Fokus Sektor Kelautan Jokowi Serupa dengan SBY

Jakarta, 29 April 2015

Rimanews – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengatakan, fokus sektor kelautan dan perikanan yang dimiliki Presiden Joko Widodo (Jokowi) ternyata dinilai relatif serupa dengan fokus kelautan dari mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

“Fokus pembangunan kelautan dan perikanan dalam pemerintahan baru dititikberatkan pada pembangunan infrastruktur fisik, tidak jauh berbeda dengan pemerintahan sebelumnya,” kata Sekretaris Jenderal Kiara, Abdul Halim, di Jakarta, Rabu (29/4/15).

Menurut Abdul Halim, hal tersebut juga bisa dilihat dari rencana pemerintah yang kembali mengakomodasi proyek reklamasi dan tanggul laut raksasa di Jakarta, Semarang, dan Bali.

Sejalan dengan itu, ujar dia, peningkatan produksi yang tinggi diarahkan kepada peningkatan nilai produksi yang besar tanpa ditopang anggaran untuk penyejahteraan nelayan yang sekitar 5 persen dari APBN KKP 2015.

Untuk itu, ia menegaskan bahwa pemerintah harus melakukan perubahan kebijakan terkait dengan perizinan, melakukan ratifikasi konvensi ILO No 188 Tahun 2007 tentang Pekerjaan dalam penangkapan ikan, serta mendorong revisi UU Bagi Hasil Perikanan dan UU Ketenagakerjaan.

Selain itu, lanjutnya, pemerintah juga harus melakukan audit terhadap perusahaan perikanan yang terindikasi perbudakan serta berfokus kepada upaya penyejahteraan nelayan, petambak garam dan tenaga kerja perikanan, bukan selalu peningkatan produksi.

Editor: Fathor Rasi

Sumber: http://m.nasional.rimanews.com/politik/read/20150429/210125/Fokus-Sektor-Kelautan-Jokowi-Serupa-dengan-SBY

Kabar Bahari: Indonesia, surganya ikan hias

Dunia memiliki 1.100 spesies ikan air tawar, 400 spesies di antaranya tersebar di perairan Indonesia. Menariknya, jumlah ikan hias air laut berjumlah 650 spesies atau sebesar 30 persen. Sementara yang baru diperdagangkan sekitar 200 spesies.

Di tahun 2014, Indonesia menduduki peringkat keempat sebagai eksportir ikan hias. Dengan peringkat tersebut, nilai pangsa pasar ikan hias mencapai 7,5 persen. Sementara Singapura dan Malaysia berkontribusi masing-masing sebesar 22,5 persen dan 11 persen.

Pada tahun 2013, pertumbuhan volume ekspor ikan hias sebesar 262,16 persen. Ekspor Ikan hias Indonesia pada tahun 2010 telah mencapai US$ 12 juta atau naik dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai US$ 10 juta (KKP, 2014). Pada tahun 2011, target produksi ikan hias sebesar 3 miliar ekor dan mengalami peningkatan terus hingga 8 miliar ekor di tahun 2014.

Sedikitnya terdapat 10 ikan hias terpopuler di Indonesia (lihat Tabel 1). Disebut paling populer dikarenakan sering dijumpai di rumah, perkantoran dan sebagainya. Anda yang belum memiliki, sebaiknya tidak menunggu terlalu lama.

 

Ikuti informasi terkait buletin Kabar Bahari >>KLIK DISINI<<

FOKUS BANGUN INFRASTRUKTUR, PEMERINTAH LUPA SEJAHTERAKAN NELAYAN TRADISIONAL

Jakarta, April 30, 2015

Jakarta, Villagerspost.com – Pemerintah telah memberlakukan moratorium perizinan usaha perikanan tangkap melalui Permen KP No. 56/PERMEN-KP/2014. Meski begitu, ternyata kondisi nelayan tradisional belum juga membaik kesejahteraannya. Karenanya pemerintah dituntut untuk fokus kepada upaya penyejahteraan nelayan tradisional. Selain itu pemerintah juga dituntut untuk meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja perikanan dan petambak garam.

Kesejahteraan petambak garam khususnya, menjadi penting mengingat pemerintah tengah menargetkan untuk mencapai swasembada garam. Upaya mencapai swasembada garam oleh pemerintah harus dilakukan secara menyeluruh tidak hanya peningkatan produksi secara statistik, tetapi menyangkut tata kelola, akses pasar dan peningkatan kesejahteraan petambak garam Indonesia.

Muhammad Sarli, petambak garam yang juga diamanahi sebagai Sekretaris Jenderal Persatuan Petambak Garam Indonesia (PPGI) memaparkan, situasi yang dihadapi oleh petambak garam tidak jauh berbeda dengan kondisi sebelumnya dengan program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR). Mereka tidak diberikan peningkatan kapasitas pengetahuan dalam usaha budidaya garam untuk mencapai standar garam yang dapat diterima dipasarkan, seperti ke industri.

