Dari Mahasiswa, Nelayan, Akademisi, hingga Aktivis Partai Ramai-ramai Tolak Revisi UU KPK
DENPASAR, KOMPAS 13 Oktober 2015— Desakan agar Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi tidak direvisi semakin santer disuarakan. Berbagai kalangan, dari masyarakat umum, mahasiswa, petani, nelayan, hingga akademisi, satu per satu menyuarakan sikap mereka.
Dari Denpasar, Bali, dilaporkan Aliansi Masyarakat Bali Anti Korupsi (AMBAK) pada Selasa (13/10) mendatangi gedung DPRD Bali. Koordinator AMBAK Gede Agung Nusantara menyerukan kepada Presiden Joko Widodo agar secara tegas menolak rencana revisi UU KPK yang sedang digulirkan sejumlah fraksi di DPR.
Pasalnya, rancangan revisi UU KPK dinilai sebagai upaya melemahkan KPK dan melemahkan upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air. “Fungsi KPK sangat penting dalam upaya pemberantasan korupsi,” kata Nusantara.
Dalam aksinya, pegiat AMBAK membawa spanduk bertuliskan penolakan terhadap rancangan revisi UU KPK dan upaya pelemahan KPK. Mereka juga membawa poster yang antara lain bertuliskan “Lawan Korupsi, #Save KPK” dan “KPK harga mati, berani jujur hebat”.
Pegiat AMBAK menyampaikan pernyataan sikap yang dibacakan Nusantara. AMBAK antara lain menagih janji Presiden Joko Widodo untuk menolak segala bentuk kriminalisasi terhadap KPK, menagih janji Presiden Joko Widodo untuk menolak RUU KPK secara tegas dan jelas sesuai Nawacita Jokowi yang berbunyi “Kami akan memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya”.
Di bagian lain, AMBAK menuntut DPR untuk menghentikan pembahasan RUU KPK dan menyerukan kepada masyarakat Bali untuk mendukung upaya-upaya KPK dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Seusai pembacaan pernyataan sikap, pegiat AMBAK mengakhiri aksi meskipun tidak ditemui perwakilan DPRD Bali. Nusantara menyatakan, pihaknya memang tidak berencana bertemu pihak DPRD Bali.
“Aksi kami ini juga bentuk kekecewaan terhadap lembaga legislatif kita,” ujar Nusantara.
Penolakan dari Makassar
Dari Makassar, Sulawesi Selatan, dilaporkan, Gerakan Aktivis Mahasiswa (GAM) Makassar berunjuk rasa menolak rencana DPR merevisi UU KPK.
“Kami secara tegas menolak revisi UU KPK karena jelas itu adalah salah satu cara pelemahan untuk menghancurkan KPK,” kata Irwan dalam orasi di pertigaan Jalan Andi Pangeran Pettarani, Makassar, Selasa.
Dalam aksi tersebut puluhan aktivis GAM membentangkan spanduk berisikan kritik terhadap sejumlah politikus di DPR yang akan mengajukan revisi UU KPK tanpa memikirkan kesejahteraan rakyat akibat perilaku korupsi.
Beberapa mahasiswa tampak mengecat badan mereka dengan tulisan “Save KPK” dan berdiri di jalan tersebut untuk mendapat dukungan masyarakat dan pengguna jalan, sementara lainnya membagikan pesan moral tertulis.
Aksi tersebut dilakukan mahasiswa sebagai bentuk dukungan atas upaya pelemahan lembaga antikorupsi itu. Aksi penolakan revisi UU KPK juga sebelumnya dilakukan sejumlah akademisi dan lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Jalinan Institusional Komisi Pemberantasan Korupsi.
“Ada upaya pelemahan yang akan dilakukan sejumlah wakil rakyat kita di Senayan untuk mengubah UU KPK yang jelas akan memperkecil kekuatan lembaga antikorupsi ini,” kata perwakilan LSM Anti Corupttion Committee (ACC) Abd Kadir Wakonubun di Makassar.
