Praktik Suap di Benjina Dinilai Bukan karena Upah
Senin, 06 Maret 2015
Sejumlah nelayan yang tergabung dalam Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) melakukan aksi simpatik perayaan Hari Nelayan Indonesia 2015 di depan kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta, Senin (6/4). Dalam aksinya mereka menuntut untuk melindungi dan mensejahterakan nelayan, pembudidaya, petambak garam, perempuan nelayan dan pelestarian ekosistem pesisir. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Sejumlah nelayan yang tergabung dalam Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) melakukan aksi simpatik perayaan Hari Nelayan Indonesia 2015 di depan kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta, Senin (6/4). Dalam aksinya mereka menuntut untuk melindungi dan mensejahterakan nelayan, pembudidaya, petambak garam, perempuan nelayan dan pelestarian ekosistem pesisir. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan membantah dugaan praktik suap yang terjadi di wilayah perairan Indonesia Timur akibat ketimpangan pendapatan petugas di lapangan. Sebab, pendapatan yang diterima petugas sesuai dengan upah minimum regional.
“Jika penghasilan mereka di bawah UMR, itu baru dipersoalkan sebab menimbulkan masalah baru. Jika sudah sesuai, maka bukan di situ masalah,” kata Abdul Halim, Sekjen Kiara di Jakarta, Senin [6/4].
Pernyataan Abdul Halim itu terkait dengan dugaan perbudakan oleh PT Pusaka Benjina Resource, Benjina, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku terhadap para pekerjanya. Kendati korban perbudakan bukan orang Indonesia, tapi pemerintah berupaya membongkar kasus tersebut karena terjadi di wilayah hukum Indonesia.
Media asing memberitakan, perusahaan yang bergerak di bidang perikanan itu diduga melakukan perbudakan terhadap pekerjanya yang sebagian besar berasal dari Thailand. Dalam pemberitaan itu disebutkan banyak pekerja perusahaan itu tewas.
PT Pusaka Benjina Resource mengaku menyuap para pengawas perikanan Kepulauan Aru, Maluku. Penyuapan itu dimaksudkan agar kapal milik perusahaan tersebut mendapat izin berlayar. Para nelayan yang merupakan ABK di atas kapal itu hanya mendapat sedikit makanan, tinggal di ruang kabin sempit yang mirip kandang, bahkan ada juga yang dimasukkan ke dalam sel.
Berdasarkan pengakuan para nelayan, mereka diperlakukan seperti budak oleh majikannya. Mereka ditendang, dicambuk atau disetrum jika pekerjaannya dianggap tak memuaskan. Kasus ini menjadi sorotan internasional, bahkan kini Amerika Serikat memboikot produk-produk perusahaan asal Thailand itu.
Sebelumnya Kementerian Kelautan dan Perikanan mengaku praktik suap yang terjadi di perairan Indonesia Timur akibat ketimpangan pendapatan petugas pengawas di lapangan. Bahkan praktik ini diduga sudah berlangsung sejak lama.
Menurut Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Asep Burhanuddin, praktik suap ini diduga tak hanya melibatkan petugas kementeriannya, tapi juga lembaga lain seperti aparat keamanan serta pegawai pemerintah daerah.
Menurut Abdul, salah satu cara mengatasi praktik suap tersebut adalah dengan mengubah Undang Undang Ketenagakerjaan Tahun 2003. Sebab, UU tersebut dinilai tak mengatur secara detail hubungan kerja dan sistem upah anak buah kapal dengan pemilik kapal.
PT Pusaka Bejina Resource mengaku setiap bulan harus mengeluarkan biaya Rp 37 juta untuk para pengawas. Setoran diberikan kepada para petugas dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Imigrasi, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta Syahbandar Kementerian Kelautan dan Perikanan. [*]
Rep: Reja Hidayat
Sumber: http://geotimes.co.id/kiara-