“Pemerintahan baru tidak menyelesaikan akar masalah, yaitu akses pasar, tata kelola garam nasional seperti jalur koordinasi lintas kementerian antara Kementerian Kelautan Dan Perikanan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian,” kata Sarli dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Kamis (30/4).

Semantara itu Kepala Riset Pusat Kajian Pelayanan Pemberdayaan Masyarakat (PKP2M) Suhana mengatakan, pasca ditetapkannya moratorium, terjadi penurunan kapal asing pelaku pencurian ikan dan jumlah komoditas ekspor di sisi lain industri pengolahan dalam negeri meningkat. Tetapi nilai tukar nelayan sebagai tolok ukur kemampuan ekonomi suatu nelayan lebih buruk dalam 5 tahun terakhir ditambah lagi adanya kenaikan harga BBM menurunkan NTN.

Pemerintah, kata Suhana, dalam menetapkan suatu kebijakan terkesan tidak ada antisipasi atas dampak yang terjadi. Kondisi ekonomi saat ini, produksi nelayan saat ini berada titik impas tanpa ada keuntungan dan dengan kebijakan yang muncul dampak yang perlu diantisipasi oleh pemerintah adalah pengangguran yang dapat terjadi.

Untuk itu Suhana mendorong pemerintah untuk memperkuat organisasi dan koperasi nelayan. “Karena nanti nikmat suplai ikan yang tinggi dapat dinikmati oleh negara Indonesia serta memperbaiki tata kelola berdasarkan data yang valid mengenai stok ikan yang akan menentukan jumlah ikan yang dapat ditangkap, kapal yang diperbolehkan beroperasi dan antisipasi dampak kebijakan yang lebih baik,” ujarnya.

Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Abdul Halim menilai, fokus pembangunan kelautan dan perikanan dalam pemerintahan baru ini, lebih dititikberatkan pada pembangunan infrastruktur fisik, tidak jauh berbeda dengan pemerintahan sebelumnya. Hal tersebut bisa dilihat dari RPJMN 2015-2019 yang kembali mengakomodasi proyek reklamasi dan tanggul laut raksasa di Jakarta, Semarang dan Bali.

Sejalan dengan itu peningkatan produksi yang tinggi diarahkan kepada peningkatan nilai produksi yang besar tanpa ditopang anggaran untuk penyejahteraan nelayan yang tidak sampai 5,2% persen dari APBN KKP 2015. Untuk itu, Halim menambahkan, pemerintah harus melakukan perubahan kebijakan terkait dengan perizinan, melakukan ratifikasi konvensi ILO No. 188 Tahun 2007 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan.

Pemerintah juga dituntut untuk  mendorong revisi UU Bagi Hasil Perikanan dan UU Ketenagakerjaan. “Pemerintah juga harus melakukan audit terhadap perusahaan perikanan yang terindikasi perbudakan serta berfokus kepada upaya penyejahteraan nelayan, petambak garam dan tenaga kerja perikanan, bukan melulu peningkatan produksi,” kata Halim. (*)

Sumber: http://villagerspost.com/todays-feature/fokus-bangun-infrastruktur-pemerintah-lupa-sejahterakan-nelayan-tradisional/

Permen KP No 56 Belum Berdampak ke Nelayan dan Petambak Garam

JAKARTA, WOL – Pasca pemberlakuan moratorium perizinan usaha perikanan tangkap melalui Permen KP No. 56/PERMEN-KP/2014, pemerintah harus memfokuskan kepada upaya penyejahteraan nelayan tradisional, perempuan nelayan, tenaga kerja perikanan dan petambak garam.

Setali tiga uang, upaya mencapai swasembada garam oleh pemerintah harus dilakukan secara menyeluruh tidak hanya peningkatan produksi secara statistik, tetapi menyangkut tata kelola, akses pasar dan peningkatan kesejahteraan petambak garam Indonesia.

Desakan ini disampaikan oleh Persatuan Petambak Garam Indonesia (PPGI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dan Pusat Kajian Kelautan dan Peradaban Maritim (PK2PM) dalam pernyataan bersama secara tertulis.

Muhammad Sarli, Sekretaris Jenderal PPGI mengatakan, petambak garam yang juga diamanahi sebagai Sekretaris Jenderal Persatuan Petambak Garam Indonesia (PPGI) memaparkan situasi yang dihadapi oleh petambak garam tidak jauh berbeda dengan kondisi sebelumnya dengan program PUGAR tanpa ada peningkatan kapasitas pengetahuan dalam usaha budidaya garam untuk mencapai standar garam yang dapat diterima dipasarkan, seperti ke industri.

Pemerintahan baru tidak menyelesaikan akar masalah, yaitu akses pasar, tata kelola garam nasional seperti jalur koordinasi lintas kementerian antara Kementerian Kelautan Dan Perikanan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian.