Penolakan dari nelayan
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyatakan untuk memberantas tindak pidana korupsi di sektor kelautan seharusnya lebih didahulukan pembahasan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, bukan malah revisi UU KPK.
“Presiden Jokowi diharapkan dahulukan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam ketimbang revisi UU KPK,” kata Sekretaris Jenderal Kiara Abdul Halim di Jakarta.
Menurut Abdul Halim, maraknya tindak pidana korupsi, termasuk di sektor kelautan, membutuhkan upaya ekstra untuk memberantasnya dan dapat dilakukan jika Jokowi segera mengeluarkan surat presiden untuk dimulainya pembahasan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam antara pemerintah dan DPR.
DPR telah memiliki draf final RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Di dalam draf tertanggal 27 Agustus 2015, skema perlindungan dan pemberdayaan didasarkan pada situasi dan kondisi yang dihadapi oleh masing-masing subyek hukum, yakni nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam.
“Saat ini RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam dalam status pembahasan tingkat pertama antara pemerintah dan DPR. Pembahasan ini bisa dimulai jika Presiden Jokowi memberikan surat,” tuturnya.
Namun, sampai dengan paruh kedua Oktober, surat presiden yang ditunggu DPR tak kunjung ada. Padahal, RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam juga dinilai merupakan perangkat aturan yang bisa mengatasi tumpang tindih beragam regulasi di sektor kelautan dan perikanan.
“RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam merupakan instrumen yang dapat digunakan untuk mengeliminasi tumpang tindihnya kebijakan di bidang kelautan dan perikanan,” ucapnya.
Menurut dia, tumpang tindih regulasi kerap terjadi dan mengancam hajat hidup masyarakat pesisir lintas profesi, seperti perlindungan terhadap wilayah tangkap nelayan dan lahan budidaya atau tambak garam.
Kiara menginginkan agar sisa waktu tiga bulan terakhir pada tahun ini harus sungguh-sungguh dimanfaatkan untuk menyegerakan pembahasan dan pengesahan RUU tersebut.
Penolakan dari Kalimantan Timur
Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) Kalimantan Timur juga menyatakan penolakan mereka terhadap revisi UU KPK yang diinisiasi DPR dan telah ditetapkan menjadi agenda prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada 2015.
Salah seorang juru bicara Koalisi Masyarakat Sipil Kaltim, Herdiansyah Hamzah, di Samarinda, Senin, menilai, RUU KPK itu sebagai upaya “pembunuhan KPK”.
Pernyataan sikap Koalisi Masyarakat Sipil Kaltim itu disampaikan di ruang rapat Dekanat Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda, Senin siang, yang dihadiri sejumlah elemen mahasiswa, pegiat antikorupsi, dan LSM, di antaranya Pokja 30, Jatam Kaltim, Pusat Studi Anti Korupsi (Saksi) Universitas Mulawarman, serta Naladwipa Institut.
Pada pernyataan sikap itu, Koalisi Masyarakat Sipil Kaltim menolak secara tegas revisi UU KPK, meminta DPR segera menghentikan pembahasan revisi UU KPK, meminta Presiden agar dengan tegas menolak revisi UU KPK, serta menyerukan seluruh elemen masyarakat sipil di Indonesia, khususnya Kalimantan Timur, untuk memberikan solidaritas dalam upaya penolakan RUU KPK ini.
“Setelah upaya ‘kriminalisasi’ terhadap komisioner dan penyidik KPK, kini muncul upaya ‘pembunuhan KPK’ melalui usulan revisi UU KPK,” tutur Herdiansyah.
Pasal-pasal krusial
Herdiansyah Hamzah yang juga staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Mulawarman menilai, pasal-pasal krusial dalam RUU KPK yang dianggap sebagai tindakan pembunuhan terhadap KPK di antaranya Pasal 4 mengenai KPK yang hanya akan difungsikan sebagai Komisi Pencegahan Korupsi, bukan lagi Komisi Pemberantasan Korupsi.
