PAM JAYA dan berubah menjadi utang PAM JAYA kepada PT Palyja dan Aetra akan makin besar. Hal inilah yang membuat KMMSAJ juga menilai perjanjian itu merugikan keuangan negara. (*)

Sumber: http://villagerspost.com/todays-feature/rakyat-menang-swastanisasi-air-dihapus-pn-jakarta-pusat/

Monitoring Pencurian Ikan Jangan Lembek, Ini Kata KIARA

Kamis, 26 Maret 2015

Jakarta, JMOL – Monitoring terhadap kasus pencurian ikan di perairan Indonesia diharapkan jangan melembek, terutama setelah tuntutan ringan diberikan kepada kapal MV Hai Fa, yang berbendera Panama, belum lama ini. Hal itu dinyatakan oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA).

“Jika penegakan hukumnya lembek, pencegahan tindak pidana perikanan yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menjadi gembos,” kata Sekretaris Jenderal KIARA, Abdul Halim, Rabu (25/3).

Sebelumnya, tuntutan yang diajukan Jaksa Pengadilan Perikanan Ambon terlalu ringan. Sebab, Kapal MV Hai Fa yang berbobot sekitar 3.000 Gross Tonnage (GT), yang diduga mencuri ikan di Indonesia, hanya dijatuhi denda sebesar Rp200 juta.

Karena itu, KIARA berharap, monitoring harus dilakukan secara terus-menerus, terutama terhadap penanganan kasus pencurian ikan. “Tidak hanya Menteri Kelautan dan Perikanan, tapi juga aparat penegakan hukum.”

Pada Senin (23/3), Menteri KKP Susi Pudjiastuti mengaku kecewa terkait ringannya tuntutan yang diajukan jaksa terhadap kapal MV Hai Fa. “Setelah kami teliti, hasilnya sangat mengecewakan,” kata Susi, dalam jumpa pers di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta.[AN]

Sumber: http://jurnalmaritim.com/2015/03/monitoring-pencurian-ikan-jangan-lembek-ini-kata-kiara/

Kiara Pinta Menteri Susi Hukum Pejabat Pemberi Izin Hai FA

Kamis, 26 Maret 2015

“Menteri Kelautan dan Perikanan harus segera memberikan sanksi yang berat kepada pejabat yang memberikan izin,” kata Sekjen Kiara, Abdul Halim, di Jakarta, Kamis (26/3).

Jakarta, Aktual.co — Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mendesak Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menghukum pejabat yang memberikan izin kepada KM Hai Fa yang didakwa mencuri ikan di Indonesia.

“Menteri Kelautan dan Perikanan harus segera memberikan sanksi yang berat kepada pejabat yang memberikan izin,” kata Sekjen Kiara, Abdul Halim, di Jakarta, Kamis (26/3).

Menurut Abdul Halim, pejabat yang harus dihukum antara lain kepada pihak yang memberikan izin Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) kepada Kapal MV Hai Fa.

Selain itu, ujar dia, pejabat lainnya yang harus diperiksa juga mencakup syahbandar pelabuhan yang dinilai telah lalai mengeluarkan surat persetujuan berlayar.

Ia juga mendesak adanya evaluasi dan perbaikan dalam hubungan kelembagaan antara Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan aparat penegak hukum, baik dari Kejaksaan maupun Mahkamah Agung.

“Tujuannya untuk memperbaiki maslah koordinasi dan komunikasi antarlembaga demi pemberantasan pencurian ikan yang sinergis dan berkeadilan,” tukasnya.

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengaku kecewa terhadap ringannya tuntutan yang diajukan jaksa terhadap kapal MV Hai Fa yang diduga mencuri ikan di Indonesia.

“Setelah kami teliti, hasilnya sangat mengecewakan,” kata Susi Pudjiastuti dalam jumpa pers di kantor KKP, Jakarta, Senin (23/3).

Menurut Susi yang baru pulang dari kunjungannya ke Amerika Serikat itu, dirinya merasa sangat sedih dan marah karena kerja keras yang dilakukan hingga tengah malam ternyata menghasilkan seperti ini.

Ia juga mengingatkan bahwa mengatasi pencurian ikan dari pihak kapal asing merupakan langkah awal untuk mensejahterakan nelayan tradisional yang ada di berbagai daerah di Tanah Air.

Kekecewaan yang dikemukakan Menteri Susi adalah terkait dengan tuntutan jaksa dalam Pengadilan Negeri Ambon yang hanya berupa denda sebesar Rp200 juta kepada Kapal MV Hai Fa.