Suhana dari PKP2M melihat bahwa pasca ditetapkannya moratorium, terjadi penurunan kapal asing pelaku pencurian ikan dan jumlah komoditas ekspor di sisi lain industri pengolahan dalam negeri meningkat. Tetapi nilai tukar nelayan sebagai tolok ukur kemampuan ekonomi suatu nelayan lebih buruk dalam 5 tahun terakhir ditambah lagi adanya kenaikan harga BBM menurunkan NTN.

Pemerintah dalam menetapkan suatu kebijakan  terkesan tidak ada antisipasi atas dampak yang terjadi. Kondisi ekonomi saat ini, produksi nelayan saat ini berada titik impas tanpa ada keuntungan dan dengan kebijakan yang muncul dampak yang perlu diantisipasi oleh Pemerintah adalah pengangguran yang dapat terjadi.

Untuk itu Suhana mendorong pemerintah untuk memperkuat organisasi dan koperasi nelayan, karena nanti nikmat suplai ikan yang tinggi dapat dinikmati oleh negara Indonesi serta memperbaiki tata kelola berdasarkan data yang valid mengenai stok ikan yang akan menentukan jumlah ikan yang dapat ditangkap, kapal yang diperbolehkan beroperasi dan antisipasi dampak kebijakan yang lebih baik.

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA menilai, fokus pembangunan kelautan dan perikanan dalam pemerintahan baru dititikberatkan pada pembangunan infrastruktur fisik, tidak jauh berbeda dengan pemerintahan sebelumnya.

Hal tersebut bisa dilihat dari RPJMN 2015-2019 yang kembali mengakomodasiproyek reklamasi dan tanggul laut raksasa di Jakarta, Semarang dan Bali. Sejalan dengan itu peningkatan produksi yang tinggi diarahkan kepada peningkatan nilai produksi yang besar tanpa ditopang anggaran untuk penyejahteraan nelayan yang tidak sampai 5,2% persen dari APBN KKP 2015.

Untuk itu, Halim menambahkan, pemerintah harus melakukan perubahan kebijakan terkait dengan perizinan, melakukan ratifikasi konvensi ILO No. 188 Tahun 2007 tentang Pekerjaan dalam penangkapan ikan, mendorong revisi UU Bagi Hasil Perikanan dan UU Ketenagakerjaan, melakukan audit terhadap perusahaan perikanan yang terindikasi perbudakan serta berfokus kepada upaya penyejahteraan nelayan, petambak garam dan tenaga kerja perikanan, bukanmelulu peningkatan produksi.”(wol/data1)

Sumber: http://waspada.co.id/warta/permen-kp-no-56-belum-berdampak-ke-nelayan-dan-petambak-garam/

Kasuso: Kampung Nelayan di Bulukumba

“Hidup adalah perjalanan membangun rumah untuk hati. Mencari penutup lubang-lubang kekecewaan, penderitaan, ketidakpastian, dan keraguan. Akan penuh dengan perjuangan. Dan itu yang akan membuat sebuah rumah indah.”
— Iwan Setyawan (Ibuk)

Sejauh mata memandang, biru lautan menjadi pesona tersendiri. Debur ombak perlahan memecah kesunyian Kampung Kasuso. Beriringan, bunyi perempuan membenturkan alat tenunnya dan suara derit ayunan yang digoyang perlahan oleh ibu.

Kampung Kasuso terletak di wilayah administrasi Desa Darubiah, Kecamatan Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba. Butuh 33 kilometer dari Bulukumba menuju Bira, kemudian dilanjutkan menuju Kampung Kasuso setelah melewati penurunan panjang (daerah Lahongka).

Tidak ada catatan sejarah tentang kampung Kasuso, hanya cerita dari mulut ke mulut yang terus diceritakan turun-menurun.  Kata Kasuso berasal dari dua suku kata ‘Ka’ dan ‘Suso’. Kata ‘Ka’ artinya kepal, besar atau ketua, sedangkan ‘Suso’ artinya Kerang, dua kata inilah kemudian digabungkan dan memiliki arti kerang besar yang menempel di batu besar. Di sisi lain, penamaan kampung Kasuso diduga karena di kampung tersebut banyak Suso (sejenis siput/biri-biri laut).

Kampung Kasuso lebih dikenal sebagai kampung pesisir Bulukumba di mana mayoritas masyarakatnya adalah nelayan ikan terbang atau disebut Juku’ Tuing-Tuing. Ikan terbang bukan hanya jadi simbol salah satu televisi swasta nasional, tapi ikan terbang ini pun sangat digemari karena telur ikan berharga cukup mahal. Namun, ikan terbang kini sulit didapatkan, maraknya penangkapan ikan terbang dengan kapal besar menyebabkan jumlah ikan terbang menurut drastis dalam 3 tahun terakhir.

Kampung Perempuan

Pagi di ufuk timur, setelah merapihkan keperluan anak-anaknya, si ibu turun ke kolong rumah dan mulai disibukkan mengatur benang-benang di alat tenunnya. Sarung sutera berbagai corak menjadi salah satu tumpuan ekonomi perempuan di kampung Kasuso. Sarung-sarung yang dihasilkan kemudian dipasarkan keluar kampung Kasuso, bahkan hingga ke wilayah Sulawesi Selatan. Tidak jarang para pedagang atau pelaut yang singgah ke kampung Kasuso membawa sarung-sarung tersebut.

