Fitrah Moratorium
Fitrah Moratorium
Oleh Abdul Halim*
Semangat Idul Fitri adalah semangat persaudaraan universal, bahwa setiap anak manusia terlahir dalam “kejadian asal yang suci”. Oleh karena itu, mudik lebaran merupakan peristiwa yang amat heroik. Banyak yang dikalahkan dalam hidup, tetapi mereka berani menghadapi kenyataan. Meski tak seberapa rezeki terkumpul, namun kegembiraan membuncah saat berbagi pada sesama di kampung halaman.
Sedikitnya 2.346 kejadian kecelakaan dan 497 jiwa meninggal dunia selama arus mudik 2015 (Korlantas Polri, Juli 2015). Tingginya angka korban jiwa menunjukkan besarnya solidaritas emosional masyarakat. Resiko kecelakaan dan kemacetan sepanjang ratusan kilometer tak merintangi semangat kembali menapaktilasi kejadian asal. Fenomena ini terlihat di desa-desa (pesisir). Sebaliknya, Negara belum maksimal mengembangkan solidaritas fungsional bagi penyaluran pundi-pundi kesejahteraan hingga ke perdesaan.
Kegagalan negara menyediakan kerangka solidaritas fungsional bagi redistribusi kekayaan hingga ke perdesaan, tertolong oleh heroisme korban-korban pembangunan yang dengan solidaritas emosionalnya mampu membawa balik nutrisi ke akarnya (Latif, 2015). Dalam suasana kefitrahan, sudah selaiknya Presiden Joko Widodo menyegerakan perbaikan atas minimnya skema solidaritas fungsional di kampung-kampung nelayan, pembudidaya, petambak garam dan pelestari ekosistem pesisir.
Fitrah
Cak Nur (2000), mengartikan fitrah sama dengan khilqah (ciptaan atau penciptaan). Secara peristilahan, fitrah berarti “penciptaan yang suci”. Jika dirunut pada pengertian paling fundamental, Idul Fitri yang dimaknai “penciptaan yang suci itu” adalah ajaran dasar agama yang menandaskan, manusia segera sebelum dilahirkan ke dunia pernah mengadakan “perjanjian primordial” (ahd, primordial covenant) dengan Tuhan. Isi “perjanjian primordial” ini berupa kesediaan manusia (dalam alam ruhani) untuk hanya mengakui dan menerima Tuhan YME sebagai satu-satunya sosok yang wajid dipercayai dan disembah.
Relevansi makna fitrah dalam konteks pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan di Tanah Air dapat diletakkan pada 2 hal pokok: pertama, sumber daya ikan merupakan sarana pendakian spiritual bagi 250 juta penduduk Indonesia untuk melaksanakan mandat perjanjian primordial dengan Tuhan YME. Dengan perkataan lain, stok sumber daya ikan nasional hanyalah sarana (al-wasilah), bukan tujuan (hadafa) penciptaan.
Kedua, fitrah bukan sekadar peristiwa spiritual, melainkan lokus bagi munculnya semangat pembebasan dalam rangka penataan kehidupan sosial yang adil dan beradab. Dalam konteks inilah, pengelolaan 11 wilayah pengelolaan perikanan harus diarahkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat kelautan dan perikanan skala kecil, mulai dari nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya, petambak garam dan pelestari ekosistem pesisir di 10.666 desa pesisir yang tersebar di 300 kabupaten/kota dari total sekitar 524 kabupaten/kota di Indonesia.
Seperti diketahui, moratorium menjadi kata kunci yang diperbincangkan oleh insan kelautan dan perikanan di Tanah Air dan mancanegara sejak Presiden Joko Widodo memimpin Republik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), moratorium diartikan sebagai penundaan ataupenangguhan.
Terbitnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 10/PERMEN-KP/2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kelauan dan Perikann Nomor 56/PERMEN-KP/2014 tentang Penghentian Sementara (Moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia merupakan penanda adanya komitmen untuk mengoreksi kekeliruan pelaksanaan “perjanjian primordial” dalam pengelolaan sumber daya perikanan, di antaranya adalah menertibkan perusahaan-perusahaan perikanan di dalam negeri.
Tak lama berselang, izin 15 perusahaan yang tergabung di dalam 4 grup perusahaan atas dugaan melakukan praktek kejahatan perikanan di Indonesia dicabut oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, di antaranya PT Maritim Timur Jaya di Tual (Maluku), PT Dwikarya Reksa Abadi di Wanam (Papua), PT Indojurong Fishing Industries yang berpusat Panambulan, Maluku Tenggara (Maluku), PT Pusaka Benjina Resources di Benjina (Maluku) dan PT Mabiru Industry di Ambon (Maluku). Izin yang dicabut adalah Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Kapal Penangkap Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI).