Kapal MV Hai Fa itu sendiri merupakan kapal raksasa (berbobot 4.306 Gross Tonnage/GT) berbendera Panama dengan awak buah kapal yang didominasi warga negara dari Republik Rakyat Tiongkok.

Pada akhir Desember 2014, patroli Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP bersama dengan aparat TNI-AL berhasil mengamankan kapal MV Hai Fa, ketika merapat di pelabuhan Wanam, Merauke.

Setelah melalui proses penyidikan hingga masuk ke persidangan, ternyata hasilnya jaksa hanya menuntut nakhoda kapal MV Hai Fa bernama Zhu Nian Lee, dituntut denda sebesar Rp200 juta dan subsider hukuman penjara enam bulan karena melanggar Pasal 100 UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan di Pengadilan Negeri Ambon.

Tuntutan itu dilayangkan karena nakhoda diduga secara sengaja ingin menyelundupkan 900 ton ikan, termasuk jenis yang dilarang ekspor ke Tiongkok. (Ant)

Reporter: Ismed Eka Kusuma

Sumber: http://www.aktual.co/ekonomibisnis/kiara-pinta-menteri-susi-hukum-pejabat-pemberi-izin-hai-fa

Kiara: Kasus Kapal Hai Fa Tak Boleh Berhenti Sampai Nahkoda

Kamis, 26 maret 2015

Jakarta, CNN Indonesia — Langkah Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti melakukan banding atas vonis ringan Pengadilan Perikanan Negeri Ambon terhadap nahkoda Kapal MV Hai Fa mendapat dukungan dari Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (Kiara).

Kiara menuntut kasus pencurian ikan yang dilakukan Kapal MV Hai Fa diproses menggunakan hukum pidana dengan menyeret perusahaan-perusahaan yang terkait dengan operasional kapal berbendera Panama itu.

“Kiara mendesak kepada pemerintah untuk melakukan penuntutan dengan tidak hanya berdasarkan pelanggaran administratif, tetapi mendasarkan pada tindak kejahatan atau tindak pidana atas perbuatan menangkap ikan secara bertentangan dan melanggar hukum,” ujar Abdul Halim, Sekretaris Jenderal Kiara melalui siaran pers, Kamis (27/3).

Kiaran menilai tuntutan hukum tidak boleh hanya berhenti kepada pelaku di lapangan, tetapi juga harus menjerat perusahaan di belakang layar, yang diduga dilakukan oleh  PT Avona Mina Lestari.

Selain itu, lanjut Kiara, Menteri Kelautan dan Perikanan harus segera memberikan sanksi yang berat kepada pejabat yang memberikan ijin (SIUP) kepada PT Avona Mina Lestari dan SIPI kepada kapal MV Hai Fa, serta syahbandar yang telah lalai mengeluarkan surat persetujuan berlayar.

Tak hanya itu, Kiara juga menekankan pentingnya evaluasi dan perbaiki hubungan kelembagaan antara Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan aparat penegak hukum, baik dari Kejaksaan maupun Mahkamah Agung. Tujuannya untuk memperbaiki masalah koordinasi dan komunikasi antar-lembaga demi pemberantasan pencurian ikan yang sinergis dan berkeadilan.

Marthin Hadiwinata, Deputi Bidang Advokasi Hukum dan Kebijakan KIARA, menambahkan tuntutan ringan yang diajukan jaksa kepada kapal MV Hai Fa berbendera Panama merupakan gambaran lemahnya aparat penegak hukum dalam pemberantasan tindak pidana pencurian ikan.

Menurut Marthin, sangat jelas terjadi pelanggaran Pasal 29 ayat (1) UU Perikanan yang hanya membolehkan warga negara Republik Indonesia atau badan hukum Indonesia yang boleh melakukan usaha perikanan di wilayah indonesia. Kapal MV Hai Fa juga dinilai melakukan pelanggaran penggunaan nakhoda asing dari Tiongkok yang bernama Zhu Nian Lee dan tanpa ada ABK asal Indonesia Indonesia sebagaimana ditegaskan Pasal 35 ayat (1) UU Perikanan.

Reporter: Agust Supriadi, CNN Indonesia

Sumber: http://m.cnnindonesia.com/ekonomi/20150326162617-92-42136/kiara-kasus-kapal-hai-fa-tak-boleh-berhenti-sampai-nahkoda/

Forum Maritim RI-Jepang Perlu Dimaksimalkan

Selasa, 24 Maret 2015 18:09 WIB

Jakarta, (ANTARA Lampung) – Forum Maritim yang bakal dibentuk pemerintahan Republik Indonesia bersama-sama dengan Jepang perlu dimaksimalkan guna membantu mewujudkan konsep Poros Maritim Dunia yang dicetuskan Presiden Joko Widodo.