Menariknya, lelaki sulit ditemukan di kampung ini. Mayoritas kaum adam meninggalkan keluarganya untuk melaut hingga bertahun-tahun. Seperti yang dituturkan Subaeni, 29 tahun “Suami saya pergi kerja di laut sewaktu anak masih bayi, dia pulang lagi setelah anak sudah masuk TK”. Subaeni harus rela ditinggal suami yang bekerja sebagai ABK (anak buah kapal) agar anak-anaknya bisa sekolah.

Hal serupa terjadi pada Junaedah, 40 tahun yang ditinggal suaminya melaut selama 25 tahun. Kini ia sudah punya tiga orang anak dan beberapa cucu. Dua orang anak laki-lakinya yang sudah dewasa kini menjadi anak buah kapal dan keluar dari kampungnya. Kini suami Junaedah menjajaki usaha baru, yaitu menjadi juragan kapal kayu yang memiliki anak buah 13 orang ABK dan berkerja mengangkut barang-barang seperti semen ke daerah seperti Timika, Papua dan pulau lainnya.

Bisa dibayangkan dengan beban ganda yang dijalani perempuan Kasuso, mereka terus menenun dengan harapan penghidupan yang lebih baik. Ketika suami bertahun-tahun tidak pulang, maka perempuanlah yang bertanggung jawab menjalankan roda perekonomian keluarga.

Dari tenun kami bergantung hidup, dari orang yang singgah dan membawa tenun kami bergantung hidup, dan dari laut kami bergantung hidup agar laut selalu menjaga suami-suami kami dan membawa mereka kembali pulang,” ujar Junaedah.

Setali tiga uang, di Lembata, Nusa Tenggara Timur, banyak lelaki yang keluar dari kampungnya dan memutuskan menjadi TKI. Perempuan banyak ditinggal di kampungnya karena perempuan lebih mampu bekerja ganda, yaitu mengurus rumah, mengurus kebun sekaligus menjual ikan.

Tanah yang gersang dan sulitnya air bersih membuat masyarakat kesulitan menggarap tanah mereka. Di saat yang bersamaan, kapal-kapal besar acapkali datang dan melakukan pemboman. Bahkan melalui riset KIARA menyebutkan tutupan mangrove sudah rusak 40% dan tutupan karang hanya tinggal 20% akibat dari maraknya pengeboman di Laut Lembata.

Tidak jauh berbeda dengan perempuan di Kampung Kasuso, perempuan di Lembata pun harus berjuang untuk memberikan hidup yang lebih baik bagi anak-anak dan keluarganya.

Penggerak

Pada tahun 2010, KIARA bersama dengan Aliansi untuk Desa Sejahtera (ADS) dan JPKP (Jaringan Pengembangan Kawasan Pesisir) menginisiasi Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI). Hal ini berdasarkan besarnya peran perempuan dalam sektor perikanan.

Perempuan nelayan bukan hanya sekadar istri dari nelayan, namun mereka yang terlibat, baik pra dan pasca melaut. Dimulai dari menyiapkan bekal untuk melaut, menyiapkan keperluan melaut, menjual hasil tangkapan suami, atau pun mengolah hasil tangkapan. Besarnya peran perempuan nelayan dapat dilihat dari jam kerja perhari, yaitu 17 jam, seperti yang terjadi di kampung Kasuso, perempuan bukan hanya menenun, namun juga terkadang menjual ikan.

Di saat bersamaan, perempuan nelayan menjadi penentu gizi keluarga. Secara tidak langsung, tangan perempuanlah yang menjadi penentu bagaimana generasi penerus akan mendapatkan gizi baik untuk pertumbuhan mereka.
Besarnya peran nelayan dalam memenuhi kebutuhan protein bangsa tidak bisa dipisahkan dari besarnya kontribusi perempuan nelayan yang terlibat baik pra dan pasca melaut. Perempuan nelayan memiliki jam kerja selama 17 jam sehari, dimulai dari memenuhi kebutuhan keluarga, mempersiapkan bekal suami melaut, hingga menjual hasil tangkapan suami. Roda perekonomian keluarga nelayan disokong 48% oleh perempuan nelayan.

PPNI menjadi wadah bagi perempuan nelayan di banyak kampung pesisir Indonesia, dan menjadi suara bahwa perempuan nelayan hari ini telah berdikari. Kehadiran mereka ada dan menjadi bagian integral dari rantai nilai sektor perikanan.

Selayaknya, perempuan nelayan didukung penuh oleh negara, untuk menjadi tangguh, mandiri dan sejahtera. *** (SH)

Kasuso: Kampung Nelayan di Bulukumba

“Hidup adalah perjalanan membangun rumah untuk hati. Mencari penutup lubang-lubang kekecewaan, penderitaan, ketidakpastian, dan keraguan. Akan penuh dengan perjuangan. Dan itu yang akan membuat sebuah rumah indah.”
— Iwan Setyawan (Ibuk)

Sejauh mata memandang, biru lautan menjadi pesona tersendiri. Debur ombak perlahan memecah kesunyian Kampung Kasuso. Beriringan, bunyi perempuan membenturkan alat tenunnya dan suara derit ayunan yang digoyang perlahan oleh ibu.