Selanjutnya, Pasal 5 terkait pembatasan usia KPK hanya selama 12 tahun sejak aturan ini diundangkan nantinya.
“Secara prinsip, usia KPK tidak dapat dirumuskan dalam UU secara matematis. Artinya, keberadaan KPK tidak dapat ditentukan dalam hitungan waktu, tetapi berdasarkan situasi dan kondisi. Selama korupsi tetap ada, seumur itu pula keberadaan KPK,” katanya.
Pasal lain yang juga dianggap mengebiri KPK, katanya, ialah Pasal 7 Huruf d yang tidak lagi memberikan kewenangan penuntutan kepada KPK.
“Dalam RUU KPK yang diusulkan, kewenangan penuntutan hanya dilakukan jaksa sebagaimana disebutkan dalam Pasal 53 Ayat (1). Ini jelas jauh dari kaidah sebuah lembaga trigger atau pemicu seperti KPK di mana sistem dari hulu ke hilir pemberantasan korupsi seharusnya terintegrasi,” ujarnya.
Pasal 13 Huruf b dalam RUU itu, lanjut Herdiansyah, juga membatasi ruang gerak KPK yang hanya diberikan wewenang mengusut kasus korupsi dengan kerugian negara paling sedikit Rp 50 miliar.
Substansi keberadaan KPK, menurut dia, adalah pemberantasan korupsi yang dilakukan penyelenggara negara dan merugikan masyarakat luas, bukan pada nilai korupsinya,
“Selanjutnya, Pasal 14 Ayat (1) menyangkut penyadapan yang harus seizin pengadilan. Selama ini, kewenangan penyadapan adalah ‘mahkota’ KPK yang dianggap sangat efektif dalam membongkar perkara korupsi,” ujarnya.
“Kewenangan penyadapan ini juga merupakan lex specialis atau kewenangan khusus yang seharusnya dijalankan oleh KPK tanpa seizin pengadilan,” kata Herdiansyah.
Penolakan dari Demokrat
Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat juga menyatakan menolak revisi UU KPK. “Kami dari Departemen Hubungan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) DPP Partai Demokrat memberikan dukungan penuh pada KPK untuk menolak revisi UU KPK,” kata Ketua Departemen Urusan KPK DPP Demokrat Jemmy Setiawan saat mendatangi gedung KPK Jakarta, Senin.
Jemmy datang bersama puluhan kader Demokrat lain. Ia pun mengaku sudah berdiskusi dengan pegiat antikorupsi dari Indonesia Corruption Watch (ICW) dan aliansi masyarakat sipil untuk menyampaikan dukungan terhadap KPK.
“Meskipun pahit getirnya pemberantasan korupsi itu dialami Partai Demokrat, tapi kita dorong fraksi di DPR untuk tetap dalam keputusannya menolak RUU KPK,” ungkap Jemmy.
Revisi UU KPK berisi 73 pasal yang diajukan oleh 35 anggota DPR dari 6 fraksi DPR yaitu fraksi PDI-Perjuangan, Partai Nasdem, Partai Golkar, PPP, Partai Hanura dan PKB ke Badan Legislasi (Baleg) DPR pada 6 Oktober 2015 lalu.
“Di fraksi DPR, sebagai corong juga sudah kita serukan penolakan ini,” tambah Jemmy.
Namun menurut Jemmy, sikap resmi Partai Demokrat akan disampaikan oleh Sekjen Demokrat Hinca Panjaitan.
“Sikap resmi akan disampaikan oleh Sekjen partai, tapi ini adalah dorongan kita bersama para pengurus harian. DPD (Dewan Pimpinan Daerah) dan DPC (Dewan Pimpinan Cabang) pasti ikut kita semua di DPP,” tambah Jemmy.
(ANTARA)
Sumber: http://print.kompas.