FOKUS BANGUN INFRASTRUKTUR, PEMERINTAH LUPA SEJAHTERAKAN NELAYAN TRADISIONAL
Jakarta, April 30, 2015
Jakarta, Villagerspost.com – Pemerintah telah memberlakukan moratorium perizinan usaha perikanan tangkap melalui Permen KP No. 56/PERMEN-KP/2014. Meski begitu, ternyata kondisi nelayan tradisional belum juga membaik kesejahteraannya. Karenanya pemerintah dituntut untuk fokus kepada upaya penyejahteraan nelayan tradisional. Selain itu pemerintah juga dituntut untuk meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja perikanan dan petambak garam.
Kesejahteraan petambak garam khususnya, menjadi penting mengingat pemerintah tengah menargetkan untuk mencapai swasembada garam. Upaya mencapai swasembada garam oleh pemerintah harus dilakukan secara menyeluruh tidak hanya peningkatan produksi secara statistik, tetapi menyangkut tata kelola, akses pasar dan peningkatan kesejahteraan petambak garam Indonesia.
Muhammad Sarli, petambak garam yang juga diamanahi sebagai Sekretaris Jenderal Persatuan Petambak Garam Indonesia (PPGI) memaparkan, situasi yang dihadapi oleh petambak garam tidak jauh berbeda dengan kondisi sebelumnya dengan program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR). Mereka tidak diberikan peningkatan kapasitas pengetahuan dalam usaha budidaya garam untuk mencapai standar garam yang dapat diterima dipasarkan, seperti ke industri.
“Pemerintahan baru tidak menyelesaikan akar masalah, yaitu akses pasar, tata kelola garam nasional seperti jalur koordinasi lintas kementerian antara Kementerian Kelautan Dan Perikanan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian,” kata Sarli dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Kamis (30/4).
Semantara itu Kepala Riset Pusat Kajian Pelayanan Pemberdayaan Masyarakat (PKP2M) Suhana mengatakan, pasca ditetapkannya moratorium, terjadi penurunan kapal asing pelaku pencurian ikan dan jumlah komoditas ekspor di sisi lain industri pengolahan dalam negeri meningkat. Tetapi nilai tukar nelayan sebagai tolok ukur kemampuan ekonomi suatu nelayan lebih buruk dalam 5 tahun terakhir ditambah lagi adanya kenaikan harga BBM menurunkan NTN.
Pemerintah, kata Suhana, dalam menetapkan suatu kebijakan terkesan tidak ada antisipasi atas dampak yang terjadi. Kondisi ekonomi saat ini, produksi nelayan saat ini berada titik impas tanpa ada keuntungan dan dengan kebijakan yang muncul dampak yang perlu diantisipasi oleh pemerintah adalah pengangguran yang dapat terjadi.
Untuk itu Suhana mendorong pemerintah untuk memperkuat organisasi dan koperasi nelayan. “Karena nanti nikmat suplai ikan yang tinggi dapat dinikmati oleh negara Indonesia serta memperbaiki tata kelola berdasarkan data yang valid mengenai stok ikan yang akan menentukan jumlah ikan yang dapat ditangkap, kapal yang diperbolehkan beroperasi dan antisipasi dampak kebijakan yang lebih baik,” ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Abdul Halim menilai, fokus pembangunan kelautan dan perikanan dalam pemerintahan baru ini, lebih dititikberatkan pada pembangunan infrastruktur fisik, tidak jauh berbeda dengan pemerintahan sebelumnya. Hal tersebut bisa dilihat dari RPJMN 2015-2019 yang kembali mengakomodasi proyek reklamasi dan tanggul laut raksasa di Jakarta, Semarang dan Bali.
Sejalan dengan itu peningkatan produksi yang tinggi diarahkan kepada peningkatan nilai produksi yang besar tanpa ditopang anggaran untuk penyejahteraan nelayan yang tidak sampai 5,2% persen dari APBN KKP 2015. Untuk itu, Halim menambahkan, pemerintah harus melakukan perubahan kebijakan terkait dengan perizinan, melakukan ratifikasi konvensi ILO No. 188 Tahun 2007 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan.
Pemerintah juga dituntut untuk mendorong revisi UU Bagi Hasil Perikanan dan UU Ketenagakerjaan. “Pemerintah juga harus melakukan audit terhadap perusahaan perikanan yang terindikasi perbudakan serta berfokus kepada upaya penyejahteraan nelayan, petambak garam dan tenaga kerja perikanan, bukan melulu peningkatan produksi,” kata Halim. (*)