Kampung Kasuso terletak di wilayah administrasi Desa Darubiah, Kecamatan Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba. Butuh 33 kilometer dari Bulukumba menuju Bira, kemudian dilanjutkan menuju Kampung Kasuso setelah melewati penurunan panjang (daerah Lahongka).

Tidak ada catatan sejarah tentang kampung Kasuso, hanya cerita dari mulut ke mulut yang terus diceritakan turun-menurun.  Kata Kasuso berasal dari dua suku kata ‘Ka’ dan ‘Suso’. Kata ‘Ka’ artinya kepal, besar atau ketua, sedangkan ‘Suso’ artinya Kerang, dua kata inilah kemudian digabungkan dan memiliki arti kerang besar yang menempel di batu besar. Di sisi lain, penamaan kampung Kasuso diduga karena di kampung tersebut banyak Suso (sejenis siput/biri-biri laut).

Kampung Kasuso lebih dikenal sebagai kampung pesisir Bulukumba di mana mayoritas masyarakatnya adalah nelayan ikan terbang atau disebut Juku’ Tuing-Tuing. Ikan terbang bukan hanya jadi simbol salah satu televisi swasta nasional, tapi ikan terbang ini pun sangat digemari karena telur ikan berharga cukup mahal. Namun, ikan terbang kini sulit didapatkan, maraknya penangkapan ikan terbang dengan kapal besar menyebabkan jumlah ikan terbang menurut drastis dalam 3 tahun terakhir.

Kampung Perempuan

Pagi di ufuk timur, setelah merapihkan keperluan anak-anaknya, si ibu turun ke kolong rumah dan mulai disibukkan mengatur benang-benang di alat tenunnya. Sarung sutera berbagai corak menjadi salah satu tumpuan ekonomi perempuan di kampung Kasuso. Sarung-sarung yang dihasilkan kemudian dipasarkan keluar kampung Kasuso, bahkan hingga ke wilayah Sulawesi Selatan. Tidak jarang para pedagang atau pelaut yang singgah ke kampung Kasuso membawa sarung-sarung tersebut.

Menariknya, lelaki sulit ditemukan di kampung ini. Mayoritas kaum adam meninggalkan keluarganya untuk melaut hingga bertahun-tahun. Seperti yang dituturkan Subaeni, 29 tahun “Suami saya pergi kerja di laut sewaktu anak masih bayi, dia pulang lagi setelah anak sudah masuk TK”. Subaeni harus rela ditinggal suami yang bekerja sebagai ABK (anak buah kapal) agar anak-anaknya bisa sekolah.

Hal serupa terjadi pada Junaedah, 40 tahun yang ditinggal suaminya melaut selama 25 tahun. Kini ia sudah punya tiga orang anak dan beberapa cucu. Dua orang anak laki-lakinya yang sudah dewasa kini menjadi anak buah kapal dan keluar dari kampungnya. Kini suami Junaedah menjajaki usaha baru, yaitu menjadi juragan kapal kayu yang memiliki anak buah 13 orang ABK dan berkerja mengangkut barang-barang seperti semen ke daerah seperti Timika, Papua dan pulau lainnya.

Bisa dibayangkan dengan beban ganda yang dijalani perempuan Kasuso, mereka terus menenun dengan harapan penghidupan yang lebih baik. Ketika suami bertahun-tahun tidak pulang, maka perempuanlah yang bertanggung jawab menjalankan roda perekonomian keluarga.

Dari tenun kami bergantung hidup, dari orang yang singgah dan membawa tenun kami bergantung hidup, dan dari laut kami bergantung hidup agar laut selalu menjaga suami-suami kami dan membawa mereka kembali pulang,” ujar Junaedah.

Setali tiga uang, di Lembata, Nusa Tenggara Timur, banyak lelaki yang keluar dari kampungnya dan memutuskan menjadi TKI. Perempuan banyak ditinggal di kampungnya karena perempuan lebih mampu bekerja ganda, yaitu mengurus rumah, mengurus kebun sekaligus menjual ikan.

Tanah yang gersang dan sulitnya air bersih membuat masyarakat kesulitan menggarap tanah mereka. Di saat yang bersamaan, kapal-kapal besar acapkali datang dan melakukan pemboman. Bahkan melalui riset KIARA menyebutkan tutupan mangrove sudah rusak 40% dan tutupan karang hanya tinggal 20% akibat dari maraknya pengeboman di Laut Lembata.

Tidak jauh berbeda dengan perempuan di Kampung Kasuso, perempuan di Lembata pun harus berjuang untuk memberikan hidup yang lebih baik bagi anak-anak dan keluarganya.

