Siaran Pers Kasus Perbudakan Kapal Perikanan

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

www.kiara.or.id

 

Kasus Perbudakan Kapal Perikanan

KIARA: Perbudakan di Benjina Pelanggaran Berat,

Cabut Izin Pusaka Benjina Resources

 Jakarta, 13 April 2015. Kasus perbudakan yang dilakukan oleh PT. Pusaka Benjina Resources (PT. PBR) merupakan pelanggaran terhadap Alinea I Pembukaan, Pasal 28G ayat (2), Pasal 28I Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvesi Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Pemerintah harus melakukan penuntutan kepada PT. Pusaka Benjina Resources yang harus bertanggung jawab, baik secara pidana maupun perdata  terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh praktek perbudakan modern. Di samping itu, KIARA juga mendesak pencabutan izin usaha PT. PBR di Indonesia.

Kejahatan yang dilakukan oleh PT. Pusaka Benjina Resouces ini merupakan fenomena gunung es yang perlu segera diselesaikan. Praktek perbudakan dengan penggunaan Nakhoda dan ABK Asing merupakan modus pelaku pencurian ikan yang dilakukan oleh perusahaan perikanan. Terlebih Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan Pasal 29 ayat (1) UU Perikanan menyatakan bahwa, “Usaha perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia hanya boleh dilakukan oleh warga negara Republik Indonesia atau badan hukum Indonesia”. Juga kewajiban mempekerjakan Nakhoda warga negara Indonesia dan 100% anak buak kapal (ABK) dengan kewarganegaraan Indonesia bagi setiap kapal perikanan di wilayah Indonesia (Pasal 35A ayat [1] UU Perikanan).

Praktek perbudakan ini akan berimbas terhadap produk perikanan asal Indonesia. Dalam konteks ini, Indonesia sebagai negara anggota ASEAN harus mendorong kebijakan negara-negara di Asia Tenggara terkait dengan penyelesaian IUU Fishing. ASEAN telah memiliki Regional Plan of Action (RPOA) to Promote Responsible Fishing Practices, including Combating Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing in the Region yang perlu didorong agar negara-negara anggotanya mengatur upaya penghapusan perbudakan, termasuk IUU Fishing, di tingkat nasional.

Praktek perbudakan yang dilakukan PT. PUSAKA BENJINA RESOURCES merupakan dampak buruk dari abainya negara terhadap praktek hubungan kerja antara Nakhoda dan ABK dengan pemilik kapal, termasuk pengusaha perikanan. Permasalahan ini harus segera diselesaikan oleh pemerintah dengan mengatur hubungan kerja dengan empat prioritas utama sebagai berikut:

  1. Mewajibkan adanya perjanjian kerja antara ABK dengan pemilik kapal baik dengan pengusaha atau perusahaan perikanan yang melakukan kegiatan perikanan skala besar (>10 GT), termasuk menjadi bagian dalam perijinan kapal penangkap (SIPI) dan kapal pengangkut (SIKPI).
  2. Memastikan persyaratan minimum hak-hak pekerja atas kondisi kerja yang layak di kapal penangkap ikan berupa persyaratan minimum untuk bekerja di kapal; persyaratan pelayanan kepada ABK; akomodasi dan makanan; perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja; perawatan kesehatan dan jaminan sosial.
  3. Pengakuan terhadap organisasi serikat pekerja dan organisasi nelayan yang akan terkait erat dengan perundingan kolektif mengenai upah minimum, peraturan dan standar minimum.
  4. Indonesia perlu untuk segera meratifikasi Konvensi ILO No. 188 Tahun 2007 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan.

Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi:

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA, di +62 815 53100 259

Marthin Hadiwinata, Deputi Bidang Advokasi Hukum dan Kebijakan, di +62812 860 30 453