Pencabutan izin 15 perusahaan ini dapat dijadikan sebagai momentum penegakan hukum atas tindak pidana perikanan yang telah dilakukan sejak lama. Untuk itu, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan yang berada di bawah koordinasi Kementerian Kelautan dan Perikanan harus bekerjasama dengan Penyidik Perwira TNI AL dan/atau Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk melanjutkan proses hukum di pengadilan perikanan. Dalam konteks inilah, keterlibatan Kejaksaan Agung menjadi sangat penting untuk penuntutan yang maksimal.
Pusat Data dan Informasi KIARA (Juni 2015) mencatat, sedikitnya 309 kapal ikan, baik tangkap maupun angkut, yang berafiliasi kepada 4 grup perusahaan perikanan, yakni Grup Mabiru, Pusaka Benjina Resources, Maritim Timur Jaya dan Dwikarya (lihat Tabel 1). Dari jumlah ini, jika per kapal mempekerjakan 20 ABK, maka sedikitnya terdapat 6,180 Anak Buah Kapal (ABK).
Tabel 1. Nama Grup Perusahaan dan Kapal Ikan
No | Nama Perusahaan/Grup | Jumlah Kapal (Unit) |
1 | Mabiru | 63 Kapal Ikan |
2 | Pusaka Benjina Resources | 96 Kapal Tangkap dan 5 Kapal Pengakut Ikan |
3 | Maritim Timur Jaya | 78 Kapal Ikan |
4 | Dwikarya | 67 Kapal Ikan |
Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (Juni 2015), diolah dari berbagai sumber
Belajar dari dikeluarkannya Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia yang menimbulkan ekses sosial, semestinya Kementerian Kelautan dan Perikanan menyiapkan solusi bagi 6,180 ABK yang rentan terlanggar hak-haknya sebagai pekerja di sektor perikanan. Di sinilah letak kefitrahanmoratorium.
Langkah-langkah strategis yang dapat dilakukan untuk mengoperasionalisasikan kefitrahanmoratorium di antaranya: pertama, melakukan koordinasi dengan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk memastikan 15 perusahaan perikanan memenuhi hak-hak pekerjanya pasca pencabutan izin usahanya; kedua, menyalurkan para pekerja kepada perusahaan kelautan dan perikanan atau usaha kreatif lainnya milik negara atau bekerjasama dengan pihak swasta dalam rangka menjamin terpenuhinya hak-hak konstitusional para ABK, seperti hak untuk bekerja dan hak untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik; dan ketiga, melakukan pengawalan dan memberikan pendampingan kepada para ABK untuk pemenuhan hak-haknya sebagai pekerja pasca pencabutan izin perusahaan tempatnya bekerja.
Sembilan bulan pasca pemberlakukan moratorium, banyak pertanyaan yang disampaikan: apakah nelayan kecil menerima manfaat? Dengan menggunakan 2 relevansi makna fitrah, dapat dikatakan bahwa arah pengelolaan sumber daya perikanan nasional belum memunculkan optimisme dan sungguh-sungguh mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat desa-desa pesisir yang makmur, adil dan beradab. Seperti kata Aristoteles, “Manusia baik belum tentu menjadi warga negara baik bilamana negaranya juga baik. Sebab, di dalam negara yang buruk, manusia yang baik bisa saja menjadi warga negara yang buruk”.
Di saat yang berbeda, Thich Nhat Hanh, dalam the Miracle of Mindfulness, mengisahkan seorang raja yang selalu ingin membuat keputusan yang benar mengajukan pertanyaan kepada biksu. “Kapan waktu terbaik mengerjakan sesuatu? Siapa orang paling penting untuk bisa bekerja sama? Apakah perbuatan terpenting untuk dilakukan sepanjang waktu?” Biksu menjawab, “Waktu terbaik adalah sekarang, orang terpenting adalah orang terdekat, dan perbuatan terpenting sepanjang waktu adalah memberi kebahagiaan bagi orang sekelilingmu”.
Dengan “berlebaran”, semoga paceklik kesejahteraan dan kebahagiaan di desa-desa pesisir dapat diakhiri. Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1436 Hijriah!
*Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) dan Koordinator Regional SEAFish for Justice (South East Asia Fish for Justice Network)
Sumber: Majalah Samudra, Agustus 2015