Penggerak

Pada tahun 2010, KIARA bersama dengan Aliansi untuk Desa Sejahtera (ADS) dan JPKP (Jaringan Pengembangan Kawasan Pesisir) menginisiasi Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI). Hal ini berdasarkan besarnya peran perempuan dalam sektor perikanan.

Perempuan nelayan bukan hanya sekadar istri dari nelayan, namun mereka yang terlibat, baik pra dan pasca melaut. Dimulai dari menyiapkan bekal untuk melaut, menyiapkan keperluan melaut, menjual hasil tangkapan suami, atau pun mengolah hasil tangkapan. Besarnya peran perempuan nelayan dapat dilihat dari jam kerja perhari, yaitu 17 jam, seperti yang terjadi di kampung Kasuso, perempuan bukan hanya menenun, namun juga terkadang menjual ikan.

Di saat bersamaan, perempuan nelayan menjadi penentu gizi keluarga. Secara tidak langsung, tangan perempuanlah yang menjadi penentu bagaimana generasi penerus akan mendapatkan gizi baik untuk pertumbuhan mereka.
Besarnya peran nelayan dalam memenuhi kebutuhan protein bangsa tidak bisa dipisahkan dari besarnya kontribusi perempuan nelayan yang terlibat baik pra dan pasca melaut. Perempuan nelayan memiliki jam kerja selama 17 jam sehari, dimulai dari memenuhi kebutuhan keluarga, mempersiapkan bekal suami melaut, hingga menjual hasil tangkapan suami. Roda perekonomian keluarga nelayan disokong 48% oleh perempuan nelayan.

PPNI menjadi wadah bagi perempuan nelayan di banyak kampung pesisir Indonesia, dan menjadi suara bahwa perempuan nelayan hari ini telah berdikari. Kehadiran mereka ada dan menjadi bagian integral dari rantai nilai sektor perikanan.

Selayaknya, perempuan nelayan didukung penuh oleh negara, untuk menjadi tangguh, mandiri dan sejahtera. *** (SH)

Menko Maritim: Perikanan Maju hanya di Negara Maju

Jakarta, 18 April 2015

Jakarta, (Antara) – Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Indroyono Soesilo mengingatkan bahwa sektor perikanan yang maju biasanya hanya ditemukan di sejumlah negara maju yang terindikasi dari tingkat kesejahteraan pelaku usaha di negara-negara tersebut.

“Saya pantau sektor perikanan maju biasanya ada di negara maju,” kata Indroyono Soesilo dalam diskusi publik “Membangun Perikanan Pasca-UU No 23 Tahun 2014” yang digelar Ikatan Sejarah Perikanan Indonesia (Ispikani) di Jakarta, Sabtu.

Menurut Indroyono, sejumlah negara maju dengan sektor perikanan yang juga sudah maju antara lain Norwegia, Denmark, Finlandia, dan Amerika Serikat.

Ia berpendapat bahwa untuk negara-negara di bagian bumi selatan kerap ditemui negara-negara yang sumber daya ikannya melimpah tetapi banyak ditemukan kemiskinan di nelayannya.

Menko Maritim mencontohkan negara Somalia yang penangkapan ikannya relatif stagnan atau berhenti karena kawasan perairan di sekitar negara tersebut terjadi sejumlah perompakan atau pembajakan.

Namun, Indroyono tetap optimistis bahwa sektor perikanan dapat menjadi unggulan perekonomian Republik Indonesia. “Perikanan bisa menjadi andalan,” kata mantan pejabat tinggi Organisasi Pangan PBB (FAO) itu.

Sebagaimana diberitakan, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) saat memperingati perayaan Hari Nelayan Indonesia 2015 menyatakan, pemerintah harus dapat menyejahterakan nelayan tradisional selaras dengan visi Nawacita yang dipopulerkan Presiden Joko Widodo.

“Perayaan Hari Nelayan Indonesia 2015 harus dijadikan sebagai momentum bagi Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk bergerak melindungi dan menyejahterakan nelayan, perempuan nelayan, pembudi daya, petambak garam dan pelestari ekosistem pesisir setelah lima bulan pertama pemerintahannya sesuai Nawacita,” kata Sekretaris Jenderal Kiara Abdul Halim di Jakarta, Senin (6/4).

Hal itu, menurut Abdul Halim, dapat dilakukan antara lain dengan menghentikan seluruh proyek perampasan dan memastikan hak-hak konstitusional nelayan tradisional, perempuan nelayan, pembudi daya, petambak garam dan pelestari ekosistem pesisir terpenuhi terkait dengan pengakuan hak pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Sekjen Kiara juga ingin agar pemerintah mengakui keberadaan dan peran perempuan nelayan melalui pendataan sebaran, program dan alokasi anggaran khusus, dan memberikan politik pengakuan.

Ia mendesak berbagai pihak terkait juga bersungguh-sungguh memberikan pelayanan peningkatan kapasitas dan pemberian akses modal, sarana produksi, infrastruktur, teknologi dan pasar kepada nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya, pelestari ekosistem pesisir dan petambak garam.

“Koreksi penyusunan anggaran kelautan dan perikanan berbasis proyek dan evaluasi secara terbuka bersama dengan masyarakat,” katanya.

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengajak pengusaha kelautan dan perikanan melihat pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN sebagai pemacu semangat berkompetisi.

“Tantangan pasar bebas dengan pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), harus memacu semangat pembudidaya dalam melakukan budi daya sesuai anjuran pemerintah,” kata Susi.

Ia memaparkan, pemerintah menginginkan budi daya dapat dilakukan guna meningkatkan efisiensi dan kemandirian, memberikan nilai tambah, dan juga ramah lingkungan.

Susi mengakui tantangan budi daya ke depannya akan semakin berat antara lain dengan penerapan MEA mulai akhir 2015. (*)

Pewarta: Muhammad Razi Rahman

Editor: Joko Nugroho

Sumber: http://www.antarasumbar.com/berita/144754/menko-maritim-perikanan-maju-hanya-di-negara-maju.html

Soal Pengelolaan Pulau, Kebijakan KKP Buruk

Jum,at, 17 April 2015

JAKARTA (SK) – Kementerian Kelautan dan Perikanan atau KKP dinilai tak tepat dalam menetapkan suatu kebijakan yang memperbolehkan investor asing dalam pengelolaan pulau-pulau kecil.

Apalagi, kebijakan tersebut bisa lebih merugikan masyarakat di pulau-pulau kecil tadi. Kenyataan tersebut, terungkap dari pernyataan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan.

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menegaskan, Kementerian Kelautan dan Perikanan dinilai mengulangi kesalahan yang sama terkait dengan kebijakan menawarkan pengelolaan sejumlah pulau-pulau kecil kepada investor.

”Menteri Kelautan dan Perikanan mengulangi kesalahan lama, yaitu menyerahkan pengelolaan pulau-pulau bernilai strategis kepada individu dalam rupa komersialisasi dan privatisasi, baik investor domestik apalagi asing,” kata Sekjen Kiara Abdul Halim kepada Antara di Jakarta, Kamis.

Menurut Abdul Halim, kebijakan KKP yang menawarkan hingga sekitar 100 pulau kecil di Indonesia kepada investor menunjukkan bahwa KKP tidak membaca semangat gotong-royong yang tertuang di dalam putusan Mahkamah Konstitusi No 3/2010 tentang uji materi UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Karena itu, ujar Sekjen Kiara, kebijakan KKP sangat buruk dan kembali mengabaikan keberadaan dan peran masyarakat di pulau yang ditawarkan. ”Lebih parah lagi, tidak sesuai dengan Nawa Cita yang disampaikan oleh Presiden Jokowi,” katanya.

Dia menegaskan, upaya menyejahterakan masyarakat pesisir seharusnya bukan dengan cara ”menjadikan masyarakat sebagai kuli atas nama investasi”.

Namun, ujar dia, kebijakan itu harus ditempuh dalam bentuk pengakuan, fasilitasi, dan perlindungan terhadap tata kelola sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah dijalankan oleh masyarakat. ”Modal sosial yang dimiliki masyarakat harus dilihat sebagai potensi mencapai kesejahteraan, bukan malah dinegasi oleh negara,” papar Abdul Halim. (ags)

oleh: RED17

Sumber: http://www.suarakarya.id/2015/04/17/soal-pengelolaan-pulau-kebijakan-kkp-buruk.html

Kiara Tolak RPP Izin Pesisir dan Pulau Pulau Kecil

Jum’at, 17 April 2015

Bisnis.com, JAKARTA – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) keberatan terhadap RPP Izin Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil karena dianggap akan mengusir dan menggusur nelayan dan masyarakat pesisir setempat.

Sekretaris Jenderal Kiara Abdul Halim mengatakan beleid tersebut akan memberlakukan privatisasi melalui pemberian hak menguasai negara kepada investor asing dalam bentuk izin.

“Kami berkeberatan atas RPP yang jelas dibuat hanya untuk memberikan karpet merah bagi investasi modal untuk menguasai wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,” katanya dalam keterangan tertulisnya, Jumat (17/4/2015).

Dia menyampaikan setidaknya ada empat alasan penolakan terhadap rancangan peraturan pemerintah tersebut.

Pertama, penyusunan RPP tersebut menyalahi dasar cikal bakal beleid tersebut yakni mengakui hak-hak nelayan tradisional, yaitu mengakses, memanfaatkan dan mengelola lingkungan sumber daya perairan pesisir dan pulau-pulau kecil, serta hak untuk mendapatkan sumber daya yang bersih dan sehat.

Kedua, tidak adanya perlindungan karena tida ada pasal-pasal yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan hak-hak nelayan tradisional skala kecil dan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Jikapun ternyata di kemudian hari terjadi pelanggaran hak oleh pemegang izin tidak ada sanksi yang jelas atas pelanggaran tersebut. Hak akses minim yang telah diakui Revisi UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pun tidak dilindungi oleh RPP tersebut.

Ketiga, melanggar UU No. 5/1960 tentang Pokok Agraria sebagai peletak prinsip dasar pengelolaan atas bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. RPP ini bertentangan terhadap prinsip penguasaan tanah yang mengakui masyarakat yang telah mengelola secara turun-temurun.

Keempat, aturan tersebut menabrak Pedoman Perlindungan Nelayan Skala Kecil FAO 2014, di mana Pemerintah Indonesia terlibat aktif dalam pembahasannya.

VGSSF telah memberikan pedoman untuk melindungi nelayan skala kecil melalui tujuh aspek, yaitu perlindungan hak penguasaan atas sumber-sumber penghidupan, pembangunan sosial, ketenagakerjaan dan pekerjaan yang layak, mata rantai perdagangan yang adil, pengembangan kapasitas, keadilan gender, perlindungan terhadap risiko bencana dan perubahan iklim, dan pengelolaan berkelanjutan.

“Negara seharusnya tidak memainkan peran seperti pengusaha yang mengedepankan profit, melainkan memfasilitasi masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil untuk mendapatkan akses pemenuhan hak-hak konstitusionalnya untuk hidup adil, makmur dan sejahtera,” ujar Abdul.

Dimas Novita Sari

Editor : Fatkhul Maskur

Sumber: http://m.bisnis.com/industri/read/20150417/99/423956/kiara-tolak-rpp-izin-pesisir-dan-pulau-pulau-kecil

Dukung DPR, Kiara Desak Proyek Pluit Dibatalkan

Kamis, 16 April 2015

JAKARTA, GRESNEWS.COM – Rencana reklamasi Pantai Pluit Utara Jakarta terus ditentang. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyatakan mendukung desakan DPR terkait pembatalan surat keputusan izin reklamasi pantai.

Sekretaris Jendral (Sekjen) Kiara Abdul Halim mengatakan desakan pembatalan yang dilakukan DPR berada di jalur yang tepat. Abdul menilai, proyek itu memang seharusnya tidak dilanjutkan karena bukan merupakan kebutuhan dasar masyarakat pesisir atau nelayan.

“Kiara setuju terkait putusan pembatalan pembangunan reklamasi Pantai Pluit karena proyek itu memang bukan kebutuhan nelayan,” kata Abdul kepada Gresnews.com, Rabu (15/4).

Dalam keputusannya beberapa waktu lalu, DPR mendesak Pemprov DKI Jakarta membatalkan sejumlah Surat Keputusan (SK) Gubernur tentang Izin Reklamasi Pantai Jakarta Utara. Menurut pihak DPR, reklamasi tersebut bertentangan dengan sejumlah aturan yakni UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisit dan Pulau-Pulau Kecil dan Perpres Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Menurut Abdul, keputusan DPR itu merupakan langkah yang tepat. Menurut Abdul, perlu ada kajian mendalam dan cermat bilamana pemerintah tidak ingin menyaksikan megaproyek yang rencananya dibangun di Jakarta Utara tersebut hanya jadi lahan basah bagi segelintir pemilik modal, namun sebaliknya justru menjadi petaka bagi nelayan.

“Kaum bisnis tentu akan diuntungkan dengan pembangunan proyek reklamasi pantai tersebut,” ujar Abdul.

Alasan lain penolakan terhadap reklamasi pantai, lanjut Abdul, akan mengganggu fungsi ekosistem pesisir dimana berkaitan dengan kelestarian terumbu karang dan biota laut lainnya. Untuk itu, Abdul meminta pemerintah mengambil alih pantai Pluit dan segera mengembalikan fungsi pesisir seperti semula.

Rencana reklamasi Pantai Pluit juga menuai penolakan dari Direktur sekaligus Peneliti masyarakat pesisir Pusat Studi Sosial dan Politik (Puspol) Ahmad Tarmiji Alkhudri. Ahmad mengatakan, perencanaan reklamasi Pantai Pluit harus dihentikan karena berpotensi mendatangkan banyak dampak buruk atau kerugian kepada nelayan dan masyarakat pesisir.

“Reklamasi Pantai Pluit akan berdampak buruk pada tatanan sosiologis dan ekologis. Tidak perlu kebijakan ini dilanjutkan karena akan sangat merugikan masyarakat pesisir,” ujar Ahmad.

Menurut Ahmad, jika pembangunan proyek tersebut berlangsung maka masyarakat pesisir dan nelayan akan berpotensi kehilangan zona wilayah ekonomi dan karakter sosial budaya. Hal tersebut yang dikhawatirkan akan berdampak pada tatanan sosiologis masyarakat di sekitar area reklamasi Pluit.

Ahmad menilai, risiko yang disebutkan tersebut dapat terjadi karena konsep reklamasi masih mengarah pada sistem kapitalistik.

Reporter : everd@gresnews.com
Redaktur : Ramidi

Sumber: http://www.gresnews.com/mobile/berita/sosial/00164-dukung-dpr-kiara-desak-proyek-pluit-dibatalkan/