Rantai Perdagangan Ikan Belum Sejahterakan Nelayan Kecil!

Kamis, 24 September 2015

Annapolis, GEOMARITIM – Rantai perdagangan ikan dunia dinilai belum memihak dan menyejahterakan nelayan kecil. Hal itu diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Abdul Halim.

“Dalam konteks rantai perdagangan ikan, mestinya pelaku perikanan skala kecil, khususnya perempuan nelayan, mendapatkan pengakuan atas peran dan kesejahteraannya,” kata Halim kepada Geomaritim, Kamis (24/9).

Pesan tersebut, menurut dia mengemuka dalam konferensi internasional bertajuk ‘Engaging the Seafood Industry in Social Development’ di Annapolis, Maryland, Amerika Serikat, pada 21-22 September 2015. Konferensi dihadiri oleh perwakilan FAO, UNDP, universitas, LSM, pembeli (buyer), pedagang eceran (retailer), lembaga finansial internasional, dan lembaga sertifikasi dari sedikitnya 8 negara di dunia. Di antaranya Amerika Serikat, Angola, Belanda, Inggris, Thailand, Indonesia, Brasil, dan Filipina.

Dikatakan Halim, yang hadir dalam konferensi tersebut, dewasa ini rantai perdagangan ikan dunia belum memihak masyarakat pelaku perikanan skala kecil, khususnya di negara-negara berkembang. Padahal, mereka berkontribusi sebesar 40 persen dari total produksi perikanan tangkap global (FAO 2012).

“Pelaku pasar makanan laut (seafood) setengah hati memihak. Apalagi, banyak pemerintah di negara-negara berkembang, yang notabene produsen perikanan, belum sungguh-sungguh berkomitmen menyelesaikan masalahyang dihadapi nelayan tradisional, perempuan nelayan, dan pembudidaya ikan kecil,” tegasnya.

Tingginya ongkos produksi, merupakan kesulitan nelayan skala kecil untuk terlibat dalam sistem perdagangan ikan di tingkat nasional dan internasional, serta berkompetisi dengan pelaku pasar lainnya. Belum lagi minimnya intervensi teknologi, rendahnya harga jual ikan, hingga ketidakpastian status wilayah tangkap dan tambak/lahan budidaya.[]

Rep: Agus Budiman

Sumber: http://geomaritim.com/read/2015/09/24/286/Rantai-perdagangan-ikan-belum-sejahterakan-nelayan-kecil

Perdagangan Ikan Dunia Belum Sejahterakan Pelaku

Kamis, 24 September 2015

JAKARTA, suaramerdeka.com – Perikanan adalah sumber pangan yang paling dikonsumsi oleh masyarakat dunia. FAO (2014) menyebutkan, perikanan berkontribusi sebesar 40 persen atau senilai 135 miliar dolar AS dari total produk pangan yang paling diperdagangkan.

Pusat Data dan Informasi KIARA September 2015) mencatat produk-produk perikanan yang paling banyak diperdagangkan adalah udang, salmon, tuna, kod, cumi-cumi, gurita, dan kepiting.

Dalam konteks rantai perdagangan ikan, mestinya pelaku perikanan skala kecil, khususnya perempuan nelayan, mendapatkan pengakuan atas peran dan kesejahteraannya.

Pesan ini mengemuka di dalam Konferensi Internasional bertajuk “Engaging the Seafood Industry in Social Development” di Annapolis, Maryland, Amerika Serikat, pada tanggal 21-22 September 2015.

Konferensi ini dihadiri oleh perwakilan FAO, UNDP, universitas, LSM, pembeli (buyer), pedagang eceran (retailer), lembaga finansial internasional, dan lembaga sertifikasi dari sedikitnya 8 negara di dunia, di antaranya Amerika Serikat, Angola, Belanda, Inggris, Thailand, Indonesia, Brasil, dan Filipina.

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA yang hadir di dalam konferensi internasional ini menegaskan bahwa, “Dewasa ini rantai perdagangan ikan dunia belum memihak masyarakat pelaku perikanan skala kecil, khususnya di negara-negara berkembang.

Padahal, mereka berkontribusi sebesar 40 persen dari total produksi perikanan tangkap global (FAO 2012). Pelaku pasar makanan laut (seafood) setengah hati memihak. Apalagi banyak pemerintah di negara-negara berkembang yang notabene produsen perikanan belum sungguh-sungguh berkomitmen untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh nelayan tradisional, perempuan nelayan, dan
pembudidaya ikan kecil”.

Kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat perikanan skala kecil untuk terlibat dalam sistem perdagangan ikan di tingkat nasional dan internasional, serta berkompetisi dengan pelaku pasar lainnya di antaranya adalah ongkos produksi sangat tinggi, intervensi teknologi minim, harga jual ikan rendah, ketidakpastian status wilayah tangkap dan tambak/lahan budidaya, dan keterbatasan dalam pendokumentasian hasil tangkapan/budidaya yang bisa diakses konsumen (lihat Tabel 1). Dalam situasi inilah, dibutuhkan peran besar negara untuk memfasilitasi pelaku perikanan skala kecil mengatasi permasalahannya, khususnya perempuan nelayan.

“Negara harus hadir di tengah kompetisi perdagangan ikan dan permintaan pasar terkait standar-standar baru, seperti keamanan pangan, bebas dari aktivitas merusak dan pelanggaran HAM yang kian ketat, ” ungkap Abdul Halim.

Dengan kehadiran negara, nelayan tradisional, menurutnya, perempuan nelayan, dan pembudidaya ikan kecil akan sanggup bersaing dengan pelaku ekonomi di bidang makanan laut lainnya. Bahkan bisa memotong panjangnya rantai perdagangan ikan sehingga kualitas ikan lebih segar dengan harga lebih tinggi,” tambah Halim selaku Koordinator Regional SEAFish for Justice (South East Asia Fish for Justice Network).

Sumber: http://berita.suaramerdeka.com/perdagangan-ikan-dunia-belum-sejahterakan-pelaku/