“(Forum Maritim RI-Jepang) dimaksimalkan untuk mendukung visi Poros Maritim Jokowi,” kata Sekretaris Jenderal Kiara Abdul Halim kepada Antara di Jakarta, Selasa.

Abdul Halim juga mengingatkan bahwa Jepang berkepentingan membentuk Forum Maritim dengan Indonesia.

Hal itu, ujar dia, karena sekitar 70 persen pasokan sumber energi Negeri Sakura itu melewati perairan nasional Indonesia.

Sebagaimana diwartakan, Indonesia dan Jepang sepakat membentuk forum maritim yang menjadi wadah bagi kedua negara untuk mengembangkan kerja sama dalam hal keamanan maritim, industri maritim, dan infrastruktur maritim.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Perdana Menteri (PM) Shinzo Abe di Kantor PM Jepang, Tokyo, Senin (23/3), sepakat untuk membentuk forum maritim melalui pernyataan bersama kepada media setelah pertemuan bilateral.

Kerja sama antara pemerintahan Republik Indonesia dan Jepang itu meliputi forum khususnya di bidang keamanan maritim, industri maritim, dan infrastruktur maritim.

Pemerintah juga telah bertekad mempercepat pembangunan infrastruktur terutama dalam berbagai bidang yang terkait dengan sektor maritim agar selaras dengan program Poros Maritim Dunia yang dicanangkan Presiden Joko Widodo.

“Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla ini mengusung misi mempercepat pembangunan infrastruktur sumberdaya air termasuk sumber daya maritim,” kata Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono.

Untuk itu, lanjut Basuki, pemerintah mempercepat pembangunan infrastruktur konektivitas untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan pelayanan sistem logistik nasional bagi penguatan daya saing bangsa di lingkup global yang berfokus keterpaduan konektivitas daratan-maritim.

Sebelumnya, program Poros Maritim Dunia yang rencananya akan diwujudkan di Indonesia dimulai dengan berbagai kebijakan sektor kelautan dan perikanan guna mengatur stok ikan agar sumber daya dapat berkelanjutan hingga generasi mendatang.

“Inilah bentuk poros maritim di bidang perikanan. Kita stop suplai dari pencuri-pencuri ikan yang mengisi industri negara tetangga, kita mengatur dari sini,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti di Jakarta, Selasa (24/2).

Dengan demikian, menurut Susi Pudjiastuti, berbagai kebijakan yang dikeluarkan Kementerian Kelautan dan Perikanan menjadi titik poin dari pembangunan sektor kemaritiman di bidang perikanan.

Sedangkan sinergi dengan kementerian lainnya juga telah dilakukan KKP antara lain dengan pembangunan beragam infrastruktur di berbagai daerah serta pembangunan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia.

“Program ini termasuk penyelesaian pelabuhan perikanan. Untuk pelabuhan perikanan yang besar-besar tidak kita kelola sendiri tetapi akan kita keroyokan ramai-ramai dengan Kementerian Perhubungan dan PU,” katanya.

Reporter: Muhammad Razi Rahman

Editor: Samino Nugroho

Sumber: http://m.antaralampung.com/berita/280275/forum-maritim-ri-jepang-perlu-dimaksimalkan

Pelarangan Cantrang Harus Diikuti Politik Anggaran Pro Nelayan Kecil

Selasa,  24 Maret 2015

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan yang melarang cantrang menimbulkan guncangan terhadap penghidupan sebagian nelayan kecil. Dampak yang timbul atas dikeluarkannya Peraturan Menteri itu dapat diatasi melalui politik anggaran berbasis masyarakat nelayan skala kecil.

“Menteri Kelautan dan Perikanan mesti memimpin penyelenggaraan peta jalan solusi yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan gejolak di masyarakat, di antaranya di Jawa Tengah, setelah dilarangnya cantrang sebagai alat tangkap bersama dengan Walikota, Bupati dan Gubernur,” kata Abdul Halim, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, di Jakarta, dalam keterangan resmi, hari ini.

KIARA telah menyampaikan salah satu solusi kepada Menteri Kelautan dan Perikanan untuk menyelesaikan dampak pasca dilarangnya trawl dan pukat tarik, yakni penggunaan APBN-P 2015 untuk memfasilitasi pengalihan alat tangkap bagi nelayan kecil.

Langkah yang bisa dipilih adalah berkoordinasi dengan kepala daerah setingkat kota/kabupaten/provinsi untuk menggunakan Dana Alokasi Khusus Kelautan dan Perikanan.

Pilihan ini dapat dilakukan dengan terlebih dahulu berkoordinasi dengan Presiden cq Menteri Keuangan Republik Indonesia.

Untuk menindaklanjutinya, KIARA menemukan sebesar 16,2 persen dari Rp61,873,906,000 DAK yang tersebar di 3 kota, 15 kabupaten dan 1 provinsi di Jawa Tengah dikategorikan tidak terlampau penting dan bisa dialihkan untuk mendukung proses peralihan alat tangkap dan pendampingan nelayan kecil di sentra-sentra perikanan tangkap di Jawa Tengah.

Di samping itu, Menteri Kelautan dan Perikanan bekerjasama dengan Gubernur/Bupati/Wallikota dan masyarakat nelayan skala kecil di Jawa Tengah dapat menyepakati langkah bersama itu.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Gellwynn Jusuf menegaskan, pelarangan pengunaan alat tangkap cantrang bukan untuk menjegal nelayan nasional mendapatkan ikan saat melaut. Melainkan guna menjaga kelestarian sumber daya ikan laut nasional yang kini sudah kian menipis.

“Sumber daya ikan di perairan Indonesia kian menipis, hal ini dkarenakan cara penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan. Oleh karenanya, bukannya kami ingin melarang nelayan menangkap ikan, karena jika dibiarkan bukan tidak mungkin beberapa spesies ikan nantinya tidak dapat dinikmati anak cucu kita dan hanya akan menjadi sejarah,” kata Gellwynn.

Pelarangan itu disebutnya merupakan salah satu upaya pemerintah dalam meregenerasi dan menyelamatkan sumberdaya ikan serta mencegah kerusakan ekosistem laut karena cadangan ikan di wilayah perairan Indonesia terus merosot karena dieksploitasi secara besar-besaran dengan alat tangkap yang membahayakan ekosistem laut.

“Kami berharap nelayan bisa memahami itu, bukan berarti kami melarang mereka menangkap ikan. Tapi cobalah menangkap ikan dengan alat tangkapan yang ramah lingkungan untuk keberlangsungan SDI laut kita untuk jangka panjang,” kata Gellwynn. [*]

Reporter: Rr. Dian Kusumo Hapsari

Sumber: http://geotimes.co.id/kelautan-pelarangan-cantrang-politik-anggaran-20150324/

Pemberantasan Pencurian Ikan Tak Boleh Melembek

Rabu, 25 Maret 2015

JAKARTA (SK) – Pencegahan pencurian ikan di Indonesia jangan sampai stagnan. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menginginkan monitoring atau tingkat kasus pencurian ikan di kawasan perairan Indonesia harus terus kuat. Tuntutan yang hanya berupa denda kepada kapal MV Hai Fa, jangan sampai melemahkan sendi-sendi pemberantasan pencurian ikan menjadi lembek.

”Pencegahan tindak pidana perikanan yang dilakukan oleh KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) menjadi gembos karena penegakan hukumnya lembek,” kata Sekretaris Jenderal Kiara Abdul Halim kepada Antara di Jakarta, Selasa.

Abdul Halim mengemukakan hal itu ketika dimintai tanggapannya tentang tuntutan yang diajukan jaksa hanya berupa denda kepada kapal MV Hai Fa berbobot sekitar 3.000 Gross Tonnage (GT) yang diduga mencuri ikan di Indonesia.

Untuk itu, ujar dia, monitoring secara te-rus-menerus dengan pengawalan ketat terhadap penanganan kasus pencurian ikan ini menjadi penting. ”Tidak hanya oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, melainkan aparat penegakan hukum,” ucapnya, menegaskan.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengaku kecewa terhadap ringannya tuntutan yang diajukan jaksa terhadap kapal MV Hai Fa berbobot sekitar 3.000 GT yang diduga mencuri ikan di Indonesia. ”Setelah kami teliti, hasilnya sangat mengecewakan,” kata Susi Pudjiastuti, dalam jumpa pers yang digelar di kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta, Senin (23/3).

Susi yang baru pulang dari kunjungannya ke Amerika Serikat itu, mengatakan dirinya merasa sangat sedih dan marah karena kerja keras yang dilakukan hingga tengah malam ternyata menghasilkan seperti ini.

Reporter: adi

sumber: http://www.suarakarya.id/2015/03/25/pemberantasan-pencurian-ikan-tak-boleh-